Alderaca
Embusan angin menyibak di bawah kepak sayap pegasus. Torreno juga tidak pernah menduga jika puncak Primavera sedingin ini. Ia telah menggunakan baju berlapis-lapis, tetap saja hawa menggelugut menggigilkan tulang mendera. Di balik keindahan yang terlihat dari bawah, Aldecara yang tersembunyi rapi dalam bentangan awan menampakkan wajah berbadainya di atas sini. Setelah perdebatan panjang, Raffendal akhirnya setuju untuk pergi bersama Torreno, namun ia tidak membiarkannya menunggang pegasus sendiri. Ia akhirnya tahu alasan di balik semua itu.
Berkali-kali petir menyambar seolah menyasar dua penunggang Pegasus di atanya. Peri laki-laki itu menghalau mereka dengan lecutan cambuk sabutnya. Perkataan Seyra tentang puncak Aldecara mulai tampak kebenarannya. Demikian juga halnya dengan kesaksian Raffendal yang menemukan Jeanne Le Blanc menunggang naga ke Aldecara menjadi sangat masuk akal sekarang. Hanya satu hal yang masih mengganjal di kepala Torreno; apa yang dicari ibunya di atas sini? Rasanya benar-benar tak masuk akal ... ibunya dan sang naga hitam.
Torreno terkesiap, skema itu mengingatkannya pada sebuah kilasan memori yang serupa. Memori di saat ia bersama Anne menembus badai. Mungkinkah ... itu naga yang sama?
"Torreno!" Raffendal berusaha mengembalikan kesadarannya yang mulai hilang datang. Pemuda itu mulai berhalusinasi dalam lapisan tipis udara Aldecara. Mereka akhirnya tiba di puncak saat kaki pegasus sudah mendarat sepenuhnya pada timbunan salju. Kaki-kaki Pegasus itu terbenam hingga meninggalkan jejak dalam pada timbunan salju tebal sedemikian rupa. Tempat itu sangat gelap, hanya kilatan petir yang menyambar nyaris tanpa jeda di langit Aldecara yang menjadi penerang. Aldecara tak ubahnya pulau yang melayang di angkasa.
"Di sini tak ada Seyra yang akan menciummu bila kau jatuh pingsan. Jangan coba-coba!" Raffendal menghardik sang pangeran yang kini turun dari atas punggung Pegasus. Kaki-kakinya langsung terbenam dalam timbunan salju yang dalamnya nyaris setengah betis.
"Terima kasih sudah mengantarku, Raff." Torreno tersenyum menyebut panggilan akrab sang peri. Tak terbayang jika ia harus memuncak ketinggian ini seorang diri.
Raffendal melengos seraya memutar matanya. "Cukup basa-basinya, Torreno. Cepat selesaikan urusanmu di atas sini. Itu yang kau cari bukan?" Peri laki-laki itu menunjuk ke satu arah.
Menyipitkan mata adalah satu-satunya cara yang bisa Torreno lakukan untuk melihat lebih jelas. Di sana, terpancang sepasang tiang dengan ujung-ujung nyaris bertemu membentuk lingkaran sempurna laksana gerbang berdiri tegak menentang sambaran kilat yang sesekali menyentuh puncaknya. Darah Torreno seakan membeku menatap ke dalam gerbang hitam yang menyerap sempurna cahaya yang berusaha menembusnya. Tak ada apa-apa di sana selain kegelapan.
"Apa itu?"
"Portal waktu. Pasti itu yang Jeanne Le Blanc cari dulu." Raffendal tersenyum tipis seolah ada yang memantik euforianya.
"Sungguh?" Pangeran berambut cokelat keriting itu menatap Raffendal tak percaya. Siapa sangka negeri kecantikan sempurna Silvanovia menyimpan tempat segelap ini di salah satu puncaknya?
"Kenapa tidak kau cari tahu sendiri?" ujar Raffendal sinis. Di telinga Torreno, kata-kata itu seolah sebuah lecutan cambuk yang Raffendal lesatkan untuk memacu egonya.
"Torreno!" Raffendal memanggil untuk yang terakhir kali sesaat sebelum sang pangeran mulai melangkah mendekati portal di hadapannya. "Jangan lupa untuk kembali." Senyum misterius merebak dari peri laki-laki itu.
Sungguh tidak lucu, Torreno mengumpat kesal dalam hati. Kakinya yang menapak tumpukan salju mulai meninggalkan jejak berlubang di atas lapisan tebal yang membeku itu. Dengan susah payah ia hendak mencapai mulut portal. Namun, betapa terkejutnya Torreno ketika mendapati Raffendal terbang mendahuluinya lalu menyambar dirinya lebih dahulu di depan portal. Raffendal terbahak penuh kesenangan karena berhasil mengerjai sang pangeran yang kini memerah wajahnya karena merasa ia permainkan.
"Hei!" Torreno menahan murka. "Kenapa kau malah menggangguku?"
"Karena kau bodoh!" Raffendal mengejek. "Kau tidak tahu bukan kalau kau tidak bisa memasuki portal ini sendirian tanpa bantuanku. Kau butuh seseorang yang punya kekuatan sihir besar untuk tetap menahan jiwamu agar tidak tersedot ke dalam portal."
Torreno meneguk ludahnya. Rupanya hal ini benar-benar serius, tapi cara Raffendal mempermainkannya sungguh keterlaluan. Apa semua peri memang senang bercanda sejahat ini? Baiklah, ia harus mulai membiasakan diri bila memang ingin bertahan di Silvanovia.
Akhirnya Torreno menapakkan kakinya di permukaan padat teras portal setelah memanjat naik dan menolak uluran tangan Raffendal. Inilah satu-satunya tempat yang tidak dilapisi salju Aldecara. Ia sekarang benar-benar berdiri di puncak Aldecara dan mendapati segala sesuatu di atas sini seolah mengambang dalam lapisan putih sejauh mata memandang. Sebelum mulai menjalani prosesi, Raffendal melilit pinggangnya dengan cambuk yang ujungnya digenggam erat oleh sang peri.
"Mau masuk sendiri atau perlu dorongan dariku?" Alis Raffendal terangkat. Torreno hanya mendengkus sebagai balasannya. Ia memilih untuk melangkah mundur ke dalam lubang kegelapan sampai Raffendal menghilang dari pandangannya.
Baiklah, ini mulai mengerikan. Benar-benar tidak ada apa-apa selain kegelapan absolut di sekitarnya saat Torreno terus melangkahkan kakinya tak tentu arah. Ia tidak tahu bagaimana cambuk yang melilit di pinggangnya tadi tiba-tiba menghilang. Kini ia bisa melangkah bebas ke mana saja yang dia inginkan sekarang. Tapi ke mana?
Lalu Torreno merasakan sentuhan telapak tangan pada pundak kanannya, kemudian sebuah lagi pada pundak kirinya. Torreno memutar kepalanya ke berbagai penjuru untuk mencari tahu siapa pelakunya, tapi sosok itu tak kasatmata dalam kegelapan.
"Siapa kau?" Sia-sia saja ia berteriak karena suaranya tenggelam dalam kebisuan. Torreno menyentuh sepasang punggung tangan itu dan dalam sekejab mata ia telah berada di sebuah tempat yang terang. Matanya mengerjap sesaat untuk membiasakan diri terhadap cahaya yang menerpa. Ia terkesiap. Di depannya sekarang berdiri Raja Dylon, ayahandanya.
Torreno tidak tahu kenapa sang ayah tiba-tiba muncul di depannya. Mungkin lebih tepatnya kenapa ia berada di sini sekarang. Ini adalah balairung istana Laniakeia dan rupanya ia sedang ada di dalam sebuah pesta. Bukan pesta biasa, tapi sebuah pesta dansa serupa yang ia hadiri terakhir kali.
Namun, sepertinya ada sesuatu yang salah di sini. Ayahnya tampak jauh lebih muda dari yang seharusnya. Selain itu, sang raja sekarang dapat berdiri di atas kedua kakinya dalam keadaan sehat dan bukannya terbaring di atas tempat tidur sejauh yang ia ingat. Laki-laki itu tersenyum hangat ke arahnya. Baiklah, mungkin bukan dirinya, tapi seseorang yang kini ada di dalam posisinya. Jantung Torreno seakan dipacu mencapai batas kala menyadarinya. Ia pamit sebentar melepaskan diri dari laki-laki itu lalu menyusuri lorong-lorong istana dengan lonceng-loncengnya yang kali ini entah mengapa sunyi tak berdenting. Ia masuk ke dalam sebuah ruangan lalu berdiri di depan cermin untuk memastikan.
Wajah itu. wajah yang selama ini ia rindukan. Rambut keriting merah menyalanya yang indah seperti ombak membingkai sepasang mata hijau zamrud yang cemerlang mengagumkan. Jeanne Le Blanc.
"Ibu." Suaranya seakan berasal dari tempat yang jauh dan menggema dalam kesunyian. Tatkala tangan Torreno terulur ke depan bermaksud menyentuh wajah di dalam cermin, tiba-tiba saja benda di depannya luruh berserak dalam sebuah bayangan hitam. Torreno refleks menarik tangannya dan ia kini bisa melihat sosok gelap yang tiba-tiba muncul membuyarkan kenangan indahnya. Sosok bermata merah membara seperti obor itu seakan meringis menampakkan seringainya.
Shifr. Torreno sontak menyebut nama itu dan sang naga kegelapan terkikik senang dengan bunyi "hiss" menakutkan.
"Senang bertemu kembali denganmu, Torreno."
Sial, naga ini berbicara padanya! Shifr di hadapannya kini merentangkan sayap di atasnya seolah sedang membelai-belai punggung hewan kesayangannya saja. Naga ini ...!
"Di mana Nodericka?"
Shifr menyipitkan matanya jahat. Moncong dengan gelambir itu mendekat ke depan wajahnya.
"Apa kau mau tahu? Ikutlah denganku."
Torreno tidak mengiyakan, tapi kakinya bergerak mengikuti Shifr yang berbalik pergi dalam kegelapan. Tiba-tiba Jeanne Le Blanc muncul di depannya, merentangkan tangan lebar seolah mencegahnya untuk menuruti kemauan Shifr. Mata mereka beradu sesaat sebelum Torreno berucap getir, "Maaf, Ibu. Aku harus menemukan jawabannya kali ini."
Setetes air mata di wajah sang ibunda tak menyurutkan langkah Torreno. Ia menembus bayangan masa lalu itu dengan perasaan yang tak kalah pedih.
Shifr membawanya ke sebuah tempat yang memendarkan cahaya temaram. Di tengah-tengah ruangan yang tak ia ketahui jelas bagaimana keadaan pastinya itu tampak sesosok gadis yang tengah terbaring tak bergerak dengan tubuh mengambang dalam kehampaan. Torreno bisa melihat jelas wajah putih bercahaya dengan mata terpejam itu sekarang sedang tertidur. "Diakah yang kaucari?" bisik Shifr samar di telinga Torreno. Ketika dirinya bergerak ingin mendekati gadis itu, sayap beruas Shifr menghalanginya.
"Kenapa?" Torreno merasa bodoh sekarang bertanya seperti ini. Naga kegelapan itu berhiss pelan menggetarkan udara dan gelambirnya seakan mendengkur.
"Bunuh dia, Torreno." Sebilah belati dari sirip naga Danau Air Asin Tavareth muncul di hadapan Torreno. Ia terhenyak mencoba mencerna situasi persuasif yang sedang ia alami sekarang. Ini sungguh aneh.
"Kau bercanda." Itu sama saja artinya dengan membunuh Shifr sendiri, bukan? Seolah mengerti kebingungannya, Shirf menjawab.
"Di dalam sini, aku dan dia berbeda. Kau membunuhnya, maka jiwaku akan terbebas."
"Apa untungnya bagiku?" Ya, ia tidak bodoh. Jebakan dalam rencana Shifr itu terbaca jelas. Untuk apa dia membunuh Nodericka dan membebaskan jiwa Shifr? Naga itu terlalu naïf untuk meminta bantuannya kalau Shifr mampu melakukannya sendiri.
"Kau memang tidak sebodoh ibumu, Pangeran. Seperti yang diharapkan dari Puer Draco."
Torreno mengepal kuat. Sekarang ia masuk ke intinya saja. Torreno menghunuskan belati itu ke depan mata Shifr.
"Apa yang kaulakukan pada ibuku, bedebah?!"
Mata Shifr merah menyala terang dalam kegelapan. Sesuatu yang aneh terjadi pada naga itu yang kemudian diam tak bergerak dan Torreno bisa melihat berbagai kilasan kejadian mengerikan tertayang di dalam mata sang naga. Ia bisa melihat kota Laniakeia yang terbakar dalam lautan api dan istana pasir yang luluh lantak rata dengan tanah. Lalu naga-naga beterbangan di atas langit yang menyerang membabi buta mengubah Laniakeia menjadi tungku kematian di sepenjuru negeri. Laniakeia hancur.
Inikah yang dilihat oleh ibunya? Inikah sebenarnya rencana yang ada dalam benak Shifr? Naga ini telah menyiapkan sebuah distopia untuk Laniakeia.
"Torreno. Dunia ini hanya untuk mereka yang kuat, tak ada tempat untuk kelemahan. Bergabunglah denganku, Puer Draco."
Tidak. Torreno seakan bisa mendengar teriakan tak terucap yang lolos dari mulut Jeanne Le Blanc yang mendadak muncul merengkuh pundak putranya. Sang ibunda menggeleng kuat menimbulkan kegelisahan dan keraguan di benak Torreno.
Pergi. Torreno membaca gerakan bibir ibunya dengan perasaan berkecamuk. Ia seolah mulai merasakan bahaya yang sedang mengintai lalu segera menuruti perintah itu dengan patuh. Tiba-tiba saja Torreno menyesali keberadaannya di sini sekarang.
"Menyingkirlah, jalang!" Shifr memaki Jeanne Le Blanc. Darah Torreno mendidih mendengar penghinaan yang ditujukan pada perempuan tercintanya itu, tapi ia terpaksa mengabaikannya untuk sementara, alih-alih melompat menerjang Shifr. Ibunyalah yang melakukannya terlebih dahulu. Paladin perkasa itu bergerak tangkas dan kini sudah berada di atas kepala Shifr yang berontak liar ke sana kemari, tapi Jeanne Le Blanc mencengkeram leher naga itu erat dengan kaki panjangnya dengan keseimbangan luar biasa. Ia menancapkan sebilah belati yang biasa dijadikan senjata andalannya di saat terjepit tepat menusuk ke mata sang naga, sementara Torreno berlari ke arah seorang gadis yang tak sadarkan diri tadi lalu membawanya pergi dalam gendongannya.
Ia terbebas sepenuhnya dari Shifr sekarang dan kembali dalam kegelapan yang seolah tak berujung. Meskipun demikian, ia bisa melihat wajah cantik gadis yang ada di dalam rengkuhannya sekarang. Torreno bahkan tak tahu harus memanggilnya siapa; Anne atau Noderickakah. Ia merasa aneh karena gadis ini terasa begitu ringan di tangannya bagai sedang menggendong kapas saja. Alangkah terkejutnya dirinya ketika menyadari seorang bayi mungillah yang ternyata ada dalam rengkuhannya kemudian.
Torreno lagi-lagi kembali melakukan lompatan waktu dan kini telah berada di sebuah tempat yang hangat dan berangin. Pemuda itu berada di pinggir sebuah pantai, di dalam tubuh seseorang yang sedang menggendong bayi berambut hitam lebat. Sepasang mata bayi yang berwarna biru terang itu kini sedang memandangi orang yang menggendongnya. Sungguh cantik. Namun, lagi-lagi ia terjebak dalam adegan cepat yang mengerikan. Seekor naga hitam tiba-tiba terbang menyambar bayi itu dari tangannya.
"Nodericka!" Terdengar teriakan panik dari mulutnya. Bukan ia yang berbicara, tapi orang itu. Dan tak lama setelahnya terdengar letusan berasal dari suatu tempat. Tanah di bawah kakinya seakan bergetar dan ombak beriak di tepi pantai.
"Letusan gunung berapi!" Orang-orang keluar berhamburan di sekitarnya berusaha menyelamatkan diri menjauhi bibir pantai, termasuk dirinya. Mereka gentar menyusur ombak yang tiba-tiba mengganas, tapi di balik pulau terhampar pemandangan yang lebih mengerikan. Gunung dengan kerucut piramida luluh lantak puncaknya dan terlontar tinggi membumbung ke udara bersama semburan lava serupa muntahan. Semua material tadi mengendap di angkasa sejenak membentuk cendawan lalu langit tiba-tiba menjadi gelap dan batu-batu kerikil mulai berjatuhan di sekitar mereka, makin lama ukurannya makin besar. Terdengar erang kesakitan di mana-mana dan korban berjatuhan di pinggir pantai bahkan sebelum leleran lava sempat mencapai tempat mereka berada. Sebuah letusan mahadahsyat berikutnya menenggelamkan pulau itu bersama seluruh penduduknya. Kini semuanya gelap.
Torreno meringis mencoba membuka mata. Apakah rangkaian mimpi mengerikan ini sudah berakhir? Ia memandang langit biru di atasnya dengan awan sirus tipis. Lagi-lagi wajahnya meringis karena merasakan biji-biji kemuncup yang menusuk kulitnya. Pangeran itu terduduk. Ia kembali ke Laniakeia!
Namun, kali ini ia tak sendiri. Jeanne Le Blanc berdiri di hadapannya. Perempuan itu berada dalam busana sehijau biji matanya yang memesona, busana yang terakhir kali dikenakan sang ibu sebelum pamit terakhir kali padanya dalam perburuan naga yang merenggut nyawanya.
"Ibu ...." Air mata Torreno meleleh. Ibu dan anak itu berpelukan dalam haru.
Andai Torreno tahu pesan apa yang hendak disampaikan oleh ibundanya sekarang, tapi Jeanne Le Blanc tak bisa berbicara lagi padanya kali ini. Ini hanyalah sekelumit memori dari masa lalu yang kerap menghantui.
"Apa yang terjadi padaku, Ibu? Apa yang harus kulakukan? Apakah membunuh semua naga-naga itu memang jawabannya?" tanya Torreno putus asa dan ia tahu tak akan mendulang jawaban apa pun dari mulut Jeanne Le Blanc. Wanita itu hanya menggerakkan bibirnya dan sekali lagi mengucapkan kata "pergi".
Dunia Torreno seakan runtuh, ia butuh sesuatu yang jelas di sini tapi petunjuk terbaik yang ia ketahui sejauh ini hanyalah Shifr akan menghancurkan Laniakeia sama seperti tenggelamnya pulau misterius dengan gunung berapi itu. Tempat asal Nodericka berdasarkan keyakinan penuhnya sekarang. Shifr pasti ada hubungannya dengan semua ini.
"Baiklah. Jadi, aku harus pergi?" Torreno mencoba mencari tahu sekali lagi dalam mata Jeanne Le Blanc. Wanita itu mengangguk.
"Ke mana?"
Jeanne Le Blanc menunjuk ke satu arah. Torreno lantas mengikuti gerakan jari ibunya dan tatapannya tertumbuk pada salah satu area istana pasir Laniakeia di kejauhan. Itu adalah sebuah balkon dengan sebatang pohon Wisteria di bawahnya. Seorang perempuan tampak sedang berusaha melompati pagarnya. Torreno menyipitkan mata dan hatinya mencelus seketika.
Oh, tidak! Demi rambut keritingnya ia bersumpah ... ia tahu ini semua hanyalah ilusi tapi ia tak ingin berada dalam peristiwa ini lagi. Sekali-kali tidak. Inilah awal dari kegelapan masa remajanya.
"Torreno, berhenti!" Torreno berlari secepat kilat dan berteriak sekuat tenaga menyongsong dua orang yang sedang ada di atas balkon sana dan ia tahu usahanya sia-sia saja karena kemudian wanita itu terjatuh seraya menjerit keras lalu tergeletak bersimbah darah yang perlahan-lahan mengucur di antara kedua kakinya. Torreno terlambat dan memang inilah yang seharusnya terjadi.
"Elsadora ...!" Torreno bersimpuh dan memanggil lirih nama ibu tirinya sedih. Mata wanita itu terkatup rapat menahan sakit. Sang pangeran mendongak dan mendapati sosok wajahnya yang jauh lebih muda tersenyum penuh kepuasan di atas sana memandang ke arah bawah.
Torreno memegang dadanya yang mendadak berdegup sakit. Kilasan ilusi yang ini terasa sungguh nyata sekarang. Bukan hanya di kepalanya, tapi juga di seluruh tubuhnya. Napasnya mulai terasa sesak. Apa yang sedang terjadi pada dirinya?
"Terkutuk!" Sebuah suara di depan wajah menyadarkan Torreno. Ia tidak tahu sejak kapan Raffendal menariknya keluar dari portal waktu. Peri laki-laki itu terlihat sangat marah sekarang. Cambuknya melilit dada pemuda itu ketat, sumber rasa sakit yang menderanya tadi. Sementara sebelah tangannya terulur berusaha mencekik lehernya hingga terbatuk. Torreno sudah biasa menyaksikan kemarahan di wajah Raffendal. Tapi kali ini sungguh berbeda.
"Menyesal aku membawamu ke sini!" rutuk peri itu murka. Ia penasaran ingin melihat apa yang sebenarnya dicari Torreno, tapi inilah fakta yang ia dapat.
"Apa yang kaulakukan pada Elsadora?!"
"A-pa maksudmu ...?" Torreno berusaha melonggarkan cekikan Raffendal di lehernya.
"JAWAB PERTANYAANKU SIALAN, APA YANG TELAH KAU PERBUAT PADA ELSADORA?!"
Halo halooo Puer Draco update lagi!!! Terima kasih banyak buat yang sudah mampir. Jangan lupa untuk vote dan tinggalkan komentarnya di lapak ini yaaa. Salam hangat dari Ravistara dan @zuraida27thamrin ❤️❤️🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top