Del Maria
Sepasang kaki melangkah menyusuri barisan kayu bercorak hitam yang terbujur rapi. Sementara, paku sebesar jempol dewasa tersebar di sana sini, sebagian bahkan telah menonjol, tetapi beberapa pasang kaki lain yang melintas mendahului, tampak tidak peduli lantas menginjak tanpa hati-hati. Langkah kaki itu kemudian berhenti di ujung sebuah jembatan kecil yang berderak setiap kali ada yang menapaki.
"Sudahkah kalian mendengar kabar terbaru dari Laniakeia setelah peristiwa serangan monster beberapa hari lalu?" Orang-orang yang lewat tadi berbicara, itulah sebabnya kenapa si pemilik kaki dengan terompah berdebu karena tidak tersentuh oleh semir itu kini mematung di sana, meneleng seakan tidak percaya dengan pendengarannya barusan.
"Ya. Penadah dari pesisir utara bilang kalau beberapa utusan Laniakeia datang kepada mereka untuk membeli seluruh persediaan bulu Silvermouth. Dari orang-orang itu, mereka mendengar bahwa seluruh Laniakeia sedang mengalami isolasi. Kabarnya, seorang panglima ternama mereka bahkan turut menjadi korban dari serangan."
"Mengherankan sekali, bukannya membeli persediaan senjata atau pangan, mereka malah menyia-nyiakan bijou untuk burung penyelam tepian laguna. Apa gunanya bulu hewan itu selain mengisi bantal-bantal?"
Tentu saja berguna. Minyak pelindung bulu Silvermouth sungguh tahan air, dari situlah bahan bakar agnon tercipta dan mampu menghanguskan beberapa jenis naga yang setengah hidupnya bersembunyi di kedalaman, Torreno menimpali dalam hati. Ia yang telah menciptakan senjata andalan tersebut dan orang-orang ini tidak tahu apa-apa. Namun, bukan fakta itu sesungguhnya yang mengganggu pikirannya, tetapi nama panglima dari kerajaan Laniakeia yang disebut-sebut tewas. Torreno menepis kemungkinan Panglima Elijah berada dalam daftar tersebut-komandan sekaligus sahabat terbaik, di dalam maupun luar pertempuran. Masih banyak panglima lain di Laniakeia yang lebih pantas sebagai kandidat karena mereka tidak berpengalaman menghadapi naga seperti ia dan Panglima Elijah.
Ironis. Nyatanya, Jeanne Le Blanc tidak selamat. Darah Torreno berdesir.
"Lupakan saja. Tampaknya, kawan baru kita ini termakan berita sensasional tadi. Hei, Anak Muda. Jika kau kini ragu bertualang di atas Del Maria, lebih baik pulang saja dan mendengkur di bilikmu yang nyaman. Kami tidak segan membuangmu ke laut jika kau hanya menambah beban di kapal." Orang tadi berbalik lantas berdiri jemawa di hadapan Torreno hingga menghalangi sinar Vella yang sedang mendaki garis cakrawala.
Benar, kini bukan saatnya menjadi emosional serta berpikir untuk pergi berkabung ke Laniakeia yang telah mengusir dirinya hingga ia tidak diberi kesempatan keluar dari negerinya dengan menegakkan kepala. Sebelum ini, ada lautan terbentang menunggu untuk ia jelajahi, lalu menggenapi isi ramalan yang hilang. Kaki Torreno melangkah ke jembatan penghubung perahu dengan tekad setangguh baja. Ia harus mengembalikan seluruh teka teki ke tempatnya sebelum Laniakeia rata dengan tanah.
"Hei, kupikir kau berubah pikiran hingga batal naik kapal." Kapten Larsam menyambut di geladak dengan garis bibir tertarik ke satu sudut. Sekilas, lelaki yang lebih pantas disebut sebagai kakeknya itu memang terkesan sebagai pria terhormat berperilaku sopan. Mungkin karena jabatannya dulu adalah veteran nahkoda dari pasukan otoritas Mermaidivine, negeri tetangga Laniakeia penguasa perairan. Namun, seseorang menimpali dari atas anjungan kapal, "Ia hanya sedang mengumpulkan keberanian setelah muntah di belakang, aku berani bertaruh. Anak Muda ini kelihatannya begitu mencintai daratan. Lihat saja, debu di sepatunya meninggalkan jejak di mana-mana dan mengotori lantai kapal." Orang itu adalah perempuan berumur sebaya Kapten Larsam, pakaiannya maskulin khas pelaut dengan atribut penuh gemerincing logam, lengkap dengan kain persegi penutup kepala. Kata-katanya barusan setajam tatapan mata bercelak hitam miliknya yang menyasar sosok Torreno.
Bibir Torreno terkunci rapat. Ia tidak mau mengambil risiko untuk menentang Larnam, kembaran sang kapten yang sedang mengamatinya dari sisi juru kemudi. Wanita tua itu ada kalanya terlihat santai menganggap segalanya bagai lelucon, tetapi kilatan jahat dalam manik matanya bagai pertanda bahwa si pahit lidah ini berbahaya dan tidak semurah hati saudaranya. Sudah untung ia diperbolehkan naik ke atas Del Maria tanpa ditagih sepeser bijou pun karena penampilan Torreno jelas-jelas berbicara bahwa pemuda ini tidak membawa barang berharga bersamanya. Satu-satunya benda yang bisa ia jual mungkin hanya rambut cokelat keritingnya yang pasti cocok dipasang pada kepala boneka.
"Hei, kau. Ya, kau, Anak Muda! Bersihkan semua kotoran yang kaubawa ke geladak itu hingga kami bisa bercermin di lantai!"
Torreno menahan dorongan untuk tidak mendelik pada Nyonya Larnam yang berteriak hingga memerahkan kupingnya. Siapa, sih, wanita itu? Ia bukan kapten, seenaknya memberi perintah. Baiklah, ia memang saudara kembar kapten, tetapi ... apa haknya!
Del Maria adalah kapal megah penuh kharisma kejayaan Mermaidivine, milik pribadi si tua kembar, dan menjadi tukang bersih-bersih adalah harga yang harus dibayar Torreno untuk dapat menaikinya.
Jangkar-jangkar telah digulung, seluruh muatan pun sudah diangkut ke atas kapal. Dengan Torreno yang menahan jengkel sambil memegang gagang pel dan mulai bekerja, Del Maria mulai bergerak meninggalkan pelabuhan, memutar haluan ke laut lepas yang menghadang misi selanjutnya.
***
Aroma asin garam singgah di hidung Torreno. Ia hirup aroma kebebasan itu dengan mata setengah terpejam sambil bersandar pada lengan di sisi kapal selagi desau angin menampar-nampar wajahnya hingga kebas, seakan-akan itu adalah hal terakhir yang ingin ia nikmati sebelum mati kelelahan setelah menyikat seluruh geladak. Namun, suatu sensasi ganjil lantas menyelusup ke dalam indra penciuman Torreno, mengingatkannya pada embun di pagi hari tatkala ia membuka jendela di depan kamar istana Laniakeia.
Torreno menggaruk bibir yang tidak terasa gatal ketika sensasi semu itu semakin kuat dibawa oleh embusan angin sehingga kini menular ke mata dan hidungnya yang mulai berair. Ia ditarik ke dalam pusaran masa lalu, tempat sejarah panjang seorang bayi mungil dengan kulit bak mutiara, mata seterang lautan, dan rambut berombak bagai kelindan awan di malam hari dimulai.
Jika sebuah ciuman mampu menyelamatkan jiwa seseorang, maka Torreno berutang besar pada keputusannya saat itu. Ia tetap bernapas hingga hari ini. Meskipun sempat terdampar berhari-hari di tengah gurun Laniakeia setelah tragisnya, mematahkan mantra si gadis naga yang kemudian lagi-lagi kabur entah ke mana, nyawa Torreno tertolong secara dramatis berkat kesetiaan seekor pegasus. Makhluk itu kembali pada tuannya yang sekarat, menakjubkan. Sungguh peliharaan yang dapat diandalkan.
"Isi otakmu masih ketinggalan di suatu tempat, Anak Muda?" Keping memori Torreno yang tadinya kusut tumpang tindih kembali pulih. Ia tersengat akibat kemunculan mendadak sang kapten yang menangkap basah dirinya sedang termenung. Lelaki tua itu melemparkan senyum ramah yang malah membekukan urat saraf Torreno. Semenjak lelaki itu mengizinkan ia naik ke atas kapal, Torreno merasa kalau ia sengaja digiring dalam sebuah skenario tak terbaca di wajah sang kapten yang terkesan penuh pengertian. Cermin jiwa lelaki ini tak tergapai bagai terpendam di palung terdalam samudra. Lagi pula, ia memang bukan seorang pembaca pikiran yang handal. Ya ....
"Saya pikir, tadinya Anda adalah Nyonya Larnam," cetus Torreno jujur hingga Kapten Larsam mempertontonkan sebaris giginya yang tidak beraturan di beberapa tempat, beberapa tambalan dari emas, juga kehitaman akibat noda kopi.
"Tidak heran. Dia adalah aku versi wanita." Kapten Larsam mengedip jenaka.
"Maksud saya, Anda berdua berpikiran yang sama, menaruh perhatian terlalu berlebihan terhadap apa dan yang tidak saya lakukan." Oh, tidak, sepertinya Torreno telah melanggar norma kesopanan dengan berbicara demikian sehingga sorot mata Kapten Larsam berdenyar sekilas. Ia mungkin terdengar menuduh sang kapten berperilaku seperti seorang mata-mata. Apakah sudah terlambat untuk menarik ucapan lancangnya barusan?
Tidak heran jika Kapten Larsam berpikir untuk mengumpankan dirinya ke ombak ganas lautan pada satu ketika, tetapi sebaliknya, garis bibir sang kapten melebar hingga beberapa gigi mengintip di belakangnya.
"Kau anak muda yang menarik, Lucas. Hanya saja, kami sering mendapati tatapanmu yang kosong seolah-olah pikiranmu disedot keluar. Lalu, baru saja wajahmu bersemu merah seperti ingin menangis. Bukan bermaksud ikut campur, tapi ... apa kau baik-baik saja?" Kapten Larsam yang tampak pendiam itu kali ini bicara panjang lebar. Namun, Torreno lantas benar-benar merasa bodoh mendengar pendapat lelaki itu tentang dirinya. Pantas saja Panglima Elijah dan yang lainnya senantiasa menindas dirinya, seorang pemuda dengan embel-embel 'naif' tercetak jelas di wajah.
"Bukan apa-apa." Torreno memasang topeng tanpa ekspresi terbaiknya. "Saya hanya merasa agak demam akibat angin laut." Ia bahkan berpura-pura memandangi telapak kaki yang kini tanpa terompah berdebu karena benda itu sudah digantikan oleh kasut bersih sederhana. Sudah sejauh ini, penyamarannya harus meyakinkan.
"Hm." Kapten Larsam menggumam pendek, lalu terkekeh pelan. Lelaki itu melingkarkan lengan di sekeliling pundak Torreno. "Jika itu masalahnya, lebih baik kau bergabung dengan kami untuk menghangatkan diri di dapur."
"Terima kasih, Anda baik sekali."
"Ayolah, tak perlu sungkan. Sekali-kali bersantai tidak masalah."
Sial, Torreno tidak bisa melarikan diri dari kekuatan lengan dan titah tersebut. Dengan terpaksa, ia mengikuti langkah Kapten Larsam masuk ke dalam perut kapal, lalu berakhir di depan bilik besar dengan pintu terbuka di bagian belakang geladak. Sudah banyak pelaut duduk mengelilingi meja panjang satu-satunya di tengah ruangan. Hawa lembab bercampur aroma daging asap berbaur sempurna dengan keriuhan di udara.
Orang-orang ini kelihatan menikmati pesta di sela-sela pelayaran mereka. Nyonya Larnam bahkan melipat sebelah kaki di atas kursi. Sungguh tidak anggun. Namun, Torreno tidak peduli. Ia terlalu sibuk menata debar tak keruan yang menyebar ke seluruh rongga dada setiap kali berada di dekat wanita tua ini karena keberadaan Nyonya Larnam begitu mengintimidasi.
"Lihat, siapa yang akhirnya bergabung dengan kita." Wanita itu langsung memberi sambutan hangat begitu melihat kedatangannya.
"Permisi ...." Torreno berusaha mengangguk sesopan mungkin kepadanya, juga para awak kapal, lalu orang-orang itu menunda aktivitas mereka di meja makan. Ekor mata Torreno bahkan menangkap seringai-seringai samar yang tertuju pada dirinya. Seketika ia disergap ketidaknyamanan, meskipun kemudian punggungnya telah menempel di kursi yang sengaja ia letakkan sejauh mungkin dari wanita itu Namun, tetap saja perasaan itu enggan untuk pergi.
"Mau apa dia di sini? Dia bahkan bukan bagian dari kita." Sebuah gerutuan berbisik, tertangkap oleh telinga Torreno. Beruntung pencahayaan di ruangan ini temaram karena wajahnya pasti mulai memanas.
"Jadi ...," Seorang lelaki berhidung bengkok di samping Torreno mencondongkan tubuh, "cerita apa yang membawamu berlayar bersama Del Maria, Anak Muda?"
Torreno membalas dengan tatapan datar. "Apakah itu penting?"
Lelaki itu lantas menepuk pundaknya, lalu bersandar di sana sehingga Torreno bisa mencium aroma tajam bawang yang lolos dari mulutnya.
"Kapten, bukankah dia seorang anak muda yang beruntung karena bisa ikut ekspedisi kita ke Corindeureen Nyree kali ini?"
"Corin apa?" Lidah Torreno terbelit saat berusaha mengulangi ucapan lelaki itu sehingga seisi kabin bergetar oleh gelak tawa dan membuat kapal seakan berguncang.
"Untung saja kau tampan, jadi kebodohanmu itu termaafkan!"
"Ssst! Sudah kubilang ... otaknya ketinggalan di suatu tempat."
"Sayang sekali."
H-hei!
Dengung kebisingan menyakitkan telinga beserta riuh tawa yang makin menjadi-jadi seakan mengguncang kapal. Kemudian, lelucon payah tersebut berubah menjadi umpan yang mengancam tatkala Nyonya Larnam mendaki menyeberangi meja, lalu berjongkok di depan dirinya. Wanita itu mengabaikan umpatan yang tertuju kepadanya ketika menumpahkan sepiring besar lobster dan beberapa piala penuh air tawar berharga. Namun, wanita itu seakan tidak sudi melayani, ia lebih tertarik mengamati wajah Torreno nyaris tak berjarak sehingga Torreno nyaris menggigit lidahnya menahan geram bercampur gelisah. Ditatap sedemikian rupa oleh orang seperti Nyonya Larnam sungguh terasa mengancam, apalagi wanita itu sepertinya baru saja menghabiskan sepiring udang dengan irisan bawang.
"Rambut cokelat keriting, kulit putih bersih, dan tatapan mata berkuasa. Ada berapa banyak pemuda seperti ini di Mermaidivine?"
"Permisi. Anda bicara mengenai fisik saya?"
"Dan cara bicara yang menjengkelkan itu ...."
"Apa?"
Jemari kiri Torreno bersiap menggenggam sebilah garpu terdekat yang bisa ia raih seolah itu adalah senjata yang siap ia gunakan sewaktu-waktu seandainya Nyonya Larnam bertindak di luar batas. Namun, ia kalah cepat. Gerakan tiba-tiba dari Nyonya Larnam memupus usahanya. Garpu tersebut kemudian melayang lalu menancap pada lukisan dinding di belakang kepala Torreno.
"Ah, sial! Lukisan kesayanganku!" Kapten Larsam yang terkenal pendiam itu pun kali ini turut mengumpat dari kepala meja. Garpu tersebut menancap persis di tengah-tengah leher burung hantu yang tertutup oleh bulu lebat berwarna kelabu kehitaman.
"Sudah kubilang, Lar! Seharusnya kau pelihara peregrine saja daripada memajang lukisan dinding jelek itu."
"Ini kapalku! Tidak ada orang yang harus mengaturku untuk melakukan apa pun di Del Maria!"
"Ini juga kapalku! Biaya perbaikannya menghabiskan setengah uangku, ingat?"
"Aku yang menggaji semua awak kapal!"
"Aku yang memastikan semua kegiatan di kapal ini berjalan lancar! Kau hanya duduk dan memberi perintah ini itu!"
"Tunggu! Haruskah kalian bertengkar gara-gara itu?"
Tatapan setiap orang lantas terarah pada dirinya. Torreno pun mengumpat sendiri. Lain kali, ia mesti belajar untuk tidak menyela pertengkaran konyol antara sepasang saudara mengenai kehidupan pribadi mereka. Sementara, hidupnya sendiri penuh masalah.
"Nah, apa kau bisa melihatnya sekarang, Lar? Aku sudah mencurigainya sejak ia naik kapal! Bukan begitu, Lucas? Oh, maaf ... maksudku, Yang Mulia ...." Nada rendah sumbang milik Nyonya Larnam menggetarkan segenap titik saraf di tubuhnya. Pupil gelap wanita itu berkilau samar mengirimkan isyarat tanda bahaya.
"Apa maksud-" Torreno tidak sempat menyatakan keheranannya karena ia sekonyong-konyong didorong oleh Nyonya Larnam ke lantai. Tubuh, tangan, dan kakinya lantas ditindih oleh beberapa awak yang melompat ke arahnya. Mungkin saja ada rusuk yang patah karena ia diberangus begitu keras. Semua kejadian itu dikomando oleh satu perintah dari Kapten Larsam.
***
Torreno tidak mengerti kenapa sikap para awak kapal lantas menjadi beringas. Begitu ia dilumpuhkan, tangan dan kakinya diikat, lalu dipasung memunggungi sebatang kayu. Mereka menurunkan balok hukuman tersebut hingga setengah tinggi lambung kapal yang ada di permukaan sehingga ia bisa melihat bayangan maut dari jilatan ombak ganas yang menanti tak sabar di bawah sana.
Torreno mungkin saja sedang kehabisan waktu. Balok besar itu siap dijatuhkan sewaktu-waktu ke dalam air. Ia berusaha meraih simpul di pergelangan tangan yang pada akhirnya malah makin melesak ke dalam daging, sementara simpul pada batas mata kakinya telah mengiris meninggalkan bilur kemerahan. Torreno memaksa menekuk leher ke belakang sejauh mungkin sehingga penglihatannya dapat mencapai sisi atas kapal.
Namun, pusat perhatiannya tak berhenti di sana. Tatapannya melewati kisi-kisi anjungan penuh karya pahatan beragam rupa monster, lalu berakhir di wajah Kapten Larsam yang tertunduk menyaksikan tontonan di akhir hayat pemuda itu. Awak-awak kapal yang berkerumun di tepian terlihat berkilau di bawah sinar Vella akibat kulit berminyak dan tambalan gigi emas di sana sini ketika mereka menyeringai tanpa rasa belas kasihan.
"Bisakah kita bicarakan ini baik-baik?" Torreno berusaha berdamai dengan situasi rumit tersebut. Kapten Larsam hanya mengerucutkan bibir sembari menggeleng-pria ini telah menjelma menjadi orang berbeda dari sang kapten yang memberi ia tumpangan cuma-cuma tempo hari!
Torreno lalu mencari-cari mata Nyonya Larnam untuk mencoba peruntungan, tetapi raut wanita itu juga memancarkan aura dingin seperti yang sudah-sudah. Mereka semua sungguh berniat serius mencelakakan dirinya?
"Kenapa tidak?" tanya Torreno gusar, nyaris putus asa. Matanya lantas tertumbuk pada setangkai cermin yang berada dalam dekapan lengan Nyonya Larnam. Cermin memori sialan itu .... Ia tidak percaya jika gadis Mermaidivine di pesta dulu telah menyebarkan wajahnya ke seluruh negeri. Ia juga tidak menyangka bahwa Nyonya Larnam adalah jenis wanita yang membawa cermin ke mana-mana, termasuk menyimpannya dalam kabin selama pelayaran. Apa, sih, yang bisa ia harapkan? Tentu saja tidak ada wanita yang mampu hidup tanpa benda tersebut!
"Berkat dirimu, seluruh Laniakeia kini ditimpa kesialan. Kami tidak ingin bernasib serupa, Torreno." Akhirnya, Kapten Larsam menyahut juga. Namun, bukan tuduhan itu yang ingin Torreno dengar.
"Sudah tahu begitu, kenapa tetap memberiku tumpangan!" Amarah Torreno meledak. "Kalian bisa menyerahkan aku kepada penguasa kalian dari Otoritas Mermaidivine!"
"O, tidak semudah itu, Anak Muda." Nyonya Larnam mencela. Ketidaksukaan wanita tersebut akan dirinya seakan tiada habis. "Setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kami sepakat kalau seorang pangeran terbuang yang tinggi hati sepertimu layak mendapat kehormatan lebih dengan cara mati yang hebat. Bukan begitu, Saudaraku?" Nyonya Larnam menggulir gerakan bola matanya ke arah Kapten Larsam yang kini mengunci bibir rapat. Tampaknya, pria itu sepakat. Dalam sekejap, alih-alih memihak sang pangeran, segelintir pembangkang ini lebih memilih berkhianat.
"Oh, ayolah! Kalian sungguh membenciku sampai ke titik serendah itu?"
"Secara pribadi, aku juga tidak bisa memaafkan caramu berbohong kepada kami, menipu Saudaraku, lalu melibatkan kami dalam misi-" Nyonya Larnam mengangkat bahu seraya mencibir, "entah apa itu, tapi yang jelas, itu pasti ada kaitannya dengan nasib malangmu, bukan?"
"Nyonya, Anda tidak tahu apa-apa tentang diriku-"
"Tentu saja kami tahu! Tidak ada apa-apa di tempat yang kautuju selain kutukan kematian!"
"Aku tidak tahu apa-apa soal itu!"
"Tentu saja kau tahu! Makanya kau ingin ke sana, bukan? Entah untuk tujuan apa, yang jelas, tujuanmu itu tidak akan pernah tercapai! Tidak di Del Maria!"
"Torreno, aku cukup menyukaimu. Kau punya nyali hingga sejauh ini. Tapi sayang, perjalananmu harus berakhir di sini." Tiba-tiba Kapten Larsam angkat bicara. Nyonya Larnam menyorot saudara kembarnya dengan kelopak mata menyipit. Tatkala Kapten Larsam menyambung kalimatnya, sudut bibir wanita itu tertarik lebar. "Saudaraku benar. Aku menganggap ini adalah sedikit bantuan dari kami untuk membereskan sumber kekacauan yang terjadi selama ini. Bukan begitu, Larnam?" Kapten Larsam berpaling pada sang kembaran. Senyum wanita itu pun kian merekah.
"Ya. Bayangkan masa depan Mermaidivine setelah Laniakeia tumbang tanpa putra mahkota ...."
Torreno serta-merta menggigil. Reka peristiwa itu melintas cepat di kepalanya. Di luar bayang-bayang takhta Laniakeia, Mermaidivine punya kesempatan untuk mencapai singgasana kekuasaan di seantero negeri. Berbekal angkatan perang, sumber daya, juga luas wilayahnya, menjadi nomor satu bukan sekadar mimpi belaka. Kematiannya ternyata menguntungkan bagi segelintir orang, Torreno belum menyadari hingga hari ini. Jelas sudah, ia telah memilih kapal yang salah.
"Nah, Yang Mulia, Pangeran Torreno ...." Sungguh sinis cara Nyonya Larnam menyebut dirinya. "Ucapkanlah permintaan terakhir Anda."
Basa basi sia-sia. Torreno memejamkan mata selagi menggigit bibir bawah gusar. Tidak, tidak hari ini. Jangan lagi. Ia hanyalah seorang pangeran terbuang yang penuh masalah. Semua musibah yang menyertai nasibnya, sama sekali di luar kehendak dan kuasanya. Jika kematiannya menjadi jalan bagi seseorang untuk menjatuhkan Laniakeia, Torreno kini berharap sebaliknya. Ia harus kembali!
"Angin, ombak, hiruplah aromanya, membasuh jiwa yang luka. O, kekasih, bayangannya bercermin di tepi dermaga pada senja hari, mengiringi kapal berlayar ke tempat terbenam esok hari-" Kapten Larsam bersenandung laksana penyair sinting sementara para awak kapal mencondongkan balok kayu hingga Torreno nyaris mencium aroma asin ketika berhadapan langsung dengan ombak.
Bukan ini yang terjadi! Ia bahkan belum memperoleh jawaban atas semua teka teki yang menuntunnya ke sini hingga mengarungi bagian terpencil samudra yang akan menjadi tempat peristirahatan abadinya. Torreno berusaha menangkis takdir keji yang bakal diterimanya di Del Maria.
Katakan, bukan ini yang terjadi.
Torreno seolah merapal mantra sakti mandraguna. Sayang, ada bagian mengerikan sebagai tebusannya. Langit cerah di atas mereka mendadak suram. Sinar Vella menyingkir, kepungan awan hitam tak ubahnya gulungan ombak kegelapan, mengancam dari ketinggian. Entah ia mesti merasa lega atau cemas, nasib mereka semua kini setara. Para awak kapal mulai disergap panik tatkala leretan petir mengincar laiknya elang yang memburu keberadaan kapal, sedangkan nasib Torreno masih tertambat pada seutas tipis harapan yang berguncang hebat, dipermainkan oleh debur ombak ganas menghantam perut bongsor Del Maria. Sesaat, kebisuan mencekam melatari lidah bermuatan listrik yang terlontar dari langit lalu menyambar tiang utama hingga terbakar.
Ketika ombak raksasa menerkam tubuh Torreno berikut balok kayu pemberatnya, begitu juga dengan Del Maria. Kapal besar dan megah itu turut terguling melontarkan seluruh awak dan isinya. Pada sambaran petir kesekian, Del Maria telah terbalik. Kapal itu perlahan karam, membawa serta para penyintas yang ikut terseret oleh arus ke kedalaman. Barulah langit dan laut tenang usai menuntaskan misinya.
***
Happy reading ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top