(5/8) Hukuman Pertama
Setelah melepas sepatu bot, Jean dan teman-temannya berjalan cepat kembali ke rumah kue. Di depan rumah kue, sudah berdiri Jack dengan setelan tuksedo biru putih garis-garisnya. Namun, yang membuat para remaja itu pucat pasi adalah darah yang berceceran dari arah salah satu jalan setapak hingga memasuki rumah kue.
"Ada apa? Bunyi pukulan apa itu?"
Jack menoleh ke arah tamu-tamunya yang baru datang.
"Salah seorang teman kalian melanggar peraturan kedua: 'Dilarang memasuki hutan pulau tanpa pengawalan penduduk pulau,'" jawab Jack.
"Jangan bilang ... Caroline?!"
"Ah, ya. Itukah namanya? Dia gadis dengan rambut pendek berwarna putih."
Jean maju dan menyerbu Jack. "Darah apa itu? Apakah Caroline baik-baik saja?"
"Tentu dia tidak baik-baik saja. Dia sudah melanggar peraturan! Karena sembarangan masuk ke hutan, salah satu kaki gadis itu dimakan monster! Untung dia segera ditemukan Gadis Berjubah Merah. Sekarang dia sedang dikurung di lantai tiga sebagai hukumannya," ucap Jack dengan nada jenaka seperti apa yang diucapkannya bukanlah sesuatu yang besar. Ia bahkan tertawa seperti sedang melucu.
"KAKI?! Apa maksudmu dengan kaki?!" jerit Jean.
Rolando ikut maju lalu meraih kerah tuksedo Jack. "Di mana teman kami?!" serunya.
"Aaarrgghhh!"—Terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam rumah kue. Suaranya seperti suara Caroline.
"Carol—"
'Bang! Bang! Bang!'
'Bang! Bang! Bang!'
'Bang! Bang! Bang!'
Kata-kata Jean terputus oleh pukulan keras yang menggema tiga kali entah dari mana.
Suara pukulan itu diikuti tawa Jack yang makin lama makin besar.
"AHAHAHA! HAHAHA! Waktunya tepat sekali di malam Halloween."
Cengkeraman Rolando pada Jack terlepas dan ia mundur ke belakang ketika lubang-lubang mata, hidung, dan mulut Jack berubah dari apa yang tampak seperti dilapisi kain hitam menjadi menyala kuning kemerahan, seolah ada lampu bersinar di dalam topeng labu yang digunakan Jack.
Badan Jack semakin membesar dan membesar, lebih dari dua kali ukuran semula hingga membuat para tamu di pulau mendongak untuk menatapnya.
Bersamaan dengan itu, langit menggelap dengan cepat. Guntur bersahut-sahutan memekakkan telinga diiringi kilat di sekitar pulau yang seolah akan menyambar mereka. Angin pun bertiup kencang seperti ingin merobek kulit remaja-remaja itu.
Jean dan teman-temannya sontak meringkuk karena badan mereka seperti akan dibawa terbang oleh angin kencang. Mata mereka pun ditutup karena terasa sangat perih jika tetap terbuka. Suasana mencekam itu berlangsung selama beberapa menit.
Secepat alam sekitar berubah mengerikan, secepat itu pula keheningan tiba-tiba hadir.
Mereka membuka mata. Tiba-tiba saja langit sudah berubah malam dan mereka seperti berada di tempat berbeda.
Mereka telah duduk di halaman berumput dekat rumah kue. Terdapat api unggun yang menyala terang di dekat mereka. Di sekitar api unggun tersebar kursi-kursi pendek berbentuk potongan batang kayu, di kursi itulah para tamu pulau duduk. Semua tamu, termasuk mereka yang dikurung karena hukuman.
Jean melirik ke arah Ethan dan Bella yang masih memakai pakaian dalam mereka. Alih-alih merasa benci, ia justru ngeri melihat kondisi keduanya yang tidak terurus serupa orang gila.
Mata Ethan dan Bella tidak fokus, seolah tidak peduli pada sekitarnya. Wajah keduanya tirus seperti tahanan yang dipenjara bertahun-tahun di penjara yang tidak manusiawi. Tubuh mereka kotor. Meski udara terasa hangat, tapi mereka gemetaran, entah karena ketakutan atau kedinginan. Mereka juga bergumam berulang-ulang:
"Maafkan aku. Selamatkan aku."
"Argghhh!"
Suara dari arah kiri mengalihkan perhatian Jean dan teman-temannya yang lain.
Di salah satu kursi batang kayu, ada Caroline berteriak-teriak kesakitan sambil bersender di kursi. Tubuhnya penuh darah juga luka seperti cakaran. Namun, yang paling mengerikan adalah kakinya! Kaki kanannya putus hingga paha. Darah terus muncrat membasahi daging dan tulang kakinya.
"Caroline!!" Jean berseru. Ia hendak menghampiri sahabatnya itu, tapi tubuhnya seolah tidak bisa berdiri dari kursi batang kayu.
Jean melirik ke teman-temannya yang lain. Tampak mereka juga mengalami kondisi serupa seperti Jean. Bahkan wajah kakaknya, Adam, sampai memerah dan urat-uratnya menonjol karena berusaha bergerak dari kursi.
Sia-sia saja. Mereka tidak bisa bergerak ke mana pun.
Lantas terdengar suara-suara berisik dari langit. Ketika tamu-tamu pulau itu menoleh, mereka terkejut. Ketakutan perlahan membanjiri setiap inci tubuh mereka.
"Huaaa! Apa itu?!" seru Summer sambil menunjuk langit.
Di sana, di langit yang gelap, tampak wajah-wajah penduduk pulau berukuran raksasa yang melingkari langit sambil menatap ke arah remaja-remaja ketakutan di bawah sana. Terlihat Jack, si kembar Frank dan Stein, Madam Gretel, Paman Scarecrow, Tuan Kelinci, Nona Kucing Hitam, Kakek Wendigo, hingga seorang gadis yang setengah wajahnya tertutup tudung merah—sepertinya dia adalah Gadis Berjubah Merah yang pernah disebut Jack.
Para penduduk pulau saat itu bagai anak-anak kecil yang menatap ke hiasan bola salju dengan penuh gairah. Meski yang sedang ditatap adalah manusia nyata.
"Monster! Hantu! Iblis!" Ronaldo mendadak meracau.
Remaja-remaja di sana bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa mereka di sana? Bagaimana wajah penduduk pulau terlihat sebesar itu? Mengapa mereka tidak bisa bergerak? Keganjilan dan keanehan apa yang sedang mereka jalani?
"Happy Halloween!" seru penduduk-penduduk pulau bersamaan. Suara mereka terdengar bergema seperti teriakan raksasa bagi remaja-remaja yang meringkuk ketakutan di halaman rumah kue.
"Hoho! Kalian pasti sedang bingung, kan?" ucap Jack yang suaranya terdengar sangat besar meski nadanya masih terdengar jenaka. "Sekarang kalian sedang berada di ruang tunggu hukuman. Sayang sekali kalian harus melalui hukuman ini, wahai Tamu-Tamu yang Lezat. Kondisi kalian sekarang karena salah satu dari kalian melanggar peraturan ketiga: 'Tidak boleh menyentuh air terjun sang Penyihir. Satu saja yang melanggar, semua akan terkena hukuman.'"
"Sial! Siapa yang menyentuh air terjun itu!" maki Ronaldo.
"Nora! Pasti kau, kan?!" hardik Rolando sambil menunjuk ke arah Nora. "Sebelumnya kau bertanya kebenaran air terjun yang bisa mengabulkan permohonan!"
"Tidak! Bukan aku!" jerit Nora.
"Kalau bukan kau lantas siapa?! Tidak ada yang tertarik pada dongeng sinting begitu!" Rolando masih terus menyerang Nora.
"Aku hanya bertanya!" balas Nora dengan nada yang semakin tinggi. "Jangan menuduhku sembarangan! Apa buktinya?!"
"Aku mendengarmu berbisik setelah jamuan ucapan selamat datang. Kau bergumam kalau cerita itu benar, kau ingin bertukar tempat dengan Jean!"
Kata-kata Rolando membuat Nora terdiam.
Jean yang namanya disebut pun menatap tak percaya pada Nora. Ia tidak menyangka Nora menginginkan hal tersebut. Padahal selama itu, ia membenci Nora karena sepupunya sangat disayang oleh ayahnya. Segala yang diinginkan Nora, akan dikabulkan ayahnya, tidak seperti dirinya yang harus menerima omelan sang ayah terlebih dahulu sebelum permintaannya dituruti. Belum lagi kata-kata yang terus membandingkan dirinya dengan Nora.
"Kau gila!" Akhirnya Jean mengucapkan sesuatu. "Untuk apa kau menginginkan hal seperti itu? Apa kau sadar kalau ayahku memujamu lebih daripada anaknya sendiri?!"
Nora yang masih berapi-api pun menjawab dengan nada yang tetap tinggi.
"Tetap saja kau anaknya! Seburuk apa pun kelakuanmu dan setidakbergunanya kamu, ayahmu akan tetap memenuhi keinginanmu! Aku! Aku harus belajar mati-matian demi bisa terlihat berguna di mata ayahmu agar dia tidak menganggapku beban!" Dada Nora naik turun karena meluapkan emosinya. Tindakannya membuat semua yang ada di sana terkejut begitu melihat gadis yang biasanya pemalu, mendadak naik pitam. "Kau punya segalanya. Kau punya kakak yang keren. Ayah yang kaya. Pacar yang tampan. Popularitas di sekolah. Dengan semua itu kau iri padaku, hah?! Kau bahkan membuat seisi sekolah membenciku! Harusnya aku yang iri padamu! Kau sungguh tidak tahu bersyukur! Ya! Jika aku bisa menukar hidupku, aku akan menukarnya denganmu! Coba rasakan kerja kerasku demi bertahan hidup!"
"Jadi kau—"
"Sayangnya, bukan dia pelakunya." Jack memotong percakapan mereka, membuat para remaja menatap ke langit.
"Lantas siapa?!" jerit Ronaldo. Ia merasa lelah dengan semua keanehan dan kegilaan yang datang bertubi-tubi.
"Ah. Hukumannya sudah siap." Jack mengabaikan pertanyaan Ronaldo. "Kalian akan menjalani rangkaian hukuman yang dirancang langsung oleh Tuan Kelinci agar amarah sang Penyihir mereda karena kalian berani melanggar peraturan paling sakral di Pulau Cailli ini. Siapa saja yang berhasil bertahan sampai akhir, tidak hanya dapat pulang, tapi juga dapat meminum air terjun sang Penyihir tanpa terkena hukuman."
"Bagaimana dengan mereka yang tidak berhasil sampai akhir?" tanya Adam.
Mendadak semua penduduk pulau tertawa, menghasilkan gabungan suara berisik yang begitu besar dan bergema menyakitkan di gendang telinga tamu pulau mereka.
"Pastinya lebih buruk dari yang dialami teman kalian yang kehilangan satu kakinya."
Jawaban Jack bagai petir menyambar di siang bolong. Para remaja itu semakin takut lagi. Bahkan Ethan dan Bella berteriak-teriak tidak karuan, menambah ketakutan teman mereka.
"Sudah! Hentikan! Pulangkan kami! Akan kubayar berapa pun yang kalian mau!" seru Jean
"Huhuhu! Aku mau pulang ...." Summer ikut menangis tersedu-sedu.
"Hoho! Sayang sekali, tapi uang manusia tidak berarti untuk kami," sahut Jack.
"Siapa kalian?" tanya Adam lagi.
"Kami adalah bawahan sang Penyihir pemilik Pulau Cailli. Sudah cukup basa-basinya. Ayo kita menuju hukuman pertama." Jack kemudian menjentik kedua jarinya.
Dalam satu kedipan mata, para remaja itu tiba-tiba sudah berdiri di tengah ladang jagung yang gelap. Mereka saling menatap satu sama lain dengan ketakutan. Sementara langit masih tetap gelap dengan penampakan penduduk pulau.
"Hukuman pertama: Temukan 'lingkaran aman' yang terbuat dari tali tambang. Apabila dalam lima belas menit, kalian tidak berdiri di dalam 'lingkaran aman', kalian akan dimangsa jagung-jagungku yang cantik. Dan ingat! Satu lingkaran hanya untuk satu orang." Kali itu Paman Scarecrow yang berbicara. "Waktunya dimulai dari sekarang!"
Mendadak muncul empat angka seperti jam digital yang menunjukkan menit dan detik di langit yang gelap. Angka itu dimulai dari lima belas kosong-kosong, yang terus menurun setiap detiknya.
Awalnya tidak ada yang bergerak, sampai kemudian Ronaldo berlari entah ke mana dan menjadi pemicu temannya yang lain untuk berlari. Akhirnya hanya tinggal Ethan, Bella, dan Caroline di titik awal.
"Sial! Di mana lingkarannya?!" umpat Ethan.
"Aku mau pulang! Hiks!" keluh Bella.
"Diamlah! Tidak ada yang berubah dengan menangis!" hardik Ethan.
Bella terdiam karena tidak menyangka kekasih gelapnya akan membentaknya.
"Gelangnya ...."
Suara Caroline terdengar lemah dan kepayahan, membuat Ethan dan Bella menoleh ke arahnya.
Satu tangan Caroline terangkat ke udara. Gelang rajut hijau tua di tangan tersebut seperti melayang menarik tangannya ke suatu arah.
"Apa ... itu?" tanya Bella.
"Entahlah. Aku mendapatkannya dari Paman Scarecrow ketika membantu di kebunnya." Caroline kemudian teringat perkataaan Paman Scarecrow setelah membagikan gelang. "Apakah ... ini bantuan yang dimaksudnya?"
Ethan dan Bella saling menatap. Sontak Ethan merebut gelang di tangan Caroline.
"Berengsek! Apa yang kau lakukan?!" maki Caroline.
Ethan tersenyum licik. "Kau tidak bisa kemana-mana dengan kaki itu, bukan? Sebaiknya gelang ini untuk kami."
Ethan lalu berlari pergi diikuti Bella di belakangnya.
"Sialan! Dasar bedebah! Kembalikan gelangku, Setan! Berani-beraninya kau!"
Caroline pun berteriak frustrasi. Ia menangis karena dikhianati teman baiknya.
Sementara itu, Ethan dan Bella berlari terengah-engah mengikuti tarikan gelang rajut. Mereka sampai di satu 'lingkaran aman'. Tidak ada yang spesial, seperti sebuah tambang pada umumnya yang dibentuk melingkar.
Waktu sudah menunjukkan satu menit yang tersisa.
Ethan sontak memasuki 'lingkaran aman' dari tambang itu. Ketika Bella ingin ikut memasukinya, ia mendorong gadis tersebut hingga terjatuh.
"Maaf, Sayang. Tapi satu lingkaran hanya untuk satu orang." Ethan melempar gelang di tangannya. "Temukanlah lingkaran lain."
Bella pun bangkit sambil menangis. "Mengapa kau setega itu? Sudah tidak ada waktu lagi yang tersisa, Ethan! Kau berkata bahwa kau akan melakukan apa pun untukku sebagai bukti cintamu. Tidak bisakah kau mengalah padaku kali ini?"
Ethan tertawa. "Aku lebih cinta nyawaku, Sayang."
Bella menutup wajahnya sambil menangis terisak. Namun, ia diam-diam memperhatikan waktu di langit hitam. Ketika waktunya menunjukkan hanya lima detik yang tersisa, Bella menerjang ke arah Ethan dan mendorong laki-laki itu sekuat tenaga hingga akhirnya Ethan terjatuh keluar dari lingkaran tambang, berguling di tanah kotor tepat saat waktu di langit menunjukkan empat angka kosong.
"Wanita murahan! Beraninya kau mendorong—"
Umpatan Ethan terhenti ketika satu batang tanaman jagung menembus dadanya. Ia memuntahkan darah bersamaan dengan darah yang muncrat dari tubuhnya yang berlubang.
Detik selanjutnya, ada lebih banyak batang tanaman jagung yang meliuk dan menembus tubuh Ethan. Tanaman-tanaman jagung itu seperti berebut ingin mengambil setiap tubuh pria muda di luar 'lingkaran aman' tersebut.
Bella menjerit kencang melihat pemandangan brutal di hadapannya. Ia tidak menyangka jika itu yang akan terjadi apabila berada di luar 'lingkaran aman'. Hampir saja dirinya yang berada di posisi Ethan.
Tubuh Ethan tidak lagi bersisa. Bahkan, darahnya disedot habis oleh jagung-jagung di sana. Seolah ia lenyap begitu saja.
"Selamat! Ada delapan dari kalian yang bertahan!" Paman Scarecrow seperti menjadi juri di sebuah pertandingan.
"Sayang sekali Caroline harus mati karena gelangnya dicuri Ethan dan Bella," komentar Jack.
"Haha! Tapi akhirnya Bella mendorong Ethan untuk mati karena mereka hanya sempat mencapai satu 'lingkaran aman'," sahut Nona Kucing Hitam. "Gadis yang cerdik."
"Bodohnya. Padahal mereka bisa seperti manusia kembar itu yang memberikan kembarannya gelang untuk mencari lingkaran lain. Akhirnya keduanya selamat," timpal Madam Gretel.
"Hei, Madam. Kau menonton yang benar!" sindir Kakek Wendigo. "Kedua sejoli itu tidak cukup waktu mencari lingkaran lain."
Para penduduk pulau seperti sedang menonton pertunjukan teater dari panggung yang berdarah, seolah-olah nyawa yang meregang hanyalah akting belaka.
Kata-kata penduduk pulau membuat marah tamu-tamu pulau yang merasa dipermainkan. Namun, tamu remaja itu tidak bisa berbuat banyak.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top