Kembali

Di dalam hutan yang tidak jauh dari rumah Nenek, ada hamparan taman bunga yang tumbuh secara alami—ladang bunga sweet alison. Aku paling suka datang ke sana ketika musim gugur karena mereka mekar dengan sempurna, dan aroma manis bagai madu adalah hal terbaik dari bunga itu.

Nenek bilang, sweet alison akan menghindarkan kita dari hal jahat seperti mantra sihir dan serangan iblis. Kala itu, aku menelan semua perkataannya dan menghabiskan hari-hari di taman bunga karena merasa aman dan nyaman. Namun, pada akhirnya aku tahu bahwa semua hanya mitos, sebab sesekali dia yang tidak terlihat, menemaniku di sana—seolah tidak terpengaruh pada bunga tersebut.

"Barang-barangmu sudah siap?" tanya Mama di sela kegiatannya, memasukkan pakaian ke dalam koper kecil.

"Sudah!" seruku seraya menatap puas pada koper merah jambu yang  tertutup rapat dengan semua keperluan yang sudah dimasukkan.

"Tidak perlu banyak-banyak, kita hanya tiga hari!"

"Ya, baiklah!"

Akhirnya besok pagi kami akan ke Dunsmuir, tempat Nenek. Ketidak-sabaran menggelayutiku selama dua pekan ini, makanya semua keperluan kupersiapkan lebih cepat.

"Kira-kira apakah tamannya masih ada ya?" lirihku.

"Ada." Aku menoleh ke samping. Baru saja ada yang berbisik, tapi tidak ada siapa-siapa di kamar.

Aku sendirian.

Lagi-lagi ini terjadi. Sejak bunga sweet alison yang tiba-tiba ada di kamar, aku jadi sering mendengar bisikan sayup entah dari mana. Awalnya hal itu terasa menakutkan, tapi lama-lama aku terbiasa. Jika pun itu adalah hantu, tak ada ingatan menyeremkan dari mereka, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.

***

Perjalanan ke Dunsmuir adalah perjalanan yang panjang. Kota itu terletak di Siskiyou California Utara, sebuah kota yang menjadi pusat pariwisata. Rute tidak berakhir setelah turun dari pesawat, sebab kami harus naik bus untuk sampai ke rumah Nenek.

Setelah menurunkan koper di depan halte, kami berjalan kaki beberapa meter dan memasuki jalan setapak yang jauh dari jalan utama, hingga akhirnya sampai. Aku menarik napas dalam, menyesap semua aroma yang memancing kenangan masa lalu. Rumah Nenek berada di tepi hutan sehingga, tempatnya termasuk sepi. Akan tetapi, tidak ada yang menyeramkan dari rumah itu, sebab Nenek merawatnya dengan baik.

Biasanya!

Namun, Nenek sudah tidak ada, maka tak aneh jika pemandangan yang kulihat kali ini adalah sebuah rumah dengan halaman luas yang terlihat mengerikan. Padahal Mama sudah menyewa seorang warga lokal untuk sesekali membersihkannya, tapi tetap saja tidak menghentikan kesan rumah kosong yang ditinggal lama.

Ketika aku menginjak rumput bertabur guguran daun berwarna kuninh kecokelatan, semua kenangan itu datang seperti gulungan film yang terus berputar dan memenuhi perasaanku hingga jantung rasanya berdegup lebih cepat. "Aku pulang!" lirihku.

"Ah, lihat ini! Bunga mawarnya sudah mati!"

keluhan Mama menyadarkanku dan sontak menoleh ke kiri halaman. Dulu, ada satu petak tanah yang khusus ditumbuhi mawar merah besar dan memiliki aroma yang begitu wangi. Namun, seperti halnya rumah tanpa penghuni, taman itu sudah mati, ikut gugur di musim yang seharusnya mereka mekar.

"Key!" Bisikan itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas. Suara laki-laki.

Aku menatap rumah kayu dua tingkat di depan sana. Tampak begitu tua dengan aura yang membuatku tidak nyaman, tapi kaki terus saja melangkah masuk dan membuka kunci pintu utama. Tidak banyak debu, tapi juga tidak sebersih rumah seharusnya. Semuanya masih sama seperti sepuluh tahun lalu, seaakan waktu telah berhenti sejak aku meninggalkannya.

"Ayo masuk, kita harus mulai bersih-bersih sebelum malam!" seru Mama seraya melewatiku untuk masuk ke ruang tamu keluarga yang ada di sebelah tangga.

"Langsung?" sungutku. Rasanya badan sudah sangat lelah, kami baru saja melewati perjalanan jauh, kan!

Mama mengintip ke luar dengan sebelah alis terangkat, lalu berkata, "Kamu mau tidur di kamar berdebu?" Aku menggeleng. "Kalau begitu ayo siap-siap. Setidaknya lantai bawah dulu!" lanjutnya dan kembali ke dalam.

Aku hanya dapat menghela napas—yang agak tersendat karena bercampur debu—lalu mengikuti Mama ke dalam. Ruang keluarga itu juga masih sama, ada perapian dengan deretan pigura di atasnya.

Aku tersenyum dan mendekat, untuk mengamatinya satu-persatu. Namun, senyumku pudar karena foto Nenek yang sedang berdiri sendirian di depan rumah. Aku mengambil dan menggosoknya dengan tangan—mungkin tertimbun debu makanya wajah Nenek di foto itu jadi hitam, tapi tidak. Memang fotonya begitu. Aneh. Dulu tak seperti ini ... bukan?!

"Ada apa?" tanya Mama yang berdiri tepat di belakang, membuatku terlonjak dan hampir menjatuhkan foto berbingkai emas itu.

Aku menoleh dan menunjukkannya pada Mama. "Lihat, Ma. Foto Nenek seperti terkena tinta tapi masih dipajang!"

"Hah? Kamu bicara apa? Tinta?"

"Iya, ini!" Aku menunjuk ke foto itu lagi, tapi wajah Nenek kembali seperti seharusnya. Tersenyum manis dengan bibir bergincu merah dan rambut cokelat yang pendek. "Kenapa—"

"Udah, cepat gunakan masker dan bersihkan debu-debunya!" Mama memberikan sebuah masker dan kemoceng, sementara aku hanya berdiri mematung dengan otak yang mencoba melogikan apa yang terjadi. Walau tetap aja ini aneh. Tidak masuk akal. Aku bersumpah tadi tidak salah lihat!

***

Pagi harinya, usai sarapan aku bergegas menuju hutan belakang rumah. Aku ingin melihat keadaan taman bunga sweet alison dan betapa terkejutnya kala hamparan bunga dengan kelopak berwarna putih terbentang seperti karpet sejauh mata memandang. Angin yang berembus ke arahku pun membawa aroma manis yang begitu menenangkan.

"Benar-benar masih ada rupanya," gumamku sambil berjongkok untuk melihat bunga itu lebih dekat. Ah, berarti suara yang menjawab 'ada' kemarin malam tidak bohong. Namun, siapa yang mengatakannya? Jangan-jangan ....

Aku segera lari, kembali ke rumah dan berdiri di depan tangga menuju lantai atas dengan napas terengah. Ada sebuah tempat yang sangat ingin kudatangi dan kemungkinan besar, bisikan yang kudengar beberapa minggu ini berasal dari sana.

Perlahan tapi pasti, aku melewati anak tangga, menimbulkan bunyi derit kayu yang jujur membuat jantungku berdegup kencang. Sesampai di ujung tangga, aku membuka jendela terdekat sehingga memberikan penerangan pada ruangan yang terdapat dua pintu di sisi kanan.

Satu pintu sebagai kamar Nenek dan satu lagi pintu yang akan membawaku kembali ke tempat itu dan bertemu mereka.

Ini mungkin memang sudah saatnya. Anggap saja untuk terakhir kalinya aku ingin berpamitan secara langsung, serta sama-sama mengenang Nenek—orang yang kami sayangi.

Aku berdiri di depan pintu kayu yang tingginya hampir mencapai langit-langit. Di kedua sisi gagangnya, ada ukiran dua naga dari emas yang sangat cantik. Aku menelan ludah seraya mengulurkan tangan. Akan tetapi, getaran di saku celana menyentakku. Oh, hampir saja jantungku tanggal. Dengan cepat aku meraih dan mengangkatnya. Itu panggilan dari Martha.

"Kau ke Dunsmuir? Kenapa tidak mengatakannya pada kami?" tanya gadis di seberang telepon.

"Begitulah," jawabku seraya terkekeh kecil.

"Enak sekali, jika aku tahu, aku akan ikut dengan kalian!"

Aku menyandar pada dinding di sebelah pintu, mencoba menyamankan diri. "Kau tak akan sanggup, ini perjalanan yang panjang!" ejekku. "Aku akan kembali tiga hari lagi, akan kubawakan oleh-oleh!"

"Oh, ayolah! Kau curang sekali, mengambil liburan sebelum waktunya. Apa ada sesuatu yang terjadi di sana?"

"Tidak ada, Mama bilang dia kangen rumah Nenek."

"Mamamu tidak bekerja?"

"Bisa ambil cuti bulan ini."

"Ah, aku juga ingin liburan!" geram Martha. Bisa kubayangkan bagaimana ekspresi menderitanya saat ini. "Kau tahu, Miss Ande-zz-on—tut ...."

Aku mengecek handphone dan ternyata sinyalnya hilang. Ini memang tempat terbaik untuk mengisolasi diri. Aku kembali berdiri di depan pintu, kali ini tidak segugup sebelumnya—terima kasih pada Martha.

Aku menarik gagangnya dan syukurlah tidak terkunci.

"Jangan!"

Suara itu lagi. Dia melarangku membuka pintu ini? Akan tetapi, sudah terlambat. Ketika pintu terbuka sebuah cahaya menyilaukan membutakanku. Angin berembus sangat kencang dan menerjang masuk. Hanya beberapa detik, untuk kemudian aku segera menutup hidung karena aroma amis yang begitu menyengat.

Ketika membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah sebuah mata hitam pekat sebesar bola basket berada tepan di hadapannya, lalu suara geraman terdengar dan disambut lengking tawa yang memekakkan telinga.

Aku hendak mundur dan menutup pintu, tapi sebuah tangan pucat dengan kuku tajam menarikku semakin dalam hingga ujung hidungku hampir menyentuh pupil besar di depanku.

"Akhirnya!" ujar sebuah suara berat yang menggelegar di tempat gelap dengan bau anyir yang kian menusuk.  

Ini bukan tempat yang seharusnya ada di balik pintu ajaib milik Nenek!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top