1. I Hope We Don't Die

Dulu aku selalu berpikir kalau grandma hanya meracau setiap kali ia mulai membicarakan tentang sihir. Seriously, itu omong kosong, apa lagi jika dikaitkan dengan di era apa kita tinggal sekarang.

Selama enam belas tahun dan sebelum kematian grandma setahun lalu, hidupku selalu dipenuhi dengan kisah-kisah mengenai sekelompok penyihir, mulai dari Strega Witch di Amerika Serikat, Pow-Wow Witch di Pennsylvania, Gardnerian Witch di Inggris, serta Hereditary Witch kelompok penyihir keturunan murni yang tersebar di seluruh dunia.

Sebenarnya ada lebih banyak kelompok penyihir yang grandma ceritakan. Bahkan saat kami tinggal di Salem Forks, grandma selalu mengajariku semua hal tentang sihir dan memberikan banyak buku tebal bersampul kulit untuk kubaca sebelum tidur. Namun, tanpa sepengetahuan grandma hal itu malah kuabaikan karena tidur di atas tumpukan buku—menganggap mereka sebagai bantal—lebih menyenangkan, daripada harus bersusah payah memahami tulisan tangan di buku-buku kuno tersebut.

Dan setelah kematian grandma lalu terpaksa pindah dari Salem Forks ke Busan demi menumpang hidup di rumah Bibi Kath—satu-satunya keluarga yang tersisa—sukses membuat perasaan bosan menyelimuti tubuhku hingga mencapai ubun-ubun.

Mungkin jika orang-orang melihatku, mereka akan menemukan tulisan 'Bosan' di jidatku.

"Kimberly Matsdotter! Apa kau akan terus berada di kamar sampai matahari terbit dari barat, eh?"

Dari lantai dasar, suara Bibi Kath lagi-lagi terdengar. Ini sudah kedua kalinya dan jika aku belum turun menghampiri wanita itu, maka dia akan menyusul lalu menyeretku untuk segera melakukan aktivitas apa pun.

Yeah, apa pun. Yang mana aku sendiri juga tidak tahu harus melakukan apa, selain hadir di kelas bahasa Korea setiap hari jam sembilan pagi.

"Cara bicaramu terlalu sarkastis," kataku dengan menggunakan bahasa Inggris, sambil menghampiri Bibi Kath yang sedang menyiapkan bekal makan siang untukku. "Lalu bisakah kita menggunakan bahasa Inggris saja? Lagi pula Paman Namjoon, Jin dan Jungkook sedang tidak ada di rumah."

"Kau harus membiasakannya, Kim. Minggu ini adalah kelas terakhirmu untuk mempelajari bahasa Korea dan setelahnya, Namjoon akan mendaftarkanmu di sekolah yang sama dengan Jungkook." Bibi Kath tersenyum lebar dan masih keras kepala menggunakan bahasa Korea.

Be honest, aku tidak masalah jika mereka menggunakan bahasa Korea sebab sejauh ini, aku sudah lumayan bisa memahaminya. Kecuali jika mereka berbicara dengan tempo cepat atau menggunakan bahasa gaul yang mana orang asing tidak akan mengetahuinya, bahkan kalau harus mencari di kamus.

Itu menyebalkan dan terpaksa kualami saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah Bibi Kath. Jin dan Jungkook—kakak beradik yang memiliki selisih umur lima tahun—sejak awal kedatanganku, terus-menerus berbicara dengan bahasa Korea yang tidak ada di kamus lalu setelah melihat ke arahku, mereka selalu tertawa.

Kutebak, dua lelaki itu pasti dulu mengejekku karena terlihat seperti orang bodoh yang hanya bisa diam, tidak mengerti perbincangan mereka. Namun, tetap berusaha untuk mengerti.

Oh, come on jangan mendramatisir keadaan! Mereka bukan sepupu yang jahat atau rasis terhadap orang asing. Jin dan Jungkook adalah sepupu terbaik (Aku tidak tahu bagaimana kriteria sepupu idaman) karena terkadang suka membantuku di saat-saat sulit, terutama jika berbelanja di supermarket, wisata kuliner atau sekadar berpetualang mengelilingi Busan. Meski kenyataannya, mereka akan terlihat seperti tour guide yang sedang memperkenalkan Busan kepada wisatawan asing.

Well, meski sepupu serta memiliki darah campuran Swedia, bukan berarti Jin dan Jungkook akan terlihat seperti orang campuran. Bisa dikatakan mereka memiliki wajah pure Korean. Memiliki Bola mata dan rambut yang cenderung gelap, warna kulit seputih susu, serta ukuran mata lebih kecil, daripada ukuran westren.

Jadi jika suatu saat tanpa disengaja melihat kami di jalan atau di mana saja, kalian tidak akan menyangka bahwa kami memiliki hubungan darah. Apa lagi struktur wajahku yang benar-benar menampilkan ciri khas western; mata sebiru laut, rambut pirang platinum, dan kulit putih pucat dengan bintik-bintik hitam di area pipi.

Jika dibanding gadis-gadis Korea, aku sama sekali tidak ada apa-apanya. Mungkin yang bisa kubanggakan hanyalah tinggi badan.

Oh, Kimberly, kau sungguh menyedihkan.

Suara jentikan jari tiba-tiba membuyarkan pikiranku mengenai sepupu dan kecantikan gadis-gadis Korea. Aku mengerjap sesaat, menyadari bahwa Bibi Kath sudah menampilkan ekspresi protes karena diabaikan.

"Kau masih di sana, bukan?" tanya Bibi Kath. "Biar kuberitahu sekali lagi, bahasa Korea-mu sudah lumayan fasih. Hanya perlu terus latihan berbicara, hingga kau akhirnya terbiasa."

Bibi Kath mengambil kotak makan di atas meja lalu menarik tanganku, dan segera menyerahkan benda berbentuk kubus, berwarna hitam. "Pergilah aku tidak ingin kau terlambat dan ... oh, kau membawanya?" Mata Bibi Kath tiba-tiba terarah pada buku tebal yang berada dalam pelukan lengan kiriku.

Dan tangannya menarik kembali kotak makanku.

Oh, well tidak ada makan siang jika mengabaikan rasa penasaran Bibi Kath. Itu peraturan tersiratnya.

"Ya, satu dari banyak buku warisan grandma yang kubawa ke rumah ini. Kuharap kau tidak menganggapku aneh, seperti—"

"Kau yang menganggapnya aneh, bukan aku." Tanpa seizinku, Bibi Kath mengambil buku bersampul kulit yang sebelumnya berada di pelukanku lalu membuka beberapa halaman dan ....

... mungkin membacanya.

"Sejauh mana kemampuan sihirmu sekarang?"

"Hah?" Keningku seketika mengernyit. Ya, Tuhan, tidak bisakah Bibi Kath berbicara bahasa Inggris saja? Kau mengucapkannya terlalu cepat, Bi!

"Sorry, I don't understand what are you talking about."

Bibi Kath memutar mata kemudian menutup bukunya. "How far your magic ability now?"

"What? No, kau gila. Aku tidak memercayainya, bahkan selama tinggal di Salem Fork! Meskipun kenyataannya grandma selalu menjejalkan semua hal tentang sihir. Itu ... oh, my God." Seketika mataku melebar.

Butiran gula di toples merah yang terbuka seketika melayang di udara. Bukan hanya itu, di sekelilingnya ada serbuk hijau berkilau, bergerak seperti alat pengontrol yang menggerakan butiran gula tersebut.

Beberapa detik kemudian, butiran gula itu terbang ke arahku, membentuk kalimat panjang tepat di depan mataku.

Ini mustahil, tapi aku melihatnya. Dalam keadaan sadar.

"Percayalah. Ini warisan keluarga Matsdotter." Setelah membaca sederet kalimat dari gula-gula tersebut, akhirnya mataku mengerjap dan butiran manis itu berjatuhan di atas roti kering berselai mentega. Aku tersenyum kikuk, kebingungan antara harus bertepuk tangan seperti habis menyaksikan pertunjukan sulap atau berpikir bahwa apa yang tertulis di buku itu adalah nyata.

"Sekarang kau sudah melihatnya secara nyata, bukan? Jadi tidak ada alasan untuk tidak percaya." Bibi Kath memberikan kotak makan siangku bersamaan dengan buku tebal milik grandma.

Ia menatapku penuh rasa curiga. Kuharap itu hanya perasaanku saja.

"Jangan bilang selama tinggal di Salem Fork, kau hanya bermain-main selagi grandma mengajarkanmu."

Sial! Bibi Kath sepertinya bisa membaca pikiranku.

"Aku pikir yang grandma ajarkan adalah trik sulap, sama sepertimu dan buku-buku itu ... ah, By the way, aku harus pergi sekarang. Najung-e boja, ajumma!" seruku cepat, sambil menyampirkan tas ransel di punggung lalu segera menjauh dari Bibi Kath.

Naluriku mengatakan bahwa tatapan Bibi Kath mungkin akan berubah menjadi laser paling mematikan di dunia, jika aku bertahan lebih lama sambil melanjutkan kalimat ketidakpercayaanku pada sihir.

Well, aku memang tidak percaya keberadaan sihir. Apa lagi sekarang sudah abad ke-20 di mana semua serba modern, tapi saat melihat apa yang dilakukan Bibi Kath tadi, serta membaca beberapa halaman dari buku milik grandma, membuat ketidakpercayaan itu sedikit luruh.

Bisa jadi keturunan Hereditary Witch memang sungguhan ada. Oleh sebab itu kematian dad, mom, dan grandma ....

Tidak, tidak, tidak. Buktikan terlebih dahulu, Kim! Setelah itu kau boleh memercayainya.

Aku menggeleng cepat lalu segera masuk ke dalam bis dan duduk di kursi bagian belakang. Favoritku.

Percayalah duduk di deretan paling belakang bukanlah hal buruk, terlebih jika kau belum memahami bahasa mereka kemudian menghabiskan waktu membaca buku, sambil menunggu bis berhenti di halte berikutnya.

Dan buku yang selalu menemaniku di saat bosan adalah buku-buku tebal milik grandma. Kuakui sejak kematian grandma, aku jadi lebih sering merindukan dia.

***

Di depan gedung kursus bahasa, rasa bingung mulai merayapi seluruh perasaanku. Aku kebingungan, antara harus mengikuti kelas sebagai salah satu kewajiban menjadi keponakan yang baik atau bolos sehari demi menuntaskan rasa penasaran untuk mempraktekan tulisan di buku ini.

Halaman lima puluh, tentang ritual pemanggilan makhluk dari alam yang berbeda. Seketika hal itu membuatku merasa seperti kerasukan arwah grandma. Aku penasaran dengan makhluk apa yang akan datang, jika aku mempraktekannya hari ini. Apakah malaikat, iblis, siluman, arwah orang mati atau alien?

Kelas, kabur, kelas, kabur, kelas—

"Annyeong, Kim!" Seseorang menepuk bahuku, memutarnya secara paksa, hingga aku harus menghadap si pemilik suara secara langsung. "Jangan katakan bahwa kau ingin membolos hari ini." Senyum kotak yang menjadi ciri khas Kim Taehyung seketika menjadi salah satu pemandangan di depan mataku.

"Pardon? Kau terlalu cepat, aku tidak mengerti."

Taehyung mengembuskan napas. "Baiklah, akan kucoba mengatakannya dalam bahasa Inggris sesuai kelas yang kuambil. Don't say that you want to go AWOL."

"AWOL?" tanyaku sambil terkekeh. "Kau mengetahuinya? Wow! Itu keren."

"Yes, AWOL—absent without leave," ucap Taehyung, sambil memperbaiki letak topinya lalu melipat tangan di atas dada. Ia menatapku. "Jadi, iya atau tidak?"

"Iya atau tidak?"

"Jangan mengulang pertanyaan, Kim? Kau seharusnya menjawab."

"Oh, umm ...." Berpikir sejenak, aku segera menjawab dengan penuh keraguan yang berusaha kusembunyikan. "Sepertinya kau salah paham. Aku tidak pernah membolos."

Dan itu kebohongan besar, Taehyung! Kuharap kau adalah lelaki polos jadi tidak sadar bahwa aku berbohong.

Taehyung tertawa renyah kemudian menebarkan pandangan dan kembali menatapku. Ia mengedikan bahu sesaat.

Membuatku ingin bertanya dan ....

"Baiklah, ikut denganku sekarang," kata Taehyung cepat lalu menarik tanganku, menyebrangi jalanan penuh kendaran, dan meninggalkan gedung putih yang di atas pintu besarnya memiliki papan bertuliskan Language School.

Selagi berlari suara klakson selalu menghampiri kami. Hal itu terjadi karena Taehyung memaksaku untuk menyeberang tanpa mengikuti rambu-rambu lalu lintas, hingga di persimpangan dekat supermarket bunyi klakson paling nyaring menghampiri kami.

Aku menoleh, terkejut dan ....

Kuharap kami tidak mati hari ini.



*****

*Najung-e boja, ajumma: Sampai ketemu lagi, Bibi.

Gimana lanjut gak?
Be honest ini pertama kali bikin cerita fanfiction terus latarnya di Korsel pula *ugh! Semoga kalian suka, ya.

Yang nanya Jimin sama Hobie mana? Mereka bakalan muncul setelah beberapa chap ke depan.

Pelan-pelan, ya biar enggak bingung karena kebanyakan tokoh.

Sebelum pergi, boleh dong minta bintang dan komen kalian tentang chapter ini. Terima kasih banyak.

Follow juga ig aku @augustin.rh and keep in touch with me ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top