Epiphany of The Lost Ring

Padang pasir Laniakeia dan bukit cadasnya terbentang sejauh mata memandang, sedangkan sebilah belati tak bertuan seolah menjadi marka sebuah situs tersembunyi di tengah lautan pasir yang diam membisu. Kemudian, seolah disedot energi takkasatmata, gumuk pasir di sekitar belati bergerak, lalu terisap ke udara. Berkubik-kubik pasir berpusar membentuk sesosok naga dengan sayap kokoh beruas kelelawar yang seumpama bangkit dari makamnya. Sementara, Torreno mengangkat telapak tangan di depan wajah. Ia bisa melihat jari-jemarinya telah dipenuhi oleh darah. Tiba-tiba seorang pria jatuh ke bawah kakinya dengan leher terbuka.

Memori itu tenggelam dalam kubangan darah yang memerahkan penglihatan Torreno, ketika bunyi tabuh genderang bergema ke seluruh desa. Sayup teriakan para penduduk ditelan gemuruh yang tiba-tiba menghantam bumi di bawah mereka. Dari atap pondok yang terbelah, mereka bisa menyaksikan puncak gunung yang terletak di pusat pulau telah mengepulkan cendawan kelabu raksasa yang menghitam dan mengelamkan langit di sekitarnya dengan cepat. Vella menghilang dari ufuk cakrawala menyebabkan malam datang sebelum waktunya.

Sebuah gelak tawa membahana mengalihkan perhatian setiap orang di dalam pondok. Sumbernya adalah sosok pria jelmaan naga putih yang telah Torreno habisi dulu, sekaligus sumber kekacauan yang kini mencengkeram seluruh pulau. Pria itu berjalan menembus diri sang pangeran yang takkasatmata, lalu menghadang scyhte-schyte batu berlian yang terhunus ke arah mereka. Para pengawal Moi Kea membentak agar sosok itu menyerahkan bayi dalam gendongannya. Tanpa gentar, Moi Kea mendekati pria itu dengan tatapan terpaku dan berurai air mata karena tahu nyawa si bayi sedang terancam.

"Putraku." Tangan Moi Kea terentang, suara wanita itu bergetar. "Serahkan bayi itu padaku."

Si pria jelmaan naga putih mengibaskan lengan jubah panjangnya, lalu perisai angin menerjang tubuh sang ratu dalam sekejap, sehingga membuat tubuh Moi Kea terhempas. Nyaris saja ia celaka disambut oleh sebilah schyte, andai para pengawal terlambat bereaksi dalam satu kedipan mata. Sebagian pengawal merangsek maju, tetapi mereka juga terhalang oleh energi besar yang melindungi pria itu dan ikut terpental.

"Tidak perlu menyusahkan diri menggunakan anugerah dariku untuk melawanku!" ejek si naga putih seraya memandang remeh pada schyte-schyte di tangan para pengawal.
"Putraku! Kau sedang berada di bawah pengaruh Shifr! Jangan biarkan iblis itu menguasaimu lagi. Kembalilah."

"Moi Kea. Aku bukan putramu lagi sejak putrimu kubunuh dengan tanganku sendiri. Apakah kau takut jika cucumu akan bernasib serupa? Pikirkan dulu nasib orang-orangmu, apakah bisa selamat dari itu!" Pria itu menyeringai dengan bibir tipisnya yang seolah mengandung racun lewat satu kecupan, lantas memalingkan wajah ke arah letupan-letupan lava yang mulai menggelegak seakan sudah tak sabar ingin meninggalkan perut bumi. Namun, pandangan Moi Kea segera teralih pada telunjuk pria itu yang kemudian bergerak perlahan pada permukaan wajah bayi berkulit mulus dan bening, seakan ingin menggoresnya dengan ujung kuku yang runcing. Sepasang mata milik jelmaan naga putih tampak haus darah, sementara bibir gelapnya berdesis dengan bunyi hisss keras yang telah akrab di telinga Torreno. Si bayi pun menangis kencang.

Tatapan Torreno nanar, bola matanya berpijar tak percaya. Di tengah ancaman letusan gunung berapi yang akan membinasakan pulau, sang ratu malah lebih memikirkan keselamatan bayi di tangan si naga putih!

Sang pangeran lantas beranjak ke sisi Moi Kea, lalu mengerahkan sekuat tenaga untuk berteriak di telinga wanita itu. "Jangan dengarkan dia! Apa pun keputusanmu, dia akan tetap mengambil Nodericka! Lekas bunuh dia!" Namun, keinginan untuk membatalkan tipu daya si naga putih tak kuasa ia wujudkan. Torreno hanya penonton dalam kaleidoskop Corindeureen Nyree di masa silam yang tidak mungkin mampu mencampuri sejarah masa lalu.

"Shifr, kumohon! Ambil saja putraku itu, tapi jangan sakiti cucuku dan orang-orang di pulau ini!" Mata Moi Kea akhirnya terbuka. Namun, jelmaan naga putih tidak tersentuh oleh permohonan sang ratu dan balas melancarkan serangan kedua.

Aroma busuk serta-merta menyesaki udara pondok. Gumpalan asap hitam menyebar cepat laksana jari-jari yang dikirim oleh malaikat kematian dan tidak meloloskan seorang pun. Mereka tercekik oleh udara beracun. Pemandangan tubuh-tubuh meringkuk memegangi dada mulai terlihat di sana sini. Moi Kea dan para pengawalnya sekarat sebelum tragedi yang sebenarnya dimulai di luar pondok.

Serangan itu memang tidak berpengaruh sama sekali pada diri Torreno, tetapi kegigihan orang-orang itu untuk mempertahankan si bayi mengusik Torreno. Ia pernah berada di posisi bayi yang tangisannya kini menujah angkasa. Moi Kea seolah mewakili Jeanne Le Blanc yang berusaha melindungi dirinya dengan memicu perang naga. Lalu, di mana ibunya sekarang? Menemui takdir kematian yang lebih dulu akan merenggut Moi Kea.
Serangan itu pasti akan menjadi saat terakhir bagi sang ratu andai seseorang kemudian tidak meluluhlantakkan pondok dengan kibasan ekor raksasanya. Beluci si gargantua kembali dalam wujud asli. Rambut panjang keperakannya mekar sempurna laksana duri landak yang mengancam. Namun, Torreno yakin kalau rambut-rambut itu sebenarnya berbisa seperti tentakel ubur-ubur sungguhan.

Tampaknya, makhluk itu telah berhasil memulihkan diri dari luka-luka akibat terkaman sinar berlian schyte. Ekornya secepat kilat melilit seluruh tubuh si naga putih dengan erat, sehingga pria itu tidak mampu bergerak dan Beluci bisa merebut bayi dari tawanannya, lalu ia serahkan pada Moi Kea yang terbatuk hebat untuk sesaat setelah napasnya terbebas dari cekikan udara beracun. Sementara, para pengawal bergelimpangan di sekitarnya. Hilang kesadaran.

"Bawa dia dan selamatkan dirimu, Ratu!" perintah monster itu pada Moi Kea yang terperanjat karena baru saja selamat dari maut. Namun, Moi Kea lekas menerima bayi itu dalam dekapan, menguncinya erat bagai tak sudi dipisahkan.

Garis bibir Beluci tertarik sedikit. Ia menatap wajah Moi Kea dengan makna sedalam biru laut, sehingga Moi Kea terbangun dari rasa terguncangnya. "Aku tidak butuh rasa terima kasihmu, Makhluk Hina."

"Ssst." Kalimat penuh satire yang terlontar dari bibir Moi Kea berhasil menggelitik Beluci. Bukannya marah, senyumnya pada Moi Kea makin lebar.

"Makilah aku sepuas hatimu nanti, Ratu. Tapi sekarang, selamatkan dulu dirimu dan bawa putriku bersamamu."

"Aku tidak berutang apa pun kepadamu."

"Kau tetap ibu dari wanita yang kucintai dan permintaanku jelas, selamatkan putriku dari incaran Shifr." Beluci dan Moi Kea bersitatap dalam pusaran emosi, tetapi segera memecah menjadi gelombang bahaya ketika gargantua itu merasakan geliat pria jelmaan naga putih dalam belitannya. Tiba-tiba sensasi terbakar hebat menyerang si ular raksasa.

"Larilah ke pantai dan jangan menengok ke belakang!" perintah monster itu sambil menahan nyeri yang mendera ekor dan perutnya, tetapi ia tidak melonggarkan belitan sedikit pun. Dalam pikiran Beluci saat itu hanyalah upaya memusnahkan Shifr yang merasuki tubuh si pria secepat mungkin, sebelum iblis itu menghancurkan pulau dengan letusan gunung berapi. Ia tidak peduli pada tubuhnya yang mulai membara dan berasap akibat serangan naga putih.

Moi Kea memanfaatkan setiap waktu yang tersisa. Perseteruannya dengan Beluci tersita oleh pertaruhan nyawa yang harus ia menangkan. Sebentar saja, Moi Kea telah terseret dalam arus kepanikan orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri. Tujuan mereka semua sama, secepat mungkin menuju bibir pantai. Meskipun hal itu mustahil karena bisa dipastikan tidak ada yang bisa lolos jika gunung berapi di pulau itu meletus. Mereka hanya  menuruti naluri untuk tetap bertahan hidup.

Ketika langit mendadak gelap dan suara dentuman keras memekakkan telinga terdengar di belakang, yakinlah Moi Kea bahwa Beluci telah gagal menaklukkan si naga putih. Orang-orang berteriak ngeri ketika serpihan batu apung kelabu mulai menghujani mereka di sepanjang lanskap pantai. Tidak ada yang bisa berenang menyelamatkan diri karena permukaan air laut penuh oleh batu-batu terapung. Langit makin kelam karena letusan awan hitam menyusul kemudian. Aroma tajam belerang menghitamkan wajah-wajah mereka.

Moi Kea menatap wajah bayi dalam gendongannya untuk yang terakhir kali, sebelum napasnya tersekat ketika sesuatu menyambar bayi itu darinya untuk selama-lamanya. Dalam penglihatan nanar Moi Kea, sesosok naga hitam melesat terbang, menjauh dari pulau yang sebentar lagi akan tertimbun oleh muntahan gunung berapi. Seekor naga putih menyusul di belakangnya.

Moi Kea terjatuh dengan lutut gemetar. Sesuatu yang berdetak seakan direnggut dari raganya. Ia pun tidak peduli ketika tubuhnya terlindas dan terinjak oleh orang-orang yang berusaha kabur dari kematian. Sang ratu telah kehilangan alasan untuk berjuang. Di sisinya, Torreno menyaksikan bagaimana pulau itu menjadi cincin permata yang hilang di tengah lautan, ketika langit mengalami kegelapan total oleh selimut abu vulkanik. Embusan awan panas yang turun dengan ganas dari lereng gunung kemudian melahap segalanya hingga tak bersisa.

Tibsa-tiba suara ledakan paling keras terdengar. Suara ledakan yang akan Torreno ingat seumur hidup. Dalam kegelapan, dengan hanya ada nyala dari aliran lava, ia bisa melihat puncak gunung berapi itu telah lenyap, lalu muntahan terakhirnya kini sedang menuju pantai, menyapu seluruh pulau, hingga Corindeureen Nyree pada akhirnya tinggal dongeng bagi para pelaut.

***

Sinar Vella yang berada tepat di atas kepala membangunkan sang pangeran dari ketidaksadaran. Torreno serta-merta merasakan kejanggalan karena sensasi terombang-ambing yang harusnya  ia rasakan justru telah hilang. Sebaliknya, Torreno merasakan seluruh tubuhnya terasa basah dan lembab. Tangannya meraba-raba dan mendapati tekstur lunak sekaligus kasar di bawahnya.

Matanya sontak terbuka lebar. Paksi-paksi yang melintas di rembang cakrawala turut menyadarkannya akan satu hal. Torreno bangkit, mendapati dirinya telah terdampar di rawa-rawa tepi laguna. Sisa akar bakau bertonjolan di seluruh tempat yang sebagian terendam oleh air payau.

"Beluci!" Nama itu yang pertama kali Torreno teriakkan setelah tersadar akan apa yang terjadi.

"Berhentilah bersikap gila, Pangeran Muda. Ini bukan akhir riwayatmu. Tidak, sebelum kau berhasil menghabisi Shifr!" Beluci muncul di hadapan Torreno, berdiri tegak pada punggung perutnya yang berkilauan seperti perak dan menjulur hingga ke bibir laguna. Ekor si gargantua terbenam seluruhnya dalam air.

Torreno mencengkeram kepala, tidak peduli jika ia sungguh-sungguh dianggap gila. Uap kemarahan dalam dirinya menggelegak. "Kau yang gila! Kau menyuruhku untuk membunuh putrimu sendiri?"

"Shifr."

"Dia masih Nodericka!"

"Sudah terlambat. Shifr telah memangsa daging dan darah Nodericka."

"Tidak. Belum sepenuhnya. Kenapa putrimu harus menjadi tumbal dari kekacauan yang kaubuat sendiri?"

Sebelum kelopak mata Torreno berkedip, ekor makhluk itu membelit dan mengangkat tubuhnya ke udara. Air menetes dari rambut keriting Torreno yang terkena cipratan dari gerakan ekor yang luar biasa cepat si gargantua. "Takdir," kata makhluk itu, "bukan sesuatu yang bisa kuubah meski sudah lewat beberapa generasi, dan ... kau...." Beluci menyingkap rambut basah liar yang menutupi sebagian wajah Torreno dengan jemarinya yang berkuku runcing. "Kau akan menjadi permata terpendam terakhir yang memutus rantai titisan Shifr."

"Kenapa tidak kau lakukan saja sendiri, Kakek Tua? Tujuanku hanya Shifr, bukan mengotori tanganku dengan darah putrimu!"

Torreno bisa merasakan belitan di tubuhnya kian erat seolah ingin meremukkannya. Beluci menarik sang pangeran mendekat ke wajahnya. "Sudah sejauh ini, Pangeran Bodoh, dan kau masih memiliki keraguan dalam hatimu?"

"Aku manusia, bukan monster sepertimu."

Sepasang bibir pucat kebiruan milik Beluci tertarik lebar. Makhluk itu lantas berkata, "Tampaknya, aku harus menggunakan cara mudah untuk membangkitkan gargantua dalam dirimu, Anak Muda." Beluci mencungkil batu safir di dahinya, lalu telunjuknya memaksa membuka mulut Torreno yang segera terbungkam. "Buka mulutmu!"

Torreno menggeleng keras. Dalam posisinya yang kini terjepit oleh belitan si gargantua, ia tidak punya banyak pilihan selain merapatkan bibirnya agar jemari Beluci yang panjang dan berkuku runcing itu tidak bisa menyelusup ke dalam. Namun, rambut-rambut liar transparan berbisa makhluk itu tiba-tiba menyengat lehernya. Torreno menjerit kencang.

Mestika si gargantua meluncur ke dalam kerongkongannya, lalu tersangkut di sana. Torreno batuk-batuk berusaha mengeluarkan benda itu dari tubuhnya, tetapi batu safir malah meluncur semakin jauh menuruni esofagus, hingga Torreno merasakan ulu hatinya dicengkeram oleh sensasi dingin bagai samudra.

Beluci pun lantas mengurai belitannya dan meletakkan sang pangeran yang sedang diserang frostbite. Bersamaan dengan proses tubuh Torreno mencerna mestika tersebut, tubuh Beluci gemetar hebat dan si gargantua terkulai di sisi Torreno yang sama-sama menderita.

Di antara siksaan mestika yang meracuni aliran darahnya, Torreno terbelalak menyaksikan makhluk itu mulai melebur menjadi butiran-butiran mutiara laksana buih. Beluci berujar terakhir kali, "Bawa aku ke Nodericka."

Beluci tertelan oleh lautan mutiara. Bulir-bulir permata berkilau bak rembulan itu lantas menguap ke udara seperti fenomena hujan terbalik, lalu lenyap dalam sinar Vella. Bersamaan dengan itu, sensasi beku mematikan yang mencengkeram Torreno pun turut sirna.

Sang pangeran terbaring kelelahan, tidak peduli pada gulungan ombak yang mulai mencapai bibir laguna dan tubuhnya yang perih dan basah oleh air asin. Sebentar lagi, pasang akan menenggelamkan wilayah itu. Ia tidak tahu di mana keberadaannya sekarang, hingga samar-samar percakapan beberapa orang yang terdengar familier, singgah di gendang telinganya.

"Oh, Raff. Ramalanmu benar, kita menemukannya!"

"Ayo segera pergi dari sini sebelum naga-naga itu datang!"

Torreno merasakan lengan kokoh seseorang mengangkat tubuhnya dan menyandarkannya ke punggung tunggangan yang meringkik pelan. Wajah sang pangeran terbenam di antara surai-surai lembut, sementara punggungnya merasakan kehangatan tubuh seseorang yang seolah ingin menyembunyikan dirinya dengan aman dalam dekapan. Hal terakhir yang ia ingat sebelum jatuh tertidur adalah suara desisan naga, banyak naga, di kejauhan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top