Dua Pangeran

"Jaga sikapmu, Seyra!" Bersamaan suara itu, tubuh Seyra tersentak ke atas. Pinggangnya dililit oleh seulas cambuk seperti anyaman sabut yang langsung menariknya dengan kencang lalu menghempaskannya ke punggung seekor pegasus. Sang peri dibiarkan terikat di sana seperti tonggak dan sulur.

"Raffendal!" pekiknya gusar bukan main pada orang yang melakukan itu terhadapnya. Namun, orang itu tak peduli. Sebaliknya, ia turun dari pegasusnya yang mengambang di udara, melayang bagai sehelai bulu ringan yang senyap tanpa suara saat kakinya mendarat di atas tanah berumput basah.

Ia adalah seorang pria jangkung dengan rambut panjang berwarna pirang sepucat milik Seyra dan mata biru seterang lautan jernih sehingga aku bagaikan sedang menyaksikan dua orang Seyra kini, tapi dalam jenis yang berbeda.

"Berhenti, Pangeran Raffendal. Anda dan pasukan Anda dilarang memasuki Alomora!" Gadis-gadis Alomora tadi sudah kembali dan bersiaga menghadang pria yang gerak-geriknya menuju ke arahku. Wanita-wanita ini ... tercetus pikiranku untuk mengajak mereka bergabung dalam pasukanku suatu saat nanti. Apakah mereka bersedia untuk menjadi pemburu naga?

"Aku tidak menerima perintah dari Alomora," jawab sang pangeran dingin tetap melangkah maju tanpa merasa terintimidasi sama sekali. Tak heran, kemudian aku tahu apa pasalnya. Ia meraih tombak yang diacungkan oleh gadis penggertak tadi lalu tiba-tiba saja tombak itu meluruh berkeping-keping dari pangkal sampai ke ujung seperti sihir. Ah ya ... dia seorang peri, tentu saja menguasai sihir! Aku pun merasa bodoh.

"Jangan berani mengancamku, makhluk fana ...."

Baiklah, aku punya sejarah yang rumit dengan wanita, tapi naluri kelelakianku tak urung terusik karena sikap mengancam pria terhadap seorang gadis yang sama sekali bukan tandingannya. Ini seperti Panglima Elijah yang sedang mengancam seorang gadis kecil dengan moncong senjata saja, dan tentu saja itu mustahil terjadi.

Aku kalah cepat untuk membela gadis itu ketika hardikan penuh amarah Pontia mendahuluiku. Rupanya ada yang mengikutiku .... Dan kini ia membongkar keberadaannya dengan sukarela.

"Anda pernah mengobrak-abrik Alomora hanya demi seorang fana! Lupakah Anda, Paduka?" Pontia maju di antara pria bernama Raffendal dan diriku yang sialnya masih tergeletak di tempat yang sama.

Astaga, aku seolah bisa melihat titisan Jeannette Le Blanc dalam diri Pontia andai aku tak lupa betapa berlawanannya arus pemikiran kami berdua. Keberanian itu dan sorot mata penuh keteguhan hati itu membangkitkan nostalgia masa lalu yang mulai usang di mata orang-orang, tapi tidak di mataku.

"Gadis kecil, menyingkirlah. Kali ini aku datang untuk Pangeran Torreno." Raffendal menggeser Pontia dengan kasar ke samping, lalu gadis itu memberikan perlawanan dengan memukul, menendang, apa saja yang bisa ia lakukan. Dan serangannya itu sama sekali tidak berpengaruh pada diri si pria yang bergeming. Pontia seperti sedang memukuli pohon saja. 

Aku tidak tahu apa yang terjadi ... Pontia yang semula tidak peduli terhadapku tiba-tiba bersikap posesif seolah ingin melindungiku. Ah, ya ... dia bibi tiriku, juga calon pasangan yang sepertinya disiapkan oleh Ratu Elsadora untukku. Lucu sekali. Apa wanita itu berniat mengadu dombaku dan Raja Dylon dengan mencalonkan wanita impian ayahku itu untukku?

"Cepatlah Raff, cukup bermain-mainnya!" Seyra mengomel kesal masih dalam keadaan terbelenggu.

"Diamlah, gadis!"

Pria ini kasar sekali .... Amat bertolak belakang dengan penampilannya yang menawan.

"Mana wanita tua itu? Apa dia sudah mati?" Siapa yang dia maksud? Pontia diam saja tak melayani pertanyaannya. "Aku ingin bertemu Minnalee."

Oh. Wanita dengan senyum ramah dan rambut terkepang di satu sisi itu. Dia sedang mabuk sekarang karena itulah Pontia datang sendiri kali ini. Dua orang berbeda generasi ini memang terlihat selalu bersama-sama semenjak aku di sini.

"Ibuku tak punya urusan denganmu, Pangeran." Oh sial, begitu rupanya. Minnalee adalah nenek tiriku!

"Kalian tak bisa lolos kali ini, tikus-tikus Alomora. Pasukanku siap meluluhlantakkan tempat ini hingga rata dengan tanah--"

"Cukup, menyingkirlah Pontia!" ujarku kesal karena telah merasa dipermainkan oleh gadis ini. Dan sikap pria di depanku ini sungguh mencoreng harga diriku sebagai lelaki. Apa yang dia inginkan dari penyerbuan terhadap sebuah perkampungan yang isinya hanya perempuan ini? Serendah-rendahnya diriku, aku takkan pernah berpikir untuk melakukannya!

"Ha. Sang pangeran telah kembali." Sungguh tak lucu kelakarnya ketika aku menggeser Pontia ke belakangku. Dan jangan lupa kalau dia juga seorang pangeran seperti yang dikatakan oleh orang-orang Alomora tadi. Kami adalah dua pangeran yang mungkin akan berseteru setiap kali bertemu--bukan karena aku menaruh hati kepada Pontia ataupun Alomora, tapi penilaian ini sungguh pantas untuk seseorang seperti dirinya.

"Aku akan ikut denganmu, jadi lepaskan mereka."

"Kau dengar itu, gadis kecil?" Ia menengok Pontia dari balik bahuku. Lucu sekali.

"Torreno, setelah kupikir--"

"Ini keputusanku, Pontia! Kalian tidak bisa menahanku pergi." Aku segera mematahkan perubahan pikiran Pontia. Sudah terlambat baginya. Lagipula, ada sesuatu yang ingin kucari di Silvanovia. Sebuah jawaban.
Lantas aku berbalik dan mengucapkan perpisahan singkat pada gadis itu. Ia terjengkit saat lengannya kurengkuh pelan, "Sampaikan salamku pada Minnalee dan terima kasih atas kebaikan yang Alomora berikan padaku. Aku berharap pertemuan kita berikutnya akan lebih baik dari ini."

Aku tidak menyiratkan maksud apa-apa dalam ucapan tadi selain mereka kini adalah bagian dari keluargaku. Pontia tidak membalasnya. Di mataku, ia sepertinya sedang berperang dengan batinnya.

***
 
"--apa pun yang mereka katakan di Laniakeia, kau sungguh luar biasa, Torri!" Seyra terus saja mengoceh di depan. Ia tak henti-hentinya memuji aksi pembakaran ladang lacantina yang diprakarsai olehku dan aku baru tahu kalau ghea, peri pohon, bukanlah makhluk yang mereka anggap berasal dari kaum yang sama walaupun juga punya sayap dan membangkitkan selera makan para naga.

"Seorang gadis kecil dengan obor pun bisa melakukannya."

Ia pun terkekeh atas komentar sarkasku, kalau itu adalah maksudnya. Dan aku tidak menganggap itu adalah sebuah pujian untuk tindakan kekanak-kanakanku yang berujung pada hukuman pengasingan. Aku dan Dewan Penasehat Laniakeia punya masalah yang sama sepertinya bila dilihat dari segi tingkat kedewasaan berpikir kami.

"Oh, ayolah Torri. Siapa pun tahu kalau padang lacantina itu berada di zona maut--mungkin maksud Seyra adalah tempat jamuan para naga-- tak sembarang orang berani pergi ke sana. Dan kau menghabisi makhluk merepotkan itu dengan cara yang sungguh cerdas." Merepotkan dalam bahasa Seyra dan para peri berarti "makhluk yang tak bisa dibasmi dengan sihir". Ya, naga memang terkenal anti sihir, misteri yang belum terjawab sampai saat ini.

Seyra menolehkan kepalanya ke samping untuk berbisik padaku, "Apa kau dengar ini, Torri? Laniakeia sedang panik sekarang. Hilangnya ghea berarti tinggal menunggu waktu bagi para naga untuk menyerbu tempat kalian mencari mangsa," pegangan tanganku di pinggangnya menegang. Bukannya tidak menyadarinya, tapi ... secepat itukah? Pengasingan ini benar-benar melumpuhkan telinga dan tanganku! Seharusnya aku di Laniakeia sekarang bersama dengan pasukanku.

"Jangan khawatir, Torri. Kau aman bersama kami." Kata-katanya sungguh membuatku khawatir sekarang. Bahkan bayangan Ratu Elsadora langsung terlintas di benakku pertama kali, alih-alih orang-orang atau ayahku sendiri.

"Apa yang kaupikirkan, Torri?"

"Huh?" Aku merasa aneh dengan pertanyaan Seyra barusan dan ia tertawa sumbang sebelum mengerling padaku yang duduk di belakangnya.

"Aku tidak bisa membaca pikiranmu lagi. Aura murnimu seolah lenyap begitu saja dan ada dinding yang kelam sekarang. Apa yang telah terjadi?"

Aku bagai dilempar lagi ke asilum pesakitan yang dipenuhi oleh tatapan penuh tudingan para anggota dewan penasehat agung saat ia memutar pinggangnya sejauh mungkin untuk mengetahui ekspresiku.

"Apa kau telah menumpahkan jiwa tak berdosa?" Aku tercekat. Dan aku beruntung dia kini tidak bisa mendengar suara hatiku. 

"Aku adalah pemburu naga dan hanya membunuh naga, juga ghea." Kuputuskan untuk berbohong dengan tidak menyebutkan soal pria jelmaan naga. Toh itu tak penting baginya.

"Ah, syukurlah. Selama itu bukan urusan wanita, aku bisa menerimanya." Seyra berbalik ke depan tepat pada waktunya. Wajahku memanas seketika. Astaga ... peri ini. Rupanya dia memikirkan sesuatu yang lain seolah-olah kehidupan pribadiku sedang dimata-matai.

Aku, Torreno, pangeran Laniakeia yang terbuang adalah pion permainan nasib yang seolah tak bosan mengejekku. Aku memang sedang dimata-matai, dan aku menyadarinya ketika sekelebat bayangan hitam melesat mendahului pegasus yang kutunggangi bersama Seyra. Tak butuh waktu lama bagiku berpikir untuk mengejarnya. Hanya butuh sepersekian detik refleks untuk merebut kekang di tangan Seyra dan menendang perut pegasus yang langsung merespons dengan dengus ringkikan dan laju terbangnya yang menggila.

Seyra berteriak kencang, marah, dan panik menyuruhku untuk berhenti tapi aku tak peduli. Ini bukan lagi soal urusan hidup dan mati atau harga diri. Ini adalah urusan antara aku, Laniakeia, dan teka-teki yang kini terbang jauh di depan kami. Semoga hewan berkaki empat dan bersayap ini mampu menyamai kecepatan seekor gilde, bukan sekadar hewan elok lagi sedap dipandang mata.

Aku bahkan tak punya waktu untuk tersenyum penuh kemenangan atau sekadar berterima kasih kepada pegasus yang memang layak menjadi primadonaku ketika kami berhasil menjajari sesosok makhluk hitam perkasa yang kini menoleh menatapku dengan mata birunya.

Biru?

Mata Anne. Di mana mata merah menyala laksana obor dulu? Aku nyaris mengira telah mengejar makhluk yang salah lantas teringat akan kejadian malam laknat dan pusaran badai di langit Laniakeia. Sepasang mata dengan sorot biru ini pernah kulihat sekilas waktu itu sebelum kesadaranku lenyap ditelan kegelapan. Aku yakin ... ini memang dia.

"Torri!" Seyra menjerit protes ketika kukembalikan tali kekang kepadanya dan aku sudah berdiri dengan keseimbangan luar biasa di atas pegasus yang terbang dengan kecepatan di atas rata-rata-- bahkan Lucas dengan kemampuan akrobatnya yang sempurna itu juga akan menganggap aku gila. Ya, aku memang gila. Aku menolakkan kaki sekuat mungkin bagai lembing yang dilempar membelah udara, dengan satu tujuan pasti ... punggung sang naga hitam.

Namun, bukannya punggung hitam keras yang menyambut tubuhku, tapi sesosok makhluk indah serba putih lantas memisahkan jarak kami berdua. Naga itu seolah mengejek sebelum ia berbelok menjauh lalu menghilang cepat bagai melipat jarak sehingga tercipta alur jejak awan tipis dari kedua sayap berangka perkasanya. Sementara aku telah berada dalam cengkeraman lengan Raffendal yang kokoh dan liat penuh otot.

"Sekarang aku tahu kenapa kau diusir dari Laniakeia, pangeran bermasalah!"

SIAL. Hanya itu kata yang tepat untuk mengungkap kemarahanku saat ini. Dan asal tahu saja, berada dalam cengkeraman sesama pria itu rasanya sungguh tidak nyaman. Andai aku lupa sedang berada di mana, bukannya di ketinggian yang mematikan, ingin rasanya kupatahkan tulang hidung pria ini karena telah lancang menggagalkan usaha berbahayaku tadi.

"Aku akan berurusan denganmu nanti!" desisku melesatkan tatapan bak anak panah ke dalam matanya. Dia berbalik mengancamku.

"Kau yang akan berurusan denganku nanti ...."

Persetan. Anne, Nodericka, Shifr, siapa pun dia, aku bersumpah akan kembali.
 
-THE END-
 
 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top