Dua Puluh Satu

AKU meneleng, menatap Daran dengan saksama. Aku tidak pernah menyangka akan salah menebak tujuannya menikahiku. Aku telanjur percaya bahwa seseorang yang ambisius seperti Daran akan melakukan apa pun untuk untuk menggapai ambisinya, termasuk menumbalkan dirinya sendiri.

"Kalau begitu, apa tujuanmu menikahiku?" Aku bertanya setelah rasa kagetku mereda.

"Ambisi besar untuk mengelola gurita bisnis papamu hanyalah kesan yang aku ciptakan supaya kamu percaya karena aku nggak mungkin menceritakan tujuanku yang sebenarnya." Daran tampak ragu. Sikap itu berbeda dari karakter percaya diri yang selama ini melekat padanya.

"Sekarang kamu nggak punya pilihan selain menceritakan tujuanmu sesungguhnya!" desisku tajam. "Aku beneran penasaran. Kalau kamu menolak, aku bisa mencari tahu melalui Tracy. Jadi, sekarang kamu bisa memilih ingin menceritakannya sendiri, atau Tracy yang akan melakukannya untuk kamu. Aku yakin dia akan menambahkan banyak bumbu dalam ceritanya. Seperti yang sudah dia lakukan saat dia menceritakan tentang hubungan kalian berdua melalui sudut pandangnya."

"Ini bukan cerita yang menyenangkan untuk kamu dengar." Daran mengulurkan tangan padaku.

Aku bergerak menjauh dari jangkauannya. Aku tidak akan membiarkannya memersuasiku melalui sentuhan. Selama ini aku sudah sangat toleran padanya. Aku tetap memenuhi kewajibanku sebagai seorang istri yang memuaskan kebutuhan biologisnya, walaupun benakku dipenuhi dengan berbagai prasangka. Sekarang aku tidak akan merendahkan diri lagi. Aku harus membela dan mempertahankan remahan harga diriku yang tersisa.

"Kisah pernikahan kita sudah tidak menyenangkan sejak hari pertama." Aku tertawa miris tanpa suara. "Suamiku menerima telepon misterius tengah malam sehingga membuatku sudah mempertanyakan kelanggengan rumah tanggaku bahkan sebelum 24 jam pertama sejak aku berstatus sebagai istri. Aku sudah terbiasa dengan prasangka dan asumsi buruk, jadi tambahan satu fakta yang nggak menyenangkan tidak akan membunuhku. Bilang saja terus terang! Atau kamu memang lebih suka aku mendengarnya dari Tracy?"

Daran menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan melalui mulut. "Waktu aku kelas tiga SMP, ayahku bunuh diri saat usahanya bangkrut dan akhirnya diambil alih oleh investor yang menanamkan modal besar di bisnis itu."

Kalimat itu cukup untuk membuatku mengerti. "Investor itu Papa, kan?" tembakku langsung.

Daran mengangguk. "Waktu itu aku berjanji di makam Ayah bahwa aku akan membalas sakit hatinya. Aku akan bikin orang yang membuatnya mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup membayar. Orang itu harus merasakan bagaimana sakitnya kehilangan orang yang dia cintai seperti aku, Ibu, dan adikku saat Ayah tiba-tiba pergi. Waktu itu aku masih sangat muda dan melihat segala sesuatu dengan hitam putih. Aku kehilangan Ayah, dan harus ada yang bertanggung jawab untuk itu. Semakin dewasa dan setelah belajar bisnis, aku kemudian paham jika setiap usaha punya risikonya masing-masing. Kebangkrutan adalah hal yang seharusnya sudah ayahku antisipasi sejak awal. Dendam yang kurasakan pun perlahan mulai surut. Aku menjadi semakin logis dan nggak hanya melihat dari sudut pandang seorang remaja yang kehilangan ayah karena bunuh diri. Kalau ayahku lebih kuat dan menyayangi keluarganya, dia nggak akan mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidup. Dia seharusnya sadar kalau sebagai kepala keluarga, dia bertanggung jawab pada keluarganya. Bisnis yang gagal bisa dimulai lagi dari awal, tapi duka yang terasa karena dia tinggalkan bisa berbekas di hati anak-anak dan istrinya untuk waktu yang lama."

Aku mendengus mendengar penjelasan panjang itu. "Kamu berharap aku percaya sama apa yang baru saja kamu bilang? Kalau kamu nggak menyimpan dendam lagi, kamu nggak akan mendekatiku, apalagi menikahiku."

Daran mengusap dahi. "Saat melakukan penjajakan proses akuisisi perusahan pamanku, aku dapat info kalau kedua perusahaan ayahku yang dulu bangkrut ternyata nggak ditutup seperti yang aku pikir. Keduanya masih berjalan sebagai anak perusahaan papamu dan kondisinya sangat sehat. Jadi, aku langsung setuju ketika papamu memintaku tetap menjadi direktur dari perusahaan pamanku setelah diakuisisi. Aku pikir, suatu saat, ketika kinerjaku bagus dan diakui oleh para petinggi, aku akan bisa masuk dalam top manajemen di perusahaan pusat, bukan lagi sekadar menjalankan anak perusahaan yang kecil. Dan kalau hal itu beneran terjadi, mungkin aku bisa menemukan cara untuk mengeluarkan kedua usaha itu dari perusahaan induk. Dengan begitu, aku bisa meneruskan legacy ayahku. Jalan pintas untuk masuk dalam lingkaran top manajemen itu terbuka lebar ketika aku mendengar papamu sedang mencari calon suami untuk anak tunggalnya yang terlalu sibuk sehingga tidak bisa menemukan pasangannya sendiri." Daran menatapku. "Cerita ringkasnya seperti itu. Selebihnya kamu sudah tahu. Aku nggak akan membela diri jika niat awalku memang jelek. Aku lebih fokus pada perusahaan yang dulu dirintis ayahku daripada kamu sebagai pasangan."

Penjelasan Daran sangat masuk akal, tapi aku tetap sakit hati mendengarnya. Dia memang mengakui jika dendamnya surut seiring waktu, tapi aku merasa kata-katanya itu tidak sepenuhnya benar. Ibunya dan Tracy jelas-jelas menyebutnya sebagai seorang pendendam. Daran pasti memperhalus ceritanya supaya aku mau percaya bahwa dia tidak sedang membalaskan dendamnya pada Papa dengan membuatku menderita. Bagi Daran, sejak awal aku adalah obyek, bukan subyek yang setara dengannya.

"Dengan motif pernikahan seperti itu, dalam rencanamu, berapa lama kamu menargetkan perceraian kita? Kamu pasti nggak berniat menghabiskan sisa hidup bersama anak dari orang yang sudah menyebabkan ayahmu meninggal dunia."

Daran kembali mengulurkan tangan padaku. "Shaylin, aku tahu kalau sekarang kamu pasti sedang marah besar. Kamu hanya terlihat tenang di permukaan, tapi di dalam hati, kamu pasti murka. Kurasa kita harus menunda percakapan ini sampai emosi kamu reda."

"Jangan bicara tentang emosi denganku!" sentakku sambil menepis tangannya. "Bukan aku yang mengambil keputusan berdasarkan emosi untuk merusak hidup orang lain. Jawab saja, berapa lama kamu menargetkan umur pernikahan kita?"

Daran menggeleng. "Aku nggak tahu. Aku belum punya bayangan berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk bisa mengeluarkan perusahaan ayahku dari perusahaan induk."

"Tapi sejak awal kamu sudah merencanakan untuk bercerai, kan? Tolong jawab dengan jujur!"

Daran terdiam. Itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaanku. Aku berusaha menahan supaya air mataku tidak jatuh.

"Kamu belum melupakan dendammu," kata sedih. Aku tidak bisa menahan suaraku yang bergetar. "Kamu hanya nggak mau mengakuinya. Kamu sudah merencanakan kehancuran papaku dengan detail. Kamu berniat memecah anak perusahaannya, menikahi anak kesayangannya dan menceraikannya. Ah, bukan itu saja. Kamu bahkan melengkapi aksimu dengan sengaja nggak memakai pengaman saat kita bercinta karena papaku pasti akan lebih terpukul saat punya cucu yang nggak memiliki ayah yang mencintainya. Kalau kisah ini aku tonton di film, aku pasti akan bertepuk tangan mengagumi penulis skenarionya. Aku beneran nggak menyangka kalau kamu sangat menyukai drama."

"Shaylin, deng—"

Aku mengangkat tangan, menghentikan ucapan Daran. "Aku mau tahu satu hal lagi. Kamu tahu siapa aku saat kita masih SMA?" Aku harus memastikan hal itu.

Daran mengangguk ragu. "Aku nggak pernah bicara soal itu karena kamu juga nggak pernah mengungkitnya. Mengingat kondisinya, itu mungkin bukan masa yang menyenangkan dan nyaman untuk dibahas."

Hatiku terasa berdarah. Aku merasa dikhianati secara beruntun. Sejak awal Daran tahu bahwa aku pernah menjadi raksasa jerawatan yang menyedihkan. Aku sulit menerima kenyataan itu. Aku menyembunyikan semua foto-foto saat aku masih obesitas supaya tidak ada orang yang melihatnya. Aku begitu yakin kalau Daran tidak pernah mengingatku dalam kondisi itu. Ternyata aku salah besar. Di mata Daran, aku bukan Shaylin yang nyaris sempurna karena dia tahu bagaimana mengerikannya penampilanku dulu.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba tegar. "Sekarang masih terlalu cepat untuk bercerai. Ini mungkin kesempatan bagus untuk menghancurkan perasaan orangtuaku karena mereka akan menyalahkan diri sebagai penyebab kegagalan pernikahanku. Aku nggak tega melihat mereka berada di posisi itu, setidaknya untuk sekarang. Jadi, kita bisa membuat kesepakatan. Kita tetap mempertahankan pernikahan kita di atas kertas, tinggal serumah seperti sekarang walaupun pisah kamar, kita juga akan tetap ke rumah orangtuaku di akhir pekan, dan sebagai gantinya, ketika saatnya tiba untuk bercerai, aku akan membantumu mendapatkan perusahaan ayahmu kembali, Bagaimana?"

"Ini beneran bukan saat yang tepat untuk membahas masalah ini, apalagi sampai membicarakan tentang perceraian. Kita akan bicara lagi setelah kamu tenang."

"Aku akan meminta supaya barang-barangku dipindahkan ke kamar lain," ujarku tanpa menggubris ucapan Daran yang memintaku tenang.

"Kamu tetap di kamar ini, Shaylin, biar aku yang pindah sementara sampai kamu tenang."

"Ini rumahmu. Kamu yang berhak atas kamar utama."

"Aku akan pindah ke kamar paling ujung, di dekat balkon belakang."

Aku tidak menjawab lagi. Memang lebih baik begitu, supaya aku tidak perlu repot-repot pindahan.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Bisa buka akun aku: Titi Sanaria dan cari serial yang judulnya "Pulang".

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top