Fairyhound

Puer Draco. Pangeran Terbuang. Rambut Keriting. Di antara beragam julukan yang disematkan kepadanya, Torreno tetap bagian dari divisi pemburu naga. Jalan seorang pemburu memanggil kuat dalam jiwanya, meskipun divisinya kini sudah tiada di tengah perburuan yang masih berlangsung dan bahkan sepertinya berbalik arah. Tidak akan ada ampun karena Torreno telah bertekad akan membalas dendam dan menghabisi para naga yang tengah memburu Laniakeia. Jangan panggil ia Pangeran Torri jika strateginya terhenti lantaran kehilangan divisi. Ia akan menempuh segala cara, sekalipun harus mengorbankan prinsip.

Bicara memang lebih mudah, tetapi kenyataan yang harus dihadapi Torreno jauh dari sekadar ucapan belaka. Lengan kiri sang pangeran terasa berat seakan separuh dunia dipikulkan ke pundaknya. Torreno pun menoleh ke samping, tampaklah Seyra bergelayut manja seraya menampilkan senyum paling indah pada bibir merah ranum miliknya. Waktu yang seharusnya dihabiskan untuk berduka, justru dijalaninya dengan berpesta. Sebuah pesta pertunangan yang meriah, pesta pertunangannya. Torreno pada akhirnya bersedia bertunangan dengan putri peri yang berusia lebih tua ratusan tahun-mungkin lebih tua dari keruntuhan peradaban Corindeureen Nyree dan kelahiran Nodericka sekalipun, Seyra. Pantang bagi seorang Torreno untuk mengingkari janji.

Torreno berdeham sembari berpura-pura menggaruk kerah baju dengan jemari kanan yang bebas.

"Kau haus, Torri Sayang?"

Torreno berusaha untuk tidak mencekik leher sendiri saat mendengar panggilan Seyra barusan. Ia pun mengangguk.

"Tunggulah di sini, jangan ke mana-mana, ya. Akan kuambilkan minuman untukmu." Seyra mengerling centil sebelum berlalu dari hadapannya, tetapi Torreno hanya menganggapnya angin lalu.

Tentu saja Raffendal tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Sejak awal, ia tidak bisa mendekat ke tempat duduk pasangan yang bersisian dengan meja Raja dan Ratu Silvanovia tersebut tanpa tatap kecurigaan para tamu undangan. Raffendal kala itu tengah berada dalam posisi yang sulit.

Maka, Torreno pun tidak peduli ketika Raffendal menyambar tunangannya saat berjalan menuju kolam berisi air mancur yang menyemburkan minuman merah berkilau menggoda. Bagus, ia butuh bernapas sejenak dari si peri posesif. Namun, Torreno tidak kabur. Ia tetap tegar dan gagah berani melalui mimpi buruk ini sekalipun tanpa akhir.

"Aku tidak percaya, kau memilih Torreno! Lihat, apa yang telah dia lakukan pada sayapku! Pemuda itu barbar, Seyra!" Seyra menatap Raffendal yang memojokkannya di sisi kolam minuman dengan sikap terganggu. Ia gelisah karena merasa detik-detik berpisah dengan Torreno mungkin saja akan mengubah pendirian sang pangeran berambut keriting itu, sementara Raffendal berusaha menahannya.

"Tidak ada yang akan berubah dalam hubungan kita, Raff. Kau tetap akan menjadi kakak lelakiku tercinta untuk selama-lamanya." Seyra berusaha menunjukkan empati setulus mungkin seraya jemarinya membelai rambut panjang Raffendal yang jatuh di bahu kokoh sang pangeran peri.

Raffendal menepis kasar gerakan Seyra. "Pengkhianat!" geram Raffendal marah. "Seharusnya, kau memberi aku dukungan di hadapan Ayahanda dan Ibunda untuk menghukum atau menghabisi riyawat Torreno!"

Seyra menggeleng sengit sambil menusuk dada kakaknya dengan telunjuk. "Ayolah, Raff. Jangan merusak kebahagiaanku sekali ini saja! Kau masih tetap tampan dan hebat walaupun tanpa sayap. Berhentilah bersikap kekanak-kanakan."

"Apa katamu?"

Ambisi Raffendal berbenturan dengan kekeraskepalaan Seyra. Sang adik telah diperbudak oleh rasa cinta pada manusia, hingga segenap logika si putri peri menumpul. Amarah Raffendal pun terlepas bagai hewan liar yang mengamuk di tengah suasana pesta.
"Berhati-hatilah, Seyra! Penyesalan selalu datang terlambat!" Kepala-kepala tamu menoleh ke arah mereka dan bisik-bisik berdengung di udara, tetapi Seyra malah membalas peringatan Raffendal dengan kibasan rambutnya yang tergerai bergelombang, lantas berbalik lurus menuju Torreno. Sementara itu, tatapan Raffendal beralih pada Raja dan Ratu Silvanovia yang menonton tingkah dua bersaudara itu sedari tadi. Mereka menggeleng padanya dengan pandangan tajam yang mengandung peringatan.

Raffendal pun mengayun langkah meninggalkan ruang latihan yang telah disulap menjadi ruang pesta darurat. Mustahil untuk menggelar pesta di balairung yang masih berantakan akibat sisa pertarungan.

Tanpa sepengetahuan Raffendal, ekor mata putra mahkota Laniakeia mengikuti gerak-geriknya hingga keluar ruangan, menyeberangi taman terbuka, lalu mengarah ke sebuah menara tertinggi di istana.

***

Lemari pakaian seluas satu bilik kecil menjadi ruang pertemuan rahasia yang terasa sesak karena dihuni oleh tiga orang. Raffendal menyeret Raja dan Ratu Silvanovia ke dalam sana selagi dirinya dikuasai oleh amarah. Pasalnya, ketika Raffendal bermaksud menggunakan Menara Vella untuk menenangkan diri alias katarsis-sebutan dari Raja dan Ratu Silvanovia, pintu ruangan itu terkunci dari dalam. Peri pengawal yang berjaga di depan pun menolak mengungkap alasannya.

"Apa yang kalian rencanakan sebenarnya? Aku tidak bisa masuk ke Menara Vella hari ini!" kecam Raffendal.

"Tenanglah, Putraku. Beberapa peri pengrajin dan cendekiawan hanya sedang melaksanakan perintah Torreno."

"Perintah Torreno? Sejak kapan dia punya kuasa untuk memerintah di istana ini!" Raungan Raffendal teredam oleh barisan pakaian yang tergantung memenuhi dinding. Raja dan Ratu Silvanovia berpandangan. Kemarahan Raffendal sudah mereka duga, apalagi sang pangeran peri tidak dilibatkan dalam pertemuan darurat para petinggi kerajaan karena harus memulihkan kondisinya semalam suntuk. Semua akibat ulah orang yang sama. Torreno.

"Jangan katakan jika kalian mendengarkan kata-katanya untuk mengumpankan Silvanovia pada para naga!" Raffendal berdesis rendah penuh nada curiga pada orang tuanya. Tatapannya seolah mengecam setiap isyarat yang diperbuat oleh mereka.

Raja Larsam bergeming tanpa reaksi karena ia selalu melimpahkan urusan taktik peperangan pada sang permaisuri yang lebih mendominasi. Namun, kali ini sepertinya Ratu Larnamia juga sedang disergap keraguan yang sama, hingga tidak mampu menjawab tuduhan Raffendal dengan penjelasan yang lebih baik daripada "bantuan kita sebagai pertukaran setimpal untuk posisi Seyra sebagai calon ratu Laniakeia."

"Oh, ya? Bagaimana caranya? Kita tidak lupa bahwa Torreno masih punya calon putri mahkota sendiri dan Raja Dylon masih berkuasa di kerajaan yang hancur lebur itu!" tanggap Raffendal sinis.

"Seyra akan menjadi ratu. Segera, setelah Torreno membunuh calon permaisuri sebelumnya dan memakzulkan Raja Dylon dari tampuk kekuasaan."

"Lalu ... bagaimana dengan ratu sebelumnya?"

Ratu Larnamia memutar bola mata heran karena Raffendal malah mempertanyakan nasib permaisuri Raja Dylon, Ratu Elsadora. "Tentu saja ia akan turut diasingkan bersama suaminya atau kita singkirkan saja dengan menghabisi riwayatnya sekalian. Konon, kabarnya, ia adalah wanita cerdas dan penuh taktik, juga punya basis pengikut setia di Laniakeia dan tempat asalnya, Alomora. Akan terlalu berbahaya jika ia dibiarkan hidup." Wajah Raffendal seketika pias mendengar rencana tersebut.

"Ide siapa ini? Kalian atau Torreno?"

"Kenapa kau kelihatannya sungguh peduli pada ratu itu, Raff? Dia ancaman bagi kita dan menghalangi jalan Torreno menduduki singgasana!" Raja Larsam menangkap sesuatu yang salah. Kejernihan jiwanya selama proses katarsis tidak pernah gagal dalam menelusuri hati seseorang.

Sang putra menggeleng lemah. "Aku ... aku hanya terkejut karena cara berpikir kalian sekarang mirip Torreno. Kalian tidak tahu dia bisa sekejam apa!" Raffendal menghela napas berat hingga terdengar berbunyi keras di bilik sempit. Ia mundur hingga menabrak deretan pakaian yang tergantung dekat dinding.

"Aku butuh menghirup udara sebentar. Akan kuberi tahu keputusanku besok pagi," putus Raffendal seraya berbalik menuju pintu keluar lemari.

"Ada yang salah--"

Sepenggal kalimat Raja Larsam yang ditujukan untuk Ratu Larnamia tertelan samar oleh jejak langkah ketergesaan Raffendal. Dalam pikiran sang pangeran peri sekarang, hanya ada satu orang. Raffendal tidak bisa membiarkan seorang pun mengetahuinya, kecuali satu orang pula. Nyaris tak ada waktu tersisa jika persekutuan dan rencana terkutuk ini telah terbentuk.

Bukannya menghidup udara segar di luar istana, langkah Raffendal lantas berbelok ke lorong menuju kamar Torreno.

***

Kesibukan luar biasa terlihat di tapal batas Kerajaan Silvanovia. Genderang perang yang ditabuh oleh Torreno sedang mendorong negeri ini ke luar batas. Suatu hal yang terdengar seperti rencana bunuh diri karena tidak ada benteng pertahanan di Silvanovia, sebagaimana lumrah ditemukan di negeri-negeri lain. Silvanovia adalah negeri utopia para peri cinta damai dengan pasukan kerajaan yang mungkin belum pernah mengangkat senjata mereka dalam arena pertempuran sesungguhnya untuk seumur hidup.

Tidak pernah ada sejarah invasi ke Silvanovia. Semua berkat tanah kami yang berpagar gunung salju abadi dan dilindungi oleh sihir penyamar tingkat tinggi. Raffendal pernah berujar bangga seperti itu saat Torreno menginjakkan kaki pertama kali di tempat ini.
Akan tetapi, sihir mereka tidak akan mempan terhadap naga. Untuk menghadapi makhluk itu, butuh kombinasi antara keajaiban dan ilmu pengetahuan yang bekerja dalam satu malam.

Omong kosong!

Raffendal menggigit geraham karena hari ini akan berbeda. Untuk pertama kali, Silvanovia akan melenyapkan seluruh sihir pelindungnya. Fatamorgana musim semi di kerajaan peri pun seketika berganti udara beku menggelugut, bersamaan dengan putusnya mantra terakhir pada titik terkuat jaring sihir yang mengelilingi Silvanovia. Perasaannya campur aduk saat buhul-buhul kuat terlepas dari ikatan. Rasa aman yang semula bercokol di hati Raffendal, kini berganti teka teki akan masa depan yang terasa mengancam, lalu ia segera naik ke punggung pegasus.

Raffendal bergabung dengan kesatria peri terkuat lainnya di tapal batas. Mereka kembali lebih dulu setelah memutuskan mantra pelindung lainnya. Torreno pun bersiaga di sana. "Aku telah mempertaruhkan Silvanovia. Sebaiknya, kau ingat pada kesepakatan kita!" bisik Raffendal kala mendekat. Sang pangeran balas melayangkan tatapan dengan lingkar mata menghitam seperti halnya sang peri. Mereka berdua sama-sama tidak tidur semalaman lantaran dikuasai oleh aura kebencian. Untunglah keduanya tidak saling membunuh dan bertahan hidup hingga pagi.
Torreno merasa tidak perlu meladeni kekhawatiran berlebih Raffendal, tetapi sepertinya peri itu belum merasa puas. "Kau, tidak boleh, menyentuh Elsadora, seujung rambut pun!"

"Baiklah, Kakek." Torreno mengangkat alis tak mau kalah.

"H-hei!"

"Torreno!" Seyra bergabung menyudahi perdebatan mereka. Sang putri mengalungi leher Torreno dengan kedua lengan dan hanya mencibir kesal ketika Raffendal melayangkan tatapan jijik pada mereka berdua, lalu menghindar dan berpaling muka.

"Apa yang kaulakukan di sini?"

"Aku akan ikut denganmu!" jawab Seyra bersemangat.

"Ini bukan permainan, Seyra!"

Seyra melepaskan rangkulan di leher Torreno, lalu mengibas rambut sambil bercekak pinggang. "Yang Mulia Torreno Agerlaine II, Anda sedang berhadapan dengan salah satu pemanah terbaik di Silvanovia." Setiap gerakan kepala Seyra yang tertutup oleh rambut panjang indahnya seolah meniru ekor pegaus.

"Baiklah," tanggap Torreno setelah bibirnya terkunci sejenak. Lalu, ia kembali menyusuri penampilan Seyra yang lebih pantas dikenakan untuk pesta dansa--sejenis gaun dengan belahan tinggi untuk mempermudah naik tunggangan. Satu-satunya benda yang pantas dibawa oleh peri itu hanyalah sebuah busur panjang tersampir di salah satu bahunya yang telanjang.

"Mangsa kita tidak peduli pada apa pun yang kaukenakan hari ini, Seyra. Gaunmu malah akan menghambat sayap-sayap pegasus!"

"Sungguh?" Seyra segera mengamati bagian bawah gaunnya yang mulai berkibar liar akibat terpaan angin dengan penuh tanda tanya. Dengan santainya, putri peri itu lantas merobek gaunnya hingga tinggal separuh di atas lutut. "Begini lebih baik, 'kan?" tanya Seyra kepada Torreno. Pemuda itu malas untuk berdebat lebih jauh, maka ia naik ke punggung pegasus tanpa mengindahkan raut penuh harap sang peri. Torreno pun menghela napas setelah tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Seyra menunggang di belakangnya tanpa izin, seperti biasa.

"Kita adalah tunangan, harus selalu bersama sehidup semati."

"Apa pun katamu, Seyra." Torreno mengalah demi menghemat energinya yang lebih berharga untuk disimpan dalam perburuan, hingga putri peri pun memekik bahagia, seolah mereka sedang dalam misi untuk bersenang-senang. Sementara, Torreno memutar bola mata bosan tanpa harus takut terlihat oleh Seyra di belakangnya. Pegasusnya berada di barisan paling depan. Sementara, ratusan pegasus lainnya mulai berbanjar rapi di belakang membentuk formasi rapat di tempat masing-masing.

"Para pemburu ... maju!"

Raffendal di samping, melantangkan teriakan Torreno dengan mengacungkan cincin mirah delima di jarinya ke udara, hingga terdengar oleh seluruh pasukan.

Torreno memimpin pasukan peri yang kini berperan sebagai pemburu sekaligus umpan, bergerak menuju jantung Laniakeia, sarang para naga penghuni padang pasir.

***









Pontianak, 30 Juli 2022, pukul 22.17 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top