Delapan

Aku mengamati cincin berlian yang dipajang di etalase kaca toko perhiasan, mencari yang cocok dengan seleraku. Daran mengajakku mencari dan memilih cincin pertunangan supaya sesuai dengan keinginanku.

Setelah Daran datang ke rumah dan makan bersama Papa dan Mama beberapa kali, keputusan untuk bertunangan dan menikah akhirnya kami sepakati

Hubungan kami tidak dimulai dengan cinta yang romantis, jadi tidak ada bagian di mana Daran membeli cincin secara sembunyi-sembunyi untuk kemudian kotaknya dibuka di depanku sambil berlutut seperti dalam film-film romanceHollywood yang membuat hati penontonnya berbunga-bunga.

Tidak apa-apa. Aku juga tidak pernah berharap mendapatkan lamaran romantis seperti itu. Yang terpenting dalam suatu hubungan adalah orangnya, bukan proses lamarannya, kan?

"Bagaimana dengan yang itu?" Daran menunjuk salah satu dari beberapa cincin yang memiliki berlian terbesar di antara cincin lain yang dipajang.

Aku menggeleng. Berliannya terlalu besar. Aku tidak nyaman memakai cincin seperti itu. Membebani jari. Apalagi aku harus sering melepas cincin saat bekerja menangani pelanggan. Bagian dari SOP. "Aku lebih suka yang modelnya sederhana." Aku menunjuk salah satu cincin dan meminta pegawai toko perhiasan itu mengeluarkannya dari etalase supaya bisa kulihat dengan jelas.

"Papa dan Mama kamu pasti berpikir kalau aku pelit," ujar Daran saat melihat cincin pilihanku. "Aku bisa pelit sama orang lain, tapi tidak sama calon istriku."

"Papa dan mamaku sudah hafal seleraku. Lagian, mereka tahu kita mencari cincin bersama, jadi cincin yang terpilih pasti aku yang nentuin."

"Kalau kamu suka modelnya, kita bisa pesan cincin lain dengan model kayak gitu dengan berlian yang lebih besar," usul Daran. "Kita masih punya waktu. Cincinnya pasti udah jadi sebelum kita tunangan."

"Justru aku nggak suka berliannya yang terlalu besar." Aku menolak ide Daran.

Daran tersenyum saat aku menatapnya. "Aku bilang begitu karena perempuan biasanya suka barang berkilau yang ukurannya besar, Tapi terserah kamu aja sih. Kan kamu yang pakai, jadi cincinnya memang harus sesuai keinginan kamu supaya nyaman di jari dan mata kamu. Aku setuju sama kamu, yang terpenting dari cincin itu adalah fungsinya sebagai tanda ikatan, bukan ukuran berlian dan harganya."

Aku suka melihatnya tersenyum seperti itu. Tarikan bibirnya dan mata yang menyipit membuat kesan serius di wajah Daran jadi berkurang. Siapa yang menyangka kalau aku akhirnya akan bertunangan dan menikah dengan cowok paling populer di sekolahku dulu? Aku saja tidak pernah membayangkannya.

Aku tidak pernah memberi tahu Daran bahwa kami dulu bersekolah di tempat yang sama karena aku tidak ingin memancing ingatannya tentang diriku versi gajah jerawatan. Kalau aku cerita, Daran pasti akan mencoba mengingat-ingat, dan aku harus membantunya dengan menyebutkan peristiwa di lapangan voli yang memalukan itu karena hanya kejadian itu yang menghubungkan kami. Tidak, aku tidak akan membuka mulut untuk menceritakan bagian dari hidupku yang paling menyedihkan sehingga masih terasa menyakitkan untuk sekadar kukenang.

Tidak seperti kebanyakan orang yang menganggap masa sekolah menengah adalah masa terbaik dalam hidup, aku malah membenci masa-masa suram penuh perundungan itu. Aku memang hanya dirundung secara verbal, tetapi rasanya tetap menyakitkan. Daran adalah salah satu dari sedikit hal baik yang layak masuk dalam memoriku tentang masa sekolah.

Dari toko perhiasan, aku dan Daran mampir ke restoran. Kami sudah sering makan bersama, jadi aku mulai hafal jenis makanan yang disukainya. Daran lebih suka makanan yang bumbunya ringan dan berkuah bening daripada makanan dengan beraneka macam bumbu yang pekat. Kopinya tanpa gula.

Aku lebih suka mengamati kebiasaan Daran daripada menanyakannya apa yang dia suka dan tidak suka secara langsung. Berbeda dengan Daran yang biasanya bertanya jika ada yang ingin diketahuinya tentang aku. Sejauh ini, perbedaan cara pendekatan kami untuk saling mengenal, tidak menjadi masalah. Semakin sering menghabiskan waktu bersama Daran, aku merasa semakin nyaman dengannya. Jatuh cinta padanya pasti tidak butuh usaha. Semoga saja dia juga merasakan hal yang sama denganku.

"Minggu depan, Ibu, Om, dan tanteku akan datang ke rumahmu untuk membahas pertunangan kita." Daran memulai percakapan setelah kami memesan makan.

Ayah Daran sudah berpulang saat Daran masih SMA. Daran tidak menceritakan detail penyebab kematian ayahnya, dan aku memilih tidak menanyakannya karena khawatir membuka luka lama. Penjabaran Daran tentang keluarganya cukup lengkap. Selain Ibu, dia punya seorang adik perempuan yang sekarang sedang kuliah.

"Iya, aku sudah bilang sama Mama tentang itu." Aku belum pernah bertemu dengan anggota keluarga Daran, jadi aku antusias sekaligus waswas mengantisipasi acara pertemuan keluarga kami. Aku harap keluarga Daran menerimaku, sebagaimana orangtuaku menerima Daran.

**

AKU berpapasan dengan Willa saat keluar dari ruanganku.

"Udah mau pulang?" tanya Willa. Tatapannya tertuju pada tas jinjing di tanganku.

Pertanyaannya membuatku menyadari jika akhir-akhir ini aku sering meninggalkan klinik jauh sebelum jam operasional berakhir. Klinik buka mulai pukul sepuluh pagi dan tutup pukul sembilan malam. Staf klinik bekerja dalam dua sif, tapi aku sebagai pemilik punya jam kerja yang fleksibel, yang artinya, aku menjadi orang yang paling lama berada di klinik. Biasanya aku sudah ada di klinik sebelum jam operasional mulai, meskipun tidak ikut sibuk mempersiapkan pelayanan menjelang pintu depan dibuka dan pelanggan mulai masuk mengambil nomor antrean. Aku jarang pulang di bawah pukul tujuh malam. Seringnya lebih, terutama ketika ada pelanggan prioritas membuat janji di atas pukul tujuh untuk kutangani.

Namun, setelah bertunangan dua bulan lalu dan mulai sibuk dengan persiapan pernikahan, aku sering meninggalkan kantor sebelum pukul lima. Aku meminta staf klinik menjadwal pelanggan prioritasku untuk siang hari. Aku belum menikah, tetapi sudah mulai berkompromi dengan jam kerja. Aku harus memotong waktu kerjaku untuk menyesuaikan jadwal pertemuan dengan Daran.

Tidak, aku tidak menyesali keputusanku untuk menikah. Aku hanya menyadari bahwa konsekuensi dari komitmen adalah kompromi. Aku tidak bisa egois mempertahankan kebiasaan kerja setelah punya pasangan. Aku tidak mungkin memaksa Daran menunggu sampai aku selesai kerja di malam hari untuk bertemu dan berdiskusi dengan WO kami.

Sekarang aku mengerti apa yang dimaksud Daran saat mengatakan bahwa hanya orang istimewa yang membuatnya bersedia terdistraksi dari pekerjaan dan membagi waktunya yang berharga untuk asmara. Pendapat yang semula aku pikir egois ternyata jadi logis setelah aku berada dalam posisi harus membagi waktu itu.

Semakin mendekati hari H pernikahan, aku dan Daran semakin sering bertemu. Ada banyak hal yang harus kami lakukan bersama, meskipun WO-lah yang menangani acara besar kami. WO menyediakan berbagai opsi, tetapi kamilah yang menentukan pilihan. Undangan, gedung, katering, dan masih banyak lagi. Kami juga harus menemui desainer yang mengerjakan baju pengantin. Karena acara akad dan resepsi mengusung konsep berbeda, pakaiannya tentu berbeda juga. Aku dan Daran juga sibuk dengan renovasi rumah yang akan kami tempati setelah menikah.

Daran menolak dengan halus saat Mama mengusulkan supaya kami tetap tinggal di rumah orangtuaku setelah menikah. Dia mengatakan sudah punya rumah yang akan direnovasi sesuai keinginanku. Proses renovasi itu dikebut setelah kami resmi bertunangan. Daran memberi aku akses penuh untuk memilih arsitek untuk calon rumah kami. Aku bebas mengisi dan mendekorasi sesuai seleraku.

Semakin mengenal Daran, aku semakin menyukainya. Atau mungkin aku sudah jatuh cinta padanya. Sejak awal saat melihat fotonya disandingkan dengan Delano dan Eldric, penilaianku memang sudah bias karena mengenalinya sebagai dewa penolongku di masa lalu. Aku rasa hampir semua perempuan akan gampang jatuh cinta pada laki-laki yang pernah meninggalkan kesan mendalam, terlebih lagi jika laki-laki itu memiliki kualitas seperti Daran.

Aku tidak mau bermimpi terlalu jauh dengan berharap jika Daran juga jatuh hati padaku seiring kebersamaan kami karena dia tidak berada dalam posisiku saat membuat penilaian, Bagi Daran, aku adalah orang yang belum lama dia kenal. Orang yang bersedia dia nikahi karena ambisi untuk mengelola perusahaan yang levelnya jauh lebih besar daripada yang pernah dia pegang.

Tak mengapa. Aku tidak kecil hati. Kami punya banyak waktu bersama setelah menikah. Perasaannya bisa tumbuh seiring waktu. Semoga cinta yang muncul perlahan, dimulai dari akar akan bertahan dibandingkan dengan cinta yang seketika menghantam secara menggebu.

Willa menyikut lenganku. "Diajak ngobrol malah bengong!"

Aku meringis. "Iya nih, gue pulang awal. Gue mau nungguin Daran di lobi."

Beberapa menit yang lalu Daran mengirim pesan, mengabarkan kalau dia sudah berada di dekat klinik. Aku memintanya menunggu di mobil saja supaya dia tidak perlu repot-repot masuk ke gedung klinik. Aku akan menunggunya di lobi sehingga kami bisa segera pergi begitu dia sampai.

Willa mengerling jail. "Gimana rasanya punya tunangan ganteng yang siaga level satu kayak Daran?"

Willa sudah beberapa kali bertemu Daran, walaupun mereka belum pernah ngobrol banyak. Biasanya Daran tidak tinggal lama saat menjemputku di klinik. Saat pertama kali melihat Daran, Willa bilang, "Gue ngerti sih kenapa lo nggak mau ketemu yang lain lagi. Gue juga akan mengambil keputusan yang sama kalau berada di posisi lo. Ngapain juga ketemu calon nomor 2 dan 3 kalau calon nomor 1 sudah melampaui ekspektasi, kan?"

Aku mengulum senyum saat teringat kata-kata Willa. Yang memberi nomor itu bukan Papa, tapi aku sendiri. Kalau aku tidak mengenali Daran, aku pasti akan menjadikan Eldric yang punya lesung pipi menggemaskan itu sebagai orang pertama yang kutemui. Kalau Eldric ternyata tidak cocok, aku pasti akan lanjut dengan Delano, yang senyumnya memberi kesan hangat dan bersahabat. Daran akan menjadi orang terakhir dalam daftarku. Aku bahkan mungkin tidak akan bertemu dia kalau sudah sreg dengan Eldric atau Delano.

"Gue beruntung karena punya Papa yang berhasil menyeleksi calon terbaik dari yang terpilih."

"Tapi Daran juga beruntung sih dapat elo sih. Cari calon istri cantik dan tajir mungkin nggak sulit untuk dia, tapi nggak gampang nemuin yang toleran, nggak egois, nggak banyak tuntutan, dan menghargai batasan seperti lo. Kehidupan rumah tangga kalian pasti adem."

Aku harap begitu. Sampai beberapa bulan sejak perkenalan, pertunangan, dan sekarang memasuki persiapan pernikahan, aku dan Daran tidak pernah terlibat perbedaan pendapat apa pun. Semuanya berjalan mulus.

Dari lift, aku langsung ke tempat parkir karena Daran sudah sampai di klinik.

"Kamu nggak apa-apa pulang awal terus kayak gini?" tanya Daran begitu aku duduk di sampingnya.

Pertanyaannya membuatku terharu. Dia memikirkan kenyamananku. Fix, aku benar-benar sudah jatuh cinta padanya. Kekhawatiranku terpinggirkan dan dikalahkan pekerjaannya ternyata terlalu berlebihan.

"Nggak apa-apa. Sistem di klinik udah terbangun dan berjalan baik kok." Itu benar. Aku mempekerjakan para profesional di bidangnya. Selama ini aku saja yang ingin terlibat sangat dalam mengurusi klinik, padahal sebenarnya aku hanya perlu menerima dan menganalisis laporan, selain menangani pelanggan, tentu saja."

"Jadi, hari ini kita ke mana, mau fitting awal atau lihat progres rumah?"

"Fitting dulu." Aku merasa beratku turun karena kesibukan dan tingkat stres yang meningkat seiring semakin dekatnya hari H pernikahan. Aku hanya akan menikah sekali, jadi menginginkan semuanya sempurna. Aku tidak mau terlihat jelek dengan memakai gaun pengantin dan kebaya kedodoran. Setelah fitting kali ini, aku benar-benar harus mempertahankan berat badan, supaya pakaianku tidak sempit atau kebesaran. "Rumahnya bisa kita lihat minggu depan aja karena tadi desiner interiornya menelepon dan bilang kalau kitchen set baru masuk hari ini sehingga pemasangannya baru akan selesai lusa. Furnitur lain menyusul."

"Semoga rumahnya beneran sudah rampung sebelum kita menikah, jadi bisa langsung kita tempatin setelah pulang dari bulan madu."

Kata 'bulan madu' yang diucapkan Daran dengan nada sedatar seperti saat dia memesan makanan, tetap membuatku tergelitik dan tersipu. Bulan madu identik dengan bercinta. Itu artinya aku dan Daran akan menghabiskan waktu berdua untuk saling mengenal secara fisik.

Aku berdeham, mencoba mengusir imajinasi yang mendadak terpeta di kepalaku. "Rumah kita pasti udah jadi sebelum kita menikah."

**

Pernikahanku adalah satu-satunya acara pernikahan yang akan dihelat oleh orangtuaku seumur hidup mereka, jadi meskipun sudah membatasi jumlah orang yang diundang, resepsinya tetap saja membludak. Tapi aku mencoba menikmatinya. Ini hari besarku. Aku akhirnya dipertemukan dengan orang yang kukagumi di masa lalu dan menikah dengannya. Keberuntungan itu tidak bisa dibandingkan dengan kelelahan berdiri menerima tamu.

Aku merasa lega ketika akhirnya sudah berada di presidential suite hotel yang menjadi kamar pengantin yang akan aku dan Daran tempati selama dua hari sebelum terbang ke Eropa untuk berbulan madu.

Setelah semua orang yang ikut masuk dalam suite pergi, dan aku sudah melepas gaun serta membersihkan riasan, aku masuk ke kamar mandi. Aku harus mandi untuk membersihkan rambut dan merilekskan tubuh.

Saat aku keluar dari kamar mandi, aku melihat Daran yang tampak segar karena sudah lebih dulu mandi duduk di sofa sambil memangku MacBook. Dia memakai kaus dan celana pendek. Penampilan santai yang baru kali ini aku lihat. Ternyata dia tetap terlihat tampan dan menarik dalam balutan pakaian apa pun.

Sekarang sudah lewat tengah malam, tapi anehnya aku tidak merasa mengantuk. Pengaruh air yang membasuh seluruh tubuhku dan lonjakan adrenalin membuat otakku rupanya melewatkan jam biologisku untuk tidur.

Daran mengangkat kepala saat menyadari kehadiranku. Dia lantas meletakkan MacBook dan menghampiriku. Aku berdiri kaku di tengah kamar sambil memegang ujung pertemuan bath robe di depan dada.

Selama jalan bersama, bahkan setelah bertunangan, interaksi fisik kami sangat minim. Daran biasanya merangkul bahuku atau menyentuh pinggangku sesaat ketika dia mengarahkan langkahku saat kami jalan bersama. Tidak ada sentuhan khusus yang bertujuan untuk bermesraan.

Sekarang, ketika dia berada di depanku, tatapannya sangat intens sehingga membuatku merona. Jarak wajah kami sangat dekat. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat menerpa wajahku.

Tanpa mengatakan apa-apa dan tanpa aba-aba, Daran menunduk, merangkum kedua pipiku dan menciumku. Bibirnya terasa lembut sekaligus tegas. Entah sudah berapa banyak film dan drama yang menyajikan adegan ciuman yang pernah kutonton, tetapi sekadar menonton dan mengalaminya sendiri sangat berbeda.

Aku memejamkan mata, mencoba mengimbangi ciuman Daran berdasarkan riset yang kudapat dari tontonan. Ciumanku pasti payah, tapi Daran tampaknya tidak keberatan. Dari wajahku, tangannya turun ke leher untuk menyingkirkan bath robe yang kupakai.

Aku pikir kami tidak akan bercinta malam ini setelah melalui hari yang panjang dan melelahkan. Apalagi aku selalu merasa jika Daran bukan tipe yang terburu-buru. Buktinya dia tidak pernah mencoba mengajakku bermesraan sebelumnya. Bukan berarti aku menolak bercinta sekarang karena kepala dan tubuhku mendadak siaga mengantisipasi sentuhan Daran. Aku memang tidak berpengalaman, tapi reaksi tubuh adalah hal alami. Aku hanya kaget dan merasa heran saja.

Banyak perempuan yang mengatakan jika saat pertama mereka tidak nyaman dan menyakitkan. Hal itu biasanya terjadi karena pemanasan yang kurang dan ketegangan ketika melakukannya. Proses pelumasan belum maksimal. Aku mengakui kebenaran teori itu. Aku hanya merasa sedikit tidak nyaman ketika Daran mencoba masuk dalam tubuhku. Sakitnya tidak menusuk dan perlahan hilang ketika dia sudah tenggelam dan mulai bergerak.

Mungkin aku adalah satu dari sedikit perempuan yang bisa merasakan orgasme ketika bercinta untuk pertama kali. Rasanya luar biasa nikmat. Untuk sesaat, aku merasa sedang berada dalam mimpi yang sangat indah. Aku tahu itu bukan mimpi karena tubuh Daran yang menindihku terasa hangat dan berat. Tanganku yang berada di bokongnya saat menariknya melekat di pangkal pahaku juga terasa nyata.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Daran setelah berguling di sisiku. Suaranya masih berat dan parau. Dari reaksiku, dia mungkin tahu kalau ini adalah percintaanku yang pertama.

Aku mengangguk. Masih sulit untuk bicara. Aku benar-benar jatuh cinta padanya.

Daran mengecup bibirku sekilas. "Tidur ya. Kamu pasti cape banget. Ini hari yang panjang. Lampunya aku matiin ya?"

Aku kembali mengangguk dan memejamkan mata. Tapi sulit untuk tertidur setelah apa yang baru saja terjadi. Hati dan tubuhku sedang berpesta merayakan status baruku. Aku sudah resmi menjadi istri Daran. Secara hukum dan agama. Dia baru saja memberiku nafkah batin yang pertama.

Aku baru akan jatuh tertidur saat mendengar dering telepon. Ponsel Daran. Aku merasakan Daran bergerak bangkit dari tempat tidur. Siapa yang menelepon di waktu seperti ini? Cahaya dalam kamar remang-remang, aku bisa membuka mata sedikit, tanpa dilihat Daran. Aku mempertahankan posisi tubuh tak bergerak, sehingga terkesan tidur. Aku tidak ingin Daran tahu jika bercinta ternyata membuatku terjaga, bukannya terlelap, padahal hormon oksitosin, endorfin, dan prolaktin dalam tubuhku sedang luber. Seharusnya aku rileks dan mengantuk, bukannya malah melek.

Daran berjalan menjauh dari ranjang sebelum mengangkat teleponnya. Dia pasti tidak mau membuat tidurku terganggu. Manis sekali. Dia benar-benar memikirkan kenyamananku.

"Aku sudah bilang supaya kamu nggak menghubungiku di nomor ini!" ujar Daran tanpa salam dan basa basi. Nadanya terdengar gusar.

Hatiku terasa mencelus. Siapa yang menelepon Daran? Mengapa Daran harus punya nomor lain? Ada apa ini?

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah tamat. Tengkiuuu....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top