12. Just Need to Make Trust Building
Setelah membuka mata dan sempat menghirup aroma obat-obatan serta menguap lebar, bukan Jimin, Jungkook, Taehyung atau Jin yang kutemukan. Aku hanya melihat lelaki berpenampilan bad boy tengah terduduk di samping sofa tempatku berbaring, memunggungi sambil memainkan batang rokok tanpa api.
Ini jelas bukan rumah sakit atau tempat apa pun yang berhubungan dengan para pekerja medis. Diam-diam aku mencoba untuk mengamati sekeliling. Mencari tahu di mana aku berada, sekaligus celah mana saja yang bisa kugunakan sebagai jalur melarikan diri jika lelaki itu berbuat jahat.
Di dinding bercat dominan hijau dekat pintu kayu berbahan jati, aku bisa melihat jajaran sertifikat makanan bebas bahan pengawet dari dinas kesehatan dan sertifikat penghargaan dari perusahaan-perusahaan pangan terkenal—menggantung kokoh di dalam bingkai warna hitam. Lalu ada dua jendela kecil yang menurutku akan cukup, jika aku meringkuk—kuharap ruangan ini tidak terlalu jauh dengan pijakan tanah karena selain pintu, tidak ada akses lain selain dua jendela tersebut.
Setelah melihat pemandangan tersebut kusimpulkan bahwa kami berada di salah satu tempat makan semacam restoran keluarga, yaitu Min-ui Gajog. Lalu setelah kuamati, ruangan ini adalah tempat peristirahatan bagi para karyawan karena di bagian sudutnya terdapat meja berisi beberapa samyang, termos air panas, beberapa botol minuman dan satu microwave.
"Kau sudah sadar. Mau sampai kapan berbaring di sana? Apa kau senang berlama-lama denganku?"
Suara itu mengalihkan perhatianku. Bahkan membuatku terkejut, hingga hampir melompat dari sofa (untungnya tidak jatuh). Demi Tuhan, sekarang aku baru menyadari siapa sosok bad boy yang sedang bersamaku.
Dia Suga, berbalik ke arahku dengan seringai tipis dan masih memainkan rokoknya. Rambutnya baru saja dicat menjadi keabu-abuan, jadi wajar saja jika aku tidak mengenalinya.
"Di mana Jungkook, Jimin, dan lelaki dengan kepercayaan tinggi, memiliki jari-jari yang bengkok jika direntangkan lalu berwajah seperti alpaka dan berhidung mancung?" Ya Tuhan, ciri-ciri macam apa ini? Jin sungguh terdengar konyol. "Kau tidak macam-macam dengan mereka, 'kan? Taehyung, dia ... apa mereka baik-baik saja? Bagaimana kau bisa berada di sini? Kau mengetahui atau melihat kejadian di—"
"Seperti burung beo yang terus berkicau. Kau tidak bisa tenang dan bertanya satu per satu, eh?" tanya Suga dengan nada dingin yang menjadi ciri khas lelaki itu lalu bangkit dari tempat duduknya.
Suga membuka pintu, membuatku berusaha memanjangkan leher sekadar menengok demi mengetahui ada apa di sana.
Sayangnya aku tidak bisa melihat siapa pun yang kukenal dari sudut tempatku berada, selain jajaran panci beraroma sup daging dan jokbal dari balik tirai berbahan kayu.
"Dia sudah sadar. Apa kalian masih ingin melanjutkan pesta atau berhenti sejenak untuk melihat keadaanya?" Suga terdengar sedikit meninggikan suara, agar bisa didengar oleh mereka yang diajak bicara.
Aku penasaran, jadi kuputuskan untuk bangkit dari sofa dan berdiri di belakang Suga. Menengok sekaligus mengikuti arah pandang lelaki itu dan akhirnya menemukan sekelompok lelaki sedang melakukan pesta, seolah lupa dengan apa yang terjadi sebelumnya.
Seketika kedua tanganku mengepal. Meski aroma sup daging dan jokbal beberapa kali membuat perutku berbunyi pelan.
Hell yeah, berbunyi pelan karena dikalahkan oleh suara bising para pengunjung.
Diberkatilah kalian, setidaknya aku masih terlihat keren di hadapan Suga.
"Kim sudah sadar?! Jinjja! Aku harus segera ke sana dan memberikannya jokbal sebagai hadiah." Itu suara Taehyung. Kulihat berlari ke arah kami dengan diikuti Jimin serta Jin, sedangkan Jungkook—terlalu sibuk menikmati sundae—favoritnya.
Di waktu bersamaan, Suga membalikkan tubuhnya dan percayalah, adegan di drama pun sempat terjadi. Suga tidak tahu bahwa aku berdiri di belakangnya sehingga ketika ia berbalik, jarak kami menjadi sangat dekat lalu kami sempat bertatapan beberapa saat.
Aku tidak ingin berkedip, meski hanya sekali karena itu hanya buang-buang waktu saja. Suga memang tampan, seratus persen masuk ke dalam tipeku untuk penampilan.
Ya Tuhan, bibirku siap untuk kau nikmati.
Kau gila, Kimberlly! Enyahkan pikiran kotormu sekarang!
"Err ... mianhe," kataku tiba-tiba, dengan mata terbelalak dan sambil menunduk kaku, akibat khayalan liar barusan. Wajahku memanas seketika jadi keputusan terbaik adalah memalingkan wajah, daripada tertangkap basah.
"Aku benar-benar sudah gila," bisikku sambil menggelengkan kepala dan segera melangkah meninggalkan ruangan. Namun, sesuatu malah menahanku.
Suga menahan lenganku lalu berujar, "Kamsahamnida, Kim."
Singkat, padat, membingungkan. Aku tidak mengerti untuk apa dia berterima kasih jadi hanya sebuah anggukan kecil yang kuberikan. "Ne. Err ... kamsahamnida karena sudah memberiku tumpangan."
"Kim!!! Aku pikir kau akan mati karena kehilangan tenaga!" seru Jin lalu memelukku erat, seperti aku baru saja tersadar dari masa-masa koma, sampai-sampai ia harus menetikkan air mata—Jin memang tipikal lelaki melankolis—aku hanya tersenyum simpul.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku menatap ke arah Jimin yang sepertinya juga ingin memelukku.
Jimin hanya mengangguk kemudian menampilkan senyum leganya.
"Tentu saja aku baik-baik saja. Lebam seperti ini sudah biasa kudapatkan disetiap pertarungan," kata Jin, sambil melepas pelukannya kemudian merebut piring berisi jokbal di tangan Taehyung. "Kami memesankan ini untukmu."
"Jimin, kemarilah. Kau pasti sangat mengkhawatirkanku, 'kan?"
"Kau diabaikan." Taehyung tertawa pelan, saat mengetahui bahwa aku mengabaikan Jin dengan memberikan pelukan hangat untuk Jimin.
Di lain sisi, Suga juga menertawai Jin dan masih terkesan cool—favoritku.
"Seharusnya aku tidak ikut menertawaimu, Hyung. Tapi cara berkelahimu memang payah, sampai babak belur hanya karena iblis wanita," ujar Suga, "anyway, pria yang kau selamatkan itu adalah pamanku. Aku berhutang nyawa padamu, Kim." Suga mengambil jaket kulitnya kemudian menyampirkan benda tersebut di bahu kanan lalu pergi begitu saja.
Aku melongo, seperti orang bodoh yang tidak tahu apa pun dan saat kulihat, Taehyung juga melakukan hal serupa. Namun, dengan maksud lain—kupikir Taehyung hanya mengejekku, mengikuti ekspresi bodoh akibat ucapan Suga.
"Kau pasti terkejut," tebak Taehyung sambil menaikkan daguku dengan tangan kirinya. "Suga adalah hunter yatim piatu dan pria yang kau tolong merupakan paman sekaligus satu-satunya keluarga yang tersisa lalu istri Paman Min, seorang penyihir sepertiku. Namun, meninggal karena—"
"Apa kalian akan tetap di sana sampai Jungkook benar-benar menghabiskan makanan kalian, eh?" Ucapan Taehyung seketika terputus saat Suga meneriaki kami dan hal itu membuat Taehyung serta Jin kembali berlari meninggalkan kami seperti anak kecil yang takut kehabisan makanan.
Melihat kepergian mereka, seketika meninggalkan beberapa pertanyaan di dalam kepalaku. Mengenai Suga, pria berpakaian pantai yang merupakan pamannya Suga—Paman Min, dan terakhir mengenai siapa Park Eunha—kupikir, salah satu dari mereka pasti mengetahui nama tersebut. Namun, sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal tersebut.
Suga tampak jelas menolak untuk bicara, terlihat dari bagaimana ia memotong pembicaraan Taehyung.
Lalu pria itu, Paman Min ... sampai sekarang aku belum melihatnya.
Dan sisanya, tidak mungkin aku bertanya pada Jin, Jungkook atau Jimin—mereka pasti tidak mengetahui apa pun. Namun, jika memang ini adalah permasalahan para hunter ....
... bisa jadi Paman Namjoon mengetahuinya, meski sedikit.
"Kim," panggil Jimin, sambil memelukku dari belakang. Ia menyandarkan keningnya di bahuku. "Kau pasti kelelahan karena memulangkan iblis itu secara paksa. Maafkan aku karena hampir saja mencelakakanmu akibat gagal membunuhnya."
"Kau justru menolongku, Jimin. Bukan hanya kau, tetapi semua dari kalian ... kamsahamnida," ujarku lalu mengusap rambut Jimin yang begitu lembut.
Lagi-lagi wajahku memanas akibat sikap perhatian Jimin dan saat kulihat pergelangan tangan kiri Jimin, sesuatu mengalihkan perhatianku.
Jimin terluka dan dia masih saja mengkhawatirkanku. Aku segera membalikkan tubuh, menghadap Jimin lalu memeriksa keadaannya. Pasti bukan hanya pergelangan tangan Jimin yang terluka akibat petarungan tadi, pasti beberapa bagian tubuhnya juga.
... apalagi, iblis wanita itu sudah menghancurkan menara Pantai Haeundae.
"Kau terluka dan tidak mengatakannya pada siapa pun. Kenapa? Jika kau khawatir seharusnya perhatikan dirimu juga, Jimin." Setelah melihat beberapa luka di bagian tubuh Jimin, segera kusentuh lembut wajahnya kemudian menatap ke arah Jungkook untuk meminta pertolongan.
Ingat 'kan bahwa kemampuan sihir Jungkook adalah menyembuhkan jadi, kupikir dia juga bisa mengobati Jimin.
"Jangan," ujar Jimin saat aku baru saja ingin memanggil Jungkook. "Hanya butuh beberapa jam, mereka akan sembuh dengan sendirinya. Kekuatan manusia dan iblis itu berbeda, jika Jungkook hyung mengobatiku maka dia akan kehilangan banyak energi lalu tak sadarkan diri sama seperti yang terjadi pada Kim."
"Jimin," panggilku dengan nada lirih kemudian memeluk iblis berwujud manusia itu dengan begitu hati-hati. "Jangan sampai terluka lagi hanya demi melindungiku. Ini salahku, seharusnya aku belajar lebih giat lagi agar kalian ...."
"Semua baik-baik saja." Suara Suga kembali mengintrupsi, hingga aku buru-buru melepaskan pelukan dan menyeka air mataku. "Apa setiap gadis selalu mudah menangis, padahal semua masalah telah berhasil dia selesaikan, eh?"
Mendecak kesal, aku melipat kedua tangan di atas dada—bersikap seolah menantang Suga—sebenarnya jantungku berdebar keras karena tahu bahwa aku tidak pandai berkelahi. "Meski semua sudah diselesaikan, tapi aku tidak tahu bagaimana keadaan pamanmu dan seberapa parah kerusakan yang telah kulakukan."
Suga tertawa pelan dengan sudut bibir asimetris, membuat setiap gadis akan menjerit melihatnya. Termasuk aku, meski hanya dalam hati.
"Semua kerusakan yang kau lihat di Pantai Haeundae hanya halusinasi dan pamanku, dia baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir dan makanlah bersama kami.
"Jin hyung yang membayar semuanya sebagai perayaan karena kau berhasil memperlihatkan kemajuan."
"Jika kau melakukan hal buruk pada Kim, maka aku—"
"Kau akan membunuhku," ucap Suga memotong ucapan Jimin lalu menepuk pundak makhluk itu. "Belum ada alasan untuk membunuh tuanmu, selama kalian masih bersikap baik. Begitulah peraturannya."
"Kim telah menolong Paman Min."
"Dan itu bukan jaminan selamanya, hellhound," kata Suga dengan nada dingin, hingga menimbulkan aura peperangan dalam diri Jimin.
Tidak ingin membiarkan hal buruk terjadi, buru-buru kugenggam tangan Jimin lalu segera berkata, "Aku sangat lapar dan kuharap masih ada jokbal di meja makan. Selain itu, kuharap siapa pun bisa menceritakan mengapa tiba-tiba aku jadi tidak sadarkan diri, padahal hanya membaca mantra untuk memulangkan iblis tersebut."
"Kau memang selamban yang Jin hyung katakan, Kim."
Itulah yang dikatakan Suga sebelum ia kembali mendahului kami dan Jimin kembali tersulut amarahnya.
Well, aku tidak mengerti mengapa Suga selalu memancing amarah Jimin. Seperti ia memang sengaja untuk membuat keributan, hingga memiliki alasan untuk membunuhku.
Tidak. Tidak. Tidak. Jangan berspekulasi tanpa bukti, Kim! Bisa jadi karena sikap Suga yang memang dari awal seperti itu.
Dan aku hanya belum terlalu mengenalnya. Namun, sebentar lagi ... aku harus mengenal Suga lebih jauh karena Park Eunha adalah nama yang disebutkan iblis wanita itu.
Bagiamana pun, sejak awal aku telah meyakini bahwa mereka pasti saling berhubungan. Selain itu juga, jika aku berhasil membantu mereka, maka sama saja dengan menjadikan salah satu musuh di labirin sebagai teman.
Well, we just need to make trust building because we don't born for kill each other, right?
*****
Unedited karena besok jaringan bakal jelek banget jadi kupost sekarang aja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top