Empat Belas

SAAT membuka ponsel setelah keluar dari ruang perawatan, aku melihat pesan Daran.

Abizar akan jemput kamu di klinik. Dia sudah reservasi tempat di restoran favorit kamu. Setelah selesai meeting, aku akan nyusul ke mal.

Sekarang aku mengerti mengapa seseorang bisa tampak sinting saat sedang jatuh cinta, karena sebuah pesan teks sudah cukup untuk membuat orang itu tersenyum sendiri. Seperti yang sedang kulakukan sekarang saat membaca pesan Daran. Hormon-hormon yang dilepaskan tubuh ketika sedang mabuk kepayang begitu mudah menerbitkan perasaan bahagia.

Karena tiba lebih dulu daripada Daran di mal, sambil menunggunya, aku menggunakan kesempatan itu untuk membeli gaun yang kupakai sebagai alasan untuk mengajak Daran makan siang bersama. Daran akan melihat bahwa aku benar-benar datang membeli sesuatu, bukan khusus mengajaknya berkencan.

Sebenarnya, seorang istri yang lebih dulu mengajak suaminya keluar bukan hal yang memalukan karena hubungan antarpasangan bersifat horisontal. Aku hanya merasa sedikit gengsi karena selama ini sudah bersikap tidak semestinya pada Daran. Aku memang tidak sepenuhnya mengabaikannya karena kami toh selalu bersama ketika berada di rumah. Kami juga rutin bercinta seperti layaknya pasangan pengantin baru lainnya. Aku hanya menutup diri dan nyaris tidak pernah berinisiatif mengajak Daran ngobrol lebih dulu untuk membahas hal-hal yang seharusnya kami bicarakan sebagai pasangan.

Mulai sekarang, semua akan berubah. Aku memang tidak punya pengalaman menjadi pasangan seseorang sebelum bersama Daran, tapi aku akan belajar untuk menjadi istri yang baik untuknya. Istri yang tidak akan membuat Daran bosan padaku. Hanya mengandalkan ketertarikan Daran pada tubuhku tidak akan menjamin kelanggengan pernikahan. Pernikahan tidak melulu tentang seks semata. Menurutku, hubungan dan keterikatan emosional mendalam antarpasangan jauh lebih kokoh dijadikan fondasi rumah tangga daripada hubungan fisik.

Sekarang seks masih ampuh untuk membuat Daran tertarik padaku karena usia kebersamaan kami memang masih sangat muda sehingga antusiasmenya masih kuat. Namun, aku harus bersiap untuk hubungan jangka panjang sampai maut memisahkan kami. Dan cara yang mumpuni adalah mengguggah perasaan Daran sehingga dia juga jatuh cinta padaku. Aku tidak bisa mencapai misi itu kalau bertahan dengan sikap kaku dan tertutup seperti yang selama ini kutunjukkan.

Daran tiba di restoran tidak lama setelah aku duduk sambil mengamati buku menu untuk memilih makanan yang paling menggugah seleraku.

"Maaf, aku terlambat." Daran mengambil tempat di depanku. "Meeting-nya selesai tepat waktu, tapi jalanan lumayan macet."

"Maaf, aku jadi ngerepotin kamu." Seharusnya aku menunda rencana impulsifku mengajak Daran kencan di siang hari menjadi acara makan malam saja karena kami toh biasanya makan malam berdua. Tadi aku tidak memikirkan kerepotan yang harus dihadapi Daran hanya untuk makan bersamaku.

"Aku nggak repot kok," bantah Daran. "Aku malah senang kamu ngajak makan siang bareng. Bosan juga makan sama klien atau Abizar tiap hari. Aku hanya nggak enak karena sudah bikin kamu nunggu."

Percakapan kami terdengar formal. Papa dan Mama tidak pernah bicara dengan nada sehati-hati itu saat ngobrol. Aku benar-benar harus meruntuhkan tembok yang kubangun sendiri ketika menghadapi Daran. Tembok yang sengaja kudirikan karena asumsi bahwa dia menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku.

"Aku nggak nunggu lama kok." Aku menunjuk tas belanja. "Tadi aku habis belanja."

"Harusnya kamu nunggu aku, biar kita belanja sama-sama. Aku juga mau beli kemeja batik dan penjepit dasi. Sebagian kemerja batikku masih ada di rumah Ibu, belum sempat kuambil."

"Nanti aku temenin belanja setelah kita makan." Aku menawarkan diri. Terakhir kali kami berkeliling mal berdua adalah ketika kami baru selesai menikah, saat aku membuat Daran menjadi pengawal yang aku abaikan kehadirannya. Suasananya tegang dan tidak menyenangkan. Ini adalah saat yang tepat untuk membalikkan keadaaan.

"Kamu udah bikin M-banking untuk rekening baru kamu?" tanya Daran.

Beberapa minggu sebelum menikah, Daran membuka rekening atas namaku. Katanya, semua kebutuhan bulanan untuk rumah tangga, termasuk keperluanku akan ditransfer ke nomor itu. Jumlah awal yang ada di rekening itu lumayan besar, cukup untuk menggambarkan kemapanannya sebagai suami yang akan membiayai rumah tangga yang dipimpinnya.

"Belum sempat," kataku jujur. Aku merasa uang yang aku keluarkan untuk kebutuhan rumah tangga tidak terlalu banyak. Aku belum harus membayar ART dan satpam karena belum punya. Saat aku dan Daran makan di luar dan belanja di supermarket, biasanya dia yang membayar. Uang yang aku keluarkan lebih untuk membiayai kebutuhanku sendiri, seperti memesan makanan dan minuman saat aku berada di klinik.

"Bikin M-Banking hanya butuh waktu tiga menitan. Bikin aja sekarang, mumpung ingat."

"Nanti aja," tolakku.

Daran mengulurkan tangan. "Kasih ponsel dan ATM kamu biar aku yang download aplikasi dan buatin M-Banking-nya."

Aku tidak ingin mendebatnya, jadi segera mengeluarkan dompet untuk mengambil ATM dan membiarkan Daran membuat M-Banking baru untukku. Menuruti perkataan Daran adalah salah satu cara untuk mendekatinya.

**

Seperti rencana awal, setelah makan, aku dan Daran ke toko yang menjual kemeja batik. Ini adalah kali pertama aku menemani Daran membeli barang kebutuhan pribadinya. Sejujurnya, aku tidak tahu apa-apa tentang fesyen laki-laki karena tidak pernah peduli soal itu. Satu-satunya laki-laki yang dekat denganku sebelum Daran hanyalah Papa, dan kebutuhan fesyennya diurus Mama. Jadi aku hanya menjadi pengawas yang baik saat Daran memilih kemeja. Aku tersenyum dan mengangguk setuju setiap kali dia meminta pendapatku, tanpa bisa memberikan masukan atau menawarkan alternatif pilihan untuknya. Tapi aku tidak bohong kok. Menurutku, Daran cocok dengan motif dan warna apa pun. Mungkin pendapatku tidak obyektif, karena ada unsur cinta yang kental berpengaruh pada penilaianku.

"Daran...?"

Sapaan itu menahan langkah kami saat hendak meninggalkan toko. Di hadapan kami berdiri seorang perempuan cantik bertubuh semampai. Rambut panjangnya dicatok ikal di bagian bawah dan digerai di depan dada.

Mode dokter kulitku otomatis memindai wajah dan kulit lengannya yang terbuka karena dia memakai kemban sebagai atasan. Kulitnya sehat dan berkilau. Dia pasti melakukan perawatan secara rutin di klinik kecantikan.

Penampilan dan pemilihan fesyen perempuan itu melambangkan kepercayaan diri yang sangat besar. Aku tidak bisa membayangkan diriku akan merasa nyaman berjalan-jalan di tempat umum dengan memakai atasan seminim itu.

Daran tidak langsung membalas sapaan perempuan itu. Dia tersenyum tipis. Aku sedikit terkejut saat dia menarik pinggangku merapat padanya. Dia menatapku dan bilang, "Sayang, kenalin, ini temanku, Tracy." Pandangan lantas beralih pada perempuan di depan kami. "Tracy, ini Shaylin, istriku."

Aku tidak segera menyambut uluran tangan Tracy karena efek kaget yang ditimbulkan oleh gestur dan panggilan 'sayang' yang dialamatkan Daran padaku.

Kenapa dia tiba-tiba bersikap seperti itu? Apakah dia ingin memberikan kesan bahwa kami saling mencintai dan selalu mesra pada teman-temannya?

Saat akhirnya menjabat tangan Tracy, aku merasakan genggaman tangannya sangat erat. Terlalu erat sehingga aku merasa jika dia ingin menunjukkan bahwa dia memiliki tenaga yang kuat, walaupun posturnya semampai.

"Akhirnya saya bisa ketemu istri Daran." Tarikan sudut bibir Tracy terlihat lebih mirip ringisan daripada senyuman. Dia memindaiku dari kepala sampai kaki. "Soalnya saya nggak dapat undangan pernikahan kalian. Jadi, walaupun telat, sekarang saya bisa ngucapin selamat menempuh hidup baru sebagai pasangan suami istri."

"Terima kasih," jawabku setelah Daran yang aku harap merespons temannya tidak mengatakan apa-apa.

"Akhirnya rasa penasaran saya terhadap istri Daran bisa terjawab hari ini." Tracy mengibaskan rambut sehingga rambutnya yang tadi berada di depan dada berpindah ke belakang. Leher dan bagian atas dadanya yang tidak tertutup oleh kemban terekspos penuh. Dia tampak sangat seksi.

Aku bisa memindai tatapan orang-orang yang terhenti beberapa saat untuk melabuhkan pandangan pada Tracy sebelum mengalihkan perhatian ke tempat lain. Kagum pada perempuan cantik dan seksi adalah hal yang wajar. Bukan hanya kaum Adam saja yang suka melihat perempuan cantik. Perempuan juga bisa terpesona pada kaumnya sendiri. Aku bisa memahami tatapan takjub dari perempuan-perempuan yang menyempatkan diri mengamati Tracy. Level kecantikan seorang perempuan berada paling atas bukan ketika dia mendapat perhatian dari banyak lelaki, tetapi saat diapresiasi oleh perempuan lain.

"Kenapa harus penasaran?" Aku merasa harus menanggapi Tracy karena Daran masih diam saja. Aku tidak ingin terkesan tidak sopan pada teman Daran.

"Saya selalu berpikir kalau menikah bukan prioritas Daran. Tapi ternyata dia nggak tertarik menikah hanya karena belum bertemu orang yang tepat aja, karena begitu ketemu orang yang cocok, dia langsung lupa ucapannya tentang nggak akan menikah sebelum punya bisnis sendiri yang sukses. Tapi setelah lihat kamu, saya jadi mengerti mengapa Daran begitu gampang berubah pikiran."

"Sayang, masih ada yang mau kamu beli?" tanya Daran. Dia melihat pergelangan tangan, menampilkan gestur tergesa.

"Nggak ada." Aku juga enggan berbasa basi dengan Tracy. Sebut saja aku cemburu, tapi aku tidak suka Daran berhadapan dengan temannya yang hanya membebat dada dengan kain sekadarnya.

Daran menatap Tracy. "Kami duluan ya." Dia menarik pinggangku, membuatku mengikuti langkahnya.

Setelah cukup jauh, aku menoleh dan melihat Tracy masih berdiri di tempatnya sambil melihat ke arah kami. Dia tidak tersenyum ketika tatapan kami berserobok.

Kenapa aku harus punya perasaan kalau hubungannya dengan Daran tidak hanya sekadar teman saja ya? Apakah mereka pernah pacaran sebelumnya?

Aku tahu jika masa lalu Daran tidak berhubungan dengan pernikahan kami. Hampir semua orang punya hubungan asmara sebelum menikah. Aku hanya salah satu dari sedikit orang yang tidak punya pacar sebelum menikah. Jadi bagaimana pun hubungan Daran dengan mantannya, aku tidak bisa protes karena aku belum punya hak apa pun atas dirinya di masa itu. Saat aku menerima Daran sebagai pasangan, berarti aku telah bersedia menerima dia lengkap dengan masa lalunya yang tidak aku ketahui karena aku menikah Daran untuk membangun masa depan bersamanya, bukan menggali fosil kenangannya yang mungkin saja tidak aku sukai.

Kalau benar Daran dan Tracy punya masa lalu bersama, kenapa Daran bersikap seperti tidak menyukai pertemuan mereka yang kebetulan itu? Apakah mereka tidak berpisah baik-baik sehingga Daran masih sakit hati? Tapi bukankah orang yang masih sakit hati atas perpisahan yang sudah terjadi di masa lalu melambangkan bahwa orang tersebut belum move on?

Aku benar-bernar merasa penasaran. Sayangnya aku tidak mungkin bertanya. Aku tidak ingin merusak kebersamaan dan kedekatan yang sedang kubangun dengan mengorek-ngorek masa lalu yang mungkin saja tidak disukai Daran.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana Udah tamat. Tengkiuu....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top