Lalu Aku Pergi
a.n maaf kalau alay dan sebagainya. Kritik dan saran akan aku terima dengan senang hati. (Terutama buat sudut pandang cowoknya.)
Selamat membaca : )
---
Aku menoleh untuk melihat jam yang terpaku ke dinding kamarku.
Pukul sembilan kurang dua puluh menit.
Aku tersenyum kecut. Rencanaku tidak akan berubah.
Aku meraih ponsel yang tergeletak sembarangan di atas kasur. Dengan cepat aku menggulir daftar nama-nama orang yang tesimpan di ponselku. Akhirnya, aku berhenti setelah menemukan satu nama.
Aku menekan nama tersebut dan seketika, nada sambung khas telepon sudah memenuhi indra pendengaranku. Aku tidak perlu menunggu lama. Hampir seketika, panggilanku diangkat.
"Hai, Cowok." Sapaan itu yang menyambutku. Disuarakan oleh seorang perempuan, disertai dengan kuapan khas orang mengantuk.
Lagi-lagi, aku tersenyum kecut.
"Ada apa?" tanya perempuan di seberang sana.
"Kau sudah akan tidur, kan?" tanyaku.
Perempuan itu terdiam sebentar. Akhirnya, setelah beberapa saat, dia menjawab, "Ya. Kenapa? Apa kau akan berkeliaran lagi?"
Aku tidak menjawab.
"Berhenti berkeliaran," katanya. "Aku mohon. Jangan lakukan hal-hal yang buruk selepas pukul sembilan."
Aku belum juga mengeluarkan suara.
"Kalau bisa, aku ingin tidur pada pukul sembilan lewat, agar bisa menemanimu lebih lama. Maaf. Penyakitku menyebalkan," kata perempuan di seberang sana.
"Tidak. Bukan salahmu." Aku akhirnya bersuara.
Aku bisa mendengar lawan bicaraku menghela napas. "Kalau begitu, apa ada yang ingin kau katakan padaku? Atau ini hanya panggilan malam sebelum tidur biasa?"
"Biasa," jawabku.
"Oke. Selamat malam."
Lawan bicaraku menutup telepon.
"Selamat malam." Aku berbicara pada keheningan.
Ah, biarlah. Yang penting, aku sudah mengatakannya. Aku tidak berhutang apa-apa lagi kepada gadis itu.
Satu hutangku sudah lunas.
[.]
Aku menoleh untuk melihat jam terpaku ke dinding kamarku.
Pukul sembilan kurang lima belas menit.
Aku beranjak dari dudukku dan melangkah keluar dari kamar. Sambil memain-mainkan tali celanaku yang keluar dari jahitan, aku berjalan menuju ruang keluarga.
Kukira, aku akan menemukan Mama di ruang keluarga. Tapi Mama tidak ada.
Aku memutuskan untuk berjalan menuju meja telepon. Aku menekan beberapa nomor dan menunggu.
"Halo." Itu Mama.
Aku tersenyum menanggapinya. "Hai, Ma."
"Ada apa? Maaf Mama pergi tanpa memberitahumu. Mama sedang ada urusan mendadak dengan beberapa teman Mama," kata Mama. "Apa ada yang ingin kau bicarakan?"
Aku menggeleng. "Hanya ucapan selamat malam seperti biasa," jawabku.
Mama membalas,"Ah. Selamat malam, kalau begitu. Kuharap malam ini kau berhenti berkeliaran. Mama tidak suka."
"Selamat malam."
Satu lagi hutangku lunas.
[.]
Aku berdiri di balkon kamarku. Kuangkat tangan agar aku bisa melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan.
Pukul sembilan kurang sepuluh menit.
Lagi, aku tersenyum kecut.
Lagi, aku mengambil ponsel dan menggulir daftar nama di dalamnya. Akhirnya, aku sampai di satu nama.
Aku menekan nama tersebut dan menunggu sesaat. Beberapa saat kemudian, panggilanku diangkat.
"Ada apa?"
Itu Papa.
"Hai, Pa."
"Ada apa?" ulang Papa. Aku bisa mendengar suara sibuk di belakangnya.
"Hanya sapaan biasa," jawabku.
"Hah." Papa mendengus. "Sapalah terus semua orang setiap malam. Kalau kau belum bisa menghentikan kegiatan liarmu setiap malam, Papa tidak mau dengar lagi ucapan selamat malammu."
Papa memutus sambungan telepon.
"Selamat malam," kataku.
Setidaknya, hutangku kepada Papa sudah lunas.
[.]
Tinggal satu lagi.
Aku menatap jam di layar ponselku.
Pukul sembilan kurang lima menit.
Baiklah.
Lagi-lagi, aku menggulir nama-nama di ponselku. Akhirnya, aku berhenti di satu nama.
Lagi, aku menekan nama itu dan menunggu selama beberapa saat.
Akhirnya, panggilanku dijawab.
"Halo, Monyet." Begitu sapaan yang kudengar. Sapaan khas Angga.
"Hai, Badak," balasku.
"Ada apa?" tanya Angga. "Kau akan ikut perburuan malam ini, kan? Malam ini akan seru!"
"Hanya ucapan selamat malam," balasku, tidak menjawab pertanyaan Angga.
Angga terdiam sebentar. "Sampai kapan kau akan terus bersikap seperti anak kecil? Kenapa sih, kau tidak pernah berhenti mengucapkan selamat malam?"
"Aku akan berhenti," kataku.
"Kapan?" tanya Angga.
Aku tersenyum kecut. "Selamat malam."
Aku memutus sambungan telepon. Setidaknya semua hutangku sudah lunas.
Akhirnya.
[.]
Tangga yang kunaiki membawaku menuju atap rumahku. Tempat kesukaanku semasa kecil. Tempat kesukaanku sampai sekarang.
Setiap pukul sembilan, setelah mengucapkan selamat malam kepada orang-orang, aku biasanya akan menuju ke mari.
Aku akan duduk di tepi atap, dengan kaki yang menggantung di udara bebas. Berpikir betapa leganya, mengatakan selamat malam kepada orang-orang.
Bagiku, selamat malam adalah ucapan yang penting sekali. Bagiku, itu semacam ucapan penghargaan kepada seseorag karena telah berhasil melalui harinya.
Setelah lewat pukul sembilan, aku akan turun dan pergi ke luar rumah. Pergi bersama teman-temanku, ke mana pun mereka membawaku. Aku tidak pernah keberatan. Apa yang kulakukan setelah pukul sembilan, bagiku tidak termasuk hitungan.
Hariku berakhir pada pukul sembilan. Setelah itu, aku merasa seperti mayat berjalan.
Kalau kau tanya mengapa aku melakukan itu? Aku hanya perlu membuat badanku bekerja. Aku tidak bisa tidur, jadi aku harus bergerak. Aku tidak bisa berpikir, jadi aku hanya mengikuti. Aku hanya butuh sesuatu untuk mengisi tubuhku, memastikan tubuhku terus bergerak. Terus hidup.
Tapi tidak ada yang mengerti.
Malam ini, seperti biasa, aku duduk di tepi atap. Kakiku kubiarkan menggantung dengan bebas, menyambut udara dingin yang menyelinap melalui jari-jari kakiku.
Aku menunduk, menatap jalanan di bawah. Sebentar lagi, gerombolan teman-temanku akan datang.
Dan, aku sudah lelah mengikuti. Aku sudah lelah membutuhkan.
Aku tatap sekali lagi jalanan di bawahku. Angin malam menabrak wajahku dengan ganas, menarikku seolah-olah mengajakku untuk turun.
"Selamat malam," gumamku. Untuk diriku sendiri. Penghargaan karena sudah bisa sampai sejauh ini.
Setelah itu, hal terakhir yang kuingat adalah, aku bergabung dengan angin.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top