Enigma
"Apakah ini akan berhasil?" Samar-samar, suara Pontia dalam nada ragu tertangkap oleh gendang telinga Torreno.
"Ini pilihan terbaik, Sayang, dan ini adalah perintah." Kata-kata Minnalee berputar di dalam kepala sang pangeran, asalnya seperti dari tempat yang jauh. Namun, kata "perintah" tadi menghunjam kuat di memorinya.
***
Torreno tidak ingat sudah berapa lama ia terkapar tidak berdaya ketika sebuah benda keras menghantam bagian belakang kepalanya. Sepertinya, Torreno sempat pingsan sebentar, lalu merasakan sensasi terayun-ayun saat tubuhnya diangkat dalam sebuah tandu. Beberapa orang membawa Torreno ke suatu tempat, lalu membaringkan sang pangeran di atas ranjang yang keras.
Orang-orang itu,Torreno menerka, adalah para wanita. Telapak-telapak tangan yang memindahkan tubuhnya terasa mungil, tetapi kuat. Mereka juga tidak banyak bicara. Dari suara tapak kaki yang mondar-mandir teredam pelan di permukaan lantai tanah liat, Torreno menghitung jumlah mereka lebih banyak dari perkiraannya. Namun, sebagian besar dari mereka kemudian pergi dan hanya ada dua orang yang tinggal.
Lalu, perbincangan itulah yang tak sengaja ia curi dengar. Perbincangan misterius antara Pontia dan Minnalee. Jadi benar, mereka merencanakan sesuatu. Orang-orang Alomora ini ….
Sebisa mungkin, Torreno berpura-pura tetap pingsan, diam tak bergerak saat tangan milik Minnalee dengan telapak kasar pekerjanya membersihkan wajah dan seluruh tubuh sang pangeran yang berlumur lumpur. Bukan salah orang-orang ini, tapi salah Torreno karena telah mengendap diam-diam meninggalkan pesta untuk mencari tuan rumah yang menghilang. Torreno menyusuri sepetak jalan di tepi lahan pertanian yang basah hingga di sinilah ia berakhir sekarang.
Torreno yang dulu mungkin akan mendendam, tapi Torreno kini adalah seseorang yang pernah berada di kondisi nyaris mati, titik nadir dari segala titik terendah di muka bumi. Torreno memang belum mati, tapi naga dalam dirinya sedang sekarat sehingga ia terbebas sejenak untuk menjadi seorang pemurah dan pemaaf. Ironi.
"Bukankah dia tampan, Pontia?" Minnalee tak kuasa untuk tidak mengagumi sang pangeran selagi tangannya bekerja cekatan membolak-balik badan Torreno untuk mengganti pakaian kotor yang melekat di sana dengan pakaian baru.
"Minna!" Pontia mengelak malu-malu. Dua perempuan itu saling berdebat tanpa sadar akan Torreno yang telah siuman semenjak tadi. Perdebatan itu pun makin hangat saat Minnalee meminta Pontia untuk mengambilkan cawan minuman. Terdengar gemericik air dituang ke dalam sana, lalu campuran antara aroma amis dan busuk seperti rawa segera menyelusup ke dalam rongga hidung Torreno. Refleks muntah Torreno bangkit, tetapi ia tahan sekuat tenaga.
"Lakukanlah Pontia!" perintah Minnalee memaksa. Mereka berdebat lagi dalam kalimat yang sangat cepat seperti sambaran kilat, sehingga yang bisa Torreno tangkap kemudian hanya frasa "harus" dan "tidak bisa". Teriakan Pontialah yang mengakhiri segalanya-- "Aku bukan Elsadora!" -- ibu tiri Torreno?
"Perintahkan yang lain saja, Minna!" Pontia merengek, memohon, dan terdengar sangat putus asa, ditimpali oleh dengkusan marah Minnalee.
"Elsadora telah menyelamatkan Alomora dan juga dirimu! Lupakah kau, Pontia?!"
Luar biasa. Wanita seramah Minnalee kehilangan kesabaran menghadapi seorang gadis paling keras kepala yang mungkin pernah Torreno temui seumur hidup.
"Elsadora dan aku berbeda! Aku adalah aku!" Tanpa sadar, gadis ini mengingatkan Torreno akan seseorang yang kini sedang terbaring di atas ranjang, sementara menyimak pembicaraan mereka. Sebuah kecocokan yang aneh antara Pontia dan dirinya. Apakah ini pertanda?
"Kalau begitu, kenapa tidak suruh Elsadora saja yang menikahi Torri?"
Bunyi beradu seperti tepukan keras hampir tak berjeda dengan pekikan tertahan Pontia yang berlanjut dengan lirih tangis gadis itu. Andai tak ingat dengan sandiwara yang sedang kumainkan, aku nyaris terjengkit bangun untuk bertanya langsung pada mereka: omong kosong apa yang kalian bicarakan ...?
"Elsadora telah menggantikan posisimu untuk menikahi Raja Dylon ... berterimakasihlah!"
Apa?
"Aku tidak pernah meminta wajah ini, Minnalee! Ini kutukan! Dan Elsadora telah mendapatkan hukumannya karena memberi Silvanovia kesempatan masuk ke Laniakeia!"
Hei. Omong kosong apa ini? batin Torreno.
"Cukup, Pontia ...." nada suara Minnale melunak sekaligus beriak, "jangan tambah beban Elsadora. Dia sudah merasa sangat bersalah terhadap pangeran itu. Elsadora juga telah membuktikan bahwa dia lebih mencintai Alomora dan juga dirimu."
"Minna ...."
"Ingat, bukan salahmu karena memiliki kecantikan seorang Jeannette Le Blanc. Ini semua hanyalah permainan nasib antara kau, Elsadora, dan sang raja. Jika kau menikahi Pangeran Torreno, ini hanyalah roda yang berputar di jalan serupa. Yang Mulia sangat mencintai ibunya, petunjuk yang diberikan Elsadora tidak mungkin salah. Kau adalah orang yang paling layak untuk merebut hatinya, Pontia."
"Aku tak tahu, Minna. Aku tidak mencintainya."
"Kau bisa belajar."
Torreno menimbang dengan bimbang. Kalau ia bangun saat ini, pasti akan terasa sangat canggung bagi mereka bertiga. Perbincangan antara Pontia dan Minnalee tengah berada di puncak emosi, juga bagi sang pangeran sendiri.
"Angkat dagumu, Nona Pemberani. Kini kau adalah harapan Alomora satu-satunya. Dengan darahmu dan darah yang mengalir dari Torreno, kejayaan tanah ini akan kembali. Bersatulah dengannya, Pontia ...."
Torreno tidak tahan lagi.
"Aku tidak akan menikahi siapa pun!" Seorang Torreno kini bangkit menentang gravitasi, juga tatapan mereka yang seakan mengira sang pangeran adalah hantu. Pontia lekas mengusap bekas air mata di pipi, sementara Minnalee terkesiap dengan mulut terbuka. Sandiwara Torreno tidak terbaca oleh mereka. Ia menyaksikan dengan jelas keterkejutan di mata dua perempuan itu. Satu saja yang ingin ia tahu sekarang.
"Kalian sungguh serius ingin melakukannya?"
"Y-Yang Mu-lia." Minnalee tergagap. "Sejak kapan?"
"Anggap saja aku mendengar semua yang kalian katakan sejak kalian membawaku dari ladang." Torreno memegang bagian belakang kepalanya yang masih terasa berdenyut sembari melontarkan tatapan penuh arti pada Minnalee dan cawan yang ada di tangan perempuan itu.
"Maaf, Yang Mulia. Kami tidak bermaksud mencelakai Anda."
"Apakah itu sejenis ramuan pengubah ingatan atau cinta?" Pontia pun menarik napas keras, hingga Torreno menduga bahwa salah satu dari tebakannya tadi benar. Tak ayal, Torreno teringat akan ciuman maut Seyra. Skenario yang sama. Sepertinya, ia mulai memahami sebagian kebenaran isi perbincangan kedua perempuan tadi. Tentang kejayaan Alomora dan perjodohan yang pasti telah dipersiapkan oleh ibu tiri tercinta dari Laniakeia.
Torreno lantas turun dari ranjang, lalu menyadari sesuatu yang akrab melekat di tubuhnya. Ah, baik hati sekali Minnalee telah mencucikan pakaian lamanya yang kini berbau segar juga bersih, sehingga ia tidak perlu mengenakan terusan longgar perempuan lagi.
"Kalian berdua, jangan berani menggunakannya padaku!" Torreno bergidik tatkala berjalan mendekat melihat lebih jelas isi cawan di tangan Minnalee yang berwarna hijau pekat. Bau tak menggenakkan itu berasal dari sana.
"Aku alergi ramuan cinta dan kalian bisa membunuhku dengan minuman itu."
Wajah Minnalee memerah, entah akibat jengah atau justru marah. Ia mendengkus keras pada sang pangeran, sama seperti yang ia lakukan sebelumnya pada Pontia. Dengan satu gerakan cepat, ia alirkan minuman itu ke dalam kerongkongannya sendiri sehingga isi cawan itu habis sampai ke dasar.
"Ini hanya ramuan memabukkan khas Alomora, Yang Mulia. Untuk membantu Pontia lebih berani saat menyerahkan dirinya pada Anda." Minnalee tersenyum tipis di awang-awang akibat efek ramuan yang mulai bekerja dalam dirinya.
Astaga, mereka telah merencanakan sejauh itu tanpa sebuah pesta pernikahan, restu, atau semacamnya? Sebegitu putus asanyakah orang-orang Alomora ini?
"Minna, kau mabuk," kata Pontia cemas lalu mendudukkannya di ranjang yang tadi Torreno tempati. Minnalee hanya patuh menurut dan berbaring di sana sekarang dengan wajah damai mengulas senyum bahagia. Ah, Torreno mengerti sekarang bagaimana cara kerja ramuan ini. Berani-beraninya wanita ini memabukkan diri sementara masih banyak yang ingin ia tanyakan!
Pontia merapal umpatan yang tertahan di bibir penuh bak kelopak mawar itu ketika dirinyalah yang akhirnya Torreno jadikan sandera atas semua teka teki ini. Torreno menatap lekat wajah gadis itu, sementara ia berusaha melepaskan tangan sang pangeran yang kini menempel erat di punggungnya.
Wajah marah Pontia inilah yang pertama kali menarik perhatian Torreno dulu. Ia perhatikan lekat seluruh lekuknya. Gadis ini memang benar-benar mirip Jeannette Le Blanc--Rupanya sang ayahanda masih mencintai wanita yang sama dan bisa dikatakan beruntung sekaligus sial karena telah menemukan Pontia. Nyaris saja Torreno memiliki ibu tiri sebaya dan berwajah persis ibunya sendiri. Sungguh, tak bisa ia bayangkan, tetapi mungkin saja akan mengubah segalanya sedari awal. Tak ada Ratu Elsadora dan semua tragedi ini. Pontia akan menjadi ibu pengganti yang sempurna.
"Ibu ...." Tak sadar, ia mengucapkan satu kata terlarang.
"Jaga sikapmu, Torri."
Hebat, Pontia bahkan menanggalkan sebutan hormatnya pada Torreno. Pontia benar-benar mirip Ratu Elsadora. Sesuatu yang mengusik relung hati Torreno sekarang.
"Apa hubungan Elsadora denganmu, Pontia?"
"Dia kakakku." Jawaban Pontia mengamuk bagai binatang liar dalam otak sang pangeran yang baru saja mengalami gegar ringan. "Kakakku yang terlalu bodoh karena bersedia menikahi pria yang tak ia cintai demi negerinya dan seorang anak lelaki yang membencinya." Air mata Pontia mengalir. Inilah sebab gadis ini membenci dirinya sedemikian rupa. Torreno mengangguk, lalu menggeleng seolah tak waras. Tawa kecil sumbang lantas menyumbat isak tangis di kerongkongan Pontia.
"Astaga, kalian benar-benar mirip." Komentar bodoh Torreno luar biasanya memulihkan suasana. Namun, Pontia seolah tidak terima.
"Aku tak salah membencimu." Kata-kata Pontia barusan membuat napas Torreno tercekat di tenggorokan.
"Seorang pangeran bodoh dengan pemikiran dangkal. Menganggap dirinya punya hak penuh atas takdir Laniakeia dengan memusnahkan para naga, pelindung kami dari ancaman Silvanovia." Ah, Torreno bagai sedang bercermin di dalam mata musuhnya. Namun, anehnya, mengarungi gejolak angkasa yang murka bersama seekor naga emosional telah membalikkan diri Torreno di garis cakrawala baru yang lebih luas dan cerah. Torreno tidak bisa marah apalagi membenci Pontia. Torreno adalah apa yang Pontia pikirkan, walaupun tidak semua kata-kata Pontia tadi ia mengerti sepenuhnya.
Pontia makin tersesat dalam kebingungan karena Torreno lantas hanya tertunduk takzim. Gadis itu menelengkan kepala dengan tatapan heran. "Entahlah. Kau berbeda dari Pangeran Torri yang diceritakan oleh orang-orang," kata gadis itu penuh keraguan seperti menyadari ada sesuatu yang salah.
"Kau berhak menilaiku apa saja."
"Kau sungguh Yang Mulia Pangeran Torri?"
Andai Torreno bisa tersenyum manis sekarang, bukannya meringis. Seringaian sang pangeran malah membuat Pontia takut.
"Maaf, aku lupa caranya tersenyum sejak kematian ibuku."
"Ah, wanita itu. Orang yang memulai segalanya. Perburuan naga dan ambisi yang tak pernah padam."
"Apa katamu?" Darah Torreno berdesir demi mendengar cara Pontia menyebut sang ibunda dengan nada kebencian. Sepertinya, Pontia sengaja melakukannya walaupun tahu Torreno akan terluka bagai kena panah.
"Jeannette Le Blanc-lah yang mencetuskan Perang Naga sejak ramalan Silvanovia tentang kehancuran Laniakeia oleh utusan naga kegelapan-nya muncul."
Jemari Torreno di punggung Pontia terlepas. Manik mata pemuda itu berputar liar mencari celah dusta di balik iris hijau zamrud indah di depannya. Tapi, sia-sia. Tatapan Pontia seteguh cadas gurun pasir Laniakeia di tengah badai musim dingin.
Semuanya mulai masuk akal. Namun sayang, Torreno harus mendengarnya dari Pontia.
"Tarik kata-katamu!" Naga dalam diri Torreno tiba-tiba menggeliat dari raganya yang sekarat. Torreno seolah merasakan entitas merasuk dalam aliran darahnya yang kini dipompa kuat, berdetak secepat derap gilde dalam perburuan antara hidup dan mati. Badai bersama Anne seolah melintas lagi di depan mata sang pangeran.
"Tidak akan." Yang pasti, gadis ini tidak berada di pihaknya. Wajah Pontia adalah wajah sang ibunda, tetapi hati Pontia hidup bersama para naga. Pontia benar, ini adalah kutukan dan Torreno sedang terjebak di dalamnya.
Pontia sama sekali tidak mencegah ketika Torreno melangkah menuju kebebasan. Sedari awal, mungkin Pontia tidak pernah menginginkan kehadirannya di Alomora. Bagi Pontia, Torreno hanya keponakan tiri bermasalah.
Langit mulai bergelora di balik bukit di belakang, tatkala kaki Torreno tergesa-gesa berpacu dengan desah napas yang terdengar jelas di kesunyian fajar Alomora. Torreno berjalan setengah berlari secepat mungkin, tak ingin tepergok siapa pun yang terbangun sepagi ini. Satu arah yang ia hafal letaknya, itulah tujuan sang pangeran sekarang. Padang rumput tempat gilde pembawa pesan dari Laniakeia dilepaskan.
Hewan berparu-paru empat berjenis kelamin jantan itu telah terjaga dan menatap kedatangan sang pangeran dengan nyalang. Torreno bersiul pendek memanggil dan hewan itu langsung menghampiri dengan patuh. Divisi pemburu naga, Panglima Elijah, senjata-senjata rahasia, itulah yang ingin Torreno temui segera. Meskipun lehernya jadi taruhan, Torreno bertekad akan menerobos istana dan mematahkan hukuman pengasingan dari Laniakeia, lalu menemukan Anne secepatnya, kunci semua teka teki ini.
Akan tetapi, bagaimana Pontia bisa tahu soal ramalan? Torreno memutuskan untuk mengabaikan hal itu dan langsung naik ke punggung gilde tanpa pelana.
"Berhenti, Pangeran Torri! Anda tak boleh ke Laniakeia." Terdengar teriakan-teriakan dari berbagai arah. Sesaat kemudian, sinar Vella dari balik bukit menyingkap wujud sosok pemilik suara tadi. Sekumpulan wanita, sebagian besar adalah para penari malam tadi, kini mengepung gilde Torreno yang langsung ia tenangkan dengan sentuhan pelan di leher penuh surai menyala hewan itu. Tangan para wanita itu masing-masing memegang sebilah tombak, tongkat, dan bunga? Si peledak misterius!
Apa yang mereka khawatirkan dari seorang pemuda tidak bersenjata seperti Torreno?
"Minggir! Biarkan aku lewat!" Lucu juga karena Torreno berpikir wanita-wanita pekerja keras ini mau mendengarkan perintahnya. Satu-satunya kelebihan Torreno sekarang adalah ia satu-satunya lelaki di sini kalau itu memang harus ia lakukan, melawan para wanita perkasa bersenjata dengan tangan kosong. Jujur, Torreno tidak pernah bertarung menghadapi wanita sebelumnya. Bagaimana rasanya? Pasti ibarat merubuhkan setumpuk pasak besar pengisi meriam pelontar. Melucuti senjata di tangan mereka, itulah strategi awal yang langsung ia pikirkan. Namun, Torreno belum memikirkan cara menghadapi letupan bunga api yang mampu menghanguskan rambut keriting atau membakar kulitnya.
"Maaf, Yang Mulia. Mulai sekarang Anda adalah tawanan Alomora. Anda tidak boleh meninggalkan tempat ini." Pemimpin mereka yang tak lain adalah sang penari utama, berbicara. Torreno memiringkan kepala tanda bingung.
"Dua kerajaan lain juga menginginkan Anda. Anda tidak boleh jatuh ke tangan mereka."
"Omong kosong apa ini?"
"Tangkap dia para gadis!"
Gilde Torreno meringkik panik. Para prajurit wanita menakut-nakuti hewan itu dengan tombak. Gilde berputar-putar gelisah ke segala arah sehingga kepungan para wanita melebar merentang jarak aman. Gilde itu menghempaskan Torreno keras ke atas tanah yang landai berumput, basah oleh embun dan beraroma segar petrikor, membuka celah bagi para pengepung Torreno merangsek maju seperti lalat yang mengerubungi buah.
Lalu, ada hal lain datang. Segulung angin besar membuat gilde Torreno tunggang langgang entah ke mana dan para pengepungnya dilibas seperti rumput-rumput kering yang disebarkan ke segala arah. Torreno menyingkirkan rambut keriting yang mengepak liar, lalu melihat belasan pegasus muncul dengan kekuatan penuh sayap mereka. Saat serangan berhenti, segalanya sesaat menjadi sunyi. Seseorang turun mendarat di atas Torreno dan merentangkan sayapnya yang nyaris tak terlihat dalam keremangan cahaya.
Sepasang wajah dengan rambut pirang pucat muncul dalam jarak pandang Torreno, berikut tubuhnya yang ringan mendarat perlahan di atas sang pangeran.
"Torri-Torri." Seyra menyapa Torreno dengan pendar mata penuh kerinduan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top