The Prey

Dentuman keras yang memekakkan telinga terdengar ketika seekor naga bersayap merah seketika meledak dan hancur berkeping-keping akibat tertembak bola api Agnon. Tanda-tanda kehidupan makhluk itu langsung lenyap meluruh menjadi serpihan debu merantak di udara.

Nasib naga lain yang berada tak jauh darinya juga tewas mengenaskan dengan cara yang sama. Asap hitam pekat mengepul menutupi langit dan bau hangus serta merta menguar di udara terbuka. Sementara masih ada beberapa ekor naga lagi yang terbang berputar di atas menara pertahanan perbatasan Laniakeia seolah mengejek para pemburu mereka yang mulai kewalahan.

"Makhluk-makhluk ini tangguh!" teriak seorang pria berambut lewat sebahu dengan mata setajam elang. Pria itu bernama Seamus. Ia sedang berbicara dengan panglima pasukan mereka, divisi pemburu naga. Di wajahnya tampak sekilas kepanikan karena kawanan naga yang masih tersisa ternyata tidak mudah untuk dilumpuhkan dengan senjata andalan mereka. Api-api yang melayang ke arah kawanan naga itu melempem dan padam dengan sendirinya saat menabrak tubuh makhluk-makhluk itu.

Panglima Elijah tampak berpikir keras. Dahinya yang mengerut dibanjiri keringat. Sepertinya naga-naga yang mereka hadapi kali ini memiliki unsur yang berbeda dari yang biasa mereka temui di Laniakeia. Naga tanah, bahkan naga api dapat musnah bila terkena hantaman api Agnon yang telah diperkuat dengan unsur peledak. Tapi naga kali ini berbeda, bahkan api Agnon padam saat beradu dengan permukaan kulit mereka.

"Andai ada Pangeran Torri sekarang-"

"Cukup! Dia hanyalah seorang remaja pembuat masalah!" Seamus menghardik seseorang yang berbicara di belakang mereka berdua. Wajahnya bertambah gusar. Rupanya ia masih tak bisa melupakan pembakaran padang Lacantina dahulu yang diprakarsai oleh orang nomor satu di divisi mereka itu, sekaligus putra mahkota Laniakeia.

Panglima Elijah yang berdiri tak jauh darinya, tidak serta-merta membenarkan perkataan Seamus. Ia hanya mengerling sekilas pada leki-laki itu tanpa minat untuk mengomentarinya. Pangeran Torreno mungkin telah memutuskan rantai makanan para naga di Laniakeia, tapi masalah yang ada di hadapan mereka saat ini sama sekali tak ada hubungannya dengan itu. Pengalamannya bertahun-tahun semenjak masih berada di bawah komando Jeanne Le Blanc-lah yang berbicara demikian.

"Ini naga air!" desis Panglima Elijah tak yakin untuk sesaat. Ia segera mengalihkan perhatian Seamus tentang masa lalu dengan ucapannya tersebut. Sepertinya tebakannya kali ini benar.

"Bukankah naga danau air asin Tavareth terakhir sudah kita binasakan bertahun-tahun yang lalu?!" Seamus menyergah.

"Aku tahu." Panglima Elijah menyahut cepat. Pria itu lalu menatap Seamus serius dan berkata, "Perintahkan Lucas dan beberapa orang tergesit untuk segera pergi ke ibukota dan membawa Vortex dari ruang bawah tanah guild. Ingat, jangan sampai memicu kepanikan massal!"

Seamus mengangguk mengerti. Namun sebelum laki-laki itu sempat melaksanakan titahnya, Panglima Elijah mengeluarkan perintah terakhirnya, "Lalu bergabunglah denganku Seamus, kita lakukan ini dengan cara lama seperti saat Jeanne Le Blanc masih bersama kita!" Pria paruh baya itu mengedipkan sebelah matanya.

Seamus mendengkus. Oh, ternyata mereka memang membutuhkan Pangeran Torri sekarang!

"Rantai!" Panglima Elijah kemudian memberi aba-aba pasukan untuk maju dan bersiap-siap mengepung dua ekor monster yang tengah melayang di tengah-tengah mereka. Pria itu sendiri merangsek maju ke medan perburuan, mengumpankan dirinya sendiri untuk menarik perhatian salah satu makhluk itu.

"Lucas!" Sementara di belakangnya, Seamus berteriak memanggil nama seorang pemuda kepercayaan sang panglima.

Dengan sigap seorang pemuda berbaju zirah segera menghadapnya. "Segera pergi ke ibukota dan bawa Vortex dari ruang bawah tanah guild. Ingat, jangan sampai memicu kepanikan massal!" titahnya tegas yang dijawab oleh anggukan oleh sang pemuda.

Setelah pemuda itu pergi, Seamus bergabung dengan Panglima Elijah dan para pemburu lainnya untuk menaklukkan sang naga.

-ooo-

Menarik.

Anne mengamati antusias tatkala sepasang tanduk raksasa dengan ujung berlubang yang terhubung ke sebuah tungku besar menyala-nyala diarahkan pada seekor naga abu-abu keperakan yang telah terjerat satu tungkainya oleh belitan rantai. Tak kurang dari sepuluh orang laki-laki memegangi rantai itu susah payah agar si naga tak bisa meloloskan diri. Makhluk itu berontak kuat ketika sebuah gelombang energi tak kasat mata menggetarkan seluruh molekul-molekul tubuhnya dengan hebat. Terdengar desisan nyaring sesaat sebelum makhluk itu terpecah menjadi butiran-butiran air yang tumpah membasahi para pemburu di bawahnya. Makhluk itu musnah begitu saja.

Makhluk yang malang. Anne menyaksikan dengan ngeri, tapi anehnya bibirnya malah tersenyum jalang. Pikirannya tiba-tiba mengawang pada peristiwa yang bertepatan dengan pembakaran ladang Lacantina dulu. Panglima Elijah menatapnya seperti musuh ketika ia berusaha menyelidiki apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Torreno dan pasukannya di dalam ruang bawah tanah guild mereka. Dan akhirnya sekarang ia tahu jawabannya.

Ia sudah sangat hafal cara berburu divisi ini dan sekarang ia juga tahu salah satu senjata rahasianya. Masih adakah yang tak ia ketahui?

Jeanne Le Blanc, pion kesayangannya yang kini telah tiada, sekarang telah digantikan oleh sang putra yang tak kalah cemerlang. Si naga kecil ini seharusnya melempangkan jalannya, tapi ternyata ada cacat dalam rencananya ... Torreno ternyata tak bisa dikendalikan dengan mudah. Dan sekarang pangeran terbuang itu berpotensi menjadi ancaman serius kalau ia lengah. Haruskah ia panen sekarang?

Anne mendesah berat dan rongga dadanya terasa semakin sesak. Ia berada dalam wujud seekor naga hitam, mengamati semua peristiwa yang terjadi di darat sana dari atas ketinggian. Sosoknya tersamar sempurna di balik tabir tak kasat mata. Sepasang siren berbadan ramping dengan sayap paksi perkasa diam patuh di sampingnya. Mereka adalah makhluk-makhluk yang ia bangkitkan dari sebongkah tulang rusuk. Mata opal kelabu milik para siren bergerak karena Anne baru saja mengirimkan sebuah sinyal perintah ke dalam kepala mereka. Saatnya tiba untuk menggiring para umpan dan memasang jebakan.

Siren-siren itu kemudian pergi melaksanakan perintahnya dengan patuh. Sebentar lagi akan ada pertunjukan besar dan sudah saatnya ia mulai menebar kekacauan di tengah orang-orang ini.

HISSS! Anne tertawa keras, sumbang sekali kedengarannya. Itu memang bukan suara tawanya, tapi desis kesenangan sang naga kegelapan. Semakin lama, makhluk ini semakin menjadi nyata ....

Sementara di bawah sana, para pemburu naga tak sadar jika ada yang tengah bergerak cepat mendekati perbatasan Laniakeia, mengarah tepat menuju ibukota. Mereka sedang dihinggapi euforia karena berhasil menumpas dua naga air berkat senjata andalan yang berhasil dibawa tepat pada waktunya ke kancah perburuan. Tungku-tungku Vortex telah dipadamkan dan semua orang kini bisa membuka sumbat telinga dengan aman tanpa takut gendang telinga mereka akan dipecahkan oleh gelombang suara yang dihasilkan oleh senjata itu. Sungguh perburuan yang melelahkan.

Ketika bayangan hitam di atas langit bergerak di kejauhan ke arah mereka, mata-mata pemburu itu seketika kembali nyalang. Mereka sempat berpikir jika serangan sudah berakhir, tapi ternyata tidak. Terdengar komando lantang dari Panglima Elijah dan semua orang kembali bersiap dalam formasi. Dugaan mereka semakin kuat ketika sosok sekawanan naga mulai terlihat di cakrawala. Divisi pemburu naga memang selalu harus siap untuk hal semacam ini.

Mata mereka membelalak ketika melihat ada sosok lain yang terbang di depan kawanan naga. Beberapa ekor pegasus dan sesosok makhluk ramping bersayap terbang menggiring kawanan pegasus itu. Naga-naga itu sepertinya tak tertarik untuk menyerang para pemburu, tapi mengejar si pegasus yang sengaja dituntun menuju kota. Kegilaan macam apa yang sedang terjadi sekarang?!

"AGNON! AGNON!" Panglima Elijah berteriak kalap memerintahkan para pengendali senjata tembak mereka untuk menyerang penuh demi menghadang jalan gerombolan monster tersebut.

"LUCAS! PERINTAHKAN PASUKAN AGNON BERTAHAN PENUH DI LUAR GERBANG KOTA!" Sial, hanya tersisa sedikit Agnon di garis belakang. Wajah sang panglima kembali gusar. Mereka harus memukul mundur setidaknya separuh monster itu agar tidak berhasil masuk Laniakeia.

Sementara Lucas bersalto lalu melompat di antara Agnon dan Vortex untuk mencapai gilde terdekat. Pemuda itu langsung berpacu melawan waktu yang hanya tersisa sedikit, sebelum para monster di langit itu mencapai ibukota.

-ooo-

"Kita butuh Pangeran Torreno untuk menyelesaikan Oculus secepatnya!" Panglima Elijah berusaha keras meyakinkan semua orang dalam pertemuan Dewan Penasehat Agung. Tatapannya menusuk tajam Kanselir Januska yang duduk di sayap kanan. Lelaki yang ia tuding itu malah membalas dengan kerlingan mata dingin. Panglima Elijah menghela napas karena ia terpaksa membuka rahasia senjata yang sedang ia kerjakan diam-diam bersama sang pangeran.

"Bukankah senjata itu sudah selesai seperti yang Anda laporkan, Panglima?" tanya Ketua Dewan berjanggut pirau dengan dahi mengernyit.

"Ini masih purwarupa, Penasehat! Pangeran Torrenolah yang mengatur ulang kodeknya. Lagipula senjata ini belum pernah diujicobakan, akan sangat berbahaya bila digunakan sembarangan!"

Gelombang kegelisahan mulai merambat di udara pada pertemuan Dewan Penasehat Agung. Wajah-wajah bingung tampak sedang berpikir keras, sementara Kanselir Januska, tangan kanan Raja Dylon, mendesah tak senang. Ia bertukar pandang bak permainan pedang dengan Panglima Elijah.

"Panah yang sudah dilesatkan tak bisa kembali lagi, Panglima. Dewan sudah memutuskan pengasingan putra mahkota dan itu adalah risiko yang harus kita tanggung sekarang. Di sisi lain, kami masih percaya masalah ini masih sanggup ditangani oleh divisi Anda. Kanselir Januska pasti punya pandangan yang lebih baik dalam hal ini dan mungkin tidak keberatan untuk membantu." Sang Ketua Dewan akhirnya angkat bicara. Perkataan itu dijawab dengan anggukan oleh anggota dewan lain yang sepertinya punya pikiran serupa.

Netra Panglima Elijah menyala sesaat, tapi pria itu masih sanggup menguasai gejolak amarahnya. Ia berbicara tanpa rasa segan sekarang, "Musuh kita kali ini bukan hanya segerombolan naga, Dewan yang terhormat. Andai Anda semua menyaksikan apa yang terjadi hari ini di perbatasan .... Ini bukan perang naga biasa, kita sedang menghadapi lawan yang lebih kuat. Bersediakah Dewan Penasehat Agung membuat pengecualian untuk darurat militer yang sedang kita hadapi saat ini? Saya bicara atas jaminan keamanan rakyat Laniakeia sekarang."

Kanselir Januska terkekeh di sudut meja, sementara pandangan para anggota dewan membeku laksana kukuhnya karang.

"Bukankah justru itu kesalahan Pangeran Torreno yang menjadi pangkal masalah ini, Panglima?"

Orang-orang ini ...! Panglima Elijah menggeram. Sedapat mungkin ia menahan diri untuk tidak keluar begitu saja di tengah-tengah pertemuan. Sebaliknya, pria penuh wibawa dan keyakinan itu menggebrak meja pertemuan dengan keras, mengagetkan semua orang yang hadir.

"Sampai di mana batasan kalian? Tolong jelaskan pada saya!"

"Panglima!" Kanselir Januska angkat bicara tanpa merasa terintimidasi. "Kekuatan garda istana akan dialihkan sebagian besar ke divisi pemburu naga. Saya pikir itu cukup dan Raja Dylon pasti akan menyetujuinya!"

Agaknya dia telah gagal meyakinkan orang-orang ini untuk mengembalikan Pangeran Torreno. Panglima Elijah hanya berujar lirih, "Ini adalah pertaruhan besar ..."

-ooo-

"Lupakan, Torreno!" Raffendal menyingkirkan sang pangeran Laniakeia yang menghalangi pandangannya. Perhatian pangeran peri itu sedang terpusat pada sebuah pir emas yang terombang-ambing di puncak arus sebuah air mancur yang tingginya nyaris mencapai langit-langit. Ia sedang berlatih melempar pisau dan butuh konsentrasi lebih untuk membidik sasaran yang berada di ketinggian seperti itu.

"Apakah ada yang kauinginkan sebagai imbalan? Aku bersedia mengusahakannya."

"Yang kuinginkan sekarang adalah tutup mulutmu!" Raffendal mulai kehilangan kesabaran.

"Apakah kau sungguh punya kekuatan besar?" tanya Torreno dengan nada meremehkan karena ia sendiri telah kehilangan kesabaran. Ia telah mengejar Raffendal seharian untuk mengajaknya bicara tapi pangeran peri ini seakan berpura-pura mengabaikannya.

"Sial, kau sudah membuatku marah!" Raffendal beralih mengacungkan pisaunya ke depan wajah Torreno. "Apa yang sebenarnya kaucari di Aldecara, pengacau?!"

"Hei!" Torreno menentang tatapan Raffendal, alih-alih menepis mata pisau yang hanya berjarak kurang dari sejengkal darinya.

"Katakan sebelum aku melemparmu ke luar istana!"

Entah ada apa dengan Raffendal. Semenjak ia menyebut soal Aldecara, emosi si peri meningkat drastis hingga seolah tak segan untuk menghabisinya.

"Ibuku pernah bercerita ada sebuah puncak legendaris di Silvanovia."

Raffendal tertawa sinis dengan sebelah alis terangkat. "Jadi kali ini kau hanya ingin menuntaskan imajinasi petualanganmu yang kekanakan itu?" ejeknya pada Torreno.

"Raffendal, aku ingin menapak tilas kehidupan ibuku, tolonglah." Kini Torreno memohon. Raffendal menurunkan pisaunya dan mendekatkan wajah pada Torreno. Pemuda itu seolah dapat melihat iris tembaga pucat milik pangeran peri di hadapannya dengan jelas.

"Tidak cukupkah nama Jeanne Le Blanc menjadi pahlawan di Silvanovia? Dan kau juga ... andai saja kau tidak membuat kekacauan di tempatmu sendiri."

"Kalian mengizinkan ibuku ke Aldecara."

"Bukan, Torreno. Jeanne Le Blanc sendiri yang ke Aldecara bersama seekor naga."

"Apa katamu?" Mata cokelat Torreno berkilat mendengar ucapan Raffendal.

"Apa kalimatku tadi kurang jelas? Jeanne Le Blanc ke Aldecara dengan menunggang seekor naga." Peri itu tersenyum dingin dan membekukan urat saraf Torreno seketika.

"Kau- kau bercanda."

"Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, Yang Mulia," ujar Raffendal penuh ejekan, "kau pikir berapa umurku sekarang? Aku bahkan sudah ada sebelum ibumu lahir."

Baiklah, Torreno tidak pernah meragukan rahasia panjang umur peri dan keremajaan abadi mereka, tapi kata-kata Raffendal barusan benar-benar mengusiknya.

"Ibuku? Dan naga?"

"Ya. Seekor naga hitam."
Napas Torreno kini memburu. Pasti ada sesuatu yang salah di sini.






Hai hai! Torreno ia back!! Terima kasih banyak yaaa sudah mampir dan mendukung kisah ini. Jangan lupa vote dan kalau bisa tinggalkan jejak cinta kalian sebagai penyemangat bagi penulis❤️
Salam sayang dari para penulis, @ravistara dan Zu 🤗🤗🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top