9.1 : I've got nothing but my aching soul

[Siap-siap deh, mulai bab ini beneran kerasa nyeseknya😢. Yang nggak sabar mau baca sampai selesai bisa beli versi ebook di google play, yang mau baca di Karyakarsa kataromchick juga nggak apa-apa. Yang mana aja asal kalian nyaman.]


Jorjia kebingungan. Dia tahu respon suaminya akan penuh dengan penolakan. Namun, dia tidak tahu bahwa dirinya tetap merasakan keterkejutan luar biasa. Apalagi saat mendapati ucapan Zaland mengenai hanya dua pilihan yang wanita itu punya. Is it him or the baby? Itu adalah pilihan yang sangat jahat. Sama saja seperti seorang anak yang diminta memilih antara ayah atau ibu, sedangkan anak tersebut ingin hidup bersama keduanya, dengan damai, tenang, dan harmonis.

Kenapa seorang wanita harus memilih antara suami dan anak? Sedangkan masing-masing mendapatkan peran yang berbeda dari wanita itu? Kepada suami, seorang wanita menjadi istri. Kepada anak, seorang wanita menjadi ibu. Lalu, kenapa Jorjia harus memilih salah satu diantaranya, jika dia bersedia untuk menjalankan dua peran penting tersebut?

"Aku nggak bisa, Zal."

Zaland langsung mendengkus kesal. Pria itu menurunkan jarinya yang menjepit dagu sang istri. Jorjia tahu bahwa gerakan menjepit dagu itu berfungsi untuk menekankan pada Jorjia untuk bisa memilih dengan tegas atas Zaland. Namun, jawaban yang keluar tidak sesuai harapan.

"Nggak bisa? Apa yang nggak kamu bisa?"

"Yang kamu katakan itu bukan pilihan, Zal. Nggak ada yang akan kupilih. Kita bisa menjalaninya bersama—"

"Kamu memang nggak mencintaiku, kan? Kamu hanya ingin aku bertanggung jawab untuk kehamilan kamu. Itu sebabnya kamu nggak mau bercerai."

Jorjia menggelengkan kepalanya perlahan. Dia tidak ingin buru-buru menjelaskan, sebab Zaland sedang terbawa emosi.

"Aku nggak perlu itu. Aku bisa mengurus kehamilanku sendiri. Kalo aku memang nggak cinta sama kamu, aku nggak akan menyatakan apa pun. Aku nggak pernah berbohong sama kamu. Udah aku tekankan dari tadi. Kehamilan ini pun bukan kebohongan, aku hanya belum mengatakannya."

Zaland mengabaikan ucapan itu dan membalikkan tubuh. Dengan cepat pria itu keluar dari kamar mandi. Aura kemarahannya masih kental terlihat. Tidak ada yang bisa menenangkan Zaland sekarang ini, karena Jorjia adalah orang yang membuat sang suami kehilangan ketenangannya.

"Kamu memang nggak bisa dipercaya. Lima tahun lalu bukan apa-apa untuk kamu. Sampai kamu lupa bagaimana aku berusaha keras untuk membantu kamu dan peduli pada hidupmu. Ternyata sekarang kamu nggak lebih peduli ke aku! Kamu nggak benar-benar menaruh perhatianmu ke aku, Jia."

Bicara dengan Zaland saat ini seperti bicara dengan anak-anak yang haus akan perhatian. Sisi tersebut memang tidak muncul di depan orang lain, tapi di depan Jorjia semuanya terbuka.

"Kalo aku nggak peduli, kalo aku nggak perhatian, aku nggak akan ada di sini sama kamu selama lima tahun. Nggak perlu lima tahun, kalo aku nggak punya perasaan atau perhatian apa pun ke kamu, belum ada satu tahun aku juga pasti minta pisah."

Zaland menghentikan langkahnya dan menoleh pada sang istri yang mengikuti di belakangnya. Dengan cepat pria itu mending wajah Jorjia yang mundur kaku.

"Kamu bertahan karena kamu takut dengan Tante kamu! Kamu menggunakan fasilitas yang aku berikan dengan menjadi istriku, itu sebabnya kamu bertahan selama lima tahun supaya hidupmu aman!"

Jorjia tetap tenang meski hatinya semakin sakit, dia hancur setiap kali mendengar kalimat dari suaminya yang terkesan menuduh Jorjia bertahan hanya karena ada rencana picik untuk memanfaatkan Zaland. Padahal, seluruh atensi yang Jorjia berikan pada Zaland melebihi wanita itu memperhatikan dirinya sendiri.

"Kamu bisa menceraikan aku kalo memang di mata kamu aku hanya menggunakan kamu sebagai pihak yang bisa aku manfaatkan semata. Lebih baik seperti itu, kan? Kita nggak sama-sama lagi, dan menjalani kehidupan masing-masing. Supaya nggak perlu—"

"Diam!" seru Zaland. "Jangan harap kamu bisa kabur begitu aja. Aku nggak ingin kalah dengan siapa pun. Termasuk anak itu. Jangan buat aku semakin marah karena kamu lebih peduli ke anak itu dan meminta cerai disaat aku udah menunda perpisahan kita! Kamu nggak akan bisa pergi dari sini. Kita lihat siapa yang akan kamu pilih dengan prinsip kamu itu, Jia. Kita lihat aja."

Zaland berjalan menghentikan perdebatan itu dengan pergi meninggalkan kamar mereka. Pria itu meninggalkan Jorjia yang termenung sendiri di sana. Dia ditinggalkan tanpa ada kesepakatan yang jelas dari suaminya. Jorjia menghela napasnya berulang kali untuk menghalau tangisannya, tapi tidak berhasil. Air matanya akhirnya merebahkan dan tidak bisa dibendung lagi. Dia bingung harus melakukan apa. Zaland tidak mau menerima kehamilan wanita itu, tapi juga tidak melepaskan Jorjia yang sudah tidak memenuhi keinginan pria itu dengan kehamilan ini. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top