Sebelas
"Wow, yang baru pulang dari bulan madu kelihatan glowing banget nih," goda Willa saat masuk di ruanganku. Hari ini adalah hari pertama aku masuk kantor setelah libur bulan madu. "Kok nggak gosong sih? Setelah dari Eropa, langsung ke Maldives dulu sebelum pulang, kan?" Willa mengedipkan sebelah mata. "Ya, emang susah gosongnya sih kalau kegiatannya indoor aja. Nggak mungkin ngadon dedek bayi lucunya di outdoor, kan? Kalau sampai kelihatan dan direkam orang, bisa masuk Pornhub tuh."
Aku hanya meringis mendengar ledekannya. Apa yang dikatakan Willa tidak salah. Aku dan Daran memang lebih sering tinggal di hotel karena beberapa kota yang kami kunjungi di Eropa mengalami badai salju. Risiko ketika mengunjungi Eropa di pertengahan musim dingin.
Cuaca di Maldives sangat bersahabat, tapi karena kulitku gampang terbakar matahari meskipun sudah pakai sunblock, di siang hari, aku lebih memilih tinggal di dalam ruangan daripada ikut berbagai aktivitas outdoor yang ditawarkan resor. Aku berada di luar resor untuk menikmati pemandangan di pagi dan sore hari saja.
Daran beberapa kali ikut snorkeling bersama turis-turis lain yang menginap di resor. Tidak seperti aku, Daran menikmati ditimpa air laut dan terik matahari. Kulitnya tidak sesensitif aku, dan dia tampaknya tidak terlalu peduli dengan perubahan warna kulitnya. Kebanyakan lelaki memang seperti itu. Mereka memperhatikan penampilan, tapi tidak terobsesi dengan glass skin seperti kaum perempuan.
"Oleh-oleh." Aku mengulurkan kantung kertas tebal yang kuambil dari laci meja kepada Willa.
Willa tersenyum lebar melihat logo yang tertera di kantung itu. "Isinya sama dengan logo di paper bag, kan? Soalnya gue udah sering di-prank sama mama gue yang naruh opak di kaleng biskuit. Rasanya kayak dikasih harapan palsu. Sakit."
Aku tertawa melihat ekspresi Willa yang lebay. "Gue hanya sempat beli itu aja. Cuaca di Eropa sedang nggak bersahabat. Musim dinginnya ekstrem banget, bikin malas keluar. Harusnya gue ke Puncak aja."
Willa mencibir. "Ya kali, sekelas elo berbulan madu di Puncak aja. Kalau ngomong tuh dipikir, buk. Nggak usah cosplay jadi orang susah, jatuhnya malah bikin sebel yang beneran susah. Walaupun inti dari bulan madu emang menghabiskan waktu di kamar, tapi lokasi kamarnya menentukan gengsi. Kamar hotel di Venesia bedalah sama kamar di Puncak." Dia berdeham jail. "Jadi, gimana performa suami lo? Beneran sebagus tampangnya?"
Aku memutar bola mata mendengar pertanyaan usil itu. "No comment."
"Jahat banget. Padahal gue nggak mengharap jawaban panjang yang detail. Yes or no aja udah cukup. Tapi lihat aura lo yang berkilau, gue udah tahu jawabannya sih."
Aku dipaksa belajar banyak hal dalam pernikahanku yang masih seumur kecambah. Aku belajar untuk mengesampingkan asumsi karena dugaan-dugaan liar hanya akan merusak pernikahanku. Aku tidak seharusnya mencurigai Daran berkhianat hanya karena sebuah panggilan telepon yang tidak kuketahui konteksnya.
Tidak mudah menghilangkan prasangka yang telanjur menempel di benakku, tapi aku berusaha. Aku menjejalkan berbagai pikiran positif untuk menepis kecurigaanku pada Daran. Pernikahan adalah hal besar yang tidak bisa dijadikan mainan. Orang secerdas Daran pasti paham akan hal itu. Sama seperti aku, dia pasti sudah memikirkan masak-masak sebelum mengambil keputusan untuk menikah
Kesanku pada Daran yang selama ini positif tidak seharusnya berubah berdasarkan asumsi semata. Aku tidak bisa menuduh seseorang bersalah tanpa bukti yang valid, kan?
Mungkin aku hanya membuat pembenaran untuk kembali memercayai Daran, tapi aku tidak melihat jalan keluar lain. Aku ingin menyelamatkan pernikahanku. Aku tidak mau menjadi orang pertama dalam keluarga besarku yang mengajukan gugatan cerai hanya beberapa hari setelah menikah. Kalau itu sampai terjadi, bukan hanya aku yang menjadi bahan gunjingan, tapi juga orangtuaku. Jadi, aku harus bertahan dan membangun kembali kepercayaanku pada Daran. Tentu saja kami akan berpisah kalau dia memang terbukti berkhianat, meskipun aku berharap hal itu tidak akan terjadi.
"Kenapa lo nggak pajang foto pernikahan lo di meja kerja?" pertanyaan Willa menarikku dari monolog di benakku. "Happy couple kan biasanya melakukan hal-hal menggemaskan kayak gitu. Untuk bukti kalau udah taken. Sekalian pamer punya suami ganteng."
"Gue belum sempat nyari frame yang cocok." Foto dan video pernikahanku yang dititipkan di rumah orangtuaku oleh WO sudah kuambil saat aku dan Daran berkunjung ke sana setelah pulang dari bulan madu dua hari lalu. Kami hanya berkunjung karena sudah tinggal di rumah Daran.
"Pasti sulit milih foto untuk dipajang karena gue yakin semua foto yang diambil sama wedding photographer lo bagus semua."
Aku tersenyum tipis mendengar kata-kata Willa. Semua foto yang diambil pada hari pernikahanku memang bagus. Mama memastikan hal itu dengan memakai jasa fotografer kondang yang sebenarnya tidak menerima pekerjaan tidak menantang untuk menjadi juru potret kawinan karena tantangannya kurang. Tapi Mama berhasil membujuknya dengan barter biaya yang besar.
Semua hal dalam pernikahanku dipilih secara saksama dari opsi-opsi terbaik, dan semuanya memang berjalan sempurna. Acara yang sakral sekaligus megah, wajah semringah kedua orangtuaku, dan mempelai laki-laki yang tampan sekaligus perkasa karena berhasil membuatku merasakan surga dunia hanya dalam sekali percobaan.
Aku menggeleng, mencoba memblokir pikiran yang hendak masuk ke area terlarang yang sudah bertekad ingin kulupakan. Tapi karena aku perempuan yang penuh dengan asumsi, sulit untuk melakukannya. Peristiwa Daran menerima telepon itu menempel terlalu kuat dalam benakku. Aku pasti akan melupakannya. Suatu saat nanti, tapi tidak dalam waktu dekat.
"Mau ngopi?" Aku sengaja mengalihkan percakapan.
Willa menggeleng. "Gue punya dua klien prioritas, jadi udah nggak sempat ngopi. Sekarang kita beneran hanya bisa ngopi aja karena kita udah nggak bisa makan malam bareng lagi. Lo pasti udah harus makan malam bareng suami lo."
Suami. Aku mengulang kata itu dalam hati. Aku memang sudah punya suami, jadi tidak bisa membuat acara dadakan bersama Willa seperti sebelum aku menikah. Aku sudah terikat pada laki-laki yang bukan hanya berbagi tempat tinggal denganku, tapi juga berbagi ranjang. Aku bukan lagi perempuan bebas yang punya privasi penuh atas kehidupan pribadiku.
"Kita bisa makan siang bareng saat weekend. Lo kan jaga pagi di sini hari Sabtu dan Minggu."
"Memangnya lo mau masuk kerja saat weekend?" Willa memelotot menatapku. "Weekend kan quality time untuk lo sama suami ganteng lo itu. Apalagi masih dalam suasana bulan madu gini. Enakan juga seharian di kamar daripada masuk klinik."
Aku mencibir pada Willa. "Otak lo itu harus dicuci. Aktivitas orang yang udah nikah itu nggak hanya berputar di atas ranjang aja."
Willa batas mencibir. "Otak lo tuh yang kotor. Gue tadi bilang di kamar, bukan di atas ranjang. Di dalam kamar kan banyak aktivitas nonseksual yang bisa lo kerjain. Lo bisa membaca, nonton film, atau bikin konten edukasi untuk dipajang di medsos lo biar follower lo makin melek sama kesehatan kulit supaya nggak lagi pakai krim abal-abal berisi merkuri dan steroid yang menjamur di marketplace." Willa tersenyum genit. "Ya, walaupun gue sih yakin kalau pasangan yang baru aja nikah itu lebih suka aktivitas di atas ranjang daripada sekadar baca, nonton, atau bikin konten. Jawab dengan jujur, buk, apa yang gue bilang itu betul, kan?"
Aku hanya bisa berdecak dan memutar bola mata.
**
Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top