Hidden Gem of The Lost Ring
"Bangun! Dasar tidak tahu malu. Lihatlah, Vella sudah tinggi!"
Torreno terbatuk lantas memuntahkan air yang terjebak di tenggorokan setelah sebuah suara menghardiknya. Seluruh ototnya gemetar oleh rasa sakit, tetapi diringankan oleh belaian hangat sinar Vella di atas kepala. Kemudian, Torreno merasakan seseorang menendang tulang keringnya hingga ia mengaduh dan terpaksa membuka kelopak mata. Sesaat, Torreno mengerjap silau. Di hadapannya, ada seorang pemuda berkulit pirau gemerlapan bagai polesan berlian. Rambut ikal ombaknya berkibar-kibar liar diembus angin dari lautan yang menerjang pantai berpasir putih serta penuh perdu berkuncup kala rembang siang. Sinar Vella memantulkan sesuatu yang tak kalah kemilau. Di puncak kening lebar si pemuda, bertakhta sebongkah safir biru sejernih laut Mermaidivine. Permata itu seolah menyatu di permukaan kulitnya bagai mata ketiga.
"Kau?"
Di tengah keterkejutannya, Torreno seolah lupa jika ia baru saja sekarat dilempar oleh makhluk yang kini menjelma sebagai pemuda tersebut. Si gargantua keparat! Torreno bergegas bangun, lalu mencengkeram kerah tunik makhluk itu sambil menghujaninya dengan tatapan menyala-nyala. Dengkus kasar Torreno menerpa wajahnya.
"Hahaha! Aku suka semangat hidupmu, Anak Muda!" Makhluk tak tahu diri itu malah tertawa keras di atas ironi. Mungkin, di mata si gargantua, tidak ada yang lebih lucu daripada menyaksikan jejak ketersesatan pada tampang seorang pemuda naif yang tertipu oleh kematian, lantas terbangun dalam realisme yang lebih tak masuk akal.
Namun, Torreno tidak berniat menyerahkan arena permainan penuh kesenangan kepada makhluk itu. Jemarinya mencengkeram kuat leher si pemuda sehingga dalam penglihatan Torreno, wajah makhluk yang kini tampak ratusan tahun lebih muda itu mulai menggelembung seperti busa.
"Hatchiii!"
"Aaargh!"
Makhluk sialan itu malah bersin hingga membuat Torreno terhempas dan punggungnya menabrak gundukan koral besar di pinggir pantai yang hilang timbul ditelan ombak. Sebentar lagi, daratan di bawah kaki mereka pasti akan tenggelam oleh air pasang.
Kaki!
Ekor dan perut melata si gargantua kini telah digantikan oleh sepasang kaki dengan jemari telanjangnya yang menggaruk-garuk pasir. Pemuda itu bercekak pinggang hingga tunik lebarnya mencetak siluet pinggul yang ramping tapi kokoh khas remaja lelaki.
"Fiuh! Lega sekali rasanya, baru kali ini aku merasa begitu hidup." Si gargantua menengadah sembari menyeka hidungnya yang basah. Torreno mencoba mengabaikan dan lebih memilih meregangkan punggungnya yang terasa ngilu. Makhluk ini benar-benar menguji kesabaran. Tatapan penuh selidik milik gargantua itu kini terpaku pada dirinya.
"Apa kau tidak melewatkan sesuatu?" tanya gargantua itu heran, menunggu berondongan pertanyaan yang biasa keluar dari mulut sang pangeran.
Torreno mendelik sesaat, lalu bangkit dengan gerakan patah tertahan. Panggulnya sakit sekali! Torreno tidak heran kalau ia baru saja mematahkan tulang di area tersebut, mengingat betapa keras bersin si gargantua melemparnya ke udara. Andaikata hidupnya adalah lelucon, ia pasti sudah terbunuh oleh seekor monster melata yang kepalanya bisa meledak setiap saat. Tidak. Torreno menggeleng. Ini lebih buruk daripada dipermainkan bagai bola tangkap oleh sayap-sayap Shifr.
Alih-alih melampiaskan kemarahan seperti tadi, Torreno lantas menelan ludah. "Tempat ini adalah masa lalu, bukan? Jawaban dari asal usul Shifr pasti ada di sini."
Terdengar tepukan nyaring berasal dari telapak tangan si gargantua ketika Torreno mengemukakan sebuah retorika. Sungguh, ia tidak butuh sanjungan saat ini, melainkan klausul persetujuan.
Belum reda rasa sakit di panggul Torreno, lengan makhluk itu kini bergelayut bebas di pundaknya. Seuntai gelang dari benang rajut dengan mata gelang berupa rumah kerang, mengeluarkan bunyi gemerincing setiap kali tangan si gargantua bergerak.
"Teori yang menarik. Tapi, satu hal masih belum jelas. Kenapa kau begitu tertarik dengan Shifr?"
"Kenapa?"
Pandangan mereka bertemu dalam jarak kurang dari sejengkal. Dengan pupil melebar, bayang-bayang seorang pemuda sedang tersenyum, jatuh pada retina Torreno. Ekspresi tersebut ia sadari bukan terlahir dari sebuah empati, melainkan dari niat merendahkan yang sungguh kentara.
"Tentu saja karena aku harus mengalahkannya."
Lengkung bibir si pemuda makin tertarik ke samping. Tatap jenakanya seolah berbicara, 'sungguh?'.
"Jika kau datang sejauh ini hanya untuk mencari kelemahan Shifr, maka kau akan mati."
Sekali lagi, gargantua dalam tubuh si pemuda menebak isi pikirannya dengan mudah. Tanpa rasa bersalah, makhluk itu berjalan ke arah lain pulau, meninggalkan Torreno dengan beragam teka teki yang masih terbenam dalam misteri tanpa dasar.
"Hei, Kakek Tua! Terima kasih atas bantuanmu yang sama sekali tidak berguna!" Umpatan Torreno terpecah oleh debur ombak. Gelombang pasang makin tinggi dan mulai menenggelamkan pasir di bawah kakinya. Torreno tidak punya pilihan selain menelusuri jejak si pemuda yang kini sudah hilang di balik rimbun perdu sepekat zamrud. Ia meninggalkan pesisir yang sebentar lagi akan tergenang.
Setelah menembus lapisan tebal perdu di tepi pantai, lalu barikade pohon berbatang tunggal penuh duri dan daun berjari-jari, Torreno bagai memasuki matra lain dunia. Mereka tiba di sebuah area berbukit-bukit nan subur. Tanah berumput bak beledu terasa begitu lembut dan gembur. Sementara, pohon berdahan yang memiliki jalinan sulur berkelindan dengan daun hijau tua rimbun di sana sini. Sesuatu yang sungguh berbanding terbalik dengan lanskap kering lagi keras milik Laniakeia. Tempat ini bahkan lebih eksotis daripada lahan berlumpur Alomora. Musik seakan menggema dari puncak-puncak gunung di kejauhan, asalnya dari tembolok burung-burung berekor pelangi yang hilir mudik di langit, lalu hinggap di atap-atap rumah kerucut dari anyaman bulu tebal. Seekor hewan berbulu jingga ombre menyenggol betis Torreno dengan langkah pendek-pendeknya yang gemulai.
"Selamat datang di Corindeureen Nyree."
Bulu kuduk Torreno meremang. Si pemuda gargantua berbisik di sisi telinganya. Namun, bukan itu sebabnya. Torreno menyadari bahwa ia telah tersedot masuk ke masa di mana desa legenda ini masih berdenyut hidup sebelum diluluhlantakkan oleh letusan gunung berapi.
"Apakah ini semacam kilasan masa lalu?" tanya Torreno tanpa sanggup menggerakkan kepala ke arah si pemuda. Hiruk-pikuk suasana desa dan para penduduk, mematri perhatian Torreno sedemikian rupa. Ia merasa tersesat di sebuah surga tersembunyi.
"Tatapanmu seperti terpanah asmara."
"Diamlah!" Lelucon si pemuda sungguh tidak lucu, khas kakek tua keriput yang kenyang oleh pengalaman hidup penuh utopia. Torreno mendelik dengan alis terangkat tinggi menyasar si pemuda berpenampilan meriah tersebut.
"Kau bahkan belum bertemu gadis-gadis desa sebening mutiara dan rambut selegam perisai malam. Ayo bersenang-senang!" Pemuda itu menyeret Torreno yang malang dengan kuasa seekor gargantua tak terkalahkan. Sial!
***
Pondok besar berbentuk bundar itu ditopang oleh delapan tiang dari batang pohon beruas menyilang seperti sisik ular. Atap kerucutnya diselimuti oleh tumpukan daun kering seperti sebaran kanopi layu di musim gugur. Di beberapa sudut dinding terbuka, digantung tirai penghalang dari anyaman bulu halus. Letaknya yang terpencil di sudut perkampungan, tampak kontras dengan denyut penuh kehidupan di sana.
Seakan ada yang menuntun kaki Torreno menuju tempat itu, si pemuda gargantua membiarkan saja ketika sang pangeran mengabaikan usahanya untuk menikmati kehidupan desa yang eksotis di sekitar tempat itu. Ada satu hal kuat tak kasatmata yang menarik perhatian Torreno di pondok itu selain keberadaan sekumpulan orang dengan penampilan nyaris serupa: mahkota rambut hitam legam dengan warna kulit putih dan beriris mata biru. Sinar mata mereka tampak dinaungi megamendung kelabu. Mereka duduk dalam lingkaran kecil, mengelilingi sebuah keranjang berisi seorang bayi mungil. Tidak ada yang bersuara, hela napas panjang dari hidung-hidung mereka terdengar seperti irama melodi kematian. Namun, di atas semua itu, sebuah bau familier seolah melingkupi keseluruhan pondok, bau shifr. Tiada seorang pun menyadari ketika Torreno mengendap mendekati mereka seakan kehadiran pangeran itu tak kasatmata.
"Nodericka?" Torreno menyebut nama bayi tersebut tanpa sadar. Tatapannya bertemu dengan bola mata jernih bundar sebiru safir milik si bayi. Seketika desakan rasa tidak asing menjalari tubuhnya. Hatinya bagai disapa oleh kehangatan Vella di awal musim semi yang mencairkan sisa salju.
"Si naga hitam." Seseorang mendesis di sisi telinganya. Torreno berpaling dan menemukan rahang di wajah orang tersebut mengeras, si pemuda gargantua. Raut mukanya berbicara betapa seriusnya makna perkataan yang malah membingungkan bagi Torreno.
"Dia bukan Shifr. Dia Nodericka dari masa lalu. Sekarang, namanya adalah Anne."
Pemuda tersebut menatap Torreno tajam seakan mencela. "Seseorang yang kaupanggil Nodericka itu adalah si naga hitam."
Kedua makhluk lain dunia itu kini bertukar pandang dalam cara yang sama sekali tidak bersahabat dan penuh percik bara. "Apa maksudmu?" tanya Torreno pada akhirnya. Tampaknya, ia telah melewatkan sesuatu yang penting dan fatal.
Lengan si pemuda gargantua merangkul pundak Torreno begitu kuat hingga terasa mencekik, sementara sorot matanya terpaku mengunci pupil Torreno yang melebar. "Sayang sekali, rupanya Shifr telah berhasil mencuci otakmu. Si naga hitam adalah Nodericka yang kaupanggil Anne tadi. Sedangkan Shifr adalah Shifr. Karena itulah, jika kau bermaksud mengalahkan Shifr dengan kemampuanmu sekarang, maka kau sudah pasti akan mati."
"Berhenti bermain teka teki denganku, Kek!" Emosi Torreno tersulut. Di saat itu juga, si bayi mungil menangis kencang-menyerupai jeritan. Bola mata Torreno melebar sempurna ketika si pemuda gargantua beranjak masuk ke dalam lingkaran, lalu mengangkat bayi itu dalam pelukannya. Batas antara nyata dan tak nyata seakan melebur menjadi pusaran kebenaran tatkala pemuda tersebut berkata, "Pengikutku, apakah kalian bermaksud memutuskan nasib bayi ini dan mengkhianatiku?"
Megamendung yang berarak di dalam pondok mendadak pecah menjadi badai. Orang-orang itu serentak berdiri mengepung si pemuda. Tangisan keras si bayi menambah ketegangan di udara. Satu-satunya perempuan di sana-mungkin ibu dari si bayi-berusaha merebutnya dari tangan pemuda itu hingga sempat terjadi tarik-menarik, tetapi pemuda itu tanpa sengaja mendorong perempuan tersebut hingga jatuh ke lantai.
"Beluci! Kau tidak berhak memiliki anak itu setelah merampas ibunya dari menantuku, lalu membunuh mereka demi kesenanganmu!"
Bukan hanya alis Torreno yang terangkat, tetapi pemuda tersebut. "Aku tidak membunuh putrimu, Moi (ratu) Kea. Tapi, suaminyalah pelakunya."
"Karena kau menodai kesuciannya dan mengubahnya menjadi monster!"
"Beluci!" Lelaki bertubuh kekar dengan rambut tak kalah gondrong dari si pemuda rambut perak bergerak maju. Tampaknya, lelaki itu adalah pengawal dari Moi Kea karena perempuan itu kini berlindung di balik punggungnya. Tatapan si pemuda berdenyar bagai api disiram minyak ketika sepucuk senjata berbentuk bulan sabit raksasa dari berlian muncul di tangan lelaki itu dan diarahkan kepadanya. "Kami tidak takut kepadamu. Sekarang, kami punya sekutu untuk melawanmu."
Beluci-si gargantua-menarik sudut bibir dan berkedut. Dengan tatapan waspada, ia merentang sedikit jarak dari senjata tersebut. "Orang-orang bodoh. Kalian menjual diri kalian pada iblis hanya untuk menyingkirkan aku?"
Moi Kea menggeleng keras. "Kami sudah bosan dengan makhluk abadi yang senang mencuri gadis-gadis dari pasangannya seperti kau!"
"Aku hanya menikmati kehidupan yang berada dalam perlindunganku."
"Tapi itu tidak membenarkan perbuatan nistamu hanya karena kau berkuasa terhadap kami! Aku, Ratu Moi Kea, mulai hari ini menyatakan akan mengusirmu dari Corindeureen Nyree selamanya!"
"Beluci, serahkan bayi itu baik-baik dan pergilah!" Schyte berlian di tangan berkilau. Lebih banyak schyte lagi kemudian muncul di tangan para pengepung. Si gargantua terpojok.
Beluci tersenyum licik. "Coba saja."
Atap pondok tiba-tiba terbelah dan bagian-bagiannya bertebaran ke segala arah. Beluci melompat tinggi meloloskan diri dari tempat itu, tetapi para pengawal Moi Kea serentak mengacungkan schyte ke jalur pelariannya. Selarik sinar terang menyilaukan seperti logam terbakar menyasar si gargantua. Erangan Beluci meggema ke seluruh pulau. Torreno terpukau. Ia menduga jika senjata-senjata itu adalah bagian dari rencana Shifr, si iblis yang dituduh Beluci telah melakukan pertukaran jiwa dengan penduduk Corindeureen Nyree. Rencana itu tampaknya ampuh, Beluci lenyap dari pandangan mereka semua, meninggalkan aroma gosong hewan melata yang menusuk hidung Torreno.
Namun, ada satu masalah. Jeritan Moi Kea menyadarkan Torreno jika si bayi mungil kini terjun bebas di udara. Para pengawal dengan senjata di tangan mereka yang tersebar di beberapa titik agaknya terlambat bereaksi. Di luar penglihatan mereka, Torreno menyongsong bayi mungil itu. Ia yakin dengan jarak yang ia miliki, tetapi sepasang lengan lain lebih dulu menyambut tubuh bayi itu dan mendekapnya erat. Lidah Torreno seketika kelu berhadapan dengan sesosok pria berambut putih panjang yang jatuh dengan indah di sisi bahunya.
Si naga putih yang ia bunuh dulu.
***
Writer's note: Halo, pembaca Puer Draco. Chapter ini adalah seri kedua dari tiga judul pengungkapan sejarah Nodericka dan Shifr. Bagaimana? Sudah punya jawaban teka teki yang dicari Torreno selama ini? Semoga tidak bingung lagi, ya. Terima kasih sudah membaca Puer Draco sejauh ini, semoga kita berjumpa hingga akhir. Ciao!🐉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top