The Lost Dagger

Salah satu tempat di sudut kerajaan Mermaidivine yang berada di tepi laut itu sekilas tampak seperti pasar pedagang biasa. Namun, ada yang unik dari apa yang mereka jajakan. Para pedagang di pasar itu menjajakan beragam makhluk awetan yang sebagian besar sudah berbentuk irisan-irisan yang dipotong sedemikian rupa seperti bola mata, belalai, gigi, kuku, tanduk, rambut, dan kulit yang disimpan dalam gelas-gelas kaca yang berjajar di atas meja dan rak-rak di bagian dalam kedai. Beberapa gelas kaca diantaranya bahkan menyimpan makhluk yang masih bergerak dan bernyawa.

Tak ada teriakan-teriakan gaduh yang keluar dari para pedagang untuk menarik perhatian para pelanggan layaknya pasar pada umumnya. Semua orang yang berkunjung ke pasar ini sudah tahu pasti apa yang dijual dan apa yang akan mereka beli jika datang ke pasar itu.

Seseorang bertinggi badan sedang berjalan lambat di jalanan pasar. Sosok itu berputar-putar tak tentu arah tanpa bermaksud singgah dimanapun. Wajahnya tersembunyi di balik tudung lebar yang menutupi kepala hingga seluruh tubuh.

Penampilan dan gerak-geriknya yang aneh tak urung menarik perhatian salah seorang pedagang. Ketika pengunjung misterius itu melewati kedai miliknya untuk yang ke dua kali, pedagang pun tinggal diam.

"Permisi, Tuan. Apakah Anda sedang mencari sesuatu?" Ia memanggil orang tersebut bermaksud menolong.

Si tudung misterius lantas berhenti dan berbelok ke kedainya. Jikalau si pedagang beruntung, maka mungkin saja sosok itu menjadi seorang pelanggan baru yang akan berbelanja di tempatnya.

Tatapan si tudung misterius kemudian terpaku pada deretan cakar dan gigi dalam beragam bentuk dan ukuran yang digelar di atas meja.

Si pedagang pun langsung menerka. "Apakah Anda tertarik dengan benda-benda ini? Tapi ini hanyalah bagian-bagian superfisial, saya punya stok rangka dalam bila Anda berminat- Saya bahkan menyimpan rusuk siren," bisiknya penuh rahasia. Matanya yang memicing melirik ke kiri dan ke kanan seolah takut akan ada yang mendengar.

Sosok misterius itu sontak membuka tudungnya tanpa ragu sehingga si pedagang terkesiap. Ternyata si tudung misterius yang ia panggil "Tuan" barusan adalah seorang perempuan. Perempuan rupawan dengan rambut hitam, lebat, dan ikal. Sangat kontras dengan mata birunya yang seterang lautan. Sungguh perpaduan yang eksotis dan indah.

"Ceritakan tentang siren," pinta perempuan itu ingin tahu.

Sebuah pikiran konyol terlintas di benak pedagang, tersurat jelas dalam kilatan netra kelabunya. Mendadak suaranya tercekat. "Siren yang saya maksud di sini bukan monster duyung, Nona, tapi jelmaan paksi yang mengintai di langit samudra. Saya memperolehnya dari pelaut yang diserang beberapa ekor makhluk itu bulan lalu."

Kecurigaan mulai menyelimuti benaknya tatkala ia memperhatikan perempuan di hadapannya itu dengan seksama. Monster duyung yang sering ia perjualbelikan kebanyakan memang berambut gelap dan bermata indah, serupa dengan perempuan di hadapannya ini. Ia takut kalau perempuan dihadapannya ini mungkin saja berpikir jika siren yang ia maksud adalah bagian dari 'kawanannya'.

"Menarik!" Gadis itu malah menanggapi antusias dengan matanya yang berbinar teduh.

"Kadang pelaut yang sial bertemu mereka di hari yang tenang, menandakan badai akan segera datang. Tapi itulah resiko para pemburu monster seperti kami. Buruan yang bagus seringkali harus ditemukan dalam cuaca yang buruk." Si pedagang melanjutkan ceritanya yang ajaib. Cerita yang terdengar seperti ramuan antara kebenaran dan dusta.

"Masuklah." Ia mengedikkan kepala sebagai isyarat untuk mengikutinya ke dalam sebuah ruangan tertutup di belakang kedai. Gadis itu menurut dan mengekorinya.

Bau apak seketika menguar menusuk penciuman mereka. Suasananya temaram dan tumpukan peti di sana-sini menggunung hingga mencapai langit-langit. Si pedagang kemudian menurunkan sebuah peti yang berada di tumpukan paling atas dengan susah payah.

"Anda datang ke tempat yang tepat, Nona." Pria itu tersenyum. Ia membuka peti lalu menyibak kain yang ada di dalamnya. Sebuah rangka rusuk yang tinggal separuh mencuat dari balik kain itu.

Tanpa meminta persetujuan, gadis misterius itu mengangkat lantas menimang-nimang rangka rusuk di tangannya. Ia seolah sedang membayangkan rupa makhluk ditangannya tatkala masih hidup.

"Cantik," gumamnya mengagumi.

"Ya, keindahan sebuah sejarah yang termanifestasi dalam sebuah tulang." Si pedagang menyeringai.

Perempuan itu balas menarik sebelah sudut bibirnya. Agaknya mereka berdua sepakat dalam hal ini.

"Anda punya selera yang bagus. Siapakah Anda sebenarnya, Nona?"

"Nodericka."

"Ah, nama yang tak biasa di sini maupun Laniakeia. Apakah Anda seorang pengembara?"

Senyum misterius tersungging di wajah perempuan itu. Ia sama sekali tak menampik atau mengiyakan, jadi si pedagang lagi-lagi memutuskan untuk memercayai asumsinya sendiri.

"Keluarkan semua tulang yang Anda punya, Tuan." Tiba-tiba gadis itu mengatakan sebuah permintaan aneh yang membuat si pedagang memiringkan kepala untuk memastikan bahwa pendengarannya tak salah, "semua makhluk yang terbang dan berdarah panas dengan tubuh ramping dan berjenis kelamin betina." Perempuan itu memperjelas maksudnya.

"Apakah Anda berniat untuk menciptakan parade monster cantik?" goda si pedagang atas rasa ketertarikannya.

Permintaan perempuan itu sungguh terdengar aneh di telinganya karena baru kali ini ia menemukan seorang pelanggan yang tergila-gila dengan tulang. Ia dapat memahami bila yang dicari perempuan bernama Nodericka itu adalah bahan untuk ramuan sihir atau pengobatan, tapi membuang tulang dalam jumlah besar sungguh sebuah kesia-siaan.

"Tulang-tulang ini sangat berharga dan tidak murah." Pedagang itu memperingatkan.

"Anda akan menerima pertukaran barang yang jauh lebih berharga, Tuan," bujuk Nodericka yang lebih terdengar seperti sebuah perintah.

"Baiklah, apa itu? Saya harap itu adalah sebuah pertukaran yang pantas."

Perempuan itu mengeluarkan sebuah benda terbungkus kulit dari balik jubahnya. Benda itu berkilat ketika sarung pembungkusnya dibuka.

Demi melihat benda itu, wajah si pedagang terhenyak.

"Demi sisik naga! Dari mana Anda mendapatkan ini, Nona?" Dengkusannya terasa kasar ketika menerima benda itu dari tangan Nodericka.

Sekilas benda itu menyerupai kuku macan, tapi ukurannya lebih besar. Ia langsung mengenali bahwa itu adalah sirip bergerigi dari naga penghuni Danau Air Asin Tavareth. Makhluk mengerikan yang mengantarkan nyawa Ratu Jeanne Le Blanc ke ujung tanduk. Sirip ini adalah satu-satunya peninggalan naga tersebut yang tak musnah. Lukisan relikuinya bahkan telah dihafal oleh para penakluk monster di seantero Mermaidivine.

Ia begitu berhati-hati memegangnya agar tak menyentuh gerigi tajam yang berbaris di sepanjang mata belati. Napasnya tercekat di tenggorokan- bukan karena sangsi akan bahayanya benda ini, tapi selintas pikiran mengenai bagaimana cara perempuan itu mendapatkannya. Yang ia tahu, hanya ada seorang yang memiliki benda tersebut.

Si pedagang menatap perempuan di dihadapannya dengan tajam.

"Anggap saja seseorang yang bodoh telah meninggalkannya di tengah padang pasir," ujar Nodericka seolah bermain teka-teki.

Pria yang mendengarnya langsung terkekeh geli. Air matanya bahkan sampai menitik.

"Cerita Anda sungguh luar biasa, Nona. Hanya ada satu padang pasir dan itu ada di Laniakeia, sarang para naga. Dan bagaimana mungkin seorang Pangeran Torreno begitu cerobohnya menjatuhkan senjata ini begitu saja di sana? Apakah dia disergap lalu dimangsa para naga atau apa?" tukasnya seakan-akan Nodericka telah gila. Namun, tawanya seketika lenyap saat melihat tatapan dingin menusuk yang melesat dari mata biru perempuan di hadapannya. Mata itu seolah berkilau kemerahan dalam keremangan. Ia langsung menyadari bahwa perempuan di hadapannya bukanlah perempuan biasa. Siapa pun dia, pastilah perempuan ini seorang penyihir hebat. Keberadaannya di pasar ini pastilah bukan sebuah kebetulan belaka.

"Anda bisa membuktikan keaslian benda ini sendiri," tantang Nodericka dengan keyakinan yang tak terbantahkan.

Si pedagang pun tergerak untuk melakukannya. Ia letakkan belati itu teronggok begitu saja di atas lantai lalu ia mengeluarkan sebilah belati kecil dari balik sakunya. Dengan satu torehan kecil di sisi telapak tangan, setetes darah menitik ke permukaan belati yang langsung mendidihkannya dan mengepul seperti bara uap ke udara. Pedagang itu tersentak mundur beberapa langkah. Sesakit itulah rasanya sekarat terkena racun naga Danau Tavareth. Sungguh sebuah keajaiban saat Pangeran Torreno bisa membunuh makhluk itu. Lebih tepatnya, sebuah kejeniusan tiada tara.

"Bayangkan apa yang terjadi bila benda ini digunakan pada peri? Belati ini bahkan bisa membunuh para naga bila digunakan dengan tepat," bisik Nodericka penuh arti di dekat wajah si pedagang. Selarik denyar aneh di matanya membuat pedagang itu bergidik sesaat.

"Di mana saya harus menyimpan benda ini?" Pedagang itu mengusap peluh yang kini mengucur di pelipis dan turun ke cambang tipis di sisi wajahnya. Bibirnya sendiri tersenyum penuh kepuasan. Tentu saja benda berharga ini senilai mahkota tiara di mata para pemburu dan mungkin saja nyawanya akan jadi taruhan bila ada yang tahu dia menyimpannya sekarang. Orang-orang pasti akan berebut untuk memilikinya.

"Dan apa yang bisa saya bantu kali ini, Nona?" Sikap ramah pedagang semakin menjadi, rupanya ia telah sepakat dengan pertukaran yang diajukan Nodericka.

"Semua tulang yang saya minta tadi, Tuan. Tolong ... beberapa tulang ekor atau tulang punggung pegasus."

Si pedagang menyeringai lebar, "dengan senang hati, Nona."

***

Debur ombak tercipta di permukaan danau yang tenang saat Torreno dan para pegasus menjejakkan kaki di sana. Airnya sebening kristal sehingga siapa pun bisa bercermin dengan jelas di permukaannya. Dasar danau itu rata dengan air yang hanya setinggi dada. Luasnya hampir memenuhi kaki Gunung Primavera. Salah satu sudut danau itu bahkan berbatasan langsung dengan dinding tebing hingga menciptakan air terjun yang jatuh ke lembah hijau Sephora di bawahnya, berteras akik dan kerakal beraneka warna.

Torreno berjuang mengejar para pegasus yang berlarian di atas permukaan air dengan nakalnya. Kuda-kuda bersayap itu merengeh merdu kesenangan mencipratkan air di bawah tapak kaki mereka yang mengayuh lincah. Sesekali mereka menciptakan cipratan deras membentuk sebuah dinding dengan terbang cepat merentangkan kaki ke dalam air.

Tugas seperti ini sebenarnya bukanlah tugas yang ideal untuk seseorang yang tidak bersayap seperti Torreno. Pada akhirnya, ia hanya dapat membiarkan saja kuda-kuda itu terbang kian kemari membasuh diri sambil bermain dengan gembira layaknya sebuah pesta ala pegasus. Ia sendiri memutuskan untuk berenang di air yang dangkal dengan gaya punggung sambil berhati-hati agar tak mendekati jalur lintasan penuh riak gelombang. Tentu saja ia tak ingin wajahnya menjadi sasaran tapak kaki seekor pegasus.

Langit biru safir Laniakeia sungguh jernih memukau, warnanya biru tua bagaikan satin yang dibentangkan tanpa cela. Torreno langsung teringat akan gradasi warna lebih muda yang ada pada mata seorang perempuan yang diam-diam mampir di ruang rindunya. Benaknya langsung berkelana ke Laniakeia ... apa yang sedang terjadi di istana pasir berlonceng itu sekarang? Di hari yang membosankan, perempuan itu biasa merentetinya dengan berbagai omelan dan gerutu tanpa jeda.

Kerinduan itu hanya berlangsung sebentar saja. Begitu netra Torreno menangkap pemandangan puncak gunung yang tinggi menjulang ke angkasa dengan puncak yang terbenam di balik awan di hadapannya, semua lamunan seketika buyar. Ia terpukau akan keindahannya.

Saking asyiknya Torreno berkelana dalam penjelajahannya, ia sampai tak sadar jika tidak hanya ada dia seorang di danau ini. Sebingkai wajah pucat jelita bak porselen dengan sayap tipis yang terentang di belakang kepala tiba-tiba muncul di atasnya menciptakan bayang-bayang. Dalam sekejap Torreno merasakan sebuah kecupan mendarat di bibirnya.

Ia tersentak membalik tubuh sehingga air di sekitarnya berdebur keras. Torreno mendongak lantas berteriak marah. Jarinya teracung geram ke udara.

"SEYRA!"

Putri Silvanovia itu cekikikan seraya terbang menghindari sabetan panah air Torreno yang sia-sia. Panah air meluruh begitu saja menyentuh udara kosong lalu kembali jatuh ke permukaan danau. Seyra yang merasa belum puas kembali berusaha menggodanya dengan terbang rendah di sekitar pemuda itu seolah dirinya akan mudah ditangkap.

Sayang sekali, kali ini Torreno tidak termakan taktik peri perempuan itu. Peri pembangkang seperti Seyra jelas tak termasuk dalam daftar calon permaisurinya. Ia memutuskan untuk mengabaikan makhluk cantik bersayap itu dan kini berenang menyelam ke bawah permukaan air.

"Pangeran Torri!" Suara bernada tinggi si peri teredam dari bawah air. Tampaknya peri perempuan itu gusar karena tak bisa mengganggunya sekarang. Mungkin juga Seyra enggan membuat sayapnya basah dan memilih untuk terbang membayanginya saja dari permukaan danau. Seyra menghalangi sinar Vella, dan bagi Torreno itu menguntungkan.

"TORRENO!" Peri itu tak tahan lagi dan berteriak kesal menampar air dengan tangannya, berharap pemuda itu muncul ke permukaan.

Sebenarnya Seyra tak perlu melakukan hal konyol seperti itu karena cepat atau lambat, Torreno pasti keluar dari dalam air. Paru-paru pemuda itu hanya kuat bertahan beberapa menit saja di bawah air. Torreno mengangkat kepalanya dari dalam danau dan membuka mulutnya lebar untuk mengambil udara. Satu kecupan di bibir atas pun berhasil kembali dicuri oleh Seyra.

Astaga .... Torreno melotot menatap peri itu tak percaya. Perempuan dan sayap adalah sebuah kombinasi yang mengerikan. Ini sudah kedua kalinya ia diserang dari udara.

"Turunlah ke sini dan akan kupatahkan sayapmu!" desis sang pangeran murka. Wajah rupawannya seketika menjadi merah padam.

Sementara Seyra tertawa penuh kesenangan karena berhasil mempermainkannya. "Apakah itu hanya alasan Anda untuk melihat saya berbasah-basahan, Yang Mulia?"

Hebat, ia memang tak akan pernah menang melawan Seyra. Mungkin lebih bijak jika ia abaikan saja peri itu dan tak berbicara lagi dengannya.

Torreno pun bersiul pendek nyaring beberapa kali memanggil para pegasus. Rupanya makhluk-makhluk itu sudah puas bermain dan langsung memenuhi panggilannya. Mereka berkumpul di tepi danau. Air berkecipak nyaring ketika ia membelah bening kristal itu untuk mencapai tepian, menyusul para pegasus yang sedang menjemur sayap-sayap mereka, sementara Seyra turun dan melipat sayap miliknya di balik punggung.

"Ayolah, Yang Mulia. Permainan kita belum selesai," rengek Seyra mencoba menarik perhatian Torreno. Tapi apapun yang ia lakukan tidak akan berhasil. Pemuda itu terlalu marah padanya dan lebih memilih untuk mengeringkan diri di antara kawanan pegasus.

Tak ada yang bisa dilakukan Seyra sekarang selain menunggu dengan bibir mengerucut di atas batu besar di tepi danau. Ia bahkan duduk bertopang dagu. Ekor matanya memulas pada pemandangan pemantik rasa iri di sebelah sana dimana seorang Torreno sedang bercengkrama dengan para makhluk bersurai dan bersayap itu. Tak akan ada yang bisa mengalihkan perhatian sang pangeran dari binatang peliharaan kesayangannya. Termasuk peri peri perempuan itu.

Namun, tatkala Torreno sudah selesai menambatkan pegasus-pegasus itu dengan rapi dalam barisan, Seyra urung mendekati sang pangeran. Perbuatannya tadi mungkin keterlaluan dan membuatnya merasa sungkan sendiri, sementara Torreno sang pangeran tampaknya juga tidak mau bersusah payah menawarinya sebuah tumpangan.

"Naiklah."

Seyra membesar tak percaya saat mendengar ajakan Torreno sejurus kemudian. Saking tak percayanya, peri perempuan itu justru terpaku sampai surai seekor pegasus mengibas wajahnya seolah menyuruh bergegas.

"Sung-guh?" Bibirnya nyaris tak bergerak.

Alih-alih tersenyum, Torreno malah menatapnya jengah. "Kali ini jangan mengacau." Hanya itu yang terucap dari bibir sang pangeran dan seketika lutut Seyra serasa meleleh karenanya. Entah apa yang telah mengubah pangeran berhati dingin ini. Andai yang ada di hadapannya sekarang adalah Torreno yang dulu, pemuda itu pasti sudah memotong habis sayapnya sampai ke pangkal tadi. Jadi, sepertinya ada yang benar-benar dicuri diam-diam dari dalam rongga hatinya.

Seyra naik ke punggung pegasus tanpa banyak bicara. Ia ragu memeluk pinggang Torreno sesaat, tapi ia lakukan juga pada akhirnya.

Sepertinya Torreno memang sengaja menunggu peri perempuan itu, sebelum akhirnya menghela kawanan pegasus untuk memanjat langit Silvanovia dengan hentakan angin di bawah tapak-tapak mereka.

Putri peri itu menyandarkan kepala dengan nyaman di punggung sang pangeran. Ia berharap waktu berhenti di saat itu, membekukan kebahagiaan yang menyelusup hangat dan menggetarkan sendi-sendi tubuhnya. Ia tak sadar ketika Torreno membawa mereka terbang ke arah yang salah. Bukannya kembali ke Silvanovia, mereka malah mendaki lebih tinggi ke pedalaman Primavera. Ketika dirasakannya udara yang membelai betisnya semakin dingin dan mulai membeku dalam artian yang sebenarnya, Seyra pun terkesiap. Ia menoleh panik karena pemandangan di sekitarnya telah berubah menjadi onggokan salju abadi yang terhampar di mana-mana. Para pegasus pun mulai mempercepat kepakan sayap mereka untuk mengusir kaku yang menyergap.

"Torreno, ke mana kita?" cecar Seyra, tapi pemuda di depannya diam saja memandang lurus ke awang-awang. Tahulah Seyra jawabannya ketika di hadapan mereka terbentang sebuah dinding yang tinggi. Pegasus sedang terbang meniti ulir, berusaha memanjat sampai ke puncaknya.

Seyra lekas merentangkan sayap tipisnya dan terbang ke depan bermaksud menghalangi jalan mereka.

"Hentikan, Yang Mulia. Apa yang sedang Anda lakukan?!" Pegasus-pegasus meringkik melambatkan laju mereka hingga akhirnya berhenti sebelum nyaris menabrak sang peri.

"Aku ingin tahu apa yang ada di puncaknya." Torreno malah menyahut pertanyaan Seyra dengan kekanak-kanakan sambil menengadahkan telunjuknya ke langit.

"Tidak ada manusia yang bisa bertahan di Aldecara!" Seyra menyebut nama puncak gunung tersebut. "Hanya peri berkekuatan besar yang bisa membawa Anda ke sana. Apa yang sebenarnya Anda pikirkan?!" teriak Seyra tak habis pikir dengan jalan pikiran Torreno yang terkadang sulit ditebak.

"Apakah ada sesuatu yang berharga di sana?"

"Tidak, nyawa Andalah yang lebih berharga! Tolong urungkan niat Anda dan kembali ke Silvanovia sekarang juga!" Seyra memerintahkan tegas.

"Atau ciuman pemberi napas dari saya lebih Anda sukai bila pingsan di atas sana?" Seyra kembali berusaha merubah pikiran Torreno dengan ancaman baru yang ia yakini tidak akan disukai sang pangeran.

Torreno pun menghela napas menyerah. Ia tak mau lagi mengalami kejadian yang sama. Sudah cukup untuk hari ini. "Baiklah," ujar Torreno kecewa. Ia memandang dinding gunung yang kokoh bak kristal berpendar kebiruan itu. Ia bertekad akan kembali lagi ke tempat itu. Sepertinya, ada sesuatu yang sedang memanggilnya dari atas sana, tersembunyi dalam lautan mega yang berkemul bak cendawan.















Happy weekend!! Torreno datang lagi!! Terima kasih banyak sudah mampir di Puer Draco, semoga terhibur. Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar kalian di cerita ini yaaa 😘😘
Salam hangat dari para penulis colab kak Ravistara dan Zu 🤗🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top