Dua Puluh

AKU membaca pengumuman pameran di akun Instagram produsen alat kesehatan yang menyuplai sebagian besar peralatan di klinikku dengan penuh minat. Ini bisa jadi alasan untuk pergi dari rumah selama beberapa hari.

Aku sudah memutuskan untuk bicara dengan Daran begitu dia pulang dari Surabaya. Hubungan kami pasti akan canggung setelahnya, jadi menjauh selama beberapa waktu akan memberiku ruang untuk berdamai dengan diri sendiri.

Ketukan pintu ruanganku diikuti oleh sosok Willa yang masuk dan langsung duduk di sofa, di sebelahku. Matanya spontan memindai layar iPad-ku.

"Wah, Frankfurt!" serunya keras. "Mau sekalian bulan madu part dua, buk?"

"Daran sibuk di kantor. Lo mau ikut?" tawarku. Pergi bersama Willa membuatku punya teman ngobrol. Aku tidak akan terus-terusan memikirkan pernikahanku yang sudah berada di ujung tanduk. "Kita belum pernah ke Frankfurt bareng, kan?"

Willa mengernyit ragu. "Mau sih, tapi gue kan nggak bisa cabut seenaknya kayak elo. Gue harus izin dulu di rumah sakit."

"Pasti diizinin," bujukku. "Ini hitungannya kerja, jadi lo tetap dapat uang perjalanan. Lo nggak akan kehilangan duit karena ninggalin praktik di rumah sakit. Duit perjalanan sama duit praktik nggak ada bedanya, kan? Sama-sama bisa dipakai belanja."

Willa tersenyum lebar. "Kalau diizinin, gue gas sih. Kapan lagi kita bisa jalan-jalan berdua di Jerman. Setelah nikah, lo kan udah jadi milik suami lo. Gue sebagai sahabat hanya kebagian remah-remah waktu lo aja saat lagi di klinik kayak gini."

Aku hanya bisa meringis. Setelah berpisah dengan Daran, aku dan Willa akan punya banyak waktu berdua. Kelak, keadaan akan berbalik. Ketika dia sudah menemukan belahan jiwa dan menikah, akulah yang harus rela mendapat sisa-sisa waktunya untuk nongkrong bersama.

Obrolan kami terjeda oleh sosok yang mendadak muncul di ambang pintu ruanganku yang dibiarkan terbuka oleh Willa. Daran! Aku pikir dia baru pulang besok.

"Oke, gue keluar dulu ya." Willa mengedipkan sebelah mata, menggodaku. "Kalau mau kangen-kangenan, pintunya jangan lupa dikunci. Si Susi kadang-kadang habis ngetuk langsung main terobos aja, nggak nunggu disuruh masuk dulu."

Aku mengarahkan bola mata ke atas. Aku tidak bisa menyalahkan Willa yang bersemangat menggodaku. Dia tidak akan melakukannya kalau tahu jika pernikahan sahabatnya ini sudah berada berada di ujung perjalanan.

"Aku pikir kamu pulang besok," ujarku berbasa basi setelah Daran duduk di sebelahku. Aku menghindari tatapannya.

"Papamu dan yang lain pulang besok sesuai jadwal. Aku pulang duluan karena kegiatan utama udah kelar. Tinggal seremonial dengan pemerintah daerah aja. Aku nggak perlu ikut."

Kalau tidak tahu tentang Tracy, aku pasti berpikir kalau Daran pulang duluan karena rindu padaku. Dia tidak bisa berlama-lama jauh dariku. Tidurnya tidak nyenyak karena tidak ada aku di sisinya. Sekarang aku ingin menertawakan kebodohanku karena sempat percaya kalau Daran memang benar-benar baik dan peduli aku.

"Dari bandara kamu langsung ke sini?" Aku melihat Daran memakai celana jin yang tidak mungkin dipakainya untuk ke kantor. Dia tipe yang selalu memakai pakaian formal saat ke kantor.

"Iya, besok aku baru masuk kantor. Kalau kamu masih kerja, lanjut aja. Aku akan nunggu kamu di sini. Laptopku ada di mobil, tinggal aku ambil aja biar bisa ngecek fail yang dikirim Abizar."

Aku berdiri. Aku tidak akan menunda percakapan tentang Tracy lagi. Mumpung belum ada janji temu yang masuk, lebih baik menuntaskan apa yang beberapa hari ini mengganggu pikiranku."Kita pulang aja."

Daran melihat pergelangan tangannya. "Baru jam dua. Nggak apa-apa pulang sekarang? Aku beneran bisa nunggu sampai kamu selesai kerja kok."

Aku yang tidak bisa menunggu. Apa yang sudah kuputuskan akan kukatakan terus terang sebelum kebimbangan mengombang-ambingkan aku lagi.

"Nggak apa-apa. Sesekali pulang awal nggak akan bikin klinik tutup." Aku mengulang kata-kata yang diucapkan Willa padaku.

Basa basi yang dibangun Daran sepanjang perjalanan pulang hanya kutanggapi dengan anggukan dan gelengan. Aku tidak perlu lagi membalas kepeduliannya yang palsu. Untuk apa pura-pura antusias kalau sampai di rumah, kami akan bicara blak-blakan tentang Tracy, tentang tujuan Daran menikahiku, dan tentang hubungan kami yang tidak butuh waktu lama untuk mencapai akhir.

"Kita harus bicara," kataku begitu Daran menutup pintu kamar kami. Aku duduk di tepi tempat tidur, mencari posisi nyaman untuk menghadapi pertikaian pertama dan mungkin sekaligus yang terakhir dalam pernikahanku. Kali ini aku sengaja menentang tatapan Daran. Sorot awas yang terpancar dari matanya membuatku yakin kalau Tracy sudah menceritakan tentang kunjungannya di klinikku. "Ini bukan percakapan yang nyaman, jadi sebaiknya kamu duduk."

Daran menarik kursi dan duduk di depanku. Aku menunggu beberapa saat, memberinya kesempatan untuk bertanya, tapi dia diam saja.

"Kami pasti sudah bicara sama Tracy, kan?" Aku tidak bisa bersabar lebih lama.

Daran mengangguk. "Iya. Tracy bilang dia datang ke klinikmu. Dia pasti sudah ngasih kesan yang salah sama kamu. Dia i—"

"Tunggu...!" potongku. Aku menghadapkan telapak tanganku pada Daran. "Sebelum aku mendengarkan penjelasanmu, biar aku tanya dulu. "Malam itu, Tracy yang menelepon kamu, kan?"

Daran tahu apa maksudku karena dia mengangguk. "Iya."

"Kamu tahu aku aku belum tidur dan mendengar kamu bicara, karena itu kamu nggak bertanya apa pun saat aku ngasih kamu silent treatment setelahnya. Bener gitu, kan?"

Daran kembali mengangguk. "Iya."

"Kamu tahu bahwa percakapanmu di telepon malam itu bikin aku curiga kalau kamu punya hubungan sama perempuan lain, kan?"

"Iya." Daran tidak membantah.

Aku terus menghubungkan titik-titik kecurigaan yang kuanalisis beberapa hari terakhir. "Ponsel yang kamu bilang seharusnya dibawa Abizar itu sengaja kamu bawa pulang ke rumah untuk menghilangkan kecurigaanku tentang hubungan asmaramu itu, kan?"

"Iya, ta—"

"Kamu juga tahu kalau aku melihat ponsel yang kamu sembunyikan di laci meja kerjamu, kan? Pasti nggak sulit menghubungkan alasan kepergianku dari kantormu dengan waktu telepon dan pesan-pesan dari Tracy masuk. Kami cerdas, jadi teka-teki receh macam itu gampang kamu pecahkan."

"Apa sekarang aku sudah boleh bicara?" ketenangan Daran membuatku kagum. Dia tidak menampik semua tuduhan yang kuarahkan padanya. Dia juga tidak terlihat panik sama sekali saat aku membongkar kedoknya.

"Aku bisa mendengarkan, tapi aku nggak tahu apakah aku bisa percaya pada semua kata-kata yang keluar dari mulutmu."

"Aku menjawab semua pertanyaanmu dengan jujur. Sudah terlambat untuk bohong sekarang, kan?"

Aku mengembuskan napas panjang. "Memang nggak adil kalau aku nggak kasih kamu kesempatan untuk membela diri, kan? Oke, silakan bicara."

"Aku dan Tracy nggak punya hubungan seperti yang kamu pikir," kata Daran.

Aku tertawa sinis tanpa suara. "Kamu harap aku percaya apa yang kamu bilang setelah mendengar apa yang Tracy katakan padaku? Dia bilang kalian punya hubungan yang dekat banget."

"Kami memang dekat karena dia adik sahabatku. Dia sudah aku anggap seperti adikku sendiri."

Aku mendengus. Adik ketemu gede. Itu kisah klasik untuk memulai cerita cinta. "Bukan seperti itu yang Tracy gambarkan tentang hubungan kalian!"

"Aku sudah bilang kalau Tracy sengaja memberi kesan yang salah tentang hubungan kami sama kamu. Tapi aku nggak bisa mengontrol apa yang dia katakan dan rasakan. Aku nggak bisa melarang dia untuk suka dan jatuh cinta padaku. Itu haknya."

"Kalau kalian nggak punya hubungan apa-apa, kenapa kamu melarang dia menghubungimu melalui ponsel yang kamu pegang? Kenapa kamu harus menyediakan ponsel khusus untuk dia hubungi? Apa yang kamu lakukan itu terlalu istimewa untuk seorang perempuan yang kamu bilang nggak punya hubungan asmara sama kamu."

"Itu karena aku nggak mau kalau Tracy bersinggungan sama kamu. Aku nggak mau kalau kalian saling kenal, apalagi ketemu."

"Kenapa?" tantangku sambil bersedekap.

Daran tidak langsung menjawab. Dia membuang pandangannya beberapa saat sebelum kembali menatapku. "Karena dia tahu alasan kenapa aku berkeras mendekati dan menikah denganmu."

Aku menggeleng. "Pasti bukan itu alasan sebenarnya. Aku tahu kok kenapa kamu menikahiku. Karena kamu mau menjadi penerus Papa, kan? Kamu ingin mengelola bisnis Papa yang besar untuk membuktikan kalau kamu mampu karena punya skill manajerial yang mumpuni."

Daran menggeleng. "Bukan itu alasan sebenarnya."

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top