Cerpen


Sesal

🍓🍓🍓

Aku menarik napas dalam beberapa kali saat ingin berucap. Jujur, sesuatu yang ingin aku ucapkan membuatku takut, takut menyakiti seseorang yang ada di hadapanku.

Aku memejamkan mata sejenak sebelum menatapnya dalam. Kuraih tangannya untuk kugenggam. "Erik ... maaf," ucapku.

"Maaf. Aku tidak bisa meneruskan hubungan kita," lanjutku. Aku meremas tangannya pelan untuk menyalurkan kegelisahanku sekaligus keyakinanku.

Sebenarnya, aku berat mengatakan ini pada Erik. Dia adalah tipe lelaki setia, paling sabar saat menghadapi kemarahanku. Selalu ada untuk aku sesibuk apa pun dirinya.

Aku melihat wajah terkejutnya, ada tatapan nanar dari matanya yang sempat aku lihat juga. Namun, sesaat kemudian mimik itu telah berubah.

"Kalau boleh tahu kenapa?" tanyanya lembut. Sungguh, ini semakin membuat hatiku terasa nyeri karena rasa bersalah.

"Kar-karena aku sudah tidak mencintai kamu lagi." Aku menjawabnya terbata. Masih tidak ada kemarahan di wajahnya setelah aku menyatakan alasanku yang ingin mengakhiri hubungan ini.

"Baiklah," ucapnya kemudian yang berhasil membuatku terkejut. "Terima kasih atas semua waktu kamu untuk aku. Terima kasih atas semua cinta kamu yang pernah kamu beri untuk aku." Dia berucap dengan tenang, dengan kelembutan dan senyuman. Sungguh ekspresi yang di luar dugaanku.

"Kamu tidak marah?" Dia menggeleng dan tersenyum.

"Kenapa?" tanyaku lirih. Suaraku terasa berat karena rasa bersalah yang kian menumpuk. Merasa heran dan takut dengan sikap tenangnya.

"Hubungan itu menyatukan dua hati yang saling mencintai. Cinta, tidak bisa dipaksakan. Cinta yang mencintai hanya salah satu hati, hubungan itu tidak akan berjalan baik," jelasnya dengan lemah lembut.

"Kamu tahu, bahwa cintaku bukan cinta yang egois. Cinta aku tulus, hanya ingin membahagiakan. Jika kamu sudah tidak bahagia bersamaku, untuk apa aku tetap menahan kamu? Aku hanya akan menyakiti kamu," lanjutnya yang kali ini menepuk pelan tanganku.

Aku tersenyum padanya yang masih memasang senyum teduhnya. Entahlah, bagaimana bisa perasaanku luntur untuknya, untuk pria sebaik dia. Ah ... dia memang benar. Cinta memang tidak dapat dipaksa.

🍓🍓🍓

"Kamu beneran putusin Erik, Vie?" aku mengangguk dengan senyuman dalam menjawab pertanyaan Sinta. Salah satu temanku.

"Ya pastilah." Aku menoleh ke kiriku saat mendengar suara Nadia. "Secara, Evie ditembak sama Darren. Laki-laki paling _perfect_ di kampus ini. Erik tidak ada apa-apanya sama kegantengan Darren. Lagian, ya. Evie pasti bosen lah pacaran sama Erik sejak SMA kelas 2."

"Betul," jawabku semangat.

"Sumpah, ya, Vie. Aku nggak nyangka banget baru masuk kuliah kamu udah ditembah _most wanted_ kampus ini," ucap Nadia menggebu. Aku hanya memasang senyumku.

Pandanganku jatuh pada laki-laki tampan yang saat ini sedang duduk di pinggir lapangan bersama teman-tamannya.

"Udah! Samperin sana. Jangan dilihatin aja." Nadia berucap sambil menyenggol pundakku. Aku yang malu-malu pun hanya menutupi kedua pipiku dan segera berlalu menghampiri Darren.

"Hai, Dar," sapaku pada Darren, membuat teman-temannya menatap ke arahku.

"Hai."

"Ada yang ingin aku bicarakan." Seolah tahu, dia pun bangkit dan berdiri menjulang di hadapanku.

"Apa?" tanyanya lembut. Sungguh! Aku sangat menyukai suaranya.

"M ... ak-aku sudah memutuskan Erik." Senyum yang tercipta di bibirnya semakin membuatku terpesona akan ketampanannya.

Baru saja Darren ingin berucap, suara Nadia sudah menggangguku. Bukan salah dia juga memang, semua ini karena jam masuk kuliahku sudah waktunya. Aku merutuki hal itu.

Tubuhku membeku saat merasakan elusan di pucuk kepalaku. "Sudah, kita lanjutkan nanti." Itu adalah tangan Darren. Jangan tanyakan betapa bahagianya aku.

"I-iya." Aku pun berlalu dari sana. Memasuki kelas dan mengikuti mata kuliah dengan rasa tidak sabar.

🍓🍓🍓

Aku berjalan menyusuri lorong kampus untuk mencari keberadaan Darren. Setelah bertanya pada beberapa mahasiswa yang sekelas dengannya, mereka mengatakan kalau Darren berada di kantin yang ada di belakang kampus.

Aku dengar, itu adalah kantin tempat berkumpulnya para _geng_ kampus. Entah apa yang membuatku nekat mendatanginya. Mungkin ... karena cinta Darren.

Aku tersenyum saat melihat Darren dan teman-temannya. Posisi Darren yang membelakangiku membuatku mempunyai niatan untuk mengejutkannya.

Namun, belum sempat niatku tercapai, aku sudah dikejutkan oleh perkataan Darren dan teman-temannya.

"Apa aku bilang. Si Evie pasti bertekuk lutut padaku." Ucapan Darren membuatku menghentikan langkah.

"Yoi. Urusan seperti ini, Darren jangan diragukan lagi deh. Soal menaklukkan wanita, memang dia jagonya." Salah satu temannya memuji Darren.

"Jadi, aku yang menang ya, Ton?" Aku melihat tangan Darren menengadah pada Anton.

Kulihat pula Anton yang berdecak sambil memberikan sebuah kunci. "Menyesal rasanya. Aku kira, wanita seperti Evie itu berbeda. Kupikir, dia bakal sulit ditaklukkan, makanya aku berani bertaruh. Nyatanya, sama saja."

Duniaku seakan hancur setelah mendengar serentetan ucapan itu, kebahagiaan yang aku rasakan seakan hilang begitu saja. Semua ini hanya pura-pura, hanya semu, hanya kebohongan.

Tak ingin lagi berada di sana, aku membalikkan badan dan pergi dari sana. Air mata kesakitanku pun tak mampu kubendung lagi. Rasa sesak yang aku rasa tak menyurutkan langkahku yang mulai berlari. Berlari ke parkiran untuk meraih mobilku.

Di keadaan menangis, aku mengendarai mobil tak memedulikan pengendara lain. Umpatan pun tak aku hiraukan. Entahlah, di saat seperti ini, kenapa aku malah mengingat Erik. Laki-laki yang baik hati, begitu mencintaiku tapi aku sia-siakan begitu saja.

Biarlah aku dibilang tidak tahu malu, aku pun melajukan mobilku menuju rumah Erik.

Segera kuketuk pintu rumah yang sudah empat hari ini tidak pernah aku kunjungi, sejak aku mengakhiri hubungan kami.

Beberapa kali kuketuk, tidak ada sahutan sama sekali. Aku panggil nama Erik beberapa kali dengan suara serak, tapi tak kudapat juga jawabannya. Marahkah ia? Bodoh kamu Evie. Pasti, pasti Erik marah. Tidak akan ada orang yang baik-baik saja saat hubungannya diakhiri secara sepihak.

Aku kembali memanggil nama Erik. Kali ini dengan keras, tetap. Tidak ada sahutan sama sekali.

"Mbak, Mas Eriknya sudah berangkat dari tadi." Ucapan seseorang membuatku menoleh. Aku melipat keningku tak mengerti.

"Dua jam lalu dia berangkat." Saat itulah aku mengingat sesuatu Di hari aku memutuskannya, dia juga mengatakan kalau dia mendapatkan beasiswa kedokteran di luar negeri. Akan tetapi, dia tidak mengatakan di mana.

Aku langsung beranjak setelah mengucapkan terima kasih, memutuskan ke bandara dengan harapan masih bisa bertemu dengan Erik. Namun, sesampainya di sana, tidak aku dapati keberadaan Erik. Aku tanyakan daftar nama penumpang pada penerbangan internasional. Namun, aku tidak mendapat jawaban. Karena itu bukanlah untuk halayak umum.

Saat itulah aku menyadari bahwa aku terlambat. Terlambat dengan penyesalanku yang teramat dalam. Kebodohanku, membawaku pada kehancuranku sendiri.

🍓🍓🍓

*Jangan tinggalkan yang baik hanya untuk yang menarik*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top