Satu

KEBANYAKAN orang berpikir jika menjadi anak tunggal dari seorang pengusaha sukses yang namanya masuk dalam daftar Forbes sebagai salah satu dari 100 orang terkaya di Asia membuatmu bisa melakukan apa pun yang kamu inginkan.

Mereka tidak salah kalau mengaitkan keinginan itu pada hal yang berhubungan dengan materi karena benda biasanya bisa ditukar pakai uang. Sayangnya, tidak semua hal yang kita butuhkan selalu bisa dibarter dengan uang. Misalnya, cinta.

Sampai beberapa tahun lalu, aku tidak terlalu ambil pusing tentang cinta dan pasangan hidup karena fokus pada goal-ku untuk menjadi dokter. Demi mencapai cita-cita itu, di masa remaja aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar daripada bersosialisasi. Aku belajar lebih keras daripada anak sepantaranku. Aku bahkan masuk kelas akselerasi untuk memotong masa SMA-ku yang memang tidak terlalu menyenangkan. Setelah berhasil masuk fakultas kedokteran, aku harus belajar lebih giat lagi. Masa koas, magang, dan pendidikan spesialis adalah masa paling sibuk karena aku sudah berhubungan dengan pasien. Duniaku boleh dibilang hanya berputar di rumah sakit dan rumah saja. Rumah mungkin terlalu berlebihan untuk disebut karena ruangan yang paling sering kusambangi hanyalah kamar tidurku dan ruang makan.

Masalah cinta dan pasangan hidup baru mulai mengusikku sejak dua tahun lalu setelah berada di tahap-tahap akhir pendidikan spesialis dan mulai mempersiapkan klinik kecantikan yang akan menjadi bisnisku. Sejak awal memutuskan hendak menjadi dokter, aku memang sudah bercita-cita menjadi dokter kulit yang memiliki klinik kecantikan sendiri.

Masalah cinta dan pasangan hidup mengusikku bukan karena aku akhirnya jatuh cinta pada seseorang, tapi karena pertanyaan mamaku saat menyambangi kamarku. "Kamu beneran belum punya pacar?"

Pertanyaan itu akan aku anggap angin lalu kalau diajukan di meja makan ketika kami kebetulan bertemu untuk sarapan. Tapi karena Mama tampaknya sengaja mencari waktu untuk menanyakan hal itu dengan raut dan nada penasaran serta pengharapan yang kental, aku tidak bisa memasang jurus tidak peduli seperti biasa.

"Masa sih nggak ada yang kamu taksir dan naksir kamu di rumah sakit? Teman-teman dokter kamu kan banyak," desak Mama saat aku hanya menatapnya dengan mata melebar.

"Nggak ada, Ma. Beneran." Teman dokterku memang banyak. Tapi kebanyakan dari mereka sudah menikah saat menjalani program pendidikan spesialis. Masa sih aku membuka peluang untuk main mata sama suami orang? Menjadi pelakor dalam hubungan asmara pertamaku bukanlah jenis ikatan yang kuinginkan. Kebanyakan lelaki lajang yang kutemui di rumah sakit adalah koas atau mahasiswa jurusan kesehatan lain yang sedang praktik kerja. Masalahnya, aku tidak pernah tertarik pada berondong. Tentu saja ada teman residen yang statusnya sama denganku, tapi untuk menjalin hubungan tidak hanya berdasarkan persamaan status jomlo itu saja, kan? Chemistry-nya harus ada. Itu yang belum aku temukan. "Rumah sakit itu tempat kerja, bukan biro jodoh, Ma."

"Biasanya kalau sering ketemu orang yang sama kan bisa saling suka."

Biasanya memang seperti itu. Meskipun rumah sakit adalah tempat yang sangat serius untuk bekerja karena berhubungan dengan penyakit dan nyawa pasien, tapi ada banyak kisah cinta yang terjalin di sana. Semua profesi kesehatan yang bekerja di sana tetaplah manusia yang punya perasaan. Ada berbagai kisah cinta yang ada di sana. Antarsesama profesi atau lintasprofesi. Cinta antara dua orang sampai cinta bersegi yang terlarang karena melibatkan lebih dari dua hati. Aku hanya tidak termasuk dalam golongan yang terlibat dalam kedua jenis cinta itu.

"Kenapa Mama tiba-tiba nanyain soal pacar sih?" Aku balik bertanya.

Mama mengangkat bahu. "Memang sudah saatnya, kan? Viana dan Lorna udah punya anak." Mama menyebut dua orang sepupuku yang sepantaran denganku. Keduanya sepakat menikah saat berumur dua puluh empat tahun, dan sekarang sibuk mengurus anak mereka. "Iya, Mama tahu kalau pernikahan itu bukan lomba, dan Mama sebenarnya nggak mau kamu terbebani dengan harapan Mama untuk melihat kamu cepet nikah. Tapi wajar kan kalau Mama tanya?"

Memang wajar, jadi aku memaklumi harapan dan rasa penasaran Mama. Aku tidak tersinggung ketika Mama secara berkala kembali menanyakan apakah aku sudah punya pacar. Meskipun tidak ingin mengecewakannya, aku tetap harus memberi jawaban yang sama. Aku masih setia pada status jomlo bahagia.

Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis, aku fokus pada klinik yang aku dirikan. Membangun branding di tengah menjamurnya klinik kecantikan besar di Jakarta tidaklah mudah. Untung saja aku memiliki Papa yang mendukungku dengan modal kuat sehingga bisa membeli mesin-mesin laser teknologi terbaru dan menggunakan jasa artis dan influencer terkenal sebagai media promosi. Tentu saja kolega Mama masuk dalam target pasarku yang membidik kalangan tertentu sesuai dengan peralatan dan layanan yang klinikku sediakan. Semua orang yang peduli penampilan tahu jika perawatan wajah dan tubuh tidak murah. Orang yang berani melangkahkan kaki masuk ke klinik kecantikan pasti sudah siap dengan bujet. Aku tidak mengatakan ini untuk bermaksud sombong, tapi klinik kecantikan yang menyediakan teknologi mutakhir dan sumber daya manusia mumpuni bukan untuk kaum mendang mending.

Menjadi dokter kulit sekaligus pemilik klinik membuatku sangat sibuk karena aku harus selalu memperbarui dan menambah pengetahuan tentang teknologi kecantikan terbaru. Aku harus terbang ke Korea, Eropa, Jepang, dan berbagai tempat untuk mengikuti simposium dan pameran peralatan perawatan wajah dan tubuh. Aku harus selalu meng-updateilmu tentang bahan aktif skincare dan mesin laser termutakhir untuk meyakinkan bahwa Shaylin Clinic milikku senantiasa menepati mottonya menjadi One Stop The Best Beauty Clinic and Skincare. Selain perawatan wajah dan tubuh, klinikku juga memiliki bagian Dental Care dan Slimming Treatment.

Usaha dan kerja kerasku tidak sia-sia karena klinikku sudah mendapat tempat sesuai yang aku targetkan pada tahun kedua. Kami punya banyak pelanggan tetap yang tidak ragu mengeluarkan uang puluhan juta untuk sekali perawatan. Para pelanggan yang menjadi target pasarku yang eksklusif tahu jika cantik dan ganteng itu mahal. Glass skintidak bisa didapat hanya dengan mengandalkan sabun pencuci wajah dan suncreen semata. Perlu botox, filler, threadlift, skin booster, dan aneka laser untuk mendapatkan kulit wajah sebening porselin.

Hari ini aku baru pulang dari dari LA untuk mengikuti simposium bersama dua orang dokter klinik. Update ilmu bukan monopoliku, jadi biasanya aku menggilir dokter-dokter yang bekerja di klinik untuk mengikuti pertemuan yang relevan dengan kebutuhan klinik supaya pengetahuan yang mereka dapat dari sana bisa mereka bagi kembali pada teman sejawat lain.

Perjalanan yang panjang membuatku langsung masuk kamar tidur setelah sampai di rumah pada pukul sembilan malam. Aku baru terjaga ketika mendengar pintu kamarku diketuk. Saat melihat jam di nakas, aku menyadari kalau aku sudah tidur hampir 10 jam. Pantas saja pembalut yang aku pakai sebelum tidur tadi malam sudah terasa penuh dan tak nyaman.

Sosok Mbak Diah muncul dari balik pintu setelah aku menyuruhnya masuk. "Maaf mengganggu, tapi Mbak Shaylin ditunggu Bapak dan Ibu di bawah," katanya.

Mendengar kata "Bapak", aku langsung bangkit dari posisi telentang. Biasanya yang memanggilku untuk turun makan saat aku ada di rumah adalah Mama. Papa sama sibuknya denganku, jadi kami jarang bertemu di luar waktu sarapan.

Klinik adalah kantor yang beroperasi setiap hari. Kami tidak tutup di akhir pekan seperti kantor-kantor lain, karena waktu itulah biasanya panen pelanggan. Tentu saja aku tidak melanggar HAM dengan mempekerjakan karyawan tanpa libur karena mereka tetap mendapatkan hak liburnya, tetapi tidak di waktu bersamaan di akhir pekan supaya klinik tetap beroperasi.

Berbeda dengan dokter dan karyawan lain di klinik, jam kerjaku sebagai pemilik memang fleksibel, tapi karena aku adalah pemilik yang sangat fokus, biasanya akulah orang yang paling banyak menghabiskan waktu di klinik, meskipun semakin selektif menangani klien. Biasanya aku memegang klien VIP dari kalangan selebriti dan sosialita yang memang khusus meminta aku yang langsung menangani mereka. Orang-orang seperti mereka biasanya tidak mempermasalahkan biaya tambahan yang akan dikenakan untuk klien VIP yang meminta ditangani dokter tertentu pilihan mereka.

"Papa sudah pulang main golf?" Aku menggulung rambut dan menjepitnya di belakang kepala. Di akhir pekan seperti ini biasanya Papa main golf bersama om-omku atau koleganya.

"Bapak nggak pergi main golf, Mbak. Katanya mau bicara sama Mbak Shaylin."

Berarti apa yang ingin dibicarakan Papa denganku sangat penting sampai dia rela meninggalkan kegiatan rutin mingguannya.

"Saya cuci muka dulu sebelum turun." Aku buru-buru ke kamar mandi untuk mengganti pembalut, menggosok gigi dan mencuci muka agar kantukku yang masih tersisa segera hilang .

Papa dan Mama sedang duduk mengobrol santai di ruang tengah saat aku turun.

"Duduk di situ!" Papa menunjuk sofa tunggal di depannya saat aku hendak mengambil tempat di samping Mama supaya bersisian dengan mereka.

Aku mengernyit. Apa yang hendak dibicarakan Papa sampai kami harus melakukannya sambil bertatap muka? Terakhir kali aku melakukan percakapan serius dengan Papa adalah ketika kami berbeda pendapat tentang jurusan yang akan aku ambil saat kuliah. Papa memintaku mempertimbangkan kembali niatku menjadi dokter dan menganjurkan aku kuliah manajemen bisnis sebagai persiapan untuk mengambil alih usahanya setelah dia pensiun kelak. Kata Papa waktu itu, "Toh tujuan utama kamu menjadi dokter nggak semulia orang-orang lain yang ingin membantu pasien dengan alasan kemanusiaan. Dokter kulit yang punya klinik kecantikan hanya berhubungan sama orang-orang berduit, bukan pasien yang punya penyakit kronis dan kurang mampu. Lebih baik kecerdasan kamu digunakan untuk mengelola bisnis keluarga."

Namun Papa akhirnya mengalah dan tidak memaksakan keinginannya untuk menjadikanku sebagai penerus tongkat estafet bisnis yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, dan sistem pemasangan kabel bawah laut untuk konektivitas internet antarpulau.

Bisnis Papa terlalu besar untukku. Aku sudah puas dengan klinikku. Satu klinik saja sudah membuatku sibuk. Entah bagaimana aku bisa mengendalikan beberapa anak perusahaan sekaligus. Lagi pula, sistem patriarki dalam dunia bisnis masih sangat kental. Aku tahu jika para pemegang saham utama dalam perusahan Papa yang sudah go public akan lebih suka jika yang mengendalikan usaha adalah seorang laki-laki. Memang menyedihkan dan menyebalkan, tapi itulah realita bisnis di tanah air. Gender masih dianggap penting sebagai pertimbangan untuk menjadi seorang pemimpin.

"Papa mau ngomongin apa sih?" tanyaku. "Kelihatannya serius banget."

"Ngomongin masa depanmu," jawab Papa sambil memperbaiki posisi duduknya. "Tentu saja harus serius. Kamu anak Papa satu-satunya."

"Masa depanku baik-baik aja," sambutku cepat. "Klinikku pasti udah pasti balik modal tahun depan. Aku udah bisa balikin semua uang yang Papa investasiin di klinik. Iya, Pa, usahaku beneran sebagus itu progresnya." Aku berusaha meyakinkan Papa.

"Papa nggak minta uang investasi itu kamu balikin," gerutu Papa. "Insvestasi itu adalah hadiah Papa untuk memulai usaha kamu."

"Nah, kan! Nggak ada yang harus Papa khawatirkan tentang masa depanku. Walaupun nanti, amit-amit ya, klinikku bangkrut pun, aku masih bisa hidup enak beberapa turunan dengan saham yang Papa wariskan untukku."

"Nah, itu yang mau Papa bicarakan sama kamu!" Papa mencondongkan tubuh ke arahku. Seri di wajahnya semakin tampak saat dia tersenyum lebar. "Keturunan. Gimana kamu mau punya keturunan kalau kamu nggak punya keinginan untuk menikah?"

"Aku bukannya nggak punya keinginan untuk nikah, Pa," sergahku. "Tentu saja aku mau nikah kalau sudah ketemu orang yang cocok. Sayangnya aku belum ketemu orang yang bisa bikin aku punya keinginan untuk menikah dan menghabiskan sisa hidup sama dia."

"Sebenarnya, kecocokan itu bisa diusahakan," ujar Papa cepat. "Yang terpenting dalam hubungan itu adalah niat dan keseriusan untuk berkomitmen."

Aku menyipitkan mata, menatap Papa curiga. "Jangan bilang kalau Papa mau menjodohkan aku sama salah seorang anak sahabat atau kolega Papa!" Usiaku memang sudah di penghujung dua puluhan, tapi aku pikir itu belum mengkhawatirkan. Sistem reproduksiku masih berada dalam periode emas. Toh aku tidak berniat punya anak sejumlah tim sepak bola. Satu atau dua orang anak sudah cukup. Aku masih punya cukup banyak waktu sebelum indung telurku mengering.

"Papa senang punya anak secerdas kamu karena Papa nggak perlu berbasa basi terlalu banyak." Papa mengangguk mantap. "Ini bukan murni menjodohkan. Papa punya beberapa pilihan untuk kamu temui dan coba kenal. Mungkin saja salah satu dari mereka ada yang klik sama kamu."

"Hohoho... tidak!" tolakku tegas. Aku tinggal di Indonesia dengan orangtua paling demokratis yang aku kenal. Aku bukan chaebol Korea yang harus datang ke satu demi satu kencan buta yang diatur orangtua untuk kepentingan bisnis. Di drama Korea pun, kebanyakan perjodohan itu berakhir berantakan karena pernikahan tanpa cinta itu sering kali berujung perselingkuhan.

"Jangan menolak dulu," bujuk Papa. "Kamu kan belum tahu siapa yang mau kamu temui. Papa nggak akan mengajukan sembarang laki-laki untuk anak kesayangan Papa. Semua latar belakang mereka sudah Papa selidiki sampai ke akar-akarnya. Sekali lagi, ini bukan murni perjodohan. Kamu yang akan menentukan mau menikah dengan salah satu dari mereka atau tidak. Kalau kamu nggak mau, Papa nggak akan memaksa."

"Sebenarnya calon yang Papa mau ajuin ke aku itu berapa orang sih?" tanyaku curiga. Dari tadi Papa menyebut kata "beberapa" dan "mereka".

"Papa punya top 3 yang sudah Papa saring ketat dari beberapa kandidat yang sangat menjanjikan." Semangat Papa kembali berkobar melihat tanggapanku. Dia pasti menduga kalau penolakanku belum final dan masih ada ruang untuk negoisasi. Pspa menoleh pada Mama. "Kasih lihat fotonya sama Shaylin, Ma."

Dengan kecepatan cahaya, Mama menebarkan tiga buah foto berukuran 6R yang entah diambil dari mana karena tiba-tiba saja tangannya yang tadi memegang bantalan kursi sudah berisi foto-foto itu. Persiapan Papa dan Mama untuk membuatku terkesan pada nominator calon jodohku tampak menakjubkan.

Aku mengamati tiga foto yang berjajar di atas meja di depanku dengan saksama. Aku setuju kalau Papa sudah menyeleksi ketat calon yang mereka ajukan pada kategori ketampanan karena semua laki-laki itu kelihatan menawan dalam balutan jas yang mereka kenakan. Dua orang berpose santai sambil tersenyum. Salah satu di antaranya tampak manis dengan kedua lesung pipinya. Aku suka laki-laki berlesung pipi karena kesannya menggemaskan. Foto ketiga menunjukkan laki-laki dengan ekspresi serius, Bukan tipeku. Aku sudah cukup serius, jadi aku mengharapkan punya pasangan easy going yang humoris. Kedua foto pertama tampaknya mengakomodir harapanku, terutama si lesung pipi.

Tanganku yang hendak menyingkirkan foto ketiga itu terhenti di udara ketika menyadari jika wajahnya tampak familier. Aku lantas meraih foto itu dan mendekatkannya ke wajahku untuk mengamatinya lebh saksama. Di mana aku pernah melihat laki-laki ini yah?

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top