Rindu
"Hantu itu tidak menyeramkan."
Ketika aku mengatakannya, mereka semua terdiam dan menatap dengan pandangan aneh.
"Kenapa?" tanyaku, rasanya aku tidak mengatakan sesuatu yang salah.
"Hantu itu menyeramkan, Key!" ungkap Martha dengan tatapan horor.
"Tapi aku tidak pernah bertemu hantu yang ... menyeramkan? Maksudku, mereka normal, seperti manusia," paparku, membuat mereka bertiga kembali terdiam dan memandang lekat.
"Memangnya kau bisa melihat hantu?"
"Dulu. Saat aku masih kecil."
"Dan sekarang?"
Aku menggeleng dan tersenyum getir. "Aku tidak bisa melihat mereka sejak pindah ke sini sepuluh tahun lalu."
"Jadi dulu kau bisa melihatnya? Keren."
"Ya, itu keren!" Aku jadi bersemangat. "Nenekku juga bisa melihat mereka. Dan kami tidak pernah bertemu hantu yang menyeramkan—oh! Ada. Ada satu yang agak menyeramkan, tapi ... dia tidak jahat."
"Dulu kau tinggal di Dunsmuir, bukan?!"
"Ya, bersama Nenek."
Pembicaraan tentang masa kecilku pun terus berlanjut hingga hari semakin sore. Kerja kelompok yang harusnya menyelesaikan tugas, malah dihabiskan dengan cerita tentang hantu dan rumor-rumor menyeramkan. Ini tidak aneh, memang sudah waktunya memasuki bulan yang identik dengan perayaan Halloween dan kostum-kostum hantu.
Namun, gara-gara pembicaraan tadi, sepanjang jalan pikiranku hanya tertuju pada Nenek dan rumah tuanya yang memiliki aroma kayu manis. Aku tinggal di rumah Nenek sejak masih bayi, mama menitipkanku dan pergi ke Los Angeles untuk bekerja. Hingga berusia tujuh tahun, aku dijemput dan harus meninggalkan Nenek sendirian.
Setahun kemudian, kami mendapat kabar kalau Nenek hanyut di sungai dan mayatnya tidak pernah ditemukan—hanya sepasang sepatu yang tergeletak berjauhan di tepian sungai. Pencarian sudah dilakukan tapi tidak ada hasil, akhirnya kami hanya dapat pasrah dan merelakan.
Rasanya masih teringat betapa hancurnya aku kala itu. Enggan makan dan minum, hanya menangis dan meminta untuk kembali ke Dunsmuir dan ikut mencari keberadaannya. Beliau adalah orang yang penyayang, menyenangkan, dan selalu menghiasi masa kesepianku dengan hal-hal ajaib—dalam artian yang sebenarnya. Jika mengingat bagian ajaib tentang Nenek, ada banyak hal yang membuatku semakin merindukannya.
Langkahku berhenti di depan taman kecil yang tidak jauh dari rumah, matahari sudah nyaris terbenam hingga menciptakan langit berwarna oranye pekat. Dulu, aku dan Nenek sangat suka bermain di hutan belakang rumah, apalagi ketika di penghujung musim gugur seperti saat ini. Bukan hanya kami, tapi juga teman-teman Nenek yang orang sebut sebagai hantu.
Tiba-tiba aku tersentak kala daun kering di tengah lapangan terbang dan memutar seperti terkena tornado. Sekelebat, terlihat sosok hitam dari tengah gulungan daun, aku mencoba mendekat untuk melihat dan betapa terkejutnya ketika seorang remaja laki-laki pucat dengan mata merah menyala menatap ke arahku.
Harusnya aku mundur dan pergi dari sana, tapi yang terjadi malah air mata yang mengalir tanpa sebab. Entah mengapa, ketika mata kami bertemu, aku merasakan kerinduan yang semakin dalam. Rasanya menyesakkan.
Sosok di tengah pusaran daun kering yang berterbangan itu dengan cepat melesat ke arahku, sontak membuatku mundur hingga tersandung dan jatuh terduduk. Pemilik mata merah itu melayang dengan sangat cepat hingga ketika wajah kami hampir bertabrakan, ia lenyap. Menyisakan daun kering yang berjatuhan dari atas.
Tak hanya itu, aku mendengar sebuah suara yang begitu pelan, seperti terbawa angin, "Akhirnya ketemu."
Suara itu ... terdengar tidak asing, tapi aku lupa siapa pemiliknya.
Seperti sebuah kebetulan yang datang bertubi, sampai di rumah, aku melihat Mama sedang duduk di lantai—depan rak buku kecil di ruang keluarga—ia sedang fokus pada album tua berwarna coklat di tangannya, hingga tidak menyadari kehadiranku sebelum menyapanya, "Ma?"
"Oh, Key! Kenapa pulang terlambat?"
"Aku, kan sudah bilang kalau harus mengerjakan tugas kelompok di sekolah," jawabku seraya membungkuk untuk melihat ke album yang terkembang di paha Mama. "Itu ... foto Mama saat kecil?"
Mama tersenyum dan kembali melihat album seraya mengelus foto dirinya yang mungkin masih berusia empat tahun sedang berdiri di samping Nenek. Rasa rindu kembali menggerogotiku.
Layaknya Mama, aku juga terdiam. Kami hanya menatap setiap foto yang menggambarkan betapa bahagianya kehidupan bersama Menek—baik bagi Mama, atau bagiku. "Nenek ... kira-kira ke mana ya, Ma?" tanyaku tanpa maksud apa-apa, hanya ... ungkapan rindu dan rasa harap kalau beliau masih ada di Dunsmuir, di rumah tepi hutan yang memiliki halaman luas. "Ah, maaf. Aku—"
Mama menangis gara-gara ucapanku. Sungguh, percakapan yang melankolis di malam yang dingin.
"Gimana kalau kita jalan-jalan ke rumah Nenek? Pasti debu sudah sangat banyak!" celetukku seraya tersenyum. Sebuah ide yang asal dari perasaan yang sedang kacau.
"Ide bagus!" seru Mama, sontak membuatku terkejut. Mama setuju?
Mama berdiri dan mengambil buku kecil di rak paling atas. "Mari kita lihat!" gumamnya di sela tangan yang terus membalik halaman buku. "Tanggal 28 Oktober. Bagaimana?"
"Setuju!"
Masih ada waktu dua minggu lagi untuk pergi, tapi dadaku sudah berdegup kencang. Ini perasaan yang sama ketika masih kecil, saat Nenek berjanji akan membawaku ke tempat ajaib miliknya. Beliau hanya mengajakku ke sana sekali dalam dua bulan, tidak pernah lebih. Setiap kali menanyakan alasannya, Nenek selalu mengalihkan pembicaraan dan membiarkan semua keingintahuan itu terkubur dan terlupakan.
Akan tetapi, ada satu hal yang selalu dikatakannya setiap kali kami keluar dari tempat itu, "Ingat, Key. Jangan pernah membuka pintu ini jika tidak ada Nenek. Berjanjilah!"
***
Usai makan malam, aku selalu menghabiskan waktu—hingga kantuk menyerang—di depan jendela yang menghadap ke halaman depan. Dari kamar di lantai dua itu, aku dapat melihat jalanan kompleks yang sepi berhias lampu jalan yang berderet. Tanganku memetik gitar hadiah ulang tahun ke-15 dari Mama, lalu mataku perlahan menutup menghayati musik yang seadanya dari kemampuan yang terbilang amatir.
"Ketemu."
Mataku kembali terbuka—terbelalak—ada suara seseorang yang menyusup di antara suara gitar. Aku menoleh ke luar, tidak ada siapa pun. Mama juga tidak masuk ke kamar yang tertutup sedari awal. Siapa?
"Keysa!"
Aku mendengarnya lagi dengan lebih jelas tanpa ditimpa denting gitar! "Siapa?" Sontak berdiri, aku menaruh gitar di tempatnya dan berkeliling, mencari tahu siapa yang memanggilku. Suaranya terdengar begitu familier.
"Key!" Suara yang seperti berbisik di telinga belakang, membuatku berbalik dengan wajah pucat.
Tidak ada siapa-siapa.
Akan tetapi, ketika melihat ke bawah, ada bunga putih kecil yang teronggok di lantai. Aku memungutnya. "Sweet alison?" lirihku. Aroma manis bagai madu langsung tercium. Tanpa disadari, air mata kembali mengalir, kali ini karena teringat pada sosok yang dulu menjadi teman bermainku kala Nenek sibuk berladang. "Kenapa ... aku jadi benar-benar ingin kembali?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top