Pulang


PULANG

─BadutBrightwin

Word : 4077k

[BL, Angst, Drama, Fantasy]

Jika Metawin bisa mengembalikan waktu, ia ingin pertemuannya dengan Bright tak pernah terjadi supaya semesta tak menciptakan perpisahan yang tak ingin Metawin rasakan.

[][][]


"Aku harap kita tak pernah bertemu sebelumnya." Getar suara Metawin menghujam setiap tempat di hati Bright. Tidak, bukan ini yang Bright inginkan. Bukan seperti ini. Mereka tidak bisa berakhir seperti ini. "Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini, aku sudah terlalu lelah Bright. Maaf." Metawin pergi, meninggalkan diri Bright dengan setumpuk penyesalan sia-sia karena kebodohannya.

Ranjang berantakan juga perempuan di samping Bright adalah bukti jika dia berkhianat, tidak ada bantahan sebab semua telah terpampang nyata di hadapan. Tak ada lagi alasan sebab Metawin sudah melihat semuanya berulang kali dengan mata kepala. Dia berkhianat, di rumah mereka berdua, di tempat di mana seharusnya keduanya saling melukis awal kisah mereka.

Semua hancur, tak ada lagi kata kita. Namun, sekali lagi Bright masih ingin berusaha, ia buru-buru mengambil kaos serta celana berserakan yang tergeletak mengenaskan di setiap sudut lantai kamar. Berlari tunggang langggang menyusul sosok Mertawin yang telah hilang dari jarak pandang.

Tidak, jangan pergi. Seru hatinya.

Tidak, izinkan Bright menjelaskan.

Semestinya Bright masih bisa melihat sosok Metawin yang berlari, semestinya dia masih bisa meraihnya sekali lagi. Namun, semesta selalu tidak adil, selalu meletakkan takdir gila tepat di depan mata. Sebab...

Sosok Metawin yang ingin ia raih kini tergeletak di antara kerumunan, bersimbah darah dengan napas tersengal. Meninggalkan raung pilu juga teriakan tak percaya Bright yang begitu miris terdengar.

08.55 a.m, 19 Januari 2021. Win Metawin Opasiam-kajorn. Meninggal karena tabrak lari.


[][][]


Metawin coba mencari alasan, tentang kenapa dan bagaimana dirinya bisa terlempar begitu tak masuk akal lantas terbangun dalam situasi yang tak pernah coba ia bayangkan.

"Kau mau minum? Apa perutmu masih sakit? Kau mau di panggilkan dokter?"

Ia tidak berkhayal, tidak berhalusinasi apalagi hilang akal. Tidak, dia memang terlempar ke masa lalu.

"Mae, tanggal berapa sekarang? Oh, tidak tahun berapa? Berapa umurku?"

Wajah ibunya mengernyit aneh, tertawa sekilas sebelum mengusap sayang puncak kepala Metawin. "Apa kau jadi hilang ingatan setelah operasi usus buntu?" Metawin hanya mengkerjab namun masih keukuh bertanya melalui sorot matanya. "Baik-baik, Ini tahun 2017 bulan Juli dan kau baru saja pindah ke sekolah baru, ingat sekarang?"

Sial! Ini tujuh hari sebelum ia bertemu dengan Bright!

Benar, tujuh hari. Jadi, ia benar-benar harus mempersiapkan semuanya mulai sekarang.

Kau mungkin tidak bisa menghindari takdir, tapi kau masih bisa mencoba untuk mengubah sendiri takdir dengan usahamu!

Dan di hari ini, hari pertama ia kembali ke masa lalu. Metawin memproklamirkan dirinya sendiri untuk menjauhi manusia bernama Bright Vachirawit bagaimanapun caranya.

"Mae, bisa aku pindah sekolah saja?" usaha pertama Metawin untuk menjauh─

"Kau mau Mae pukul hah? Sudah jangan bicara aneh-aneh lagi, istirahat yang cukup agar kau segera di perbolehkan pulang."

-Gagal.


[][][]


Metawin berdiam diri, merapal beberapa ingatan yang mulai berlarian tak jelas dalam otak. Mulai dari awal dia bertemu Bright dan semua kejadian yang coba ia runtut dari awal hingga berakhir berantakan. Haish, coba saja Metawin juara satu di kelas. Otaknya pasti tidak setumpul ini. Tapi, Metawin masih mengingat point pentingnya, dia akan bertemu pertama kali dengan Bright saat pergi mengantar Jane ke toko buku. Ya, Metawin masih mengingat jelas dia menggeret Bright yang salah sendiri perpakaian mirip dengan pencopet yang mengambil tas ibu-ibu di jalan. Hah, iya itu salah Bright. Tapi, dia juga yang terlalu sok pahlawan sih. Jadi tolong di catat dengan benar ya Metawin! jika Jane mengajakmu lagi ke toko buku, tolak saja. Katakan saja kau sedang PMS dan tidak ingin pergi kemana-mana? Oh, tolong, dia laki-laki dan tidak mengeluarkan darah setiap bulan. Tolong buat alasan yang sedikit cerdas ya Metawin.

"Wiiiiinnnnnnn, antarkan aku ke toko buku yayayaaaa!!!" nah, benar kan, Metawin sudah seperti cenayang saja yang bisa memprediksi masa depan.

Satu minggu masuk ke solah baru, satu minggu ia mengulang hari-hari masa SMA yang masih begitu konyol, entah bagaimana Metawin merasa bahagia, ia nyaman kembali ke masa lalu namun nyatanya hari tenangnya memang harus siap-siap berakhir jika ia tidak menolak ajakan Jane. "Ugh, Maaf Jane, aku harus ke rumah sakit hari ini."

Oke, Metawin membuat alasan ini dengan cukup baik dan penuh alibi. Jane pasti tidak bisa membujuk orang yang mau ke rumah sakit. Ohohoho

Siapa peduli wajah kusut Jane yang mencebik lucu. Siapa peduli! Metawin tidak boleh bertemu Bright pokoknya! Tidak boleh!

Sampai kapanpun Metawin tidak akan mengulang kesalahannya di masa lalu, cukup dulu. Cukup hari itu, cukup. Sekarang dia akan menghindari manusia bernama Bright Vachirawit dengan sekuat tenaga. Jadi, Metawin coba memohon kembali agar Tuhan tidak menjadikan kehidupan keduanya ini sia-sia, agar dia masih sempat memperbaiki akhir yang tak pernah coba Metawin harapkan. Agar takdir tidak lagi mempertemukan mereka dalam keadaan apapun juga.

"KAU TIDAK PUNYA OTAK! KAU SEHARUSNYA MENANGKAP PENCOPET ITU SAAT DIA BERLARI KE ARAHMU!!"

Hahaha... Memang hidupnya ini lelucon.

Dia dan manusia yang paling tidak ingin di temuinya ternyata masih di takdirkan kembali mengulang masa lalu.

"Maaf ya khun Bright, aku bukannya tidak mau menangkap pencopet itu tapi dia berlari tak karuan lalu kau tiba-riba sudah menabrakku dengan kasar. Tolong jangan hanya bisa menyalahkan orang lain saat kau juga salah."

Metawin pada akhirnya harus berhadapan juga dengan Bright Vachirawit, di tempat dan waktu serupa, pun dalam keadaan yang kurang lebih sama.

"Kau..." suara Bright menggantung, Metawin sendiri sudah berdecih sembari membersihkan pantatnya yang jatuh dadakan mencium pedestrian. Gila, kau apa hah? Mau di maki dia?

"Bagaimana kau tau namaku?"

Owh shit!!! Metawin lupa jika seharusnya mereka tak saling kenal! Goblok!

Bola mata Metawin membola kaget, hidungnya pun sudah kembang kempis menahan napas. Hayoloh mau jawab bagaimana kau Metawin!

"AAAAAA..." Tangan Metawin tiba-tiba meraih lengan Bright, menatap lekat kedua bola mata sewarna eboni yang masih begitu memukau bagi Metawin dan menimbulkan getaran yang masih sama, tak berubah. "AKU ANAKMU DARI MASA DEPAN!!!"

Ya, hanya alasan gila itu yang bisa keluar dari mulut Metawin. Menyusul senyap yang makin ambigu juga kekeh tak percaya Bright. Ya, Metawin sendiri juga tak percaya dengan apa yang dia katakan barusan.

"Oh, jadi kau anakku dari masa depan?" terkadang Metawin masih tak bisa memahami bagaimana jalan otak Bright berjalan, terkadang dia juga masih menerka-nerka bagaimana mereka berdua selalu saja di satukan oleh keadaan gila yang terlampau aneh bin ajaib. Terkadang... Metawin masih berharap ada akhir lain dari kisah mereka yang terlalu menyedihkan. "Apa kau punya tempat tinggal?"

Kerjabatan mata Metawin menghunus sensor penglihatan Bright, "Kau boleh menginap di tempatku jika tidak punya tempat tujuan."

Oh, ya. Tiba-tiba saja Metawin merasa hidupnya memang selalu begitu konyol karena berkata. "Aahaha, ya... aku akan tinggal beberapa hari untuk menyelesaikan tugas dan kembali ke masa depan."

"Tugas?" Tanya Bright penasaran. "Tugas apa?"

Sekonyong-konyong Metawin berucap. "Mencari Ibuku tentu saja, istrimu di masa depan."

Ini bukan lagi kebodohan, ataupun kokonyolan Metawin. ini sudah termasuk tindak kriminal sebab ia melaukan penipuan. Metawin tolong catat, jika nanti kau di jebloskan ke dalam sel penjara tolong nikmati saja.

Tawa terpaksa Metawin menggema berantakan, kaku dan begitu menggelikan. Namun, Bright Vachirawit kini malah mengusap puncak kepalanya sembari berujar, "Siapa namamu?"

Terlalu sendu, terlalu asing, terlalu aneh bagi dua orang yang sama sekali tak pernah bertemu sebelumnya.

Namun Metawin dengan bodohnya malah terhanyut lantas menjawab, "Metawin, namaku Metawin."

"Halo Metawin, mari kita pulang sekarang."

Mengabaikan ribuan juta pertanyaan tentang keadaan dan alasan aneh yang saling terlontar begitu saja di pikiran, mengabaikan sayup-sayup degup jantung tak beraturan yang coba saling padu tak beraturan, mengabaikan seluruh frasa yang tiba-tiba tertelan tanpa bisa di lontarkan.

Metawin, nikmati saja kebodohanmu hari ini. Selamat datang di kehidupan barumu bersama Bright yang begitu ingin kau hindari.


[][][]


"Kau sudah kenyang?" oh tolong sekali lagi Bright bertanya masalah kenyang maka jangan salahkan Metawin jika mie dalam mulutnya menyembur pada wajah tampan yang selalu membuatnya merasa tolol karena berulang kali jatuh cinta.

Metawin tersenyum sembari mengangguk mantap, sekarang ia harus berpikir lagi berapa lama ia harus membohongi Bright. Ah, masalah Istrinya di masa depan juga. Haish, kepalanya mau pecah saja sekarang. "Kemarikan wajahmu," titah Bright dengan suara rendah penuh perhatian, Metawin sendiri memang pada dasarnya penurut dan sudah bertahun-tahun dia memang hidup bersama dengan Bright jadi tau-tau tanpa berpikir jika situasi sekarang sangat berbeda ia telah mendekatkan wajahnya patuh tanpa canggung.

"Dasar manja," ucap Bright dengan senyum menggantung di wajah, jemarinya mengusap pinggir bibir Metawin, menjalarkan hangat dari ujung jemari keseluruh wajah Metawin tanpa perlu susah payah.

Gila! Hatinya memang sudah gila! Kau itu harus berhenti jatuh cinta pada Bright sialan Vachirawit ini! Harus!

Metawin tiba-tiba berdiri terkesiap, matanya berpendar gelisah mencari alasan aneh lagi untuk menghindari kejut jantung yang menghujam rongga dadanya tiap kali Bright melakukan hal di luar nalar. Ini gila, Metawin cari mati dengan mengiyakan ajakan Bright! Sialan! Sialan! Sialan!

"Kau sudah selesai makan?" Bright lagi-lagi bertanya, kenapa terdengar begitu perhatian sih di telinga Metawin. Dulu dirinya tidak seperti itu. Bright yang dia kenal tidak sebaik itu. apa yang dia temui sekarang bukan Bright? Oh tunggu dulu, apa jangan-jangan Bright punya saudara kembar? Tidak, otaknya sedang konyol. Bright anak tunggal kok. Dia tidak mungkin salah ingat setelah bertahun-tahun menjalin hubungan.

"A-aku mau ke kamar mandi untuk menyikat gigi lalu tidur." Metawin gugup di pandang Bright seintens itu, semua kata dalam mulutnya terasa kelu dan susah ia lontarkan. Namun, Bright tak lagi bertanya, ia hanya tersenyum sekilas seraya berkata, "Ada sikat gigi baru di laci paling atas, kau bisa gunakan itu. aku akan menyiapkan tempat tidur untukmu."

Hah? Apa? Metawin benar-benar kaget saat mendengar kalimat semacam itu keluar dari bibir Bright Vachirawit yang sumpah sialan itu!

Dunia mungkin sudah gila sekarang.


[][][]


Tubuh besar Metawin tergulung selimut tebal, dirinya bergerak kesana-kemari dengan gelisah tak karuan. Bukan karena tak bisa tidur di tempat asing, tidak, bukan hal semacam itu. Namun karena sekarang si sialan Brright Vachirawit itu malah memeluk tubuhnya dengan sengaja, ya sengaja. Metawin tau dia pasti sengaja. Haish, kenapa juga Metawin lagi-lagi mengiyakan saja ucapan Bright sebelum keduanya berakhir tidur satu ranjang. Goblok ah.

Setengah jam lalu,

"Kau mau tidur di mana?" Tanya Bright pada Metawin yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Tentu saja di sofa." Jawaban polos Metawin menyalakan gelak tawa seorang Bright, menyulut kekeh merdu yang dahulu senantiasa Metawin puja setiap waktu, dia terlalu menakutkan Metawin, kau jangan coba jatuh lagi pada pesonanya!

"Untuk apa kau tidur di sofa, tidur di sini, kita keluarga bukan? Apa kau tidak rindu pada Ayahmu ini?"

Bangsat, umpat Metawin dalam senyum yang coba ia pertahankan di wajah. Bright ini memang tidak punya akhlak serta bajingan sejak dari dini, dengan anak sendiri masih saja begini.

"Aahahah, tentu saja aku rindu padamu. Ayah."

Dasar bajingan sialan, jika Metawin tidak sedang berpura-pura sudah habis wajah tampannya itu kena bogem Metawin.

Lalu mari kita kembali ke detik di mana Metawin kini masih grasak-grusuk tidak jelas, dia memang tidak nyaman dengan posisinya sekarang, mau bergeser kemanapun tangan kekar Bright masih saja mengurungnya.

"Pejamkan matamu Metawin, tenang dan tidurlah. Ini sudah malam." Bisik Bright serak, pemuda itu pasti terbangun karena tingkah Metawin yang sudah seperti ulat cacingan. Tanpa bersuara Metawin hanya menjawab dengan gumaman lirih, ia kini menghela napas dalam, memejamkan matanya kuat-kuat lalu coba menghitung berapa lama lagi dia harus berbohong. Untuk tiga hari mungkin tidak jadi masalah, ia akan membuat surat izin palsu dengan alasan sakit. Ibunya pun kebetulan sedang dinas di luar kota jadi tidak masalah menginap di sini untuk beberapa hari. Tapi, ia harus segera menemukan siapapun untuk dia jadikan istri Bright di masa depan─ibunya. Agar tugas Metawin selesai, juga sebagai alasan untuk segera kembali ke masa depan. Sempurna!

Hahaha, Metawin memang sudah sinting.


[][][]


"Kau duduk saja di sini, jangan kemana-mana, mengerti?" lihat, sekarang Bright sudah seperti Ayah kandungnya sendiri. Keren sekali bukan.

"Mengerti kok, sudah pergi saja aku akan baik-baik saja di sini." Dan Metawin malah berperan seperti anak durhaka, biar saja. Lagi pula Metawin bukan bocah TK yang akan hilang begitu saja hanya karena tidak tahu jalan kok. Metawin sudah besar ya. Meski mereka terpaut dua tahun pada dasarnya jiwa Metawin lebih tua dari Bright sekarang karena dia datang dari masa depan.

Lantas, di sinilah Metawin berakhir. Tersesat di kampus yang luas, benar saja, dia memang buta arah tapi terlalu keras kepala untuk patuh. Masa bodo, pikir Metawin. Bright pasti akan mencarinya, kan sekarang Metawin sedang cosplay menjadi anak Bright. Ahahahah.

Tau-tau Metawin malah memutar kaki ke seluruh penjuru, berhenti pada tempat di mana para manusia kelaparan saling berkumpul. Yeah, kantin. Kaki Metawin memang selalu tahu jika cacing di perutnya tengah kesurupan sekarang. Tapi...

"Sialan, di mana dompetku?"

Kadang kau tidak butuh mencari jawaban, jawaban akan datang sendiri menemukamu. Lalu, duar! Segalanya terselesaikan.

"Nong, apa kau tidak jadi memesan?" Win bahkan lupa jika dia telah berdiri dalam antrian, dia sudah kepalang malu akhirnya hanya tersenyum singkat. Mundur beberapa langkah untuk pergi meninggalkan kantin dengan perut keroncongan. Tapi, tiba-tiba saja ada tepukan halus di punggungnya, membuat Metawin mau tak mau berbalik dan terpana mendapati seorang perempuan cantik mengulurkan roti serta sekotak susu padanya. "Ayo Ambil." Titah perempuan itu ramah.

Senyum hangatnya seolah membalik seluruh duka Metawin perihal dirinya, dompet, juga perut keroncongan. Menyulut seulas rekah tawa penuh terima kasih atas uluran tangannya, roti dan susu. Hal sepele yang sangat Metawin syukuri sekarang. Lalu, seolah Tuhan memang tak bosan mempermainkannya bentakan kesal datang dari arah belakang, membawa serta seonggok Bright Vachirawit dengan wajah garang dan kerut berlipat di dahinya. Dia memang selalu jadi pengganggu sialan dalam hidup Metawin.

"Sudah kubilang jangan kemana-mana!" hoh, iya, lagak Bright sudah mirip sekali seorang Ayah yang tengah memarahi anaknya.

Metawin baru saja mau membalas namun urung karena suara berselimut madu yang datang dari malaikat penolongnya di tengah kepalaran. "Bright, apa kau masih mengingatku?"

Bright menaatap perempuan di samping Metawin sesaat setelahnya, kerut di dahinya menghilang seketika, raut wajah kesalpun kini terganti dengan tawa. "Gigie?"

"Ya, ini aku. Kau tidak banyak berubah ya."

Satu detik berlalu dengan tawa masing-masing yang kemudian mengudara, satu menit kemudian kehadiran Metawin bahkan telah tergerus layaknya udara tak terlihat. Bright dan Gigie, Metawin sendiri tak pernah mengenal perempuan ini, dia sama sekali tidak pernah bertanya tentang masa lalu Bright saat keduanya bersama, sebab Metawin toh berpikir semua yang ada di masa lalu hanya akan jadi masa lalu. Namun, sepertinya Metawin salah. Bright pernah tampak lebih bahagia daripada saat bersama dengannya, Bright yang mencintainya, yang berjanji akan selalu menemaninya hingga maut memisahkan, Bright yang juga telah menghancurkan berkeping hatinya, Bright yang sama yang sampai detik ini pun masih memegang kendali atas hatinya.

Bright, dia memang begitu egois.

Dan Metawin masih sama tololnya meski dia kembali hidup dan mengulang lagi waktu.

"Dan nong ini siapamu?" Gigie tiba-tiba bertanya tentang Metawin, membawa atensi Bright bergulir lalu di berujar, "Dia sepupuku, Metawin namanya." Tanpa beban, tanpa perasaan, ya memang sudah seharusnya seperti itu sebab Bright yang ada di hadapan Metawin kini bukanlah Bright yang mencintainya. Ah, atau memang sejak dulu hanya Metawin seorang saja yang jatuh cinta.

Senyum Metawin terbit dengan terpaksa, ada sesak yang membuat napasnya tersendat, merajam hatinya hingga kesakitan namun coba ia abaikan sembari berkata. "Ya, aku sepupu Phi Bright."


[][][]


Diam-diam Metawin masih memupuk ragu di ambang hatinya yang telah kaku, ia ingin memantapkan segala hal yang masih terasa menyakitkan, ingin membumi hanguskan segala kenang yang masih saja berlarian saat ia melihat rekah tawa Bright di hadapannya untuk orang lain.

"Kau tampak sangat bahagia." Cetus Metawin sebal, Bright yang masih menatap ponsel di tangannya masih terkekeh tak menghiraukan ocehan Metawin dan malah bertanya. "Apa kau tidak bahagia bertemu dengan Ibumu?"

Ya, kebohongan Metawin kini telah mencapai babak akhir. Dia telah memutuskan jawaban untuk akhir kisah mereka, Gigie adalah jawabannya, Ibunya di masa depan, Istri Bright Vachirawit kelak jika semua berjalan lancar. Lalu Metawin akan dengan senang hati menghilang.

Tapi, apakah benar dengan senang hati dia akan menghilang?

"Aku bahagia, Kau tinggal menyatakan cintamu dan tugasku akan selesai. Aku akan segera kembali ke masa depan." Metawin itu memang tolol, manusia paling tolol yang dengan senang hati memilih menyakiti dirinya sendiri untuk orang lain.

Namun, ada kilat tajam lain menatap wajah keruh Metawin tanpa banyak berkata. Bright raih tubuh Metawin dalam pelukan, ia usap kepala Metawin dalam hangat yang tak pernah bisa Metawin rasakan dahulu saat keduanya masih berstatus sebagai pasangan. Meluruhkan butir air mata tertahan di pelupuk Metawin yang entah sejak kapan mulai menggenang basah di seluruh wajah.

Ada sesak yang menggunung dalam dadanya, menjelma menjadi isak lalu deru tangis yang tak lagi bisa tertahan.

"Shh, untuk apa kau menangis hm? Apa kau sedih akan berpisah dengan Ayahmu secepat ini?" semua kata-kata yang terucap dari bibir Bright makin membuat sesak dada Metawin, makin menyadarkan betapa Metawin begitu mencintai pemuda ini bahkan hingga detik ini. "Tenanglah Win, berhenti menangis ya."

Bodoh, bagaimana bisa Metawin berhenti menangis jika Bright makin selembut itu memperlakukannya.

Isaknya mulai surut, tangisnya telah reda meski tak seluruhnya. Sekali lagi Metawin coba kumpulkan kewarasan, dia tak mau di hasut lagi oleh hatinya juga keadaan, dia sudah cukup berakhir begitu menyedihkan dengan percaya pada Bright, tidakkah itu sudah cukup hanya di jadikan pelajaran. Jangan kembali di ulang.

"Aku menyayangimu." Bisik Metawin untuk yang terakhir, sebab esok tak ada lagi Metawin yang mencintai Bright dengan begitu tololnya, tak akan ada lagi Metawin si bodoh yang masih saja memersembahkan hatinya untuk dilukai oleh Bright. Tidak akan ada lagi.

Bright merentangkan jarak, menyudahi pelukan untuk mengusap sisa tangis di wajah Metawin yang sembab dan memerah. Senyumnya masih sehangat matahari namun juga begitu menyakitkan bagi Metawin. "Dasar cengeng, kenapa aku punya anak yang cengeng sepertimu hah?" buku jari Bright menghantarkan hangat, menyapu tetes demi tetes tangis Metawin yang masih saja jatuh meski telah berusaha berhenti. "Tenang ya, berhenti menangis Metawin, kita tidak akan pernah berpisah lagi nanti, aku berjanji."

Tidak, bantah Metawin dalam hati. Besok kita akan berpisah untuk selamanya. Metawin akan pergi dan menghilang kemanapun agar tak lagi bertemu denganmu.

"Sudah ya menangisnya, sini peluk lagi."

Sekali lagi Metawin rebahkan kepalanya di bahu Bright, dengan pasrah memeluk erat pemuda itu dalam-dalam. Mempersilahkan hatinya remuk redam dalam perpisahan sepihak yang hanya ia rasakan. "Aku juga menyayangimu, Metawin. jangan bersedih lagi oke."

Satu kecupan singgah di masing-masing kelopak mata Metawin yang memejam. Bright dan seluruh perhatiannya kerap kali membuat Metawin meragu, tapi apa? Metawin tak bisa mundur, dia tak mau membeberkan seluruh kebohongan yang terlanjur ia cipta sedemikian rupa karena takut terluka. Bodohnya meski ia coba untuk tidak terluka ia pun masih begitu kesakitan sekarang.

Lantas, kini Metawin hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk pergi.

Entah besok, atau kapan. Metawin tahu waktu itu akan datang sesegera mungkin, bahkan lebih cepat daripada yang ia perkirakan.


[][][]


Jika kisah mereka di ibaratkan dengan sebuah buku, maka ini adalah halaman terakhir di mana kisah ini hanya akan jadi lelucon paling menyedihkan. Hidup Metawin sudah bagaikan sandiwara, nyata namun penuh delusi. Mati lalu terlempar ke masa lalu sebelum awal takdir konyol ini di mulai, lalu Metawin coba membodohi semua orang termasuk dirinya sendiri, menjauhi orang yang di cintai, membual perihal segala hal.

Pagi ini Metawin telah memantapkan hatinya, meneguhkan pendirian jika memang tak akan ada jalan kembali atas akhir kisah mereka tanpa sakit berkepanjangan jika Metawin masih saja belum bisa melepaskan. Maka sudah seharusnya perpisahan memang jalan terbaik, pilihannya telah benar, Metawin benar, dia memang benar bukan?

"Gigie!" seru Bright menggema, melepaskan genggaman tangannya bersama Metawin yang sedari tadi telah menahan napas. Berlari menuju perempuan baik hati yang telah Metawin pilih dengan sukarela. Ya, setidaknya dia melepaskan Bright bersama orang yang lebih baik. Semalam Bright bercerita panjang lebar tentang mereka, Bright juga Gigie yang telah lama berteman, berpisah karena orang tua Gigie bercerai lalu banyak kejadian luar biasa yang tanpa sadar makin membuat iri dirinya.

Ada sesal terselubung di balik kerut senyum yang selalu Metawin paksakan, mulai detik ini Metawin benar-benar harus melepaskan semua kenang. Tentang Bright, tentang kisah mereka yang hanya berakhir di tengah kesakitan, tentang cintanya yang selalu di paksakan.

Mereka memang bukanlah sepasang, takdir tak pernah menggariskan keduanya berjalan seiringan. Mungkin mereka memang di pertemukan dalam persimpangan, namun sekali lagi bukan untuk saling berdampingan.

Terima kasih, pernah menjadi tempatku pulang.


[][][]


Tapi, tahukah kalian perihal cinta selalu menemukan jalan untuk pulang?

Masih tersisa kisah lain yang semestinya harus di ceritakan, tentang pemuda lain yang sejak awal sengaja menjatuhkan dirinya dalam pusaran kebohongan. Tentang pemuda gila yang mau saja berpura-pura bodoh dan mengiyakan segala hal. Tentang Bright Vachirawit yang tak mengenal kata melepaskan.

"Di mana sepupu gadungan tersayangmu itu hah? Tumben kau tidak membawanya?"

Pertanyaan Gigie membuat Bright buru-buru menoleh kebingungan, Metawin ada bersamanya kok─"Sialan!" maki Bright tatkala mendapati sosok Metawin tiba-tiba saja menghilang, gila ya. Dia hanya menyapa Gigie sebentar tapi pemuda bergigi kelinci itu sudah lari darinya tanpa perasaan.

"Ohooo, aku rasa dia sudah bosan bermain-main dengamu, ahahah." Celoteh Gigie makin membuat urat kemarahan Bright memucak, tidak, tidak bisa seperti ini. "Diamlah, aku pergi!"

Bright tak ingin merasakan kehilangan untuk kali kesekian, mungkin ia mulai segala hal dengan kebohongan namun perasaan itu benar-benar nyata. Semua tawa yang Bright berikan, semua perhatian yang coba Bright ulurkan tanpa Metawin meminta, semua itu nyata adanya, Bright benar-benar sesayang itu pada pemuda asing yang mengaku sebagai anaknya dari masa depan. Metawin, mengingat pertemuan konyol mereka juga alasan tak masuk akal yang coba pemuda itu berikan sungguh membuat Bright ingin tertawa lepas namun ia tahan mati-matian. Bright sendiri tak mengerti, ia tidak tahu bagaimana asal muasal perasaan nyaman yang perlahan bersemai dalam relung hatinya. Yang Bright tahu, dia memang telah menjatuhkan jawaban, dan itu adalah Metawin.

Lalu kini harapannya hanya satu, menemukan Metawin dan menjaga pemuda itu agar tetap di sampingnya.

Langkah cepat Bright kini melambat seiringan dengan di temukannya sosok Metawin yang kini menangis sendirian di bangku taman. Terus terang, Bright juga merasa bersalah telah berbohong tapi bagaimana lagi dia terlanjur nyaman dan tak ingin melepaskan.

"Siapa yang membuatmu menangis?" lantunan pertanyaan Bright di jawab oleh kerjaban tak percaya dari mata berbinar penuh air mata, sialan. Bright benar-benar ingin menghajar orang yang telah membuat Metawin merasa kesakitan tapi sayang itu artinya dia harus memukul dirinya sendiri bukan?

"K-kau─"

"Aku menyayangimu, bukankah sudah kukatakan." Metawin terdiam, Bright mau tak mau pun melanjutkan. "Kau mungkin tak mengingatnya tapi kita pernah bertemu jauh sebelum hari itu."

Bright menggantung ucapannya sejenak untuk mengambil napas. "Kau berbohong, aku tahu. Aku pun membohongimu, maaf. Tapi aku benar-benar menyayangimu, mencintaimu lebih tepatnya."

Hening sejenak, Metawin yang terdiam kini kembali menangis sesenggukan. Semua yang di awali dengan kebohongan tidaklah selalu berakhir dengan menyedihkan.

"Shhh, tenang ya...jangan menangis, Maaf telah berbohong. Jangan menangis lagi oke?" tanpa perlu izin Bright kembali rengkuh tubuh Metawin kedalam pelukannya, mengusap lelehan air mata kesedihan di pipinya untuk kali kesekian. "Kita tidak akan terpisah, aku sudah menjajikan hal itu juga padamu jadi tolong percayakan aku untuk menjagamu. Metawin."

Sepasang netra cantik Metawin kini menatap lurus pada Bright, seolah tengah mencari jawaban yang sudah begitu jelas Bright jabarkan pada semesta tentang di mana hatinya berada. "Aku akan membunuhmu jika kau berbohong padaku lagi." Ucap Metawin mengguyur semua resah yang menggantung di pundak Bright.

"Ya, bunuh aku sesuka hatimu." Bright menjawab mantap, tertawa bahagia bersama Metawin dalam pelukan. Pada akhirnya cinta selalu punya jalan untuk pulang, untuk merebahkan semua keluh juga sesal yang tak lagi bisa di tangguhkan sendirian, menjawab semua kebimbangan tentang masa depan, dan sekali lagi Metawin pun akan berusaha mengubah takdir mereka. Tapi kali ini dirinya tidak sendirian, Bright akan ada bersamanya dengan sebuah kepastian.

"Sudah cukup menangisnya?" Tanya Bright beberapa saat setelah tangis Metawin reda. "Ayo pulang."

"Ya, aku akan pulang. Aku sudah tiga hari tidak pulang." Metawin mencebik lucu, Bright nyaris hilang akal ia ingin mencium bibir itu dan ia realisasikan. Satu kecupan manis, di balas Metawin dengan satu pukulan di bahu Bright. "Kau gila!"

"Kau berani memukul juga mengolok Ayahmu sekarang?" Tawa jahil Bright merekah begitu indah, membawa serta rasa kesal Metawin hingga ia berdiri lantas berkata, "AKU PULANG! DASAR BAJINGAN SIALAN!"

Bright mengejar Metawin, meraih tangannya untuk di genggam sepanjang jalan. Menyatukan dua hati memang butuh perjuangan, tapi percayakan saja jika apapun yang kau usahakan dengan segenap jiwa raga pasti akan berakhir dengan indah.

"Metawin, apa kau masih kesal?"

"Tentu saja."

"Benar kau tidak mau pulang?"

"Aku ini mau pulang, idiot."

"Tapi, bukan ke sini jalan ke rumahku."

"Aku juga punya rumah sendiri, aku punya ibu yang sedang menungguku pulang dasar Bright tolol!"

"Lalu bagaimana dengan aku? Ayahmu?"

"Jangan di mulai lagi."

"Kau mau permen?"

Metawin hanya melirik sekilas, Bright nyatanya sudah menyiapkan sebuah permen di tangan, membuka mulutnya sambil bersuara A agar Metawin segera membuka mulut. "Pintar." Pujinya saat Metawin dengan patuh membuka mulut dan menerima suapan Bright. Sialan, Metawin merasa murahan sekali bisa di bujuk dengan sebutir permen.

"Ayo ku antar kau pulang. Metawin kekasihku yang paling kusayang."


[][][]


Note : Happy Valentine ya, semoga suka, maaf belum bisa lanjut cerita yang lain, ini saya masih berusaha kok, jadi ayoo semangat! Salam Sayang! Lian

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top