(2/8) Jack, Madam Gretel, dan Rumah Kue

Kapal cepat menepi ketika sampai di tujuannya: sebuah pulau kecil di tengah lautan luas. Pulau tersebut memiliki hutan yang sangat rimbun sehingga terlihat gelap meski di siang hari. Langit yang mendung saat itu ikut menambah suasana seram.

Hanya Summer dan Jean yang tampak bersemangat melihat pulau di depan mereka, yang lain menatap ngeri ke arah pulau.

Begitu bersender di dermaga kecil, semua keluar dari kapal cepat lalu berpindah ke dermaga.

Setelah Dmitry memindahkan semua barang bawaan dari kapal, mereka lanjut menyusuri dermaga suram itu.

Ketika mendekati pinggir hutan, sesuatu berwarna hitam tiba-tiba keluar dari balik pohon besar dan berdiri di depan mereka sambil menunduk.

"Baa!"

Seorang kurus yang sangat tinggi—sekitar dua ratus sentimeter, berkulit pucat, berpakaian tuksedo biru putih garis-garis, dan mengenakan topeng labu berdiri di depan rombongan Jean. Topeng labu yang menutup keseluruhan kepala itu memiliki tiga lubang segitiga sebagai mata dan hidung disertai segaris mulut membentuk seringai bergerigi. Ia sangat mirip dengan Jack O' Lantern yang terkenal. Lubang-lubang topeng labunya tampak dilapisi kain hitam sehingga tidak ada bagian wajah yang terlihat.

Dari semuanya, yang terkejut hanyalah si kembar Ronaldo dan Rolando.

Laki-laki berkepala labu itu tertawa terbahak-bahak dengan suara melengking. Sejurus kemudian, ia kembali menunduk dengan tangan bersilang di depan dada.

"Perkenalkan. Nama saya Jack. Saya adalah kepala desa di pulau ini sekaligus pemandu selama kalian berada di sini." Suara Jack seperti seorang yang jenaka. Tiba-tiba kedua tangan Jack terangkat ke atas. "Yohooo! Selamat datang di Pulau Cailli! Pulau Milik sang Penyihir!"

Kembali hanya Summer dan Jean yang terlihat bersemangat. Mereka berdua bertepuk tangan dengan antusias.

Bagi sebagian besar teman Jean, mereka merasa laki-laki bertopeng itu sangat aneh. Begitu pun selera Jean yang menjadi aneh karena bersemangat terhadap hal-hal aneh.

Jack bertepuk dua kali. Tiba-tiba muncul dua orang pria berbadan kekar yang seluruh tubuhnya dicat putih dan dihiasi gambar-gambar serupa luka jahitan yang banyak jumlahnya bahkan hingga ke wajah, membuat mereka tampak mengerikan. Mata mereka seperti mengantuk. Keduanya mengambil sebagian besar koper para remaja yang baru datang ke pulau, meski lebih seperti merampas.

Jack pun mengambil koper Summer dan Jean.

"Perkenalkan. Mereka adalah penduduk pulau ini. Frank dan Stein. Kalian bisa memanggil mereka berdua sekaligus. Frank-en-Stein. Seperti tokoh Monster Frankenstein. Hohoho!" Jack mencoba melucu. Jarinya yang kurus dan panjang menunjuk ke arah si kembar Ronaldo-Rolando. "Mereka kembar seperti kalian. Mungkin kalian bisa menggantikan mereka suatu saat. Hohoho!"

"Cih! Tidak lucu!" gerutu Rolando.

Jack membalikkan badannya lalu melangkah dengan kakinya yang jenjang.

"Ayo ikuti aku ke penginapan kalian. Jangan tertinggal atau kalian akan dimakan monster hutan. Hohoho!"

Bertepatan dengan kata-kata Jack, terdengar suara burung gagak dan desiran dedaunan yang bergesekkan dengan angin laut.

Mendadak kesembilan remaja itu bergidik. Mereka segera berlari kecil menyusul Jack yang langkahnya panjang-panjang. Sementara Dmitry terseok-seok mengikuti karena ia membawa barang bersama kedua 'Frankenstein' kembar.

Jalan yang mereka lalui merupakan jalan setapak yang gelap karena bayangan pohon-pohon berdaun lebat di sana. Meski gelap, di sepanjang jalan diberi kawat dengan lampu-lampu kecil yang banyak jumlahnya sebagai penerang dan menjadi pembatas dengan hutan.

"Wah! Cantik sekali!" komentar Summer.

"Hohoho! Tentu saja. Kalau tidak cantik, sang Penyihir akan marah besar!" balas Jack.

"Penyihir?"

"Penguasa pulau ini."

Para tamu di pulau itu menganggap jika pemilik pulau tersebut adalah orang kaya yang sangat teliti.

"Apa itu?!" seru Caroline. Ia berlari kecil sambil menoleh ke kiri. "Aku melihat ada bayangan bergerak di hutan!"

"Hohoho! Itu pasti monster hutan. Pastikan kalian tidak melewati kawat lampu pembatas jalan dan jangan masuk ke dalam hutan, atau kalian akan langsung dimakan monster! Hohoho!"

Caroline memutar matanya. "Seperti menakuti anak kecil saja," balasnya.

***

Akhirnya Jean dan rekan-rekannya berhasil menyusul Jack yang berjalan jauh di depan dengan langkahnya yang panjang-panjang. Entah bagaimana mereka tertinggal meski berlari sekuat tenaga di belakang Jack.

Mereka terengah-engah dan sedikit kesal saat mendapati Jack berdiri menyambut mereka dengan tangan terbuka seperti tidak terjadi apa-apa. Namun, kekesalan mereka segera sirna begitu melihat rumah di belakang Jack.

"Selamat datang, wahai anak-anak yang lezat, di Rumah Kue sang Penyihir!"

Di belakang Jack, berdiri sebuah rumah yang terbuat dari berbagai macam manisan, persis seperti rumah dalam cerita Hansel dan Gretel.

Atap rumah itu seperti tiga tumpuk krim kue yang mencair dengan warna berbeda di tiap tumpuknya. Dinding-dindingnya seperti biskuit yang ditata menyambung. Setiap siku-siku ruas rumah ditopang tiang yang menyerupai permen tongkat berulir warna-warni. Pintunya seperti terbuat dari batangan coklat dan jendelanya seolah dari permen bening yang dicairkan. Bahkan tercium harum yang manis dari arah rumah.

Di bagian belakang rumah utama, tersambung dua bangunan kembar setinggi tiga lantai yang bagian-bagiannya mirip dengan bangunan rumah utama di depannya. Dua bangunan itu seperti menara pendek yang tampak manis.

"Woah! Seperti berada di negeri dongeng!" komentar Summer yang mengabaikan sambutan aneh Jack.

"Keren! Seperti di Disneyland!" seru Ronaldo.

"Ayahmu pasti mengeluarkan banyak uang untuk ini, Jean," celetuk Caroline.

"Bagus, sih. Tapi tidak bertema Halloween seperti yang kuminta," keluh Jean. Ia mengharapkan rumah penyihir yang seram seperti rumah hantu.

Jack tertawa.

"Hoho! Rumah ini tampak manis karena sang penyihir menyukai kalian. Jika kalian berbuat nakal, ia akan berubah menjadi rumah terseram yang pernah kalian lihat." Jack membuka pintu rumah. "Silakan masuk. Sudah ada jamuan untuk ucapan selamat datang."

"Makanan!" seru Ronaldo. Ia berlari lebih dulu dan masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian, kepalanya menyembul keluar dari pintu. "Hei! Cepat! Ada banyak makanan enak!"

Lantas Jean dan rekannya menyusul Ronaldo ke dalam rumah kue yang bagian dalamnya semenarik bagian luarnya.

Benar saja, di dalam rumah utama terdapat ruangan besar beralaskan karpet merah muda seperti permen kapas. Di ruangan tersebut ada sepuluh kursi mengelilingi sebuah meja panjang yang diatasnya sudah dihidangkan berbagai santapan menggiurkan. Ada satu potong kalkun besar yang menguarkan aroma gurih, sup-sup kental yang masih mengepulkan uap panas, buah-buah segar yang berwarna cerah, kue keik yang cantik, cangkir-cangkir berisi minuman hangat, dan masih banyak lagi.

Ronaldo sudah duduk di salah satu kursi dan memakan hidangan yang ada. Di tangan kanannya terdapat paha kalkun dan di tangan kirinya sepotong pie apel.

"Kalyan lamwah ... nyam ... shekali," ucap Ronaldo di tengah kunyahannya.

Tiba-tiba Ronaldo ditutupi bayangan besar. Sebuah tangan kurus memukul dua punggung tangan Ronaldo dengan cepat dan keras hingga Ronaldo melepas makanan di tangannya lalu meringis kesakitan.

"Sialan! Siapa sih—"

Ronaldo kehilangan kata-katanya begitu mendapati sosok di belakangnya.

Tampak sesosok nenek tua bungkuk dengan kulit berkeriput dan hidung bengkok memakai jubah bertudung hingga hanya terlihat setengah wajahnya. Ia berdiri di belakang Ronaldo. Meski bungkuk, si nenek tetap tinggi, kira-kira setinggi seratus tujuh puluh sentimeter. Entah setinggi apa dirinya ketika badannya masih tegap.

"Cuci tanganmu sebelum makan! Dasar anak nakal!"

"Aaakkk! Ada nenek penyihir!" Ronaldo berteriak kaget.

"Ohoho! Perkenalkan, dia adalah pengurus rumah ini. Madam Gretel."

"Hah? Aneh sekali. Kukira dia adalah penyihir yang dari tadi kau sebut," cetus Rolando. Ia segera mencuci tangan di wastafel, sebelah kiri dari pintu masuk, karena tidak ingin dipukul oleh si nenek tua. Lalu dirinya duduk di samping kembarannya begitu Madam Gretel bergerak dengan susah payah kembali menghilang ke sebuah pintu di dinding seberang pintu masuk.

Pada dinding seberang pintu masuk, terdapat tiga pintu melengkung yang daun pintunya seperti dari batang coklat. Madam Gretel menghilang ke pintu tengah.

"Gretel? Kalau begitu di mana Hansel-nya?" tanya Caroline iseng, merujuk pada sepasang adik-kakak dalam dongeng Hansel dan Gretel. Ia sudah duduk di seberang si kembar.

"Tentu saja dimakan sang Penyihir. Hohoho!" Jari-jari kurus Jack mengarah ke depan seperti akan mencakar wajah Caroline. "Harus ada tumbal agar salah satu saudara itu bisa kabur, bukan?"

Caroline menatap datar pada topeng labu Jack yang hanya berjarak dua jengkal.

"Jangan terlalu dekat!" ucap Caroline yang tampak menahan kesal.

Jack pun menegakkan tubuhnya lalu berdeham.

"Ehem! Silakan menikmati hidangan semuanyaaa!"

Jean dan yang lainnya lantas segera menempati tiap kursi di sana. Baru saja mereka duduk, Dmitry datang bersama si kembar 'Frankenstein'.

Dmitry menaruh barang-barang di dekat dinding lalu duduk di kursi yang tersisa. Sementara si kembar 'Frankenstein' membawa barang-barang ke pintu kanan dan kiri di yang ada di seberang pintu masuk. Mereka berdua bolak-balik menaruh barang-barang entah ke mana.

Di saat semua tengah menikmati hidangan, sebuah suara menarik perhatian mereka.

'Ting-Ting'

Jack, si lelaki berkepala labu, memukul gelas kaca dengan sendok perak di ujung meja.

"Karena semua sudah berkumpul, saya akan menjelaskan tentang pulau ini sembari kalian menyantap hidangan yang sudah disiapkan Madam Gretel dengan sepenuh hati."

Hanya sedikit yang tetap menaruh perhatian pada Jack, sebagian besar kembali sibuk menyantap hidangan.

Jack kembali melanjutkan kata-katanya. "Pulau ini bernama Pulau Cailli, pulau milik sang Penyihir. Berterima kasihlah kalian pada sang Penyihir karena beliau menjamu kalian dengan baik. Selama berada di pulau ini, kalian harus mematuhi tiga peraturan penting pulau. Pertama, laki-laki akan tidur di lantai dua menara sebelah kanan dan perempuan akan tidur di menara sebelah kiri. Ada kamar mandi di masing-masing menara. Tidak boleh keluar dari menara setelah jam dua belas malam sampai jam enam pagi. Apalagi kalau kalian keluar dari menara untuk bertemu seseorang dan melakukan hal tidak pantas yang sangat dibenci sang Penyihir."

"Pfft. Penyihir itu pastilah seorang tua yang kesepian hingga membenci tindakan anak-anak muda," cetus Rolando sambil mengigit daging kalkun. Ia tidak sadar ketika Jack menatapnya tajam.

"Peraturan kedua." Jack lanjut menjelaskan. "Dilarang memasuki hutan pulau tanpa pengawalan penduduk pulau."

"Apakah di pulau suram ini ada binatang buas?" cetus Caroline yang masih terngiang-ngiang bayangan hitam besar yang mengintip dari balik pohon. Ia sangat memercayai penglihatannya.

"Itu adalah monster, Nona. Hutan pulau dipenuhi monster!"

Caroline memutar matanya sambil mendengkus. "Oh, yang benar saja."

"Peraturan ketiga, sekaligus yang paling penting. Ada sebuah air terjun kecil di utara pulau. Air terjun itu adalah milik sang Penyihir. Dikabarkan siapa pun yang minum air dari air terjun itu, satu permintaannya akan dikabulkan. Tapi kalian tidak boleh menyentuhnya tanpa izin dari sang Penyihir."

"Ba-bagaimana jika ada yang menyentuh sambil meminum airnya?" tanya Nora.

Seisi ruangan langsung menoleh pada gadis berkepang satu tersebut.

"Huh. Si kutu buku itu memercayai dongeng Jack?" cibir Bella.

Suara Jack berubah rendah dan terkesan mistis yang mengubah suasana makan siang mereka.

"Tentu saja keinginannya tetap akan dikabulkan, tapi sang Penyihir akan menagih bayaran yang mahal. Bagi pelanggar peraturan pertama dan kedua akan diberi hukuman kurungan di lantai tiga menara masing-masing selama dua puluh empat jam. Untuk pelanggar peraturan ketiga ... satu saja yang melanggar, kalian semua akan menanggung hukuman."

Para remaja di sana terdiam dan bergidik tanpa alasan mendengar nada suara Jack. Seolah yang berbicara bukanlah pria bertopeng labu itu. Namun, suara Jack berubah kembali jenaka pada kalimat selanjutnya.

"Nah! Setelah kalian tahu semua peraturan, acara selanjutnya adalah jam bebas. Silakan membersihkan diri dan berkeliling di pulau. Ingat! Mintalah ditemani penduduk desa jika ingin berjalan-jalan di hutan atau kalian bisa meminta secara khusus pada Gadis Berjubah Merah. Di pulau ini ada banyak tempat menarik! Ada peternakan Kakek Wendigo, kebun Paman Scarecrow, dan rumah kerajinan tangan Nona Kucing Hitam. Tepat jam delapan malam akan ada perjamuan malam di halaman depan rumah kue, pastikan kalian tidak telat! Ada banyak hidangan dan kegiatan menarik nantinya!"


***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top