Ikatan
"Mana mungkin aku pewaris kekuatan Nenek. melihat hantu saja sudah tidak bisa!" bantahku dari dalam kamar mandi. Walau ajaibnya sejak kembali ke rumah ini, aku bisa melihat hal mengerikan.
"Bukan tidak bisa, tapi Margareth mengunci kekuatanmu."
"Jika semua itu benar, lalu mengapa kamu malah menolongku? Bukankah kamu juga bagian dari mereka?"
Kembali hening. Kali ini cukup lama hingga aku menjadi tidak sabaran. "Hei, kamu masih di sana?"
"Keysa. Aku akan mengabulkan satu permintaanmu." Akhirnya dia bersuara. "Menerima takdirmu sebagai pengganti Margareth dan tinggal di sini, atau ... membuang semuanya dan menghancurkan pintu dimensi."
"Kamu belum menjawab pertanyaanku!"
"Pilih salah satu. Jaga, atau hancurkan?
Sepertinya dia memang tidak berniat menjawabnya. Baiklah. "Hancurkan!"
"Kalau begitu, keluarlah!"
Alih-alih membuka pintu, aku mundur ke belakang. Aku masih waras untuk tidak memercayai makhluk gaib. Semuanya tidak masuk akal, mereka adalah hantu yang ingin menangkapku.
Baru mundur dua langkah, punggungku membentur sesuatu, yang pasti bukan dinding karena seharusnya masih jauh di belakang sana.
"Sulit sekali berunding denganmu."
Suara berat yang terdengar di belakang membuat bulu kudukku merinding. Aku terlonjak dan segera berbalik. Dia, Lelaki pucat bertanduk itu sudah ada di dalam dengan mata merah yang menatap ke arahku.
"K-kamu bisa masuk?" Oh, pertanyaan retoris macam apa itu, tentu dia bisa masuk. Dia hantu. Kenapa aku baru kepikiran sekarang?
"Masih ingin mendengar jawabannya?" tanyanya seolah mendengar isi pikiranku.
"Ka-kalau kamu bisa masuk dengan mudah, ke-kenapa memintaku membuka pintu?"
"Sopan santun?!" jawabnya dengan raut datar. "Sebentar lagi mereka akan kembali dengan lebih banyak pasukan. Sebaiknya kita segera ke atas dan menghancurkan pintu dimensinya!" lanjutnya, seolah tidak peduli pada ketakutan yang pasti tercetak jelas pada wajahku.
"Kamu ... sungguh akan membantuku?"
Dia tidak menjawab. Aku menghela napas dan mencoba menenangkan diri, setidaknya yakin kalau dia tidak akan menyakitiku-untuk saat ini. "Sebenarnya kamu siapa? Kenapa membantuku? Apakah dulu ... kita pernah bertemu di dalam sana?"
"Wajar kau lupa. Sudah sepuluh tahun waktu berlalu!" ujarnya.
Dia maju selangkah dan aku mundur hingga punggung membentur pintu kamar mandi. Dia semakin mendekat dan aku merosot ke lantai, meringkuk ketakutan. Mataku terpejam erat kala tangannya terulur ke depan. Sial, dia akan menyerangku sekarang?
"Pintunya tidak akan terbuka jika kau menghalangi seperti itu."
Aku membuka mata dan menengadah dengan canggung. "O-oh, be-benar."
"Selain menjadi manusia biasa, kau juga jadi penakut sekarang."
Tentu saja aku takut, ada lelaki bertanduk di depanku dan monster mengerikan sedang mengincar nyawaku. Mana mungkin tidak takut!
Ah, 'sekarang'? apa itu artinya dulu kami memang pernah bertemu? Namun, aku sama sekali tidak mengingatnya.
****
Setelah keluar dari kamar mandi bersama lelaki bertanduk-masih belum dapat kesempatan untuk menanyakan namanya-aku melihat pintu kamar sudah hancur dan sosok tinggi besar mencapai langit-langit sudah berdiri menghadang. Taringnya yang panjang hingga hampir menyentuh lantai membuatku meringis ngeri dan refleks bersembunyi di balik lelaki bertanduk.
"Mundurlah, Margareth akan sedih jika tahu kalian hendak membunuh cucu kesayangannya!"
Perkataan lelaki bertanduk membuatku teringat kembali pada Nenek. Dulu, beliau sering berkata kalau semua yang ada di balik pintu adalah bagian dari keluarganya. Mereka yang menemani kesendiriannya ketika Mama memutuskan hidup mandiri dan pergi ke luar kota. Tentu keadaan yang terjadi sekarang akan membuatnya bersedih.
"Dia sudah mati. Kau sendiri yang memakan mayatnya, bukan?!" tukas makhluk di depan pintu.
"Me-makan?" Aku mudur. Menjauh dari lelaki tinggi yang beberapa menit lalu berkata kalau dia ada di pihakku. "Kamu-"
Lelaki pucat itu bergeming. Ia mengangkat tangan ke depan dan sebuah asap hitam bergumpal, melesat ke arah makhluk bertaring, membuatnya berteriak dan terbakar hingga menjadi abu.
Aku semakin mundur. "Kamu memakan Nenek?" tanyaku dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Bukankah sekarang masuk akal kenapa Nenek tidak pernah ditemukan?! Dia memakannya. "Kenapa? Bukankah kamu di pihakku? Dan di pihak Nenek."
Alih-alih menjawab, dia malah melangkah pergi dan berhenti di ambang pintu tanpa menoleh, lalu berkata, "Cepatlah, sebelum yang lain berdatangan!"
"Tidak! Katakan semuanya, sekarang juga!" tuntutku, terlalu banyak pertanyaan dalam kepalaku dan dia satu-satunya yang dapat memberikan jawabannya.
Aku mendengar dia menghela napas. Tubuhnya yang tinggi-mungkin sekitar 180 sentimeter-berbalik dan menatapku dengan mata merah menyala. Dalam sekejap, dia sudah berdiri tepat di hadapanku dan menangkup kedua pipiku dengan tangan pucat berkuku panjangnya.
Pandanganku langsung buram dan menjadi gelap. Namun, hanya sebentar dan semua perlahan terang, tapi aku tidak berada di kamar, melainkan di taman bunga sweet alison. Langit bersinar terang, angin berembus menerpa wajah dan menerbangkan rambut coklat bergelombangku ke samping hingga menghalangi pandangan.
"Ash!" Suara melengking mengalihkan perhatianku. Di tengah ladang bunga, ada gadis kecil yang mirip denganku sedang melambai ke arah sosok hitam tinggi, tubuhnya seperti kerangka yang tengah membungkuk.
Senyumannya lebar hingga memperlihatkan seluruh gigi, tapi yang paling menarik perhatianku adalah dua tanduk panjang di kepalanya, mengingatkanku pada si lelaki bertanduk, tapi wujud mereka jauh berbeda.
"Ash, kemari!" gadis itu kembali memanggil dengan senyuman lebar.
Tunggu! Dia bukan mirip denganku, tapi dia adalah aku.
Kenapa aku ....
Tiba-tiba tanah tempatku berpijak bergetar, lalu semua pemandangan barusan berubah kembali ke dunia nyata. Belum sempat mencerna apa yang terjadi, tubuhku terasa melayang-dia menggendongku-lalu membawaku pergi dari kamar itu.
"Berikan dia pada kami!" kecam seorang wanita berambut hitam bersanggul di lorong. "Dengan mengorbankannya, kita semua akan bebas!"
"Tidak!" lelaki bertanduk membawaku terbang ke atas melewati tangga, tapi sekumpulan makhluk hitam melayang ke bawah, hendak menerjang. Ia kembali melayang turun tapi terlambat.
Aku terjatuh dari gendongan dan terhempas ke lantai kayu dengan bunyi debuman yang keras. Rasanya nyeri sekali di bagian tangan kanan.
Saat berusaha bangkit, makhluk hitam kembali bergerombol dan terbang ke arahku. Refleks aku merangkak menjauh, berharap dapat menghindar walau rasanya mustahil.
"Tolong, Ash!" jeritku kala mereka mengerubungi dan pandanganku menjadi gelap. Aku tidak bisa bernapas. Sesak. Tolong!
Apakah aku akan mati? Mama, Nenek!
"Ash ...!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top