Kenangan

Ada rumor yang mengatakan, menjelang kematian, kita akan kembali mengingat semua yang pernah terjadi di dalam hidup. Begitulah yang terjadi padaku saat ini, kembali ke masa lalu, ketika berusia empat tahun.

Hari itu Mama tidak jadi berkunjung padahal kami berjanji akan merayakan natal bersama. Aku bersedih sepanjang hari, tapi Nenek selalu berusaha menghibur, walau tidak pernah berhasil membuatku kembali tersenyum.

Sampai akhirnya beliau berkata, "Keysa mau melihat sesuatu yang ajaib?" Dan sesuatu yang ajaib itu adalah dunia lain di balik pintu kamar di lantai atas.

Nenek memang tidak pernah mengatakannya secara jelas, tapi aku dapat melihat dari senyuman dan sorot matanya ketika berinteraksi dengan makhluk-makhluk yang bisa disebut sebagai hantu itu. Beliau tulus. Menganggap mereka sebagai teman—bahkan keluarga.

Pernah suatu ketika ada satu sosok wanita bergaun pengantin yang suka berdiri di bawah pohon besar dekat danau di dalam kamar ajaib. Ia suka sekali menangis dan Nenek selalu menghampiri serta mengajaknya berbincang, hingga akhirnya ia tersenyum.

Begitulah sosok Nenek di mataku, orang yang selalu baik pada semua makhluk, yang kasat mata maupun tak kasat mata. Hanya saja, beliau tidak pernah menjelaskan apa pun, membiarkan semuanya seperti dongeng pengantar tidur, hanya butuh dinikmati, tak perlu dipertanyakan.

Lalu ingatanku kembali ketika berusia tujuh tahun, bertepatan dengan musim semi, Mama datang menjemput untuk ikut ke Los Angeles bersamanya, karena sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Tentu aku senang, tapi juga bersedih. Aku ingin Nenek ikut bersama kami, tapi beliau berkata, "Pergilah, Key. Nenek akan tetap di sini. Jika pergi, siapa yang akan menjaga 'mereka' nantinya?"

"Keysa!"

Panggilan seseorang membuatku kembali pada kesadaran yang seharusnya. Sepertinya aku belum benar-benar mati. Semua kenangan itu buyar dan berganti menjadi keinginan untuk menyahut, tapi suara tak bisa keluar. Seperti tenggelam, tubuhku juga terasa berat dan napas tercekat.

Sebuah tangan menggenggamku, lalu udara berbondong masuk memenuhi paru-paru, membuatku terbatuk.

"Key, bertahanlah!"

"Ash!" lirihku setelah berusaha sekuat tenaga untuk bersuara.

"Akhirnya kau tahu siapa aku!" Suara lelaki bertanduk itu terdengar begitu lembut. Dia benar, sekarang aku tahu siapa dia. Ash.

Masih teringat saat pertemuan pertama kami. Kala Nenek memperlihatkan dunia rahasia miliknya. Aku disambut hangat oleh semua penghuninya, mereka memperlakukanku dengan sangat baik. Kecuali satu sosok yang selalu membuat jarak dan tidak pernah menyapa. Dia adalah Ash.

Wujudnya juga termasuk yang paling menyeramkan saat itu, tapi dia tidak pernah mengganggu. Pun tidak mau berinteraksi denganku. Hingga ketika ulang tahunku yang keenam, dia memberikan segenggam bunga sweet alison putih dan berkata, "Semoga kau berumur panjang."

Itulah yang mengawali pertemanan kami, dia jadi sering mengunjungiku; mengikuti hingga ke taman sweet alison, menemaniku bermain di rumah, atau sekadar mendengarkan celotehan anehku. Dia adalah Ash, hantu dengan wujud mengerikan tapi tidak jahat--seperti yang kuceritakan pada teman-teman di sekolah siang itu.

"Bangunlah, Key!"

"Berikan dia pada kami!" Suara berat yang menggelegar menyentakku. Walau masih saja belum bisa membuka mata ataupun menggerakan tubuh. Semuanya terasa kaku.

"Margareth tidak pernah setuju menjadikan Keysa sebagai penggantinya!"

"Tapi kita butuh kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya untuk bisa benar-benar terbebas dari rumah ini!"

"Kalian tidak boleh pergi ke mana pun!"

"Kenapa? Bukankah kau sudah lama tidak mencicipi daging manusia? Terakhir kali sembilan tahun yang lalu, bukan?!" suara wanita menginterupsi.

"Jika terbebas dari sini, kita bisa melakukan apa pun sesuka hati seperti dahulu!" kali ini suara melengking menimpali.

"Sejak awal kau memang hanya berpihak padanya, sialan!"

"KEYSAAA!" dan sekarang aku mendengar teriakan Mama. Oh, tidak. Apakah itu artinya Mama juga terjebak dengan semua keanehan ini?

"Ma-ma!" lirihku, seraya berusaha membuka mata. Namun, kepala yang tadi rasanya berada di pangkuan seseorang, kini kembali merasakan kerasnya lantai kayu.

Aku mengerang saat tubuhku terdorong hingga membentur dinding. Tidak bisa terus begini, aku harus bangun sekarang dan menolong Mama. Semua yang terjadi adalah salahku karena membuka pintu itu padahal selalu diingatkan untuk tidak melakukannya tanpa didampingi Nenek.

Sebuah kenaifan yang membuatku terjebak dalam situasi mengerikan.

"Key, bertahanlah!" ujar Ash yang sudah berdiri di hadapanku.

Jelas aku belum sadar, sebab tempat kami saat itu hanya ruangan gelap, tidak ada apa pun. Hanya terlihat Ash yang berdiri dengan iris merah menyala.

"Aku akan membuka kuncinya. Berikan tanganmu!" serunya dengan nada yang sangat lembut.

Tanpa bertanya, aku mengikuti perintahnya—Ash menyambut dan menaruhnya di atas telapak tangannya yang lebih lebar. Sebuah cahaya kuning keemasan muncul dari tangan kami yang saling bersentuhan, lalu menjalar ke tubuhku hingga rasanya begitu hangat.

"Dengan begini, satu tugasku selesai!" ucap Ash, kemudian menghilang. Bersamaan dengan itu aku terbangun—kali ini benar-benar terbangun, karena pandanganku langsung menangkap segerombolan sosok menyeramkan sedang berkerumun di depan sana.

Bentuk mereka tidak jelas, ada yang merangkak di lantai, bergelayutan di langit-langit, dan bahkan muncul dengan anggota tubuh yang tidak utuh. Semua hal mengerikan yang ada di film horor yang pernah kutonton, hadir dengan begitu nyata di depan sana.

"Key-sa!" rintihan Mama mengalihkan perhatianku. Di tengah kerumunan makhluk itu, ada Mama yang sedang terkapar dengan kepala yang menoleh dan tangan menggapai ke arahku.

Oh, tidak! Aku segera berdiri. Semua sakit dan lelah yang terasa, sudah lenyap. Bahkan aku seperti punya lebih banyak energi. "Jangan sakiti Mama!" bentakku. Namun, bukannya takut, mereka malah menertawakan. "Apakah kalian yakin ingin menyakiti kami? Anak dan cucu Margareth?"

"Tentu saja! Margareth telah membodohi kami, dia harus membayar dengan mengorbankan seluruh keturunannya!" kecam wanita bersanggul yang tadi sempat menghadang kami.

"Tidak! Nenek tidak pernah membodohi kalian, dia sudah menganggap kalian sebagai keluarganya!"

Sekali lagi aku ditertawakan. Tak hanya itu, sebuah tangan besar muncul dari belakang dan menggenggam tubuhku dengan erat.

"LEPAS!"

Getaran terjadi, aku merasakan sensasi hangat yang sama ketika energi kuning keemasan mengaliri tubuhku. Teriakan terdengar dan tangan yang menggenggamku terbakar, lalu menjadi abu.

"Key! Ini saatnya!" Ash muncul di sampingku dengan satu tanduk yang sudah patah. Ia menggendongku, terbang melewati lorong dan naik ke lantai atas.

Terdengar suara gaduh yang mengikuti di belakang, membuat rumah bergetar seperti terkena gempa. Kami berdua berdiri di depan pintu berukiran naga dan Ash menatapku. "Aku akan menahan mereka, kau hancurkan pintu dimensi itu!"

"Caranya?"

Ash menangkup wajahku hingga menengadah dan membungkuk untuk menempelkan kening kami. Hanya dalam beberapa detik, semua informasi seolah masuk ke dalam otakku. 

Ia membuat jarak, tapi sebelum berbalik untuk menghalangi makhluk mengerikan yang mencoba mencegah di belakang, ia meraih tanganku dan melukainya hingga berdarah.

Aku hendak protes tapi langsung teringat kalau dia hanya membantu memenuhi satu syarat, memberikan darahku sebagai pertanda keturunan Nenek--Margareth.

"Jika kuhancurkan, apa yang akan terjadi?" tanyaku tanpa menoleh.

"Kami akan lenyap untuk selamanya."

Lenyap?

"Apa yang akan kalian lakukan?" Aku mendengar bentakan mereka tapi enggan menoleh.

Aku mendekati pintu yang tertutup itu; telapak tangan yang tadi berdarah, kusentuhkan ke ukiran dua naga yang tampak begitu gagah. Mata terpejam dan rasa hangat kembali muncul, kali ini seperti mengalir ke telapak tangan. "Aku, pengganti sang penjaga--"

Diam sejenak untuk menelan ludah. Mataku kembali membuka dan tangan perlahan turun, menyisakan jejak darah di pintu. Baru terpikirkan sekarang, apakah aku benar-benar akan menghancurkan dunia yang sangat berharga bagi Nenek? Bukankah saat ini mereka hanya salah paham?

"Lakukan, Keysa!" seru Ash di belakang.

"Tapi ...."

"Tidak apa. Kau adalah satu-satunya orang yang mewarisi kekuatannya dan ia tidak mau kau menggunakannya. Itu artinya tempat ini memang sudah tidak pantas ada!"

"Kamu bilang, aku punya pilihan untuk menggantikan Nenek!" seruku.

"Sudah terlambat, mereka akan membunuhmu lebih dulu!"

Aku menelan ludah sekali lagi. Apakah memang tidak ada jalan lain? Nenek ... apa aku memang harus melakukan ini? Sekali lagi kusentuh dua naga di pintu. Jika pintu ini hancur, peninggalan Nenek yang paling berharga akan hilang. Apakah ini tak apa?

"JANGAN BERANI MELAKUKAN HAL ITU!" jerit mereka di belakang sana.

"Cepatlah, Key. Aku tidak sanggup menahan mereka lebih lama lagi!"

"MARGARETH! KAU MANUSIA JAHAT!"

Aku memejamkan mata dan menarik napas—mencoba menguatkan tekad. Ash benar, aku harus mengakhirinya. Jika mereka bebas dan menyebabkan teror pada penduduk, maka Nenek akan lebih bersedih. Aku harus melakukannya!

"Aku, pengganti sang penjaga. Kuperintahkan hancurkan pintu dimensi ini untuk selamanya!" ucapku dengan lantang.

Pintu di depanku bergetar. Dua ukiran naga bergerak dan bergelung seperti hidup, lalu retak dan jatuh ke lantai. Bersamaan dengan itu, cahaya menyilaukan muncul dan membuatku refleks memejamkan mata. 

Tiba-tiba aku terbangun di tepi sungai tak jauh dari rumah Nenek—tempat kejadian nahas itu.

"Margareth, kau tidak perlu menolong arwah lemah itu!"

Aku menoleh ke asal suara dan terbeliak. "Nenek?" panggilku dengan suara serak. Di sana ada Nenek dan Ash sedang berdiri di tepi sungai, tak jauh dari tempatku sekarang. "Nenek!"

Tidak ada sahutan, aku hendak mendekat, tapi arwah gadis kecil melayang dengan wajah merah dan raut marah ke arah Nenek. Hal itu membuat beliau terkejut dan hilang keseimbangan. Aku mengulurkan tangan untuk menahannya agar tidak jatuh ke sungai tapi gagal.

Aku tidak bisa menyentuhnya.

"MARGARETH!"

"NENEK!" jeritku dan Ash bersamaan kala Nenek jatuh dengan kepala menghantam batu di tengah derasnya aliran sungai.

Ash membakar arwah yang tadi mengamuk hingga menjadi abu, kemudian segera terbang mengejar Nenek. Ia menggendong dan membawanya ke tepian. 

"Nenek!" panggilku dengan mata berkaca-kaca.

"Margareth!" Ash memanggil namanya seraya memeluk erat. Kedua tangannya yang hanya berupa tengkorak berbalut kulit hitam pekat sudah basah oleh darah, sementara Nenek tidak bergerak. "Bukankah sering kubilang, kau sudah terlalu tua untuk mengurus arwah rendahan itu!"

"Nenek!" panggilku, kali ini dengan air mata yang sudah tidak terbendung. Aku berlutut di depan wanita tua yang masih cantik untuk usianya yang menginjak enam puluh tahunan itu.

"Sial! Margareth, kau akan meninggalkan kami begitu saja?" rutuk Ash, ia menggendong Nenek dan membawanya pergi ke arah rumah.

"Nenek!" Aku hendak mengikuti tapi semua pemandangan itu berubah menjadi gelap gulita.

****

"TIDAK! MARGARETH! KEYSA!"

Jeritan serentak itu membuatku tersentak hingga mundur ke belakang. Cahaya menyilaukan sudah lenyap, berganti menjadi pintu yang sudah tanggal engselnya, jatuh ke arah dalam ruangan yang hanya kamar kosong dengan satu jendela terbuka—memperlihat keadaan di luar yang sangat terang.

Aku berbalik dan menatap mereka semua perlahan menjadi serpihan dan lenyap tanpa jejak. Beberapa dari sosok mengerikan itu menatap murka, tapi sebagian lagi kembali berubah ke bentuk yang tidak menyeramkan. Mereka menangis, sama sepertiku saat ini, lalu berkata, "Selamat tinggal."

Kemudian menghilang.

Dapat kurasakan sebuah tangan besar menggenggam tanganku. "Cepat bawa mamamu keluar dari tempat ini!"

Aku mengangguk dan segera lari ke bawah. Mama tergeletak di sana, tapi masih sadarkan diri. Aku memapahnya untuk keluar dari rumah dan menjatuhkan diri di tengah halaman. Sementara rumah Nenek ambruk hingga nyaris rata dengan tanah.

"Ash!" panggilku ketika sadar kalau lelaki bertanduk itu tidak ada di mana-mana. "Ash!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top