Lamentation

Ya, naga itu berbeda dari naga-naga yang pernah Elsadora lihat sebelumnya. Naga itu berjalan dengan dua tungkai besar, kokoh, dan berotot; ekornya kuat, melengkung ke atas dengan ujung bercabang dua menyerupai tanduk; dua tangan di sisi tubuh berukuran lebih kecil dan kelihatannya berfungsi layaknya tangan manusia. Naga ini tidak bersayap, tetapi gelambir lebar di tepi dagu dan wajahnya sesekali mengembang seperti layar dan terlihat mengancam. Penampilan jelek tadi masih ditambah oleh permukaan tubuhnya yang merah menyerupai daging mentah dan penuh darah, bagai makhluk baru lahir dengan kulit terkelupas. Seketika pening hebat mendera kepala wanita itu. Membayangkan naga ini dulunya adalah Torreno, membuat Elsadora terpukul karena ia terbiasa memperhatikan penampilan sang pangeran agar senantiasa terawat sebagai tugas yang dibebankan kepadanya selama ini, meskipun ia tidak pernah berhasil memangkas rambut liar kepala sekeras batu itu.

Elsadora gagal menjadi pengasuh Torreno. Putra asuhnya telah berubah menjadi makhluk buruk rupa di usia delapan belas dan Elsadora kini tidak bisa lagi memarahinya seperti yang sudah-sudah.

Namun, bukan itu saja masalahnya.

"Jangan terkecoh dengan wujudnya, Tukang Meratap. Ia memang kelihatan besar dan lamban, tapi bisa berpindah sangat jauh seperti kutu loncat dan dari mulutnya keluar sinar mematikan yang akan mengubahmu menjadi permata tak bernyawa."

Tukang Meratap, kutu loncat, dan permata! "Maaf?" Ekor matanya mencari titik terang dalam kata-kata Nodericka yang terdengar bagai metafora, tetapi tatapan gadis setengah monster berekor panjang di sisinya memberi pertanda bahwa ucapan tadi bermakna asli tanpa konotasi. Sekali lagi, Elsadora melempar pandangan tinggi ke atas untuk memindai wujud naga raksasa di hadapannya. Barang tentu ia gagal menemukan kemiripan antara monster tersebut dengan Torreno jika hanya mengandalkan penglihatan telanjang. Elsadora butuh segenap akal sehat untuk menelusuri jejak yang tersisa dari pemuda rupawan putra mahkota Laniakeia. Namun, bagaimana bisa, jika ia saja tersesat menemukan kunci untuk masuk ke dalam hati Torreno bertahun-tahun dalam wujud manusia?

Elsadora kembali berpaling pada Nodericka dengan wajah putus asa. Ini harus menjadi usaha terakhirnya menghentikan perbuatan gila Torreno yang luar biasa setelah dirasuki oleh Shifr, yang entah siapa. Andai ia mungkin masih hidup jika tidak dihabisi oleh putra asuhnya sendiri.

"Aku bertahun-tahun menjadi pengasuhnya, tapi tidak bisa menjinakkan Torreno!" jeritnya.

"Gunakan saja kesempatan yang akan kubuat untukmu. Aku tidak tahu apakah ini akan berhasil, tapi kau jelas membawa sesuatu yang mungkin sangat dibutuhkan Torreno sebelum ia terlahir sempurna sebagai Shifr," ujar Nodericka tegas untuk menepis keraguan di hati sang pengasuh.

Torreno bisa menjadi lebih jelek lagi? Pertanyaan mengganggu yang muncul dengan lancang itu hanya bisa ia pendam dalam hati.

"Kenapa kau melakukan ini? Kau tidak punya ikatan apa-apa dengan Laniakeia, Anne," tanya Elsadora heran.

Nodericka cuma tersenyum hambar. "Aku berutang pada Torreno di sini," gadis itu menunjuk dadanya sendiri, "ia menyelamatkan nyawaku berkali-kali." Sepasang mata biru milik gadis gargantua menatap jernih. Gadis ini jelas punya niat balas budi dalam hatinya, meskipun ia setengah monster dari lautan.

Setidaknya, Nodericka punya alasan bagus dan bisa diterima semua orang, sementara Elsadora sendiri masih bimbang karena tahu pasti betapa Torreno membenci dirinya dan mungkin sanggup membunuhnya berkali-kali.

Kadang, kebencian membuat seseorang lebih diingat daripada rasa cinta yang lama tumbuh. Ambisi gelap dan haus darah lebih candu daripada maaf dan belas kasih. Torreno pun terjebak dalam masalah abadi setiap manusia.

"Elsadora!" Nodericka mencekal lengannya seraya menohoknya dengan tatapan setajam belati. "Kau tahu yang harus kaulakukan! Jangan biarkan Torreno dan Shifr menghancurkan dunia yang kita kenal. Aku bahkan belum melihat Corindeureen Nyree dengan mata kepalaku sendiri!"

"Persiapkan saja pasukanmu! Aku akan mencoba ...." Elsadora memupus permohonan terakhir Nodericka dengan segenap keteguhan hati.

Nodericka kembali membawanya ke angkasa. Sementara, dalam jarak yang agak terpisah dari mereka, sekawanan monster laut bersayap memelesat ke arah sang naga untuk menyesatkan perhatian si merah darah. Makhluk-makhluk yang Elsadora tebak adalah siren pemburu dari lautan mulai bernyanyi riuh sambil menyebar untuk sekadar mengganggu karena senandung kegelapan mereka tidak akan mempan terhadap pikiran Shifr yang jelas hitam pekat. Elsadora hanya butuh sedikit celah untuk mendekat, kemudian mengantarkan medali yang kini digenggamnya erat di depan dada.

Nodericka membawa Elsadora muncul di titik buta sang naga. Dengan sekuat tenaga, ia melontarkan wanita itu ke arah kepala naga, yang untungnya berhasil mendarat di bahu sang monster. Namun, sekejap kemudian Elsadora memekik, lalu terjatuh karena daging merah sang naga yang ternyata sepanas bara membakar kaki dalam terompahnya dan celakanya, pekik Elsadora kemudian menarik perhatian sang naga dari makhluk-makhluk kecil bersayap yang terbang tanpa pola alur jelas di sekitar kepala makhluk besar itu. Sang naga memutar tubuh cepat untuk mencari sumber suara, sebelum akhirnya menemukan keberadaan Elsadora.

Sepasang mata Elsadora lantas membeliak ngeri ketika sepasang tangan monster dengan cakar tajam berkilau terulur ke arahnya. Di sisi lain, Nodericka menghantam tangan itu dengan tubuhnya yang jauh lebih mungil daripada sang naga. Usahanya berhasil mengecoh untuk mengalihkan sejenak perhatian sang naga dari Elsadora. Namun, Nodericka jadi tidak punya waktu untuk menyambut tubuh Elsadora yang meluncur ke bawah dan siap menghantam cadas.

Maka, Elsadora tidak sempat berharap apa-apa tatkala tangan sang naga kembali menyasar dirinya. Matanya terpejam ngeri membayangkan tubuhnya yang akan hangus begitu bersentuhan dengan tangan bercakar raksasa itu. Lalu, ia hanya bisa terperangah ketika tubuhnya yang hanya seujung kuku direngkuh tanpa masalah oleh tangan raksasa yang mendadak dingin sekejap seolah membeku hingga menguarkan kepulan asap di puncak Aldecara bersalju abadi.

Jemari sang monster terbuka memperlihatkan Elsadora yang meringkuk di permukaan telapak tangannya, kemudian dibawanya sang ratu mendekat ke depan mata merah yang bagai obor menyala.

Sang naga mendengus sepelan mungkin di hadapannya, tetapi Elsadora malah merasakan dengusan itu seperti terpaan angin kencang di bawah derap kaki gilde. Ia berusaha bertahan segenap daya dan rasa tatkala tatapan mereka beradu.

"Ratu Elsadora." Tanpa diduga, sang naga berbicara, sungguh-sungguh berbicara seperti cara bicara Torreno selama ini kepadanya. Elsadora segera dilanda perasaan bercampur aduk: ia bimbang antara ragu atau girang luar biasa karena masih ada bagian diri Torreno yang mengingatnya, lantas tangannya menggenggam medali di depan dada penuh harap. Benda itu mengirimkan sensasi denyut kuat pada urat saraf.

"Apa yang kauinginkan?"

"Raja Dylon mengutusku."

"Kau bicara tentang orang yang sudah mati." Kini bukan saat yang tepat, rutuk Elsadora, entah kapan kesempatan itu tiba. Torreno tidak sudi menyinggung tentang ayahandanya meskipun mereka telah berlainan dunia.

"Torri ... dia mencintaimu."

"Huh. Bagi ayahandaku, takhta lebih berharga daripada hubungan darah di antara kami."

"Tolonglah, Torri. Kau harus mendengar ini," ujar Elsadora seraya membesarkan harapan dalam dirinya. Tanpa sadar, tangannya bergerak ke depan untuk menyentuh Torreno, tetapi ia terperanjat begitu menyadari kesalahan tersebut. Torreno bukan lagi pemuda berambut keriting yang bisa ia acak-acak seperti biasa jika sedang gusar kepadanya. Ia kini bahkan sedang berdiri di antara jemari Torreno yang bisa meremukkan tubuhnya dalam sekali kedip kapan saja. Namun, Torreno seolah memberinya waktu untuk melanjutkan dan Elsadora sama sekali tidak menyia-nyiakan celah tersebut.

"Torri. Di hari engkau pergi dari Laniakeia, sebenarnya kau bukan satu-satunya orang yang harus dihukum untuk menanggung kesalahan."

Dengus sang naga jelmaan menampar wajah Elsadora. Namun, ia berusaha tetap tegar dan tidak bergerak tatkala aroma tajam belerang mengganggu penciuman. Aroma dengusan sang naga itu persis uap kawah gunung berapi.

"Jauh sebelum kau menebar kekacauan, keberadaanku telah lebih dulu mengacaukan hubungan antara dirimu dan ayahmu. Tapi, Raja Dylon mengambil keputusan itu demi dirimu, Torri."

"Hebat. Aku hanya orang luar di antara kalian berdua."

"Itu sebuah kebohongan, Torri! Jabatan ratu dan permaisuri hanya gelar palsu yang kusandang agar kau bisa menerimaku, suka atau terpaksa sebagai pengasuhmu! Dan sekarang, aku bukan ratu lagi. Yang Mulia telah mengeluarkan dekrit untuk mencabut gelarku."

"Omong kosong apa ini! Kau telah memberikan ayahku calon putra mahkota kedua, sebelum ...."

"Dia bukan adikmu, Torri." Elsadora menggeleng dengan tatapan terluka. Wanita itu takkan pernah bisa membicarakan tragedi yang pernah menimpa dirinya dengan mudah.

"Anak siapa dia?"

Perbincangan keluarga bayangan antara naga dan wanita ini terasa aneh didengar. Elsadora sempat kehilangan kata-kata sebentar dengan raut wajah serba salah. "Torreno ... aku berjanji akan menjelaskannya setelah kau kembali dan ikut denganku ke Alomora. Ya?"

"Aku tidak tahu yang sedang kau bicarakan! Bisa saja kau hanya mengarang cerita yang ingin kudengar agar aku percaya padamu, bukan?"

"Ya, tapi tidak semua persis yang kaukatakan tadi." Suara Elsadora kian serak.

"Waktu untuk berbicara sudah habis ... Yang Mulia. Hari ini adalah waktu untuk penghakiman."

"Torri!" Elsadora mendadak bersimpuh untuk memohon. "Ambil saja nyawaku, tapi jangan korbankan dirimu dan semua orang demi ambisimu. Semua tidak akan berarti jika kau kehilangan segalanya."

"Kau tidak keberatan kuubah jadi permata?" tanya Torreno dingin. Gentar tampak kentara pada mata redup Elsadora, tetapi wanita itu tetap mengangguk pasrah. Semula, Torreno berharap Elsadora akan menangis ketakutan seperti ia menggertaknya dulu di tepi balkon, tetapi wanita ini keras kepala dan tetap bertahan!

Hahaha. Engkau membuat hatinya terguncang luar biasa, Puer Draco. Mari kita kabulkan permintaan si pirang bermulut besar ini dan mengubahnya jadi permata, ujar Shifr geli.

"Ratu Elsadora ...." Torreno berdesis tajam. "Aku sungguh membencimu."

Di bawah langit merah yang menyamarkan tatapan nanarnya, Elsadora menunduk untuk menyembunyikan mata sembabnya dari mata nyalang naga di hadapannya.

"Lakukan saja sesukamu," balas wanita itu terpukul karena ujaran kebencian tadi. Ujaran yang membunuhnya, bahkan sebelum hukuman atas dirinya dijatuhkan.

Ketika Elsadora merasa telapak tangan di bawahnya terangkat, bergerak mendekat ke mulut naga, ia sadar belum terlambat untuk menarik kembali permohonan terakhirnya, tetapi pikirannya gelap. Elsadora menahan napas tatkala dengus sang naga yang begitu kuat menerpa wajah saat makhluk itu membuka moncong raksasanya. Segenap urat sarafnya membeku dicekam oleh kengerian selagi membayangkan sinar mematikan akan membakar dirinya hidup-hidup.

"Lari ...."

Elsadora terbelalak karena perintah itu keluar dari mulut sang naga, lalu sedetik kemudian, tubuhnya sudah terlempar kuat ke udara. Di belakang, Nodericka bergerak gesit menyambut tubuh Elsadora yang melambung tinggi sebelum meluncur turun ke darat.

Puer Draco! Shifr murka menyadari apa yang barusan terjadi. Iblis itu ditipu mentah-mentah di depan mata. Iblis itu segera mengambil alih tubuh naga Torreno.

"Kembalikan aku!" teriak Elsadora pada Nodericka yang sedang memeluk tubuhnya erat agar tidak jatuh.

"Apa kau tidak lihat Torreno mengejar kita-dirimu!" pungkas Nodericka menengok sekilas ke belakang. Gadis itu tampaknya benar-benar marah. "Elsadora, kau telah menyia-nyiakan kesempatan tipis yang kita punya! Kau tinggal katakan padanya kalau kau menyayanginya, tapi kau malah membuat ia semakin membencimu!"

"Kenapa tidak engkau sendiri yang mengatakan itu padanya? Kau adalah calon permaisurinya!" balas Elsadora putus asa.

"Astaga, kau harusnya lebih mengenalnya daripada aku! Kau adalah pengasuhnya!"

"Tidak lagi! Aku sudah gagal sejak awal!"

Mereka malah bertengkar di ketinggian sampai gerungan naga di belakang menyadarkan bahwa bahaya masih mengintai. Isak putus asa Elsadora pun tidak membantu sama sekali.

"Kau ingin kembali?" teriak Nodericka sekenanya karena ia harus menari di udara untuk menghindari sabetan tangan sang naga. Ratusan tahun hilang timbul antara kesadarannya sendiri dan Shifr, membuat ia lebih cepat membiasakan diri dengan tubuh baru gargantuanya. Ular laut besar mungkin bukan tandingan sang naga dalam hal kekuatan, tetapi ia masih punya kesempatan berkat kelincahan geraknya.

"Ya!"

"Kau-mati! Torreno dikuasai Shifr! Ia tidak bisa diajak bicara!" Nodericka menegaskan bahwa kesempatan Elsadora satu-satunya telah sirna.

"Kumohon, lakukan saja!"

"Kau gila!"

"Aku tidak peduli! Aku harus kembali ke sana walaupun aku mati!"

"Dasar Torreno beruntung! Dikelilingi oleh cinta tapi tak juga menyadarinya!" Sekilas Nodericka melihat sepasang mata Elsadora yang memerah. "Baiklah!" ujarnya menyerah. "Tapi aku peringatkan ... takkan ada penyelamatan kedua."

***

Nodericka melaju cepat membawa Elsadora kembali ke naga darah. Akan tetapi, sebelum mereka menabrak naga yang menyongsong dari arah berlawanan, Nodericka tiba-tiba mengubah haluan terbangnya sekejap mata dan menukik tinggi ke langit. Sementara, naga darah kelihatan gusar ketika gagal menangkap mereka dengan tangannya. Naga itu membuka moncong dengan gelambir terkembang lebar, bersiap membidik mereka dengan sinar mematikan.

Dari kejauhan, terlihat seekor gargantua yang terbang menghindar tepat pada waktu sebelum sinar terang menyilaukan menombak angkasa, menelan titik hitam mungil yang meluncur jatuh tepat di jalurnya.

Permata kedua.

Kata-kata Shifr menyadarkan Torreno pada sebuah kenyataan. Jantungnya serasa berhenti berdetak saat itu juga, tetapi sinar yang membakar tubuh Elsadora tidak meredup sedikit pun. Retak menganga dalam hatinya membuat ia ingin berteriak kencang, tetapi sinar yang keluar dari mulutnya malah kian kuat.

Kesalahan ini terjadi karena Torreno terlalu dibutakan oleh kebencian yang ia sendiri tidak tahu apakah itu sebuah kebenaran atau pembenaran diri belaka.

Namun, Torreno terkejut ketika menyaksikan Elsadora tetap utuh dalam wujud asli seraya meluncur jatuh ke arahnya, memeluk sebuah benda cemerlang yang berpendar menyelubungi seluruh tubuhnya.

***

Elsadora tidak menyangka bahwa ia benar-benar akan dijemput kematian sebelum berkedip. Sinar terang itu menelan dirinya tanpa ampun hingga matanya seolah buta, bahkan sebelum sinar itu menyentuhnya. Namun, kengerian digantikan oleh rasa heran ketika Elsadora tidak merasakan apa pun selain silau luar biasa yang menyakitkan penglihatan.

Apakah Torreno berubah pikiran di saat terakhir? Jelas, tidak. Elsadora bisa mendengar dentuman keras memekakkan telinga seperti makhluk marah dan silau yang mendera makin bertambah hebat. Lalu, kenapa ia masih hidup? Setidaknya, itulah yang Elsador pikirkan saat itu. Ia pun masih bisa merasakan sensasi jatuh yang cepat, dada yang seperti ditabuh genderang perang bertalu-talu, sementara medali dalam genggamannya masih saja berdenyut kuat.

Tiba-tiba, sinar menghilang dan tampak moncong terbuka dengan barisan gigi tajam siap menerkamnya. Elsadora rupanya belum terlepas dari ancaman maut. Tanpa berpikir panjang, ia merenggut medali di lehernya dan melemparnya ke dalam moncong itu. Hal terakhir yang dilihatnya adalah benda itu meledak hebat dalam kerongkongan naga darah hingga makhluk itu mengentak-entak liar ke sembarang arah. Tubuhnya terhantam oleh gelambir naga yang lantas melontarkannya kembali ke udara dalam satu tabrakan keras. Elsadora nyaris hilang kesadaran. Dengan pandangan berkunang-kunang, ia melihat ekor panjang Nodericka terulur menuju dirinya.

Belum sempat Nodericka menjangkau Elsadora, tiba-tiba keduanya merasakan gravitasi dahsyat mencengkeram tubuh. Sang naga bergeming dalam posisi tak wajar seperti dibelenggu jerat takkasatmata, sumber energi besar itu berasal. Mata dan moncong naga darah kemudian terbuka lebar, sehingga menampakkan gulungan kabut hitam laksana pusat badai yang keluar dari rongga tubuhnya. Mereka berdua lantas tersedot ke dalam naga darah.

***

Awalnya, Torreno tidak memahami mengapa tubuhnya tidak bisa bergerak ketika Elsadora melempar sebuah benda ke dalam mulutnya, lalu terdengar bunyi ledakan seperti berasal dari dalam dirinya. Gelombang kejut yang lebih seperti denyut langsung membekukan persendian dan memeras kesadarannya ke luar tubuh. Hal aneh kemudian langsung terjadi. Torreno segera tersadar jika dirinya sudah berada di luar tubuh sang naga, seakan sedang dalam kondisi astral. Ia bisa melihat betapa buruk rupanya sekarang, Seburuk itukah kebencian yang meracuni darah dan dagingmu, Torreno? Torreno tidak bisa memungkiri jika ia cukup patah hati mendapati kenyataan bahwa tidak ada yang bisa dibanggakan dengan menumbuhkan sesosok naga untuk mengisi jiwa kosongnya selama ini. Siapa pun Shifr, entitas jahat itu sepertinya tahu betul memilih inang untuk lahir ke dunia. Inang yang tepat untuk menampung ambisi gelap terkutuk makhluk itu. Inang itu adalah dirinya.

Hal kedua yang menarik perhatiannya adalah Elsadora. Wajah wanita itu dicekam kengerian tatkala tersedot ke arah lubang hitam yang mendadak muncul dari dalam kerongkongannya. Ada Nodericka tak jauh dari sisinya. Secara naluriah, Torreno langsung bergerak meluncur ke arah Elsadora untuk menangkapnya. Tentu saja ia gagal karena terdapat perbedaan wujud mereka sekarang. Torreno lantas mendekat ke sisi Elsadora tanpa wanita itu ketahui sama sekali, didorong oleh perasaan putus asa karena tidak berhasil menolongnya. Di sisi sang ratu, Nodericka kelihatannya juga tidak berdayanya dalam pengaruh gravitasi lubang hitam Shifr. Sejak dulu, Beluci, ayah monster gadis itu memang tidak punya kuasa di hadapan si iblis.

Tatkala kegelapan total menyambut mereka di liang mulut sang naga yang berpagar barisan gigi runcing, Torreno memeluk Elsadora yang tak sadarkan diri. Puer Draco lantas menyembunyikan Elsadora dalam kedua lengannya yang tembus pandang.

***

Denting lonceng di langit-langit istana 'pasir' Laniakeia mengusik indra pendengaran. Ia terbangun dalam kondisi setengah amnesia akibat peristiwa dahsyat yang baru saja ia alami, tetapi jelas belum kehilangan akal sehat dan hampir berpikir bahwa mungkin saja dirinya tengah berhalusinasi menjelang kematian. Rasanya, kematian seakan mempermainkan hari berat yang ia lalui. Halusinasi itu bahkan menipu pandangan matanya begitu nyata dengan peristiwa yang sedang berlangsung di hadapannya:

Badai pasir datang lebih awal di musim semi Laniakeia, sementara orang-orang berlindung di dalam istana yang telah ditata sedemikian rupa bagai menentang kekacauan di luar. Pihak kerajaan mungkin takut kehabisan waktu hingga tetap menggelar pesta di tengah cuaca tak bersahabat. Terdengar seorang wanita memanggil nama putrinya tatkala ia tersesat di tengah lautan muda mudi yang berdansa di aula karena sibuk mencerna apa yang tengah terjadi di balik kemegahan istana bernuansa terakota dengan ukiran-ukiran indah pada dinding dan tangga lebar di pusat aula.

Kemudian, ia merasa menginjak gaun seseorang. Gaun permaisuri Jeannette Le Blanc. Ia ingin bersuara, tetapi bergeming akibat keterpanaan, sementara wanita itu hanya tersenyum penuh pemakluman kepadanya dengan kilau di barisan gigi yang secemerlang Vella. Keagungan senja bergulir jatuh pada rambut semerah terakota milik wanita itu, bagai Vella sedang turun ke puncak kanopi hutan lembah kegelapan atau bukit-bukit tinggi Alomora ataupun tempat-tempat lain selama itu bukan bagian dari Aldecara, puncak tertinggi dunia mereka yang tak terjamah oleh sinar Vellaseperti kata ibunya.

Kala itu, ia hanya tahu jika pernikahan agung hanya sebuah langkah politik untuk mengukuhkan kerajaan Laniakeia, tetapi siapa yang tahu cerita di baliknya. Pembicaraan Raja Dylon dan Jeannette Le Blanc kemudian terasa mencengangkan. Raja Dylon berkata pelan seakan takut orang-orang di sekitar mereka mencuri dengar, tetapi pria itu tidak mampu menahan isi pikirannya tumpah di tengah tarian dan kemeriahan pesta.

'Belum terlambat untuk mengubah keputusanmu sebelum kau menyesalinya, Annette.'

Annette. Kini ia tahu dari mana inspirasi nama Anne berasal.

Sang permaisuri terkekeh kecil, 'Kau tidak pantas mengatakannya dengan tatapan takut kehilangan di matamu, Dylon.'

'Aku takut kau terluka.'

'Oh, ayolah. Aku seorang paladin penuh bekas luka di tubuhku. Lantas siapa yang harus kunikahi? Rekanku Elijah?' Napas Raja Dylon kembali tertahan.

'Tentu saja kau akan mati sebelum itu terjadi, bukan?'

Sang raja tidak mampu menutupi letup kekaguman sekaligus kegelisahan yang terpancar di sorot matanya. 'Kau gadis hebat. Kau pantas mendapatkan pasangan hebat pula. Aku hanya beruntung karena garis darahku, tapi usiaku mungkin lebih tipis dari harapanku untukmu dan Laniakeia.' Bibirnya segera ditutup oleh telunjuk milik sang permaisuri.

'Tidak di hari istimewa ini, Pria Hebat. Sudah terlambat untuk berubah pikiran karena cintamu telah membeli kesetiaankubukan kekuasanmu, omong-omong. Kekuasaanmu itu hanya berguna di luar, tapi tidak di hatiku. Tidak ada yang bisa mengatur perasaanku, termasuk dirimu, Dylon. Secara fisik dan mental, aku wanita merdeka, bukan budak kekuasaanmu atau siapa pun.' Permaisuri menyentuhkan jarinya pelan pipi sang raja. 'Dan lihat saja, aku akan berburu ramuan naga terbaik untukmu, jadi berhentilah bicara bodoh! Kau tidak mengenalku hanya kemarin malam, tetapi sejak kita bahkan masih belajar menunggang gilde.'

Raja Dylon termangu. 'Kenapa kau selalu berhasil menghiburku?'

Jeannette Le Blanc mengedip jenaka sambil menyentuh medali kusam yang sebetulnya tidak cocok melingkar di depan jubah mewah sang raja-pasti pemberian sang permaisuri. 'Karena aku punya segala yang kaubutuhkan. Paket lengkap ratu sekaligus paladin khusus untukmu.'

'Belum terlambat untuk mengubah keputusanmu sebelum kau menyesalinya, Annette.' Raja Dylon mengulangi keberatannya.

Jeannette Le Blanc pun kesal, hingga berbisik tajam. 'Diamlah. Pusaka ini memang berharga bagi keluargaku, tapi ini segel terbaik untuk melindungimu dari serangan sihir, bahkan naga sekalipun, karena kalung ini dibuat dari jantung naga. Coba bayangkan, di antara sekian banyak naga, hanya jantung ini yang tidak luruh menjadi elemen, kata buyutku.'

Raja Dylon turut kesal. 'Aku tidak berbicara tentang kalung, Annette! Tapi keputusanmu menikah denganku.' Jeannette Le Blanc lantas mengalungkan lengannya di leher Raja Dylon hingga nyaris mencekik pria itu. 'Tugasku sebagai paladin akan lebih mudah jika berada sepanjang waktu di sisimu, juga ratu di tempat tidurmu.'

Ia nyaris tersedak. Bagian cerita ini pasti sesuatu yang ia lewatkan dalam kisah Puer Draco. Di balik pernikahan agung antara Raja Dylon dan Ratu Jeannette Le Blanc. Selama ini ia berpikir jika perang naga adalah keniscayaan sejak nenek moyang mereka mendiami Laniakeia. Namun, ambisi pribadi Jeannette Le Blanc-lah yang mengobarkannya hingga ke titik ini. Membuat Raja Dylon tetap hidup adalah harga mati bagi paladin wanita itu.

Harga mati yang menuntut pengorbanan orang-orang di sekitar mereka.

Badai pasir sekonyong-konyong berpusar di sekitar lantas menghapus fatamorgana tersebut. Ia pun terkejut karena telah berdiri di tempat yang sama dengan tokoh yang sedikit berbeda. Di hadapannya kini berdiri menjulang Pangeran Torreno sepuluh tahun. Bocah cilik itu menjegal kaki seorang wanita di sebuah pesta penyambutan anggota kerajaan baru lantaran wanita itu salah menyebut nama sang pangeran. Tatapan sang pangeran dipenuhi kebencian ketika Raja Dylon malah menolong dan membela wanita itu di hadapan para tamu undangan. Harga diri sang pangeran terinjak-injak bagai pasir yang mendadak membenamkan kakinya dalam lumpur. Alomora.

***

'Else, berhenti!' Minnalee berteriak putus asa karena langkahnya kalah oleh kaki muda dan kuat seorang gadis tujuh belas tahun. Ah, mendadak Elsadora merasa bersalah mengingat peristiwa ini. Ia tidak memungkiri telah berlaku kejam pada ibunya sendiri dan menghukum wanita itu tanpa belas kasihan hanya karena Minnalee membujuknya untuk ikut bersama ayah yang baru ia dengar seumur hidup. Selama ini, ia pikir ia adalah gadis umbi, begitu cara mereka menyebut proses kelahiran ajaib di negeri para wanita, Alomora. Elsadora kini punya jawaban kenapa rambutnya tidak legam seperti gadis-gadis lain. Lengan dan kakinya pun tidak sekokoh mereka untuk membajak lahan pertanian. Meskipun mereka bilang ia adalah gadis tercantik di Alomora, itu lebih terasa perbandingan daripada pujian. Namanya pun menegaskan jika ia berbeda dari yang lain: Else. Ia tidak pernah meminta terlahir pirang dan berkulit pucat seperti tak pernah tersentuh sinar Vella. Mendengar ia terlahir karena benih seorang pria, bukannya umbi, sudah cukup membuatnya dihantam badai, apalagi tahu pria itu adalah bangsa peri!

'Kau hanya belum mengenalnya! Tapi dia akan merawat dan mengasuhmu dengan baik! Dia juga akan menjadikanmu putri yang terhormat di Silvanovia!' Suara Minnalee hampir habis gara-gara meneriaki putrinya yang mendadak tidak tahu diri.

'Terima kasih, Minna! Aku merasa amat terhormat karena diberi tahu lahir dari skandal terlarang kalian berdua!' Elsadora balas berteriak memecah keheningan area pertanian gembur yang baru dibajak pagi tadi. Langkahnya mantap menuju suatu tempat. Ibunya tidak akan memaksa lagi jika ia mengambil langkah ini agar tidak dipungut secara sepihak oleh peri itu.

'Baiklah! Itu salah kami, tapi kau bukan sebuah kesalahan, Else!'

'Aku tidak akan ke Silvanovia! Di sana bukan rumahku! Lebih baik kuterima saja lamaran raja Laniakeia dan hidup bahagia selama-lamanya di negeri asing, jauh dari kalian dan Alomora! Tidak ada lagi Else si pirang aneh menyedihkan dan putus asa karena merenungi nasibnya yang dipermainkan ke-sa-la-han!"

"Demi rambut pirangmu, Else! Berhentilah berbuat gila!'

'Jangan panggil aku Else atau pirang! Tidak lucu, Minna! Dan, oh ... ya? Aku tidak bisa berhenti!' Ia menaiki pohon besar di tepi ladang tanpa peduli ujung terusan putih semata kakinya yang telah kotor oleh lumpur tersangkut permukaan kasar kulit pohon. Namun, ia tetap memanjat hingga ke puncak tertinggi.

'Jangan lakukan ini, Else! Kumohon!' Minnalee memanjat menyusulnya, tetapi terlambat. Elsadora berhasil meraih setangkai arippa emas yang hanya tumbuh di Alomora. Buah ajaib itu baru saja keluar dari putik bunga yang mekar dan bergelantungan di ujung dahan. Elsadora memasukkannya ke mulut dalam sekali telan, lalu kakinya tergelincir. Minnalee menjerit ketika Elsadora terjatuh dari ketinggian ke lumpur lembut. Seluruh tubuh putrinya kotor terendam lumpur, tetapi ia sedang mengunyah sesuatu. Minnalee tidak peduli jika ia harus melompat turun untuk menyongsong sang putri lalu menepuk-nepuk punggung Elsadora agar memuntahkan buah di mulutnya.

'Sudah kutelan, Minna!' ujar Elsadora puas sekaligus berdebar gugup.

'Kau baru tujuh belas, Else! Kau belum siap melahirkan bayi umbi!' Begitu mereka menyebut kelahiran di Alomora. Tidak ada pria di Alomora, jadi para wanita harus memakan arippa emas untuk bisa mengandung. Itu pun jika mereka beruntung.

'Tentu saja aku siap menjadi seorang ibu. Berapa usiamu saat bertemu peri itu, Minna?'

Wajah Minnalee pucat, ranum usia, tentu saja. Ia baru 'mekar' ketika seorang peri 'memetiknya'.

'Dan, tolong, jangan bilang itu kesalahan karena membuatku merasa buruk!'

'Aku masih sangat muda dan naif waktu itu. Dia adalah pria pertama yang kutemui dan ... apa kau pernah melihat seorang peri?'

'Cukup, Minna ... aku mulai merasa mual.' Bahkan sebelum sang ibu bilang ayahnya adalah peri menawan, raut wajah Elsadora memutih seperti Minnalee yang gugup menjalani interogasi pribadi.

'Gadis bodoh! Kau tidak perlu mengandung bayi umbi hanya untuk menjadi Alomora sejati! Ikut aku pulang dan kita kuras lambungmu dengan sup lumpur sebelum buah itu meracuni darahmu!'

Elsadora memelotot. 'Minna, kau bilang aku kesalahan dan Pontia adalah racun?' Omong-omong, Adiknya seorang bayi umbi yang lahir setelah ibunya patah hati ditinggal kekasih peri.

'Aku sudah cukup bersabar hari ini, Nona. Pergilah ke mana engkau suka dan nikahi pria itu, tapi kau tidak akan bisa bahagia menjalani status palsu. Dia hanya membutuhkanmu untuk mengasuh putranya yang bermasalah itu. Siapa namanya?' Minnalee mencoba mengingat dan lekas dijawab Elsadora. 'Torin!'

'Kau yakin? Sepertinya bukan terdengar begitu.'

'Terserah aku memanggilnya siapa, dia putra asuhku, dan jangan coba-coba memberi nama bayi umbiku kelak karena aku akan menamainya sendiri!'

"Bayi itu tidak pernah lahir, bukan? Aku tidak pernah melihat putra mahkota selain dirimu di istana."

Torreno cukup terkejut ketika menyadari Nodericka telah berada di sisinya, memandang pada pertunjukan pasir bersuara yang sedang berlangsung mengungkung mereka bagai cakrawala. Jika Nodericka bisa berinteraksi dengannya sekarang, berarti gadis ini juga sedang berada dalam satu proyeksi astral, kondisi yang mereka alami saat Shifr sedang mengambil alih tubuh mereka secara penuh. Namun anehnya, kondisi Shifr pun tampaknya sedang berada dalam kendali sesuatu yang tidak mereka ketahui. Hal itu pasti ada hubungannya dengan medali jantung naga yang mereka saksikan barusan.

Torreno sama sekali tidak merasa heran bagaimana gadis gargantua ini telah berubah ke wujud sejatinya. Mestika Beluci melebur sempurna dalam tubuh sang putri. Namun, ia tidak siap untuk berbagi kunci masa lalu yang tadi dilihatnya kepada Nodericka. Senyum dingin gadis itu mengungkapkan bahwa keinginannya sudah terlambat.

"Kau melihat semua?"

Nodericka mengangguk sebagai jawaban.

Torreno tahu kenapa ia mesti merasa cemas. Keberadaan Nodericka di tempat ini saja sudah cukup mengganggu karena ia sedang berusaha mencerna seluruh kekeliruan yang terjadi selama ini dalam hidupnya dan wanita yang sedang mengambang tidak sadarkan diri di hadapan mereka. Lubang hitam tadi ternyata adalah kepingan portal terakhir untuk menjawab kekacauan yang telanjur tumbuh di Laniakeia.

"Miris, bukan? Sebuah ambisi kecil bernama cinta mampu meluluhlantakkan satu negeri dalam hitungan hari." Pernyataan Torreno mencengkeram hati Nodericka, anehnya. Di mata Torreno, ia seolah sedang mengupas luka di balik wajah Nodericka yang dingin.

"Sesuatu yang kauanggap kecil itu adalah seluruh duniaku, Torri," ujar Nodericka getir. Sepasang mata biru lautnya berkaca-kaca. Torreno tergemap mengingat Beluci. "Apakah kau sudah tahu tentang asal usulmu?"

"Ya, dia memberitahuku."

"Dia?"

"Naga putih yang kau habisi dulu."

"Nodericka. Dia ...."

"Pembunuh keluargaku, bukan?"

"Tapi ..., kenapa? Kenapa kau malah jatuh cinta padanya?" tanya Torreno luar biasa heran.

Nodericka menarik napas dengan tercekat menyakitkan. Ia mendekat dan menggenggam bahu Torreno dengan kedua tangannya yang dipenuhi sisik samar dan sirip sepanjang tepi lengan. Gadis itu tiba-tiba mencuri ciuman Torreno seperti yang pernah dilakukan sang pangeran dulu.

"Hei!" Torreno memundurkan wajah dan menahan gadis itu sebagai protes.

Nodericka menatapnya dengan tatapan berkilat-kilat. "Kenapa?" tanya gadis itu. "Cinta adalah hal kecil bagimu. Harusnya kau tidak perlu memikirkan siapa yang kaucium, bukan?"

"Aku sudah muak dengan permainan ini! Biarkan aku sendiri dengan urusanku, Nodericka!"

"Belum selesai, Torreno! Kau belum menaklukkan Shifr sepenuhnya!"

"Tidak adil! Apakah kau sendiri juga bisa? Kau terlalu sibuk dengan urusan pribadimu!"

"Memangnya, kau tidak?" Nodericka balas berteriak kencang, tetapi perhatian mereka teralihkan sejenak karena terdengar desis dari kegelapan di sekeliling. Tatapan keduanya terpaku. "Kuasai amarahmu, Torri! Kau bisa membangkitkan Shifr .... Setelah ia berada dalam tubuhmu, kau harus selalu waspada! Jangan biarkan hatimu dikuasai oleh kebencian!"

"Kaulah yang membawa iblis ini kepadaku dan kau sendiri tidak berhasil mengendalikannya!"

"Apa kau pernah dibohongi untuk sekian lama dalam hidupmu?"

"Aku tidak tahu hingga beberapa saat tadi." Torreno merasa terusik.

"Apa kau pernah mengira seseorang yang kauanggap malaikat penolongmu ternyata adalah pembunuh keluarga dan orang-orangmu? Dan dia adalah orang yang seharusnya melindungi mereka?"

"Nodericka ...." Torreno tidak harus berkata apa saat Nodericka menyinggung kemalangan dirinya. Ia sudah melihat itu di Corindeureen Nyree.

"Ibuku tewas karena ingin menyelamatkan ayahku." Torreno mengubah haluan pembicaraan.

"Ibumu melakukannya demi cinta, tapi kau menodainya dengan kebencian terhadap ayahmu. Tidakkah itu menyedihkan?"

"Ayahku telah berbohong padaku untuk seumur hidupku, Nodericka. Dan aku merasa amat bersalah karena terseret dalam kebohongan itu."

"Ayahmu berbohong demi kebaikanmu, tetapi kupikir dia tidak membencimu seperti yang kaukira selama ini. Kau sendiri yang memilih untuk melampiaskan kebencian membabi buta pada orang di sekitarmu walaupun mereka telah bersikap baik padamu."

Torreno kian terusik. "Aku tidak sedang meminta pembenaran atas diriku atau apa yang kulakukan. Aku hanya ...."

"Kau hanya ingin membalas demi kepuasan dirimu. Kau tidak ada bedanya dengan monster, bahkan lebih kejam!"

"Nodericka," Torreno menggeleng keras. "Kau tidak mengenalku, bahkan aku lebih mengenal ayahmu daripada dirimu sendiri ...." Torreno menelan ludah karena tatapan Nodericka segera meredup.

"Kenapa kau membawa mestika ayahku, Torri?"

Dia ingin kau mati.

"Dia ingin menyelamatkanmu." Torreno berbohong.

"Kenapa dia tidak pergi menyelamatkanku sendiri hingga saat ini?"

Dia tahu tidak punya kesempatan melawan Shifr.

"Dia sudah mati." Torreno berbohong lagi.

Nodericka terkekeh gusar. "Lalu, dia kembali dari kematian untuk memberikan mestika ini padamu?"

Haruskah Torreno bicara jujur?

"Aku membunuhnya. Aku mengambil mestika Beluci, ayahmu, untuk menghentikan Shifr." Dengan dua kalimat tegas tersebut, lisan Nodericka terbungkam.

Beberapa saat kemudian, malah tawa sumbang yang terdengar. "Apa bedanya dengan kau membunuh kekasihku dulu? Kau telah melakukannya untukku, Torri. Seumur hidup, aku mengumpulkan keberanian untuk mengakhiri cinta dan kebencian ini, tetapi tidak pernah berhasil! Jika kemudian kau juga membunuh ayahku, aku tidak peduli! Aku bahkan tidak tahu namanya sampai beberapa saat lalu. Dan aku tidak tahu dia ingin menyelamatkanku atau justru membiarkanku mati perlahan dimangsa Shifr."

"Dia mencintaimu." Hati Torreno terasa sakit, betapa kesamaan sikap ayah mereka berdua. Cambuk Raja Dylon membekas selamanya dalam diri Torreno, tetapi pria itu mungkin menangis dalam hati saat menghukumnya. Sementara, Beluci dengan mudahnya menyuruh ia membunuh putrinya sendiri demi menyingkirkan Shifr dengan wajah tanpa nestapa. Namun bagaimanapun, Nodericka tetap setengah manusia.

"Jangan menatapku dengan rasa kasihan. Kau lebih menyedihkan dariku, Torri. Dikelilingi orang-orang yang mencintaimu, tapi yang kau pelajari hanya balas dendam."

"Diamlah! Ini rumit! Aku membenci ayahku dan ... dia-" Torreno tidak sanggup memandang ke arah Elsadora, "mereka orang-orang dewasa yang meremehkan perasaan anak kecil sepertiku. Mereka pikir, aku tidak tahu apa-apa tentang arti kepercayaan. Mereka pikir, aku tidak punya hal-hal penting selain menjalani kehidupan yang mereka tentukan. Aku lelah menjalani apa yang mereka pilihkan untukku. Aku ingin sekali saja mereka mendengar apa yang kuinginkan untuk diriku sendiri."

Dekapan hangat yang Torreno rindukan lantas mengalir lewat tubuh Nodericka. Gadis setengah monster ini ternyata tidak sedingin yang ia pikir. Sampai Nodericka menatapnya teduh dengan mata birunya, Torreno sadar bahwa dua ratus tahun yang dijalani gadis ini dalam bayang-bayang Shifr tentu bukan hal mudah. Ia beruntung telah bertemu dengannya. Setelah sekian lama, akhirnya ada seseorang yang mendekap sisi anak kecil dalam dirinya, hingga bisa merasakan ketulusan semurni udara musim semi di balik luar jendela istana Laniakeia dan markas divisi pemburu naga. Rumahnya.

"Nodericka, ikutlah bersamaku ke Laniakeia." Torreno tidak tahu apa yang sedang merasuki pikirannya kala itu. Ia lantas merasa kecewa ketika Nodericka menggeleng.

"Kau sudah terlalu besar untuk dijaga seorang pengasuh, Torreno."

"Aku tidak memintamu jadi pengasuh. Cukup El-" Kalimat Torreno tertahan.

"Terima kasih, Torreno. Sekalipun kau menitahkan aku untuk menjadi permaisuri pengganti si peri yang kumakan, aku tegaskan untuk menolak." Nodericka menepuk-nepuk kepala Torreno lembut, hingga sang pangeran kehilangan kata-kata. "Aku hidup di masa lalu, tapi kau masih punya masa depan. Kita terpisah jarak dua abad dan aku tidak bisa hidup di zamanmu."

"Tapi-"

Nodericka mengangkat telunjuk di depan bibir Torreno. "Seperti dirimu, aku punya hidup yang kuinginkan. Hatiku sudah mati bersama orang itu, Torreno. Ketika aku bertemu denganmu di lembah, kupikir aku bisa melarikan diri dari siksaan ini, tapi ... kau tahu? Aku berada pada titik di mana tidak bisa kembali merajut takdir dari awal. Namun pada detik ini, aku hanya ingin memaafkan perbuatan ayahku di masa lalu. Aku tidak ingin mati membawa kebencian."

"Mati? Nodericka! Apa yang kaupikirkan?"

"Torreno, seharusnya kau tidak membangkitkan aku dari kematian yang telah kutunggu-tunggu. Aku hanya ingin pergi ke tempat tanpa batasan ruang dan waktu, tempat aku bisa mencintai kekasihku tanpa dibayangi dosa dan rasa bersalah. Aku sudah lelah berkelana di dunia ini, Torreno." Nodericka menggeleng penuh sesal.

"Kau pantas bahagia, Nodericka!" tukas Torreno marah.

"Bersama kekasihku." Nodericka tersenyum simpul. "Ayolah, jatuh cinta dengan pengasuhmu itu bukanlah kesalahan, Torreno. Selama ia bukan pembunuh keluargamu."

"Aku ... tidak tahu. Dan kau memilih untuk pergi. Dengan siapa lagi aku bisa bicara setelah ini?"

"Siapa pun. Selama itu bukan Shifr."

"Padahal, aku berharap kau bisa membangkitkan Panglima Elijah suatu hari-maaf, aku bercanda," imbuh Torreno." Aku hanya tidak tahu harus bereaksi bagaimana untuk mengucapkan salam perpisahan untukmu. Ini menyedihkan, Nodericka. Kita bisa jadi teman baik."

"Jangan khawatir, kau masih bisa bertemu denganku di portal Corindeureen Nyree, mungkin?"

Tiba-tiba, Nodericka mencengkeram kedua lengan Torreno dan berdesis tajam. "Berjanjilah, Torri! Kau harus melenyapkan Shifr dari Laniakeia! Jangan biarkan iblis itu merajalela di atas dunia. Kau harus menjadi puer draco terakhir dalam sejarah! Dengan begitu, aku bisa pergi dengan damai."

Torreno putuskan bahwa mendengar keinginan terakhir Nodericka sungguh menyedihkan, tetapi ia tidak punya kuasa untuk mencampuri keinginan gadis itu. Sama seperti Seyra, Torreno bagai penonton yang tidak punya andil apa-apa selain pendorong mereka ke jurang kematian. Maka, ia pun terkejut ketika Nodericka mengajukan permintaan terakhir yang terdengar tidak masuk akal baginya.

"Torreno, tolonglah aku. Belah dadaku dan ambil mestika di dalam tubuhku."

"Tidak, tunggu! Apa katamu? Kenapa permintaanmu begitu aneh?"

Torreno tidak habis pikir karena konflik antara mereka senantiasa berulang. Nodericka minta dibunuh olehnya! Lagi. Gadis ini selalu saja menyusahkan dirinya dengan urusan kematian.

"Mestika dalam tubuhku bisa digunakan untuk memperbaiki bagian tubuh Elsadora yang cedera olehmu."

"Apa? Bagaimana bisa-"

Nodericka kembali menaruh telunjuknya di atas bibir Torreno. "Tidakkah kau ingin terbebas dari rasa bersalah dan memperbaiki hubungan kalian?"

"Aku tidak paham, bagaimana kau bisa-"

"Ssst! Ambillah mestikaku dan berikan kepadanya! Maka boneka pirang cantik itu akan menjadi milikmu ...."

Sebuah belati berbilah lengkung persis miliknya muncul dari ketiadaan ruang di hadapan Torreno. Sementara, tatapan sang pangeran beralih-alih dari Elsadora yang masih terbaring tanpa kesadaran dengan seluruh tubuh berkilau bagai keluar dari cangkang mutiara, dengan Nodericka yang meminta diakhiri ajalnya.

***




18 Agustus 2022, pukul 14.55 WIB

Terima kasih sudah mampir dan terus mendukung, Puer Draco sampai detik ini.

Salam, @beyondtheta dan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top