Wild Card

"Tahan tembakan kalian!" teriak Raffendal di tengah hujan panah api yang memelesat menuju koloni naga terbang. Di tengah kepulan debu yang datang bersama koloni tersebut, ia menyaksikan kejanggalan. Mata awasnya terbuka lebar ketika menangkap citra makhluk lain bertengger pada punggung naga. Apalagi ketika panah-panah agnon berhasil ditepis oleh sapuan tombak yang berfungsi menjadi perisai, lalu senjata klasik khas divisi pemburu naga itu bertebaran di atas padang pasir yang lantas menyala menjadi titik-titik api.

"Naga-naga itu punya penunggang!"

Serangan dari armada peri otomatis berhenti ketika Raffendal maju ke arah tamu tak diundang. Pangeran peri itu seolah abai terhadap keselamatannya sendiri karena saat itu ia sedang dikuasai pertanyaan hebat.

"Minna ...." Raffendal langsung mengenali seorang penunggang naga yang tampaknya menjadi pusat pasukan. Wanita berwajah keibuan dengan perawakan subur dan rambut cokelat gelap dipilin ke satu sisi-persis seperti yang selalu ia ingat-mencoba tersenyum ramah padanya. Tidak, Minnalee adalah wanita yang selalu punya cahaya di wajahnya sekalipun di tengah cuaca berbadai, pikir Raffendal terhanyut dalam nostalgia.

"Kenapa kalian mengendarai naga?" sapa Raffendal terdengar bodoh begitu ia berada dalam jarak pandang wanita itu. Ekspresinya mungkin tidak berbeda jauh, hingga kombinasi menggelikan itu sukses memancing gelak tawa seorang gadis dengan warna rambut dan mata serupa Minnalee, hanya saja wajahnya sungguh familier karena mirip Jeannette Le Blanc. Raffendal memicingkan mata ke arah Pontia di sisi naga Minnalee karena gadis itu selalu saja membuatnya kesal. Sebaliknya, Minnalee hanya mendaratkan tatapan mata penuh peringatan pada Pontia agar bersikap lebih sopan di depan sang pangeran peri.

"Setelah lama tidak bertemu, apakah pertanyaan itu sungguh penting buatmu?" sindir Minnalee halus.

"Aku bersedia berdebat seumur hidup denganmu, Minna, tapi tidak sekarang. Berikan alasan yang bagus atau aku akan memerintahkan pasukanku memerangi kalian."

"Dasar makhluk pencinta perang!"

"Pontia!"

"Putrimu sungguh manis."

Minnalee mengerjap mata lelah. "Kami ke sini untuk mengevakuasi rakyat Laniakeia dari serangan naga."

Tawa Raffendal seketika pecah. Ia bahkan tertunduk memegangi perut, tawanya nyaris tidak bisa berhenti hingga kedua matanya berair. Kepalanya kemudian terangkat dengan pandangan menantang, sementara rambut panjangnya mengibas. "Omong kosong apa ini, Minna? Kau ingin mengevakuasi orang-orang dari serangan naga, selagi kau menunggangi naga?" Wanita di depannya tampak menggigit lidah, sementara sang putri di sisinya mengendarai naga dengan gelisah.

"Pangeran Silvanovia!" panggil Pontia formal untuk memperoleh perhatian Raffendal sebelum Minnalee sempat menghalanginya.
"Selama ini, naga dan Laniakeia senantiasa hidup berdampingan sampai pahlawan mereka, Jeannette Le Blanc merusak keseimbangan itu. Kami ingin membuktikan bawah perbuatan Laniakeia selama ini salah! Mereka tidak seharusnya memburu naga secara berlebihan dan memulai perang terhadap setiap naga yang mereka temui di jalan!"

"Gadis kecil, kau bisa bicara begitu karena kau tidak berada dalam daftar makanan para naga. Oh, ya .... Sudah berapa ekor naga yang kauselamatkan hari ini?" Raffendal bertepuk tangan, hingga Pontia menggeram marah. Minnalee pun melemparkan bunga api Alomora pada mereka dan meledak di depan wajah agar keduanya berhenti bertengkar seperti anak kecil. Tatapan tajam wanita itu kelihatan sedang tidak ingin diajak bermain-main.

"Waktu terus berjalan selagi kita berdebat tentang cara pandang, Raff. Biarkan kami lewat dan membantu Laniakeia."

"Segala bantuan pasti diterima! Tapi masalahnya, kalian menunggang naga!" Raffendal bersedekap heran.

"Apakah naga-naga ini menyerang kalian?"

"Ada sesuatu yang salah di sini."

"Ya, dan sekarang bukan saat yang tepat untuk mencari tahu tentang itu. Satu hal yang harus kausadari, seseorang atau sesuatu telah mengendalikan para naga sehingga mereka menjadi beringas dan lapar daging manusia. Saat naga-naga ini kami temukan bergerombol di perbatasan Alomora, hewan-hewan malang ini setengah linglung."

Raffendal terdiam sejenak sebelum bicara, "Ini adalah hal teraneh yang pernah kudengar seumur hidup sejak kau mengabarkan kelahiran Else."

"Jangan memanggilnya begitu, Raff! Dia membenci nama itu!" Bersamaan dengan bahasa tubuh permusuhan Minnalee, tombak-tombak bermata bajak terhunus ke arah pangeran peri. Nada tinggi dalam suara Minnalee seolah perintah untuk menyerang bagi mereka. Maka, Minnalee segera meminta orang-orangnya untuk menarik tombak mereka sebelum memicu perang sungguhan dengan armada peri yang mengawasi siaga di belakang Raffendal.

"Apakah kau berpikir sedang beruntung hari ini karena berhasil menunggang naga?" ujar Raffendal meremehkan niat baik Minnalee.

"Ini permintaan Elsadora." Kalimat pamungkas Minnalee membungkam mulut besar Raffendal dengan telak.

"Omong kosong ...."

"Kau harus mengakui jika Elsadora telah menentukan sikap ke Alomora daripada Silvanovia, Raff. Dia lahir di Alomora dan tetap menjadi Alomora! Sekarang, menepilah bersama pegasusmu dan biarkan naga-naga kami lewat!"

"Di mana Elsadora?" Perhatian Raffendal terbelah. Ia tidak fokus lagi pada perdebatan semula, tetapi wajah Minnalee menunjukkan antipati luar biasa tatkala Raffendal malah menanyakan keberadaan putri sulungnya.

"Ia sedang mencari Pangeran Torreno ke Mermaidivine."

"Baguslah! Setidaknya, ia lebih aman jika berada sejauh mungkin dari Torreno." Minnalee mencium masalah ketika Raffendal malah terlihat lega luar biasa.

"Apa maksudmu?" Minnalee bahkan menyuruh naganya terbang mendekat ke arah Raffendal yang tersenyum penuh kemenangan.

"Torreno sekarang ada di ibu kota." Bola mata Minnalee membulat sempurna. Cahaya yang biasa menerangi wajahnya pudar menjadi raut putus asa. Raffendal bahkan terkesima mendapati seberapa besar pukulan kenyataan yang menimpa Minnalee saat ini.

"Ada apa?"

"Seharusnya tidak masalah," kata Minnalee seraya meneguk ludah. "Elsadora membawa sesuatu untuk Pangeran Torreno. Tapi, Raja Dylon pasti telah bertemu langsung dengan putranya, jadi seharusnya tidak masalah."

"Ya, Torreno langsung ke ibu kota dan pasti telah bertemu dengan ayahnya," imbuh Raffendal. "Dan sekarang kita tahu ke mana naga-naga menghilang." Bola matanya berputar bosan, tetapi ia menyadari jika Minnalee sedang memperhatikannya dengan lekat.

"Apa lagi yang kautunggu? Silakan lewat, Nyonya."

"Jangan coba-coba memanfaatkan celah ini untuk menyusul Elsadora, Raff," tuding Minnalee mengancam dan tidak memberikan Raffendal kesempatan mengelak. Pangeran peri itu berdecak kesal.

"Kenapa menemui putriku sendiri harus sesulit ini?"

"Dia telah dewasa, jadi jangan pernah memaksanya!"

"Kali ini, jangan halangi aku lagi demi alasan apa pun, Minna!"

"Minna, biarkan pangeran sombong ini pergi! Elsadora pasti bisa memilih mana yang terbaik untuknya!" Pontia menyela perdebatan dan kata-kata lancangnya tak urung memancing delikan tajam Raffendal.

"Gadis Kecil, kau mengingatkanku pada si Rambut Keriting yang sama-sama menyebalkan seperti dirimu!"

Minnalee merentangkan tangannya ke arah Raffendal. "Cukup! Jangan bicara kasar pada putriku. Keberadaanmu di sini pasti untuk sesuatu yang penting. Pikirkan lagi jika kau ingin menyusul Elsadora ke Mermaidivine!" Setelah berkata demikian, Minnalee memerintahkan naganya mengepakkan sayap beruas kelelawar perkasa untuk terbang tinggi melewati Raffendal. Sesaat, bentang sayap menghalangi sinar Vella dan Raffendal hanya bisa menyaksikan Minnalee pergi disusul Pontia berikut pasukan wanita dari Alomora. Rambut panjangnya terembus angin kibasan sayap naga.

Raffendal sendiri memberi isyarat kepada fairyhound untuk menepi memberi jalan.
Dalam hati, Raffendal tidak berjanji apa-apa kepada Minnalee. Tanpa berniat membuang waktu, Raffendal melayangkan tatapan ke arah Mermaidivine. Hari ini atau tidak sama sekali. Lagi pula, ceroboh sekali Minnalee mengizinkan Elsadora ke negeri berbahaya penuh monster! Elsadora bukan Raja Larsam dan Ratu Larnamia. Putrinya hanya seorang Alomora berdarah biasa. Namun, panggilan seorang peri menunda niatnya.

"Pangeran!" Peri itu berteriak panik seraya terbang ke arahnya. Apa yang dilakukan peri itu sungguh berlebihan di mata Raffendal karena ia masih berada di punggung pegasus yang melaju kencang. Tambahan lagi, sepasang sayap di tubuh sang peri tidak akan berguna sama sekali kecuali ia berpikir untuk mengejek pangerannya yang telah kehilangan sayap tak lama sebelum ini.

"Pangeran, tadi ... naga!" Kata-kata peri itu berhamburan dalam kondisinya yang kehilangan kendali. Peri ini adalah peri yang harusnya bersama Torreno di ibu kota, tetapi kembali lebih cepat tanpa putra mahkota Laniakeia.

"Apa yang terjadi? Jangan membuang waktuku, Prajurit!" hardik Raffendal. Wajah peri itu memucat ketakutan sehingga Raffendal merasa tersesat. Jika seorang fairyhound sampai bereaksi seperti ini, pastilah ada sesuatu yang hebat telah terjadi di ibu kota. "Pangeran Torreno berulah lagi?"

"Pangeran Torreno menghilang, Paduka!"
Raffendal sampai menegakkan punggung jauh ke belakang berkat laporan ajaib yang ia terima.

"Seyra?"

"Tuan Putri juga tidak ada di mana-mana. Keduanya menghilang seperti ditelan bumi!"

Raffendal tertegun. Pemikiran konyol tak ayal singgah di benaknya: apakah Torreno dan Seyra kawin lari dalam situasi begini?

"Dunia tidak akan berakhir walau mereka menghilang, Bodoh!"

"Tapi dunia benar-benar akan berakhir, Pangeran! Kita semua akan mati!"

Raffendal terkekeh. Mereka mati karena Torreno menghilang? Namun, kekehan Raffendal tersebut langsung tertelan di tenggorokan ketika dentuman keras terdengar dari arah ibu kota Laniakeia. Lambat laun, tampak bayangan serupa awan gelap di langit yang bergerak menuju ke arah mereka, ke padang pasir. Barulah Raffendal sadar jika suara dentuman tadi berasal dari sesosok makhluk. Itu bukan dentuman, tapi dengus sesosok makhluk yang sangat besar. Naga raksasa. Suasana di sekeliling mereka mulai berubah laksana dunia dalam kolam darah terkena pancaran cahaya kemerahan seperti terakota milik makhluk itu. Cahaya Vella seolah pudar diserap olehnya.

Raffendal tak mampu berkata-kata. Belum pernah ia melihat naga sebesar itu yang mampu menelan satu kota, bahkan dunia.

"Minna!" Wajah Elsadora langsung terbang dari benaknya. Saat itu, reaksinya lebih cepat daripada isi pikirannya. Raffendal nyaris lupa dan melompat dari punggung pegasus, tetapi ia buru-buru menata kendali dirinya dan mengentak kaki ke perut hewan malang itu hingga pegasus memelesat kencang ke arah ibu kota. Sementara, segenap armada peri saling menatap kebingungan menyaksikan junjungan sekaligus panglima pasukan mereka bertindak gila di tengah kekacauan yang sedang berlangsung. Mereka kehilangan komando.

"Minna!" Raffendal berteriak nyaring memanggil nama wanita itu. Sesuai dugaan, pasukan Alomora mundur kembali ke tempat mereka. Raffendal menentang arus naga yang kocar-kacir menuju padang pasir. Warna merah dalam penglihatan makin menyusahkan usahanya menemukan wanita itu. Beruntung perawakan subur Minna membuatnya tampak mencolok di antara penunggang-penunggang naga lain yang bertubuh tipis dan ramping. Naga yang ia tunggangi tampak terbang kebingungan di tengah arus kekacauan.

Raffendal memaksa pegasusnya terbang mendekat seraya menghindari tubrukan, lalu berbelok tajam sambil ia mengeluarkan cambuk lalu membelit pinggang wanita itu. Ia menarik paksa Minnalee ke punggung pegasusnya. Jeritan Minnalee di belakang yang menandakan wanita itu berhasil mendarat selamat justru menuai kelegaannya. Naga Minna terbang entah ke mana.

"Apa kau gila?"

"Aku hanya ingin menyelamatkanmu! Kali ini, jangan membantah sedikit pun, Minna!"

"Minna!" Pontia lewat secepat kilat di sisi mereka dan berusaha memanggil sang ibu, tetapi naga gadis itu terbang dengan kalap menuruti insting bertahan hidup. Melarikan diri dari naga raksasa dengan dengus napas sekencang angin badai.

Raffendal memacu pegasusnya tanpa perlu meyakinkan Minnalee untuk melingkarkan lengan erat di pinggangnya. Kekakuan sikap mereka serentak berganti menjadi keinginan untuk menyelamatkan Pontia dari atas tunggangan gadis itu yang berubah liar.

"Gadis Kecil, melompatlah kemari!"

"Tidak!" Tatapan ngeri Pontia seolah bicara bahwa perintah Raffendal tadi akan membunuhnya. Ia tidak bisa memercayai pangeran peri itu, apalagi jika salah melompat dan jatuh ke titik api yang masih menyala pada bentang pasir di bawahnya.

"Pontia, kumohon!" Pontia pun tidak berdaya menentang tatapan penuh harap ibunya. Minnalee tidak mungkin mencelakakan dirinya. Namun, Pontia terlambat mengambil keputusan. Dentuman mengerikan disertai gelombang panas di atas mereka membuat naga tunggangannya berdesis nyaring. Pontia terlempar dengan keras dari punggung naga. Jeritan pilu Minnalee bagai membelah udara selagi tubuh Raffendal melompat ke arah Pontia. Sang pangeran peri berhasil menggapai gadis itu dan menyembunyikan tubuh Pontia dalam pelukannya, dan kini mereka mereka berdua meluncur deras.

Lenguh kesakitan Raffendal tertahan tatkala bekas luka di punggungnya menghantam gundukan pasir di bawah mereka. Pendaratan keras itu masih lebih baik daripada terjun bebas ke tengah kobaran api di sana sini.

Pontia bangkit dengan pasir berjatuhan dari rambut. Manik matanya berdenyar menatap Raffendal di sisinya tak percaya. "Kenapa kau melakukan ini?"

"Gadis Bodoh! Ini demi Minna! Aduh, punggungku!" Raffendal berguling ke sisi tubuhnya sejenak untuk meredakan rasa sakit.

Minnalee mendarat tak jauh dari mereka. "Pontia!" Wanita itu turun dari pegasus dan memeluk sang putri dengan rasa haru.

"Minna ...." Raffendal memanggil nama wanita itu dalam posisi kepala masih terkulai di pasir.

Kali ini, Minnalee membalasnya dengan tatapan berterima kasih. "Akuilah, misi penyelamatan ini berubah menjadi bunuh diri." Dengan ujung matanya, Raffendal menatap naga raksasa yang sewaktu-waktu akan muncul di depan mereka.

"Ya, kau benar."

"Bawa orang-orangmu ke Silvanovia. Perisai sihir sedang dilenyapkan sementara. Kalian bisa masuk ke sana dengan mudah."

Usulan Raffendal sungguh mengejutkan. "Tidak ada yang bisa menandingi makhluk sebesar naga darah," juluk Raffendal untuk si monster dari ibu kota.

"Kita ... melarikan diri?" Nada suara Minnalee terdengar menyedihkan.

"Hanya kau." Raffendal menunjuk Minnalee.

"Ini sia-sia. Makhluk itu bisa saja menemukan Silvanovia, bahkan Mermaidivine dengan mudah."

"Minna, kau selalu saja takut pada masa depan yang belum pasti." Raffendal bangkit hingga bulir-bulir pasir berguguran dari punggungnya. Mengabaikan rasa sakit yang masih mendera, ia menggendong Minna ke bahunya sebelum wanita itu sempat protes, lalu mendudukkannya kembali di atas punggung pegasus. Raffendal pun membantu Pontia melompat ke belakang punggung ibunya. Raffendal meminta kepada Minnalee untuk yang terakhir kali, sebelah tangannya merengkuh sisi wajah wanita itu. "Terbanglah secepat mungkin dan jangan pernah menengok ke belakang. Katakan pada Raja Larsam dan Larnamia, aku memberikan suaka kepadamu dan rakyatmu, bahkan jika aku tidak kembali. Jika kau ingin berterima kasih, jagalah pertahanan Silvanovia untukku karena armadaku tidak mungkin kembali saat ini. Sekarang, pergilah!" Tangan Raffendal bergerak ingin menggusah pegasus.

"Tunggu, Raff! Kau tidak baik-baik saja. Kenapa sayapmu?" cecar Minnalee setelah menyadari suatu hal. Namun, Raffendal hanya tersenyum mengejek. "Kau masih saja memikirkan hal-hal kecil tidak berguna. Dasar Wanita Tua!" Tidak ada perpisahan menyentuh seperti biasa. Sesaat kemudian, terdengar siulan panjang melengking khas Alomora milik Minnalee di udara. Wanita itu berusaha mengumpulkan kembali pasukannya yang kocar-kacir.

"Persiapkan oculus!" perintah Raffendal saat kembali ke armada peri. Pasukannya tampak takjub mendengarkan. Sejenak lalu sang junjungan tampak seolah-olah ingin pergi meninggalkan mereka, tetapi dalam sekejap mengeluarkan keputusan yang mungkin saja akan mengulang sejarah kesialan divisi pemburu naga tempo hari.

"Tanpa Pangeran Torreno?"

"Lupakan si Rambut Keriting! Pasti dia sudah mati dimakan naga raksasa dari ibu kota-" Raffendal terlambat menarik kutukan kasarnya, hingga wajah pasukannya tampak kecut akibatnya. Ia bahkan lupa bahwa nasib Seyra juga belum benderang. "Lupakan!" tegas Raffendal gusar. "Sudah tugas kita menjemput fairyhound yang terjebak di ibu kota. Jangan bilang kalau kalian berpikir untuk kabur terbirit-birit seperti wanita dari Alomora!"

"Dengan tidak mengurangi segala rasa hormat, Yang Mulia! Hanya Pangeran Torreno dan peri cendekia yang memahami cara kerja senjata itu!"

"Rasa hormatmu diterima, Prajurit! Oculus hanya sebuah benda yang mengandalkan kekuatan elemen! Apa kau lupa siapa pengendali elemen terhebat sepanjang masa?"

"Pangeran Raffendal." Seorang petinggi pasukan berbisik di dekat sang panglima. "Bagaimana Anda bisa seyakin itu mampu mengendalikan oculus? Senjata itu akan berubah bencana jika berada di tangan yang salah. Rencana ini sungguh konyol."

"Kalian tidak akan maju ke depan jika tidak mau mengambil risiko sekecil apa pun. Kalian takut mati? Takutlah jika kalian tidak berbuat apa-apa saat menghadapi kematian tersebut! Sejak kapan hidup mati kalian bergantung pada sebuah senjata yang bahkan belum kalian gunakan untuk bertahan hidup! Persiapkan oculus!" perintah Raffendal dengan tatapan membara. Kolam darah belum membuat ia gelap mata karena ia yakin cuma ini kesempatan mereka satu-satunya untuk membela diri.

Naga merah raksasa menggeram di kejauhan. Mata gelap makhluk itu berkilat penuh ancaman.

***

Torreno memegang lehernya yang mendadak tercekik. Udara seolah terjebak dalam rongga dadanya hingga tidak leluasa keluar. Namun, dingin menyergap ujung jemarinya yang perlahan merambat ke seluruh tubuh hingga mengakibatkan mati rasa.

Kejadian di luar dirinya kemudian terasa kacau dan tidak nyata. Aula istana Laniakeia berpilin seperti spiral dan penglihatan Torreno tampak suram seperti mimpi buruk di tengah malam: kelam mata Pontia menggenang bagai kubangan lumpur menenggelamkan; bibir pucat Seyra seumpama moncong raksasa yang menelan dirinya hidup-bidup; dekap hangat Jeannette Le Blanc yang terasa membara bagai cambuk kasar milik Raja Dylon; bahkan degup jantung ketakutan Ratu Elsadora saat tersangkut di tepi balkon, terdengar jelas seiring detak jantungnya yang melambat dan lebih kasar. Putaran hidup Torreno bagai saling berebut tempat dalam benak.

Pelan tapi pasti, ilusi tersebut memudar bersama kesadaran akan dirinya yang seakan tersedot ke tempat lain. Torreno bagai menyaksikan dunia dari sudut pandang tersembunyi. Ia bisa melihat segala benda dalam pandangannya tampak mengecil. Aula istana Laniakeia kini telah lenyap berganti langit mahaluas dengan Vella bertakhta sebagai pusatnya.

Torreno dicekam ngeri ketika mendengar suara asing nan ganjil keluar dari mulutnya yang terasa bergerak sendiri, "Vella, aku kembali." Namun, ia sadar, itu bukanlah suaranya, melainkan suara Shifr.

***
















🔥🔥🔥🐲🐉
TBC
12 Agustus 2022, pukul 22.28 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top