Codex of Vella 2
Iringan langkah kaki yang teramat hati-hati terdengar samar membelah udara. Pekat malam menyelimuti sosok-sosok pemiliknya yang sedang mengawal sebongkah benda besar terbungkus pelepah raksasa dari daun arippa. Benda itu mereka seret begitu saja menerobos rimba lantana. Batang-batang licin berminyak seakan menjadi landasan luncur sempurna yang memudahkan usaha mereka.
Akan tetapi, di pundak mereka teremban sebuah misi penting dan teramat berbahaya jika dijalankan di bawah terang-bebderang Vella, terutama karena kawanan naga berkeliaran di langit ibu kota. Tentu saja, Panglima Elijah tidak ingin pasukannya mati konyol di moncong para monster bernapas busuk itu. Mereka telah mengalami kekalahan demi kekalahan, sementara jumlah amunisi agnon kian menipis. Pasukan Laniakeia dipukul mundur ke benteng pertahanan, sementara kota lumpuh hanya dalam beberapa gelombang serangan beruntun yang hanya berhenti kala Vella terbenam. Malam adalah waktunya gencatan senjata yang menyelamatkan pasukan mereka.
Seperti yang Panglima Elijah katakan di depan Dewan Penasihat Agung Laniakeia, pengusiran Pangeran Torreno bukanlah sebuah jawaban, tetapi justru kesalahan fatal yang pernah terjadi dalam sejarah Laniakeia. Mereka masih membutuhkan kejeniusan sang pangeran untuk merampungkan senjata pamungkas yang kini tersembunyi jauh di tepi ibu kota. Panglima Elijah sendiri yang berkeras membawa divisi pemburu naga ke sana karena hanya ia dan Pangeran Torreno yang mengetahui aksesnya.
"Naga!" desis Panglima Elijah ketika jalur di hadapan mereka terhalang oleh seekor naga yang sedang tidur beralaskan hamparan ilalang. Langkah-langkah kaki di belakangnya pun seketika senyap. Pria itu segera mengangkat tangan pada pasukannya, memberi tanda untuk tidak membuat keributan yang mampu memancing sang naga. Misi mereka kali ini bukan untuk terjun langsung dalam pertempuran melawan monster. Tangan kokoh Panglima Elijah pun teracung tinggi ke udara, samar-samar membentuk siluet yang tampak gemetar dipagut suhu menggelugut. Gerakan tangan-tangan lain yang sudah siap pada gagang pedang masing-masing serta-merta terbungkam.
Terdengar dengkuran samar dari gelambir di sepanjang tepian moncong naga, lalu tubuh makhluk itu menggeliat. Punggungnya melengkung dengan bokong menghadap orang-orang yang sedang menanti waswas pergerakan selanjutnya. Mereka menarik napas panjang dengan kelopak mata terbuka lebar penuh waspada. Namun, naga itu masih terlelap, tanpa sadar ada satu peleton pasukan yang tengah mengawasi dalam jarak serangan.
Andai mereka sedang tidak dalam misi dan tenaga para pasukan masih tersisa untuk bertempur, tentu Panglima Elijah akan dengan senang hati memimpin divisinya menyergap naga-naga tidur di malam hari. Namun, malam-malam menjelang puncak kedua belas Vella sama sekali tidak ramah bagi penghuni padang pasir Laniakeia. Siang hari membakar bagai dipanggang di atas bara, sementara malam hari suhu berubah beku hingga mampu menembus tulang. Terompah dengan lapisan kulit hanya sekadar menutupi, tetapi tidak mampu mengusir rasa dingin yang merajam kaki. Andai bukan demi mengakhiri distopia yang telah merajalela di seluruh penjuru ibu kota Laniakeia, Panglima Elijah dan pasukannya lebih memilih untuk bersembunyi dalam lubang dan tidur panjang daripada menghadapi ancaman radang dingin.
Setelah yakin naga tersebut bukanlah ancaman, setidaknya dalam situasi yang sama-sama tidak menguntungkan, Panglima Elijah memberi aba-aba kepada pasukan di belakangnya untuk memutari si monster yang sedang dibius oleh udara beku. Mereka pun kembali bergerak tanpa suara agar tidak terbius udara dingin seperti sang naga, terlebih tidak ada sisik tebal atau napas api yang akan menghangatkan tubuh mereka.
Perjalanan mereka terbayar, satu peleton pasukan kini tiba di tapal batas antara padang rumput dan gurun pasir. Kali ini, mereka berjalan sepelan mungkin dalam kegelapan hanya dengan mengandalkan cahaya bulan sebagai suar karena tidak ingin tersandung jika ada ekor naga lainnya yang mungkin saja melintang di hadapan. Di satu sisi, panglima Elijah sebagai pemimpin pasukan membuka mata selebar mungkin untuk memerangkap siluet lanskap dan objek di gurun, hingga akhirnya ia menemukan serumpun pohon arippa yang sudah mati menyisakan pangkal sebagai penanda.
Sekilas, tidak ada hal istimewa di sana. Namun, Panglima Elijah tahu persis ada sesuatu yang tersimpan di tempat itu. Ia dan Pangeran Torreno dulu menemukan situs lama ini, peninggalan dari nenek moyang Laniakeian yang sudah lama telantar dimakan zaman. Sepertinya, tempat ini adalah salah satu pos pertahanan bawah tanah yang pernah digunakan semasa perang. Mereka berdua beruntung telah menemukannya. Lebih tepatnya, Pangeran Torreno. Sang putra mahkota Laniakeia seolah dinaungi keberuntungan yang menjadi impian para pemburu harta setiap kali melangkah.
Panglima Elijah memberi aba-aba kepada pasukan untuk berjalan lebih cepat sambil merunduk melintasi perbatasan.
Kondisi pasir di tempat itu terasa berbeda dengan area sekitar. Dalam kegelapan, warnanya terlihat lebih kelam dan dingin daripada pasir. Daratan di bawah mereka memadat seperti bebatuan, hingga derap tapak kaki dapat terdengar jelas dan memantul dalam udara dingin. Panglima Elijah lantas memberi isyarat kepada pasukannya untuk mundur memberi jarak sebelum ia menarik tuas tersembunyi di rumpun bekas batang Arippa yang memfosil, seolah sudah ada di sana berabad-abad lamanya, lalu daratan di hadapan mereka bergetar saat sebuah katup yang hanya meloloskan satu tubuh, tiba-tiba bergerak membuka.
Panglima Elijah menahan napas sesaat, lalu menyuruh pasukan mendorong benda yang mereka bawa hingga jatuh berdebam di dasar, lalu menyusul turun ke bawah. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan dengan lorong-lorong saluran udara sempit di tiap sudut. Tempat itu adalah bunker bawah tanah besar dengan sistem pendingin dan ventilasi yang rapi. Beruntung, tempat ini adalah pemerangkap panas yang baik di malam hari, sehingga mereka bisa bernapas lebih lega dalam udara hangat. Beberapa orang dengan sigap mulai menyalakan obor yang tergantung di tiap sudut. Tak urung, kepayahan melanda setelah dada mereka sesak terimpit udara dingin hingga tubuh-tubuh mulai bersandar lelah menempel pada dinding bunker.
"Panglima, itu ..." Suara Lucas menggantung penasaran ketika fokus netranya sibuk meneliti citra objek bundar besar di tengah ruangan. Benda itu terlihat seperti dua kaca raksasa berhadapan disangga oleh rangka nyaris sejajar langit-langit. Satu kaca memiliki sisi cembung ganda. Dalam jarak satu lingkaran penuh, sebuah cermin lengkung bagai bayangan yang mengawal dalam jarak satu lingkaran penuh. Ketika Lucas mendekatkan cahaya obor ke arah benda itu untuk mengamati lebih jelas, kilaunya memantul hingga tercipta langit tiruan dalam bunker dengan pantulan cahaya tersebar bagai bintang. Lucas baru menyadari ada beberapa inti yang berupa lapisan-lapisan kaca kecil tertanam di pusat kaca cembung raksasa.
"Besok pagi, kita akan menguji oculus." Alih-alih ikut mengagumi, hela napas sang panglima terdengar berat dan ragu. Tidak banyak pilihan yang mereka miliki saat ini. Uji coba tersebut sangat penting dan akan menentukan arah perang di masa depan, walaupun Pangeran Torreno memperingatkan bahwa codex-nya belum disempurnakan. Panglima Elijah tidak memahami sisanya. Ia hanya mencoba berharap pada keberuntungan tipis.
Maka, sepanjang malam di bunker bawah tanah mereka lewati dengan menanti dalam diam, hanya ditemani oleh seonggok bangkai gilde beku yang sudah dipatahkan persendiannya. Mereka semua menanti Vella terbit dalam hitungan jam. Suasana tegang yang mencengkeram diselingi oleh bunyi napas pelan. Selebihnya, kebisuan hanya mencekam. Satu divisi pemburu naga yang didominasi oleh prajurit muda dan kuat tersebut tetap mencoba untuk terlelap agar siap menghadapi skenario esok dengan tubuh dan pikiran segar.
Ketika pada akhirnya suhu dalam bunker terasa hangat, seseorang mengintip ke luar dari balik lubang kaca untuk memastikan bahwa Vella telah terbit. Sebagian besar obor dimatikan dan seluruh prajurit bersiap di bawah komando Panglima Elijah. Mereka masih akan menunggu beberapa saat lagi hingga Vella bertakhta tepat di atas bukit pasir tertinggi dan terlihat jelas dari balik lubang intip pada katup bunker. Keringat pun mulai bercucuran deras menahan sengatan panas padang pasir.
Waktu uji coba akhirnya tiba, para prajurit bergerak keluar lubang, bergegas menyingkirkan lempeng-lempeng tanah padat yang menumpuk di atas permukaan bunker. Dalam sekejap, mereka telah dapat melihat wujud asli bunker tempat mereka menginap malam tadi. Atap bunker itu terbuat dari kaca, bahan yang sama dengan cermin cembung ganda raksasa dalam perutnya.
Lucas tetap bertahan di bunker bersama Panglima Elijah, sementara pasukan menyebar ke empat penjuru sambil menggotong potongan bangkai gilde untuk disebar dalam radius tembakan agnon jarak jauh, Panglima Elijah bahkan meminta lebih jauh dari itu.
Sesuai perkiraan Panglima Elijah, kemudian terdengar desis bergema di kejauhan. Desis demi desis bersahut-sahutan, yang berarti sekawanan naga sedang menuju tempat itu. Panglima Elijah berharap, semoga para prajurit bertahan dengan segenap keteguhan hati, meskipun tanpa senjata pelindung diri. Ia masih membutuhkan umpan objek bergerak setelah naga-naga terpancing oleh aroma tajam bangkai gilde di tengah padang pasir. Para prajurit harus mengarahkan para naga kepadanya.
Diringi tatapan tajam Panglima Elijah yang tidak terbaca, Lucas meniup obor terakhir, lalu membantu sang panglima menyingkirkan lapisan logam tipis yang menyekat langit-langit di atas cermin, hingga kegelapan dalam bunker sirna sepenuhnya oleh sinar Vella yang menembus kaca. Keduanya seakan bisa mendengar bunyi detak jantung mereka sendiri hingga dari balik kaca, terlihat semburan api agnon terakhir pada cakrawala.
Panglima Elijah mengandalkan sihir terakhir Pangeran Torreno yang telah berhasil menyulap pos pertahanan tersebut menjadi setingkat lebih maju. Ia menarik tuas di dinding yang letaknya saja nyaris tidak ia ingat. Seketika bunker bergetar bagai diguncang gempa ringan. Namun, episentrumnya kali ini adalah lantai di sekitar mereka yang bergerak naik ke atas, sementara langit kaca terbuka lebar menebarkan sisa pasir yang menempel ke sekitar. Sebuah suryakanta raksasa kini siap menyambut kedatangan para naga, Oculus. Puncak dari segala kegilaan yang pernah diciptakan oleh seorang Torreno.
"Tetap berada di sisi oculus!" teriak Panglima Elijah pada Lucas di seberangnya. Binar pemuda itu sempat berdenyar. Ia bukan ahli senjata seperti divisi pemburu naga yang lain, tetapi Panglima Elijah membutuhkan kekuatan lengan anggota divisi paling muda ini untuk berbagi beban oculus yang terbuat dari kristal khusus, campuran antara kaca dan logam yang amat berat. Senjata pamungkas ini menuntut presisi yang sangat tepat ketika digunakan.
"Panglima!" Di sisi lain, tragisnya, Para divisi pemburu naga kini tengah diburu oleh kawanan naga. Bahkan, melebihi sangkaan mereka. Kawanan naga yang datang berbondong-bondong lebih pantas disebut koloni. Di mata Lucas, naga-naga itu menjelma bagai koloni ghea. Mereka datang untuk membalas peristiwa pembantaian padang bunga Lacantina.
"Panglima! Mereka datang!" Jeritan kepanikan Lucas berbaur dengan ketegangan situasi para prajurit yang sedang dibayangi oleh kepakan sayap naga nun jauh di arena perangkap.
"Tenanglah!" Panglima Elijah menghardik Lucas. Ia memelotot pada tangan pemuda itu yang tampak mulai gemetar. Presisi, oculus harus dikendalikan dengan presisi, bukan dengan tangan yang lemah akibat guncangan hati.
"Sekarang, Lucas! Kita tegakkan benda ini! Aku yang memandu, kau ikuti jika tidak mau mereka dimakan naga!"
Lucas mengangguk cepat dengan wajah pucat karena kata-kata Panglima Elijah menghantam kuat ulu hatinya. Ia bahkan mengikuti arahan sang panglima.
Sinar terang membelah angkasa. Bentuknya yang lurus seperti mata pedang keluar dari oculus dan kilaunya dapat dilihat dengan mata telanjang di bawah sinar Vella. Saat sinar oculus bergerak menyasar target di udara, naga yang berada pada ujung mata pedangnya, meledak seketika tanpa sempat meluruh.
Satu naga di sini. Dua-tiga naga sebelah sana. Panglima Elijah dan Lucas mengarahkan cermin pembalik sinar Vella dengan perasaan antusias bergemuruh. Sorak sorai para prajurit pecah, menandakan situasi telah berbalik dalam sekejap.
"Ini untuk Pangeran Torreno!" teriak Panglima Elijah membabi buta menembak para naga yg mulai beterbangan dengan kacau. Formasi koloni makhluk terbang itu mulai jarang. Bunyi keras ledakan menodai padang pasir yang senyap.
"Kita berhasil!" Lucas melepaskan pegangannya pada tepi oculus tanpa sadar setelah seekor naga terakhir terseok-seok terbang dengan sayap setengah meleleh terbakar. Pemuda itu bersalto turun dari panggung oculus dan menyongsong divisi pemburu naga yang sedang larut dalam euforia kemenangan.
"Lucas!" semprot Panglima Elijah kesal karena tugas mereka belum selesai. Oculus masih dalam kondisi aktif. Beruntung ia berhasil meraih bingkai penyangga cermin pembalik untuk menstabilkan posisinya.
Tiba-tiba, gendang telinga Panglima Elijah menangkap desing ganjil dari kaca cembung di bagian depan. Kelopak matanya melebar ketika menyaksikan inti kaca di dalamnya berpendar dalam warna biru terang. Codex yang belum disempurnakan oleh Pangeran Torreno!
Pamglima Elijah tidak sempat turun untuk menarik tuas dalam bunker. Ia melepaskan jubah spontan untuk dilemparkan ke atas kaca oculus, tetapi benda itu langsung meleleh terbakar. Sementara, desingan makin nyaring hingga membuat kepala-kepala menoleh ke arah benda di atas panggung. Tampak sang panglima melompat menjauh dari sana dengan raut wajah ketakutan seraya berteriak kesetanan mengibas ke depan. Di belakangnya, oculus sudah tak terlihat karena diselumuti oleh sinar biru terang menyilaukan.
"Lari!"
Dalam sekejap, gelombang udara dahsyat menyapu tapal batas padang pasir Laniakeia.
***
Setelah hari yang diakhiri dengan perdebatan, Torreno dibiarkan untuk beristirahat sesuka hati sepanjang malam. Salahkan dirinya yang pemalas. Hanya saja, irama kehidupan tanpa obsesi perburuan naga terasa pelan baginya. Ia sudah bosan berkeliling menikmati kemewahan Silvanovia yang terasa serbasempurna hingga kurang manusiawi. Itulah kenapa kecantikan peri macam Seyra tidak menarik perhatiannya. Torreno merasa jauh lebih hidup dengan daratan berlumpur Alomora. Andai tidak ada perang ini, ia bertekad ingin berkunjung sekali lagi ke sana. Berdebat kusir dengan gadis setangguh Pontia pasti menyenangkan.
Mendadak Torreno terbangun dengan kepala sakit. Tanpa sadar, ia terjaga sepanjang malam berkat bayangan manik senada lumpur milik Pontia. Bukan keindahan manik mata itu yang menyita pikirannya, tetapi bara kebencian gadis itu. Ia ingat jelas perkataan Pontia tentang Jeannette Le Blanc dan perang naga yang dicetuskan oleh ibunya.
Masih banyak tugas yang harus Torreno selesaikan. Jika tidak ingat bahwa memburu Nodericka masih prioritas utama saat ini, tentu ia harus menjauhi tempat tidur sekarang juga.
Tidak perlu repot-repot, seseorang telah menerobos masuk kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Orang itu dengan kasar membuka tirai emas yang menutup jendela kamar Torreno. Sang pangeran terperenyak sesaat oleh sikap lancangnya. Selain itu, Torreno juga terperangah menyadari Vella di luar sudah tinggi--ia bangun kesiangan demi memikirkan hal tak berguna semalaman, sementara perang masih berlangsung di Laniakeia. Bagus.
"Torreno, aku punya kabar buruk." Suara Seyra memanggil perhatian Torreno yang belum pulih dari tidur. Bagusnya, ia tidak perlu menunggu lama untuk mendengarnya.
"Laniakeia gempar. Satu divisi pemburu naga terkena ledakan senjata penghancur massalx."
Selimut Torreno tersibak cepat. Untung ia tidur berpakaian lengkap. Ia melompat setengah menerjang ke arah Seyra yang mendadak ketakutan melihat perubahan sikapnya. Torreno bagai dikuasai aura kegelapan berbahaya yang siap menghancurkan apa saja di dekatnya. Napasnya memburu menerpa wajah Seyra.
"Dari mana kau dapat berita ini?" cecar Torreno kehilangan kendali diri seketika. Berbagai pikiran buruk seketika mencengkeram isi kepalanya.
"Ayah dan ibuku kembali dari katarsis. Mereka mengetahui kabar itu dalam perjalanan pulang kemarin."
Tidak! Torreno berteriak kencang dalam hati tanpa bisa didengar oleh Seyra. Dunianya serasa jungkir balik, bahkan sebelum nama-nama di balik kecelakaan tersebut terungkap. Torreno yakin, oculus telah menelan tumbal jiwa sementara ia tidur lelap di Silvanovia.
***
Kalsel-kalbar, 23 Juli 2022. Happy reading ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top