Dragon Talon 2

"Keputusan Anda bermata ganda, Yang Mulia."

Jejak Elsadora di istana Laniakeia telah pudar dari lantai yang menyesap segala kehangatan nurani. Namun, Kanselir Januska masih belum berdamai dengan keputusan yang dibuat oleh raja.

"Aku sudah mengorbankan gadis malang itu, Kanselir. Elsadora telah berusaha keras mengasuh Torreno dengan baik."

"Dengan segala rasa hormat, Yang Mulia. Rakyat akan bertanya-tanya jika tahu ratu mereka dimakzulkan dalam semalam. Lebih-lebih jika tahu posisi itu hanya kedok untuk memasukkan seorang gadis berbahaya ke dalam istana. Entah bagaimana reaksi putra Anda jika tahu siapa Elsadora sebenarnya."

Raja Dylon terbatuk sebagai ganti tawa getir. Raja dan putra mahkota sama saja, pikirnya. "Elsadora memang berbeda, tetapi dia tidak berbahaya, Kanselir. Aku langsung tahu begitu bertemu dengannya di Alomora. Semua kulakukan demi kebaikan Torreno."

"Sayang sekali, putra Anda malah membenci Anda. Kita juga tahu bagaimana kebencian Pangeran terhadap pengasuh pilihan Anda."

"Torreno akan mengerti suatu saat nanti."

Terdengar suara tepuk tangan memantul di langit-langit kamar, diikuti oleh kemunculan sosok si pelaku. Di bawah cahaya samar pelita gantung, seseorang bertudung rapat hingga ke kepala, berdiri menjulang seakan menantang di depan pintu. Dengan tinggi tubuh sedang, Raja Dylon dan kanselirnya tidak mampu menebak apakah dia pria atau wanita. "Pengawal!" Panggilan keamanan Kanselir Januska malah mengundang kekeh pelan sosok itu. Suara gadis, tetapi dalam nada kasar seperti ditimpa oleh suara pengiring yang lebih berat.

"Tidak perlu repot. Saya hanya bertandang sebentar," sapa gadis itu dengan nada mencekam. Ia lantas menurunkan tudung hingga memperlihatkan rambut hitam bagai ombak membingkai wajah jelita dengan mata merah membara.

"K-kau!" Kanselir Januska terperanjat.

"Siapa dia, Kanselir?"

"Gadis naga selundupan putra Anda, Paduka!" Pria itu pernah melihat sang gadis kala dibawa Torreno serta menuju pengasingan.

"Akhirnya saya bertemu Anda, wahai Raja Laniakeia."

"Pengawal!" Kanselir Januska berseru panik kali kedua.

"Tidak perlu repot, Anak Muda. Mereka sedang sibuk sekarang karena bukan aku satu-satunya pengunjung malam ini," katanya puas bisa melihat raut mengelikan di wajah mereka.

"Siapa, kau? Apa maumu?!" hardik Raja Dylon seraya mengerahkan wibawanya yang telah pudar dimakan usia dan penyakit. Gadis itu berdesis pelan seperti naga.

"Shifr."

"Shifr." Raja Dylon menyebut ulang nama itu, berupaya membongkar ingatan berkarat tentang apa pun yang bisa ia ingat.

"Jeannette Le Blanc mengenalmu," desah sang raja menyadari sesuatu.

"Dunia ini hanya berputar di tempat, bukan? Aku datang untuk mengambil putra kalian."

"Torreno tidak ada di sini! Pergilah, iblis terkutuk! Kaulah yang memperdaya Jeannette untuk memulai perang naga!"

"Tentu saja saya akan pergi. Setelah menyaksikan kematian Anda malam ini. Setelah menyaksikan kegagalan usaha Jeannette bertahun-bertahun demi menyelamatkan suami dan putranya." Seringai licik terulas. Di mata Raja Dylon, itu adalah pertanda sesuatu yang besar akan terjadi. Konspirasi yang mungkin akan mengguncang Laniakeia.

"Kau akan membunuhku?"

"Bukan saya, tapi utusan khusus yang telah mengepung istana."

"Dengan siapa kau bersekongkol?"

"Jeannette Le Blanc dan Torreno!"

"Bohong! Mereka tidak mungkin berkhianat pada Laniakeia! Takkan ada yang akan memercayaimu, wahai iblis!" Raja Dylon murka.

"Mereka akan percaya."

Shifr tersenyum dengan bibir Nodericka yang melengkung indah. Jendela kamar raja terbuka paksa dan kisi-kisinya lepas dari rangka hingga timbul keributan seketika. Seorang penyusup memanjat masuk. Belati lengkung di tangannya berkilau samar di bawah sinar rembulan.

***

Jika oculus berhasil menumpas para naga, kenapa tidak ada selentingan kabar tentang nasib kerajaannya sekarang berembus dari Laniakeia?

Tiba di tapal batas antara padang pasir dan padang rumput--tanda bahwa mereka telah berada di tepi ibu kota, pertanyaan itu kian kuat. Sejauh Torreno ingat, padang rumput di sisi gurun pasir bagai permadani hijau dengan kelopak-kelopak mahkota kecil aneka warna yang mekar tanpa memandang musim. Kini, memori tersebut berganti menjadi kawasan lantana hangus terbakar. Puing-puing sisa perang naga mungkin telah lesap dibawa embusan angin dan menjadi bagian bentang gurun. Sementara, lanskap tempat musnahnya koloni naga dari arah perbatasan pun tampak mati tak berpenghuni, sebagai gambaran betapa hebatnya ledakan yang pernah terjadi di tempat itu. Andaipun berhasil menyintas, naga-naga pasti sudah bermigrasi ke lokasi terdekat untuk dijadikan sarang baru, ibu kota Laniakeia.

Membayangkan sarang naga di reruntuhan rumahnya, Torreno melonggarkan tali busur yang menyilangi bahu seraya menahan rasa getir yang mengendap, nyaris meracuni rongga dada hingga membuat ia menderita dalam setiap tarikan napas. Torreno bersumpah bahwa ia akan mencari pembawa kabar pertama ledakan oculus tersebut hingga sampai ke telinga Raja Larsam. Ada sesuatu yang salah.

"Jadi, apa rencananya sekarang, Rambut Keriting?" Suara Raffendal menyelusup di antara keping-keping nostalgia dalam benak Torreno. Sang pangeran menarik napas sekali lagi, berat dan panjang, selaras dengan manik mata coklat terangnya yang tiada henti mengawasi medan penuh waspada. Ia berharap masih ada geliat kehidupan tertinggal di salah satu sudut tersembunyi padang pasir untuk sekadar memuaskan dahaganya akan sensasi manis pembalasan. Atas nama divisi pemburu naga, Panglima Elijah, Lucas, Seamus ....

"Aku turut merasakan kehilanganmu, Torri Sayang. Tapi, kelihatannya senjatamu sungguh pamungkas hingga tempat ini terlihat binasa."

Geraham Torreno bergemeretak mendengar komentar Seyra di belakang. Tangan si peri melilit di pinggangnya, tak mau lepas sejenak pun sejak mereka terbang melintasi langit Silvanovia yang beku dan telanjang tanpa mantra pelindung. Status Seyra serta ikatan politik dengan kerajaan itu, cukup untuk menahan Torreno agar tidak mendepak tunangannya dari punggung pegasus. Meskipun pasti tidak berakibat fatal karena Seyra bisa diselamatkan oleh sepasang sayap, tentu akan terlihat kasar di mata Raffendal yang sedang menatap dirinya penuh cemooh. Untunglah, Raffendal tidak menimpali ucapan sang adik untuk menggali luka menganga di hati Torreno. Belasungkawa dan ucapan empati macam apa pun tidak sebanding rasanya dengan kekalahan pribadi yang Torreno tanggung akibat senjata makan tuan ciptaannya. Sebaliknya, Raffendal lantas bersuara rendah penuh nada peringatan. "Jangan buat kesalahan yang sama di Silvanovia, Keriting!"

"Itu tergantung pada ketepatan panah kalian," balas Torreno yang sontak memerahkan wajah Raffendal. Perburuan belum dimulai, tetapi keduanya telah bersitegang urat saraf. Sang pangeran peri hanya mengibaskan sebelah bahunya untuk mengendurkan nadi dan situasi.

"Waspadalah jika badai datang. Lebih baik kalian bersembunyi." Torreno memutar tubuh lantas merentangkan tangannya melewati kepala-kepala para peri, ke arah padang pasir di belakang.

"Dalam cuaca seterik ini?" Alis Raffendal terangkat cepat mendengar peringatan yang keluar dari mulut Torreno.

Badai padang pasir pasti adalah hal baru bagi Raffendal yang belum mengenal medan Laniakeia di puncak quanta Vella kedua belas. Sementara, Seyra bergeming terpesona karena menyadari betapa dekat jarak wajahnya dengan Torreno sekarang. Namun, Torreno sepertinya sedang tenggelam dalam dunianya sendiri tatkala memikirkan sebaris taktik kedua dalam jemala.

"Aku dan fairyhound ke ibu kota. Kau dan para peri elemen tetap di sini. Sementara itu, jagalah diri kalian agar tetap hidup! Aku tidak khawatir dengan musuh yang menyergap sewaktu-waktu. Tapi, adakalanya alam lebih berbahaya daripada yang kaukira."

Dengkus napas mengalir keras pada permukaan wajah Raffendal yang kian merah, menerpa helai rambut panjang di sisi tengkuknya hingga terembus sesaat. Kata-kata Torreno cukup melukai harga dirinya sebagai salah seorang peri elemen yang mengandalkan mantra dan pengendalian anasir.

"Kau meragukan peri elemen? Kaupikir kami tidak siap menghadapi keganasan Laniakeia? Ingatkah siapa dulu yang mengantarkanmu ke puncak Aldecara, Torreno!"

Raffendal memutar setengah bagian tubuh atasnya hingga persis menghadap Torreno. "Kita semua ke ibu kota."

"Tidak! Kalian tetap di sini selagi kami terjun ke sana. Kita tidak tahu persis di mana sisa naga sekarang berada. Jika prakiraanku salah, mungkin saja ada naga yang sedang bersembunyi mengawasi tempat ini. Tapi, semoga saja aku salah."

Alasan Torreno selanjutnya jauh lebih menghancurkan kebanggaan Raffendal sebagai pucuk pimpinan armada peri tertinggi. Sayap pegasus tunggangannya mengibas kasar penuh intimidasi di sisi pegasus Torreno dan Seyra. Namun, Torreno bergeming dengan Seyra yang melekat dengan rasa aman di punggungnya.

"Jangan menguji kesabaranku, Anak Muda! Kekhawatiranmu sia-sia belaka! Aku ikut denganmu ke ibu kota." Suara Raffendal meninggi.

"Aku mempercayakan oculus kepadamu."

"Tanpaku, peri elemen tetap bisa diandalkan menjaganya!"

"Kau tetap di sini! Aku yang akan membawa dia kepadamu!"

Torreno menatap tajam ke mata Raffendal, sementara pangeran peri terdiam menelan ludah.

"Dia siapa?"

Rasa penasaran Seyra membuncah karena tiada jawaban mengalir dari bibir sang kakak. Raffendal pun lebih memilih menghindar dari tatapan penuh tanda tanya milik adiknya. "Pergilah bersama Torreno!" perintahnya singkat pada Seyra.

Jika Torreno memilih untuk tidak pergi bersama, sia-sia saja bagi Raffendal membayangi setiap langkah putra mahkota Laniakeia hingga sejauh ini. Torreno seolah memanfaatkan posisi puncaknya untuk menghalangi tujuan sejati Raffendal berada di arena perburuan. Maka, sorot matanya nanar saat melepas kepergian fairyhound menuju ibu kota Laniakeia, seraya menaruh harapan bahwa Torreno akan menebus janji untuk membawa sang ratu kepadanya.

Tidak ada waktu untuk meratapi sesuatu yang belum terjadi, Raffendal memerintahkan kepada peri elemen yang tinggal untuk mendarat serta berlindung di balik ceruk-ceruk cadas karena Vella sedang bersinar garang di rembang cakrawala. Berpindah dari negeri utopia Silvanovia ke gurun pasir Laniakeia yang setiap jengkalnya memantulkan panas, jelas mendatangkan kesengsaraan bagi para peri.
Tangan Raffendal terangkat untuk memberi isyarat, tetapi gerakannya lantas membeku di udara tatkala melihat kepulan debu seperti badai pasir tipis menyebar di belakang pasukan dan melantangkan tanda bahaya yang bergema nyaring dalam kepala. Irama napasnya memendek. Di balik rambut keriting Torreno, prediksi sang pangeran terbukti benar hingga membuat Raffendal gusar.

Tepat sebelum ia menyuruh pasukan terbang bersama pegasus untuk menghindari amukan badai, tampak gerakan-gerakan samar di antara kepulan debu yang kian membesar seakan mengejar. Kepak sayap. Jumlahnya mungkin satu koloni.

Mulut-mulut yang semula terkunci kini meloloskan desah-desah keterkejutan yang segera menguap di bawah gelombang panas sengatan Vella. Senyap, segenap pasukan terbius sesaat.

"Siapkan panah agnon! Lindungi oculus!" Teriakan Raffendal mengembalikan akal sehat mereka pada gelombang kewaspadaan tertinggi. Ia memerintahkan para peri elemen membentuk formasi bertahan karena menghindar jelas bukan pilihan saat ini. Panah-panah api mulai meluncur dalam lintasan parabola untuk memghujani sasaran di depan.
***

Kerchak!

Hisss.

Sebuah panah api memelesat di atas kepala Torreno, lalu menancap pada seekor naga dengan moncong terbuka ingin menerkam. Api segera menjalari tubuh sang naga, kemudian melahapnya menjadi nyala raksasa. Selagi menukik jatuh, naga itu meluruh menjadi keping-keping sisik dan cakar hangus yang berhamburan di udara. Torreno menyaksikan sendiri naga terakhir yang ia bidik tadi kembali bersatu dengan reruntuhan bangunan di bawah mereka, menyisakan relikui tulang punggung dan ruas sayap terbakar, lalu serpihannya tersapu oleh embusan angin di permukaan.

Bukan hanya satu, tetapi naga-naga lain menemui nasib serupa di ujung panah api dengan bahan peledak agnon yang diekstrak dari bulu-bulu Silvermouth pengisi bantal dan kasur Silvanovia. Dikombinasikan dengan kecepatan dan ketepatan tembakan para fairyhound, serangan langsung ke ibu kota menuai hasil besar.

"Kau kelihatannya tidak puas, Torri-Torri." Kepala Seyra muncul di sisi kiri Torreno. Bukan hanya tidak puas, kesenangan Torreno berada di punggung pegasus pun seolah lenyap.

"Ini terlalu mudah." Torreno memerintah pegasus terbang merendah, lalu melompat turun sebelum hewan itu mendarat sempurna. Seyra menyusul.

"Mudah?" Pertanyaan Seyra di sisinya terdengar menuntut. "Tidak ada yang mustahil bagimu, bukan?" Pernyataan dari sang putri lebih terkesan memuji, tetapi Torreno melayangkan tatapan tidak senang karenanya. Bibirnya terkunci rapat sementara matanya menjelajah seisi kota yang tampak mati dengan jejak kehancuran di sana sini. Tiada seorang pun penduduk terlihat.

Titik pandang Torreno lantas berhenti pada istana Laniakeia di kejauhan. Ironis, bangunan istana pasir itu tampak berdiri kokoh memantulkan sinar Vella, nyaris tak tersentuh. Namun, ia mencium aroma kuat memuakkan dari sana. Firasat Torreno bangkit dengan liar.

"Di mana orang-orang? Apakah mereka semua tewas?" Seyra berasumsi ngeri.

"Seyra. Kau berbicara tentang kematian seakan nyawa orang-orang adalah mainan."

Seyra menarik garis bibir tanpa rasa bersalah seraya menyenggol lengan Torreno penuh rayuan dengan bahunya. "Orang-orangmu. Bagaimana denganmu sendiri? Beruntung, rasa cintaku kepadamu lebih kuat daripada kaumku. Cinta tidak mengenal ras, bukan?"

Torreno tidak punya bantahan kali ini. Seyra jelas sedang menyindirnya dengan kejam, tapi seduktif. Peri. Masa depan dengan calon permaisurinya ini pun terbayang. Torreno harus mulai belajar mencintainya dari sekarang. "Ya ...," tatapan Torreno melesat ke dalam manik mata Seyra, "Laniakeia hanya bernasib buruk karena berada di antara kalian dan para naga, Sayangku."

"To-Torri ...." Rona wajah putih bening Seyra seakan tidak dialiri darah. Torreno puas berhasil membungkam putri peri itu. Hanya butuh racun yang sama untuk berdamai dengan 'nasib buruk' sesuai perkataannya tadi. Torreno tidak keberatan untuk membunuh Seyra dengan cinta.

"Katakan itu pada si Gadis Naga! Dia yang menghancurkan kerajaanmu, bukan aku!" Seyra memberengut kesal, berbalik memunggungi, lantas memanjat punggung pegasus. Serangan emosi membuat gerakan Seyra menjadi lamban. Sayapnya bahkan gagal terkembang. Maka, putri peri itu pun terperanjat ketika merasakan seseorang mendorong dan membantunya naik dari belakang. Torreno.

"Apakah kau akan berada di sisiku hingga akhir?" Tiba-tiba Torreno meluncurkan pertanyaan yang terdengar romantis di telinga Seyra. Hati putri peri itu kembali merekah bagai bunga mekar musim semi.

"Tentu saja."

"Kau ikut aku ke istana?"

Torreno tidak perlu menunggu jawaban Seyra karena sebuah ciuman telah menjadi simbol kesepakatan mereka.

***







08 Agustus 2022, 23:19 WIB.
Thank you for reading ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top