Dua Puluh Dua
HANYA beberapa bulan setelah menikah, aku memasuki episode baru dalam hidup. Aku memang masih berstatus sebagai istri, tapi sudah resmi menempati kamar yang terpisah dari suami tercintaku yang ternyata menikahiku untuk melampiaskan dendam masa lalu.
Tinggal serumah dengan kondisi hubungan seperti sekarang memang tidak nyaman, tapi aku tidak melihat solusi lain yang lebih baik. Aku harus bersabar, paling tidak selama beberapa bulan ke depan, sambil mempersiapkan mental kedua orangtuaku supaya bisa menerima dengan lega kalau anak kesayangan mereka harus bercerai di umur pernikahan yang masih sangat muda.
Kehidupan sempurna memang hanya mitos karena sejatinya manusia tidak bisa mendapatkan semuanya sekaligus. Materi, pekerjaan bagus, kenyamanan, cinta, dan kebahagiaan tidak tersedia dalam satu paket. Kalaupun ada yang beruntung mendapatkannya, persentasenya pasti di bawah satu persen. Sembilan puluh sembilan persen sisanya hanya mendapatkan sebagian dari hal-hal di atas. Aku termasuk salah satu dari golongan 99% tersebut. Aku memiliki materi dan pekerjaan bagus yang diimpikan banyak orang, tapi kehidupan percintaanku menjadi kegagalan terbesar dalam hidupku.
Aku tidak bisa tidur nyenyak di malam pertama tidur sendiri setelah bicara dengan Daran. Ada begitu banyak hal yang berkelebat dalam benakku. Bukan status janda yang aku khawatirkan karena hidupku toh tidak harus mengikuti standar tak tertulis yang ditetapkan oleh masyarakat, bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah perempuan yang mempertahankan pernikahan, seburuk apa pun kondisinya. Tidak, aku tidak akan menenggelamkan diri dalam hubungan beracun yang perlahan tapi pasti membunuhku dari dalam. Aku lebih mengkhawatirkan perasaan bersalah yang akan mendera orangtuaku karena sudah mengenalkan Daran padaku.
Setelah terjaga dari tidur yang sangat singkat, aku meninggalkan tempat tidur lebih awal daripada biasanya. Setelah mandi dan bersiap, aku berangkat ke kantor mengendarai mobilku yang lebih banyak nganggur setelah aku menikah. Mulai hari ini, aku akan kembali ke rutinitas masa lajang. Bekerja sampai malam, sebelum pulang untuk tidur. Bedanya, aku tidak pulang ke rumah orangtuaku. Aku masih menumpang di rumah Daran.
Hari ini aku memecahkan rekorku sendiri untuk kategori datang paling awal di kantor. Aku hanya kalah oleh cleaning service yang keheranan melihatku begitu rajin. Siapa yang menyangka jika masalah rumah tangga bisa membuatku duduk manis di ruang kerjaku, mendahului semua pegawai yang aku pekerjakan.
Aku baru menyalakan komputer saat mendengar notifikasi. Aku merogoh tas untuk mengeluarkan ponsel. Ada beberapa pesan beruntun dari Daran.
Kamu sudah di kantor?
Kalau kamu nggak mau berangkat bareng aku, sebaiknya pakai sopir. Nanti aku minta Abizar untuk cariin kamu sopir.
Nyetir itu butuh konsentrasi.
Kamu pasti sedang banyak pikiran dan sulit untuk fokus. Bahaya nyetir dalam kondisi kayak gitu.
Nanti, kalau kamu sudah tenang, kita bisa bicara, kan?
Kabarin aja kapan kamu bisa dan mau bicara.
Jangan lupa sarapan. Tadi kamu nggak sarapan di rumah.
Aku mengatupkan rahang kuat-kuat saat membaca pesan-pesan itu. Sok perhatian. Aku tidak akan terpedaya oleh ketikan kata-kata manisnya lagi. Aku lalu memasukkan ponsel di laci meja tanpa membalas pesannya. Lebih baik fokus bekerja. Mulai hari ini, aku akan melayani sebanyak mungkin pelanggan, tidak hanya fokus pada pelanggan prioritas seperti biasanya. Dengan begitu, aku jadi lebih sibuk sehingga tidak punya waktu untuk mengasihani diri sendiri.
Saat keluar dari ruang perawatan setelah menyelesaikan laser picosure untuk pelanggan kedua yang kutangani hari ini, seorang staf menahan langkahku.
"Dok, pesanan makan siangnya sudah saya taruh di ruangan dokter Shaylin."
Aku belum memesan makan siang. Mulutku yang sudah terbuka, kukatupkan kembali. Kurasa aku tahu siapa yang melakukannya. "Terima kasih."
Aku familier dengan kemasan makanan yang ada di atas mejaku. Makanan itu dipesan dari restoran vegetarian yang biasa aku kunjungi. Aku bukan vegetarian, tapi lumayan sering makan di sana karena makanan yang mereka sajikan lebih sehat dan rendah kalori.
Aku mendengus. Usaha yang bagus. Tapi Daran tidak bisa membujukku dengan sekotak makanan. Aku menggeser kotak itu ke tepi meja. Kalau saja kiriman itu bukan berupa makanan, nasibnya sudah berakhir di tempat sampah. Sayangnya aku sudah dididik untuk menghargai makanan sehingga bagaimanapun kesalnya, aku tidak akan membuangnya.
Aku menarik laci meja saat mendengar ponselku berdering. Semoga saja bukan Daran. Harapanku terkabul. Nama Mama muncul di layar.
"Kamu nggak sibuk?" tanya Mama berbasa basi setelah menjawab salamku.
"Enggak, Ma. Ada apa?"
"Hari Minggu nanti kita kan mau arisan keluarga di rumah untuk mulai putaran baru." Arisan adalah justifikasi untuk acara kumpul keluarga yang diadakan sebulan sekali. Acaranya selalu ramai dan meriah, walaupun tidak semua anggota keluarga besar bisa berkumpul sekaligus. Aku sendiri hanya sesekali ikut menemani Mama dan Papa ketika acaranya diadakan di rumah kerabat. "Tadi Tante Mirea telepon dan ngusulin kalau arisannya diadain di rumah kamu aja. Kamu kan udah nikah, jadi udah harus ikut arisan sendiri, terpisah dari Mama. Biar keluarga besar tahu rumah kamu sama Daran juga. Waktu pindahan tempo hari kan acaranya hanya sekadarnya karena kepepet sama persiapan pernikahan. Sekarang kamu bisa bikin acara yang lebih proper, mumpung arisan."
Tidak, aku tidak bisa menghelat acara apa pun di rumah Daran dengan kondisi seperti sekarang. "Kayaknya nggak bisa di rumahku, Ma." Aku mencoba menekan rasa panik. "Mama kan tahu aku nggak pernah ngadaian acara apa pun."
"Kamu nggak perlu repot-repot. Nanti Mama yang ngurus katering. Kamu tahu beres aja. Ini cuman mindahin acaranya dari rumah di sini ke rumah kamu kok."
"Tapi, Ma...." Aku masih mencoba berkelit.
"Oke, Mama lempar perpindahan lokasi arisan di grup WA keluarga ya." Telepon ditutup tanpa menunggu persetujuanku.
Aku mendesah pasrah menatap layar ponselku. Kenapa aku harus sesial ini sih?
Baru saja hendak meletakkan ponsel, pesan dari Daran masuk. Aku membacanya tanpa masuk aplikasi.
Aku tahu kamu masih marah sama aku, tapi makanan yang aku kirim tolong dimakan. Jangan melampiaskan kemarahanmu pada makanan.
Aku nyaris memutar bola mata. Tentu saja makanan itu ada hubungannya dengan dia karena dia yang memesannya. Mulai hari ini, aku tidak akan makan apa pun yang dia beli dengan uangnya. Aku akan menyimpan makanan itu untuk Willa. Biasanya dia langsung ke klinik setelah selesai bekerja di rumah sakit. Dia baru memesan makan siang setelah sampai di klinik.
Pesan berikutnya menyusul masuk.
Aku sudah menjawab semua pertanyaanmu dengan jujur semalam, jadi aku pikir, aku layak memberi penjelasan lebih detail tentang apa yang terjadi di antara kita selama proses penjajakan dan setelah menikah.
Aku meletakkan ponsel dengan posisi terbalik ketika Willa masuk ruang kerjaku tanpa mengetuk pintu. Dia langsung duduk di depanku.
"Kalau lo belum makan, itu ada makanan." Aku menunjuk makanan yang dikirim Daran.
Willa menarik kantung makanan itu dengan suka cita. "Bestie sejati tuh kayak gini. Kalau pesan makanan nggak akan ngelupain bestie-nya."
Aku enggan membenarkan dugaannya, jadi hanya mengawasi Willa yang mengelap tangan dengan tisu basah sebelum menyemprotkan hand sanitizer.
Willa membuka kotak makanannya lalu mendesah. "Khayalan gue terlalu tinggi. Karena lo yang pesan, gue berharap isinya wagyu A5, atau paling sial salmon. Makanan yang sebenarnya sanggup gue beli, tapi terlalu sayang sama uangnya. Ini mah penipuan." Willa mengangkat setusuk sate. "Sate, tapi gue yakin dibikin dari gluten atau jamur. Steakabal-abalnya dari tempe tumbuk. Untung gue beneran lapar. Sebenarnya, kaum vegetarian dan vegan itu punya masalah apa sih dalam hidupnya?"
Ucapan Willa membuatku tertawa. Tawaku yang pertama untuk hari ini. "Orang yang nggak makan hewan dan turunannya nggak harus punya masalah dalam hidupnya. Oh ya, gimana Frankfurt, lo bisa ikut, kan?"
Willa mengangguk. Dia buru-buru menelan makanan di mulutnya. "Jadi dong. gue udah izin kok."
Itu berita paling baik yang kudengar sejak semalam. Berangkat ke Jerman akan membuatkan terbebas dari keharusan pulang ke rumah Daran, setidaknya selama seminggu.
"Sip. Gue akan minta Rasmi untuk ngurus transportasi dan akomodasi kita selama di sana. Perjalanan kita kali ini pasti menyenangkan." Terutama untukku karena terbebas dari desakan Daran untuk membahas hubungan kami. Apa yang mau dibahas lagi? Toh aroma perpisahan kami sudah menguar dengan kuat.
Willa terkekeh. "Gue sih pasti senang, secara gue jomlo. Lo tuh yang mungkin nyesal karena nggak jalan berdua sama suami tercinta lo."
Senyumku berubah kecut.
**
Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top