Enam
PAPA dan Pak Mulya hanya tinggal sampai makanan utama mereka habis. Setelah mengelap bibir dengan serbet, Papa dengan santai mengatakan, "Kalian lanjut ngobrol berdua aja karena Papa ada meeting di kantor."
Aku merasa Papa telah menunjukkan keberpihakan pada salah seorang kontestan calon penerus bisnisnya karena membuatku bertemu Daran selama dua hari berturut-turut. Bukannya aku keberatan sih, toh aku belum menentukan apakah ingin bertemu Delano dan Eldric. Aku hanya berpikir bahwa Papa akan berlaku adil pada tiga kandidat yang dipilihnya sendiri. Atau mungkin Papa menangkap keenggananku untuk bertemu Delano dan Eldric dari percakapan kami tadi pagi sehingga segera menindaklanjuti pertemuan awal dengan Daran sebelum aku kehilangan minat. Entahlah, aku hanya bisa menduga-duga karena tidak tahu persis apa yang Papa pikirkan.
"Ayahmu pasti nggak bilang kalau saya ikut makan siang bersama kalian," kata Daran setelah pramusaji yang mengantarkan makanan penutup kami pergi.
"Memang tidak," jawabku terus terang. Aku rasa Papa tidak merencanakan pertemuan siang ini karena dia baru mengabariku hanya dua jam sebelum makan siang. Papa biasanya terencana dan selalu berpegang pada jadwal. Ide dadakan Papa pasti baru terpikir saat dia bertemu Daran saat membahas akuisisi perusahaan paman Daran yang dikelola Daran. Papa sempat menyebut alasan pertemuannya dengan Daran saat aku baru datang tadi.
Daran berdeham. "Kemarin, dalam perjalanan pulang setelah pertemuan kita, saya menyadari kalau saya terkesan agresif karena berusaha membuatmu mengambil keputusan secepat mungkin. Saya pasti sudah bikin kamu ilfil."
"Bukan agresif, tapi lebih ke ambisius sih," ralatku. "Semua pengusaha sukses memang seperti itu. Bersikap pasif nggak akan bagus untuk kemajuan usaha."
Daran tersenyum lega. "Syukurlah kamu melihatnya seperti itu. Setelah pertemuan kemarin, saya pikir kamu nggak akan mau bertemu saya lagi dan melanjutkan rencana awal kamu untuk berkenalan dengan calon lain yang diajukan ayahmu."
"Saya belum memutuskan apa pun," kataku jujur. Aku membalas tatapan Daran. Dulu, saat dia menolongku berdiri di lapangan voli, aku tidak sempat mengamati wajahnya dengan saksama. Aku terlalu panik dan malu karena menjadi bahan tertawaan banyak orang. Setelahnya, aku juga hanya melihat Daran dari jauh. Aku tahu wajahnya dan hafal gayanya saat berjalan, tapi tidak pernah melihat detail wajahnya dari dekat seperti kemarin dan hari ini. Foto yang diperlihatkan Mama telah dipengaruhi oleh efek cahaya sehingga sedikit berbeda dengan melihat Daran secara langsung.
Sekarang aku bisa melihat jika alisnya tebal, tetapi tumbuh rapi. Bulu matanya yang lentik pasti membuat perempuan yang harus melakukan tanam bulu mata dan bersahabat dengan maskara merasa iri. Saat melihat laki-laki dengan bulu mata seperti Daran, aku selalu berpikir jika Tuhan sengaja memberikan kelebihan pada orang yang tidak akan menghargainya karena laki-laki normal tidak terobsesi dengan bulu mata layaknya kami, perempuan yang peduli pada detail penampilan.
Karena aku seorang dokter kulit, maka kulit wajah Daran masuk dalam penilaianku berikutnya. Tone kulitnya cerah, tapi tidak putih seperti warna kulit khas oriental. Kulitnya tampak sehat. Dia pasti termasuk orang yang merawat diri dengan skincare. Kulit sebagus itu kalau tidak didapatkan melalui perawatan di klinik estetika, Daran pasti tidak pernah punya masalah jerawat. Jenis kulit yang membuatku cemburu setengah mati. Di dahi Daran ada bekas luka yang tidak tampak dari jauh, tapi bisa kulihat jelas dengan posisi berhadapan seperti sekarang. Anehnya, bekas luka itu tidak merusak penampilannya, tetapi malah memberi kesan maskulin.
Setelah beberapa saat mengamati Daran, aku mengalihkan pandangan pada cangkir teh di depanku. Aku tidak mau Daran menangkap kesan bahwa aku kagum pada kulit wajahnya karena dia pasti menganggap aku terpesona pada ketampanannya. Ketika kita berlama-lama menatap seseorang, orang itu pasti berpikir kita mengagumi diri dan ketampanannya secara utuh, bukan sekadar kulit wajahnya. Hanya dokter kulit yang pernah punya masalah jerawat parah yang punya pikiran seperti aku.
"Saya boleh tanya sesuatu?" Aku memutuskan mengajukan pertanyaan yang seharusnya sudah kukeluarkan sejak kemarin.
Daran mengangguk. "Tentu saja kamu boleh bertanya apa pun. Itu tujuan kita bertemu, supaya kita bisa saling mengenal."
"Saat kamu memutuskan menerima tawaran papa saya untuk bertemu saya, apakah kamu memang sedang nggak punya pacar, atau kamu sudah punya pacar yang akan kamu putuskan kalau saya memilih kamu sebagai calon suami?" Aku tahu kalau aku mungkin tidak akan mendapat jawaban jujur, karena aku toh tidak akan tahu seandainya Daran berbohong, Namun, aku ingin tetap menanyakannya.
Daran tidak terlihat kaget mendengar pertanyaanku. Dia tampaknya sudah mengantisipasi hal itu. "Saya nggak punya pacar," jawabnya tanpa ragu. "Saya masih fokus kerja. Asmara belum menjadi prioritas saya. Atau mungkin saya memang belum bertemu perempuan yang membuat saya mau membagi waktu antara pekerjaan dan orang itu."
"Seandainya, ini seandainya lho ya," aku menekankan kata 'seandainya' pada Daran. "Seandainya kita menikah, saya merasa kamu akan jauh lebih fokus bekerja daripada sekarang karena harus mengurus grup perusahaan yang jauh lebih besar daripada yang kamu kelola saat ini. Saya pasti nggak akan jadi prioritas kamu, padahal tujuan dari pertemuan yang disponsori Papa ini adalah untuk mencari penerus bisnisnya sekaligus suami yang bisa membahagiakan saya. Menurut saya, nggak ada perempuan yang akan bahagia kalau punya suami gila kerja yang nggak akan punya banyak waktu untuk istrinya."
"Saya paham konsep pernikahan," ujar Daran. "Saya juga dibesarkan oleh orangtua yang saling mencintai, jadi tahu bagaimana harus memperlakukan istri saya. Bekerja keras karena belum punya pasangan dengan menyeimbangkan dunia kerja dan rumah tangga setelah menikah tentu saja berbeda. Saya rasa kita nggak akan punya masalah tentang waktu bersama karena kita sama-sama sibuk di siang hari. Kita bisa bertemu malam hari dan menghabiskan waktu saat weekend bersama. Kalau kamu khawatir tentang cinta dan nggak yakin kita bisa menumbuhkan perasaan itu, kita bisa saling mengenal dulu sebelum kamu mengambil keputusan untuk kelanjutan hubungan kita. Pernikahan memang hal besar yang nggak bisa diputuskan tergesa-gesa. Tapi saya yakin kok kalau saya bisa memenuhi ekspektasi kamu tentang pasangan hidup."
Sebelum Papa dan Mama memintaku bertemu dengan calon yang mereka pilihkan untuk kukenal, aku tidak punya ekspektasi yang mendetail tentang pasanganku karena belum memikirkan pernikahan. Seperti perempuan lain, tentu saja aku ingin menikah dengan laki-laki mapan. Walaupun aku punya banyak uang, tapi aku tidak mau punya suami yang menumpang hidup padaku. Aku tidak perlu laki-laki yang kekayaannya setara dengan Papa. Aku hanya perlu yakin kalau dia adalah pekerja keras, bukan mapan karena dukungan finansial dari orangtuanya. Laki-laki yang hanya ongkang-ongkang kaki dan bermalas-malasan karena punya warisan segunung tidak menarik perhatianku. Aku yang bisa hidup enak dari uang Papa saja sudah memilih bekerja, masa iya aku akan menikah dengan laki-laki yang tidak tertarik untuk bekerja, tetapi punya hobi menghambur-hamburkan uang?
"Bagaimana kalau saya yang nggak memenuhi ekspektasi kamu sebagai istri?" Aku mencoba memancing keraguan Daran akan kapasitasku sebagai istri. Aku yakin Daran sudah pernah punya hubungan asmara sebelumnya. Kemungkinan besar lebih dari satu hubungan. Jadi tidak seperti aku yang masih mentah, dia pasti sudah tahu apa yang diinginkannya dari seorang pasangan. Belajar dari pengalaman sendiri jauh lebih baik daripada sekadar membaca teori tentang berbagai hal yang bisa membuat suatu hubungan berhasil atau malah gagal.
"Saya nggak akan bersedia bertemu kamu kalau merasa kamu nggak akan memenuhi ekspektasi saya. Saya selalu kagum pada perempuan yang mandiri, tekun, dan fokus pada apa yang dikerjakannya. Kamu punya semuanya. Hanya orang yang tekun dan fokus yang bisa menyelesaikan pendidikan dokter yang sulit serta butuh waktu lama. Kamu memiliki usaha sendiri, walaupun sebenarnya tidak perlu bekerja karena punya warisan uang dan saham yang banyak. Kamu juga cantik. Selama mencari tahu tentang kamu, saya belum menemukan kekurangan yang membuat saya harus nggak suka sama kamu. Sejauh ini, saya bisa bilang kalau kamu paket lengkap."
Nilai Daran hari ini terdongkrak, jauh lebih baik daripada kemarin. Seperti yang Mama bilang, kita memang tidak bisa menilai karakter seseorang hanya dari satu kali pertemuan.
**
Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top