Epilog
Apakah di dunia ini ada yang abadi?
Bagaimana pun, hukum alam selalu terjadi.
Tidak pernah ada kata bahwa kebahagiaan itu berlangsung selama-lamanya, abadi, juga kekal. Dunia tidak berjalan seperti kisah dongeng anak-anak di mana kamu berbuat baik, mengalahkan ketakutan terbesar lantas bahagia selamanya. Tidak. Tidak ada yang seperti itu di dunia menyakitkan ini.
Setelah kamu menyelesaikan satu rintangan, kamu akan mendapat rintangan yang lain. Dari rasa sakit yang satu ke rasa sakit yang lain. Tidak akan berhenti dan terus berlangsung seumur hidup hingga kematian yang mengakhiri segalanya. Tapi, itu jika kematian adalah akahir perjalana hidup. Bagaiman jika tidak?
Segala sesuatu yang diawali kebaikan akan berbuah kebaikan. Begitu pula kejahatan akan dibalas kejahatan yang setimpal. Inilah hukum alam, di mana kamu tidak bisa kabur, berlari bahkan menghindar dari perbuatan yang telah kamu tabur.
Dalam kegelapan yang begitu dalam. Seorang wanita tenggelam dalam ruang hampa kosong tidak berujung, dalam kesepian juga ketakutan. Hingga setitik cahaya datang membuatnya memiliki harapan untuk keluar dari kegelapan. Susah payah dia berusaha meraih cahaya yang semakin menjauh, pergi, meninggalkan dia kembali sendiri. Hingga lenyap tidak tersisa.
Dia berteriak. Tapi, suaranya tercekat, tidak bisa mengeluarkan sedikit pun suara hingga dia menyadari bahwa kini dia bisu. Dia ingin bergerak, namun kini tubuhnya mati rasa, lumpuh. Hening di sekelilingnya, dia berpikir mungkin kini dia telah tuli. Hingga kegelapan itu membuatnya berpikir lebih jauh, 'Apakah kini aku sudah buta juga?'
Ketakutan mulai menggerogoti dirinya hingga air mata tanpa sadar berjatuhan dengan tubuh gemetaran. Kekosongan, kesepian, rasa takut yang tidak berakhir. Dia sudah lelah, tapi dia tidak bisa berhenti. Dia ingin pergi, tapi tidak ada satu pun jalan keluar. Hingga kegelapan itu menghantarkan angin yang berhembus, membuat surai gelapnya berhamburan, 'Siapa?'
Desau angin kembali berhembus, kegelapan yang menyelimutinya mulai berbentuk seperti ombak dengan dua cahaya merah yang menatapnya dalam-dalam. Semua masih gelap, hanya saja, dua cahaya itu membuat ruang kosong ini lebih terang. Lagi-lagi wanita ini membatin, 'Siapa?'
"Kamu tidak bisa lari, Alleia. Atau harus kusebut, Angela?" Lagi-lagi kegelapan dengan tubuh seperti ombak membuatnya terkejut. Dia bersuara menghabisi, keheningan yang sebelumnya membuat dadanya sesak. 'Siapa?' Respons wanita dengan netra amethys itu menyala masih mengajukan pertanyaan yang sama.
"Aku yang membawamu ke sini, Nak." Matanya membelalak, pertanyaan mulai bermunculan di kepalanya membuat ombak hitam itu tertatawa dengan tubuhnya yang bergerak-gerak aneh. "Anak nakal. Bahkan ketika sudah diberi kesempatan, kamu tetap jadi orang jahat. Tapi, kenapa mendadak kamu berubah sekarang?" Itu yang dikatakan oleh sang mata merah.
'Aku hanya ingin bahagia.' Mendengar isi hati gadis itu sang mata merah tertatawa lebih keras, terbahak, sekan meliaht hal lucu yang tidak boleh dia lewatkan. "Kamu tidak pantas bahagia, penjahat." Tawa konyol sang mata merah reda dengan suara rendah yang membuat tubuhnya kembali tercekat. 'Aku sekarang sudah berubah!'
Sang mata merah kini tidak tertawa lagi. Melainkan kini dia menatap dengan tajam wanita itu dari atas sampai ke bawah. "Dosamu sudah terlalu banyak, Nak. Entah dari kehidupanmu yang lalu hingga kini. Dosamu tidak bisa diampuni dengan mudah." Wanita dengan keheningan menyesakkan mengepalkan tangannya erat. 'Aku akan menebusnya.'
Mata merah terdiam untuk waktu yang cukup lama, dia bergerak-gerak membuat hati wanita di hadapannya tidak nyaman. Hingga mata merah menyipit dengan senyuman jahat yang membuatnya bergidik. "Apakah, Kamu benar-benar mau menebusnya?" Dia mengiyakan dalam hatinya yang terdalam, membuat ekspresi sang mata merah kembali menunjukkan ekspresi menyeramkan.
"Baiklah, tebuslah itu dengan harga yang mahal. Tidak apa-apa bahkan jika nyawamu sebagai taruhan?" Tanpa pikir panjang dia kembali mengiyakan dalam hati. Kali ini dia terlihat sangat bersungguk-sungguh, dengan segala tekad yang dia miliki. "Baiklah, Nak. Kembalilah. Tebuslah segala dosamu, bahkan jika itu sangat menyakitkan, kematian pun tidak dapat mengakhiri penebusan dosa yang kamu inginkan. Apakah kamu siap?"
Wanita dengan namanya kini, Alleia kembali berbicara dalam hatinya. 'Ya, aku bersedia.' Kembali menyipitkan mata, ombak kegelapan itu bergerak lagi. Kini angin berhembus lebih kencang, menghanyutkan dirinya terbang menjauh, cahaya tadi kembali muncul. Sebelum dia sepenuhnya terserap dalam pusaran cahaya, ombak dengan mata merah itu kembali tersenyum jahat dan berkata. "Kamu akan kehilangan segalanya. Bahkan putrimu tercinta. Bersiaplah, waktumu tidak lama lagi."
Alleia ingin bertanya apa maksud perkataann sang mata merah. Tapi terlambat, dia sudah sepenuhnya terserap cahaya.
"Bunda?" Matanya mengerjab, mencari sumber suara. Gadis kecil berusia sepuluh tahun di sampingnya menatap khawatir. "Bunda bermimpi buruk?" Alleia bangkit, tubuhnya basah dengan keringat dingin, juga matanya yang sembap seakan habis menangis terisak. Dengan senyum lembut dia mendekap gadis kecilnya dan mengecup wajah putrinya lam.
"Bunda tidak apa-apa. Itu hanya mimpi buruk. Mari kita tidur lagi."
Cheonsa mentapnya khawatir, namun dia tersenyum dan kembali menidurkan diri. "Baiklah, selamat tidur, Bunda." Alleia membalas senyuman itu hangat dengan kecupan hangat di dahi sang putri. Benar, gadis kecilnya masih ada di sini. Semuanya baik-baik saja. Walau hal buruk akan terjadi. Setidaknya dia akan melindungi putrinya dengan seluruh hiidupnya.
.
.
.
Di sebuah menara tua terpencil di pojok istana yang sunyi. Seorang pria dengan suari emas menaiki kursi roda di dorong oleh pelayan pria menuju keluar menara untuk berjemur. Langit terlihat cerah, pria itu sepertinya hendak berjemur untuk kesehatan. "Tuan Gabriel. Apa, Anda butuh sesuatu yang lain?"
Pria dengan kedua tangan juga kaki yang buntung serta alat vital yang sudah terpotong. Gabriel, pengkhianat itu masih hidup. Dia terasingkan selama sepuluh tahun dengan kondisi cacat dengan didampini satu-satunya orang yang setia dari dunia hitam, dia masih dibiarkan hidup setelah penkhianatannya. Katanya ini hukuman yang lebih menyakitkan dari kematian. "Ya, terima kasih. Kamu bisa membawaku lagi saat matahari mulai meninggi."
"Baik, Tuan. Saya permisi."
Gabriel memandangi langit yang cerah sembari mendengarkan langkah kaki yang mulai menjauh. Hidupnya sudah hancur dan dia sangat menderita selama sepuluh tahun. Bahkan kematian pun menghindarinya walau berkali-kali dia mencoba mengakhiri hidup. Matanya terpejam, menikmati angin sepoi yang berhembus.
Dia membuka mata dan melihat sekelilingnya. Bunga mawar yang terhampar indah bertebaran dengan pola yang indah. Pelayannya yang membuat taman mawar kecil ini untuknya sebagai pencuci mata, selain pagar tinggi yang mengeliling menara untuk mengurungnya seperti tahanan.
Dari kejauhan dia mendengar suara derap kaki, yang disangkannya pelyannya itu akan membawanya kembali masuk. "Alvin. Sudah kukatakan. Aku akan masuk ketika matahari mulai meninggi. Tinggalkan aku sendiri." Setelah mengatakan itu dia mendengar langkah kaki terhenti hingga membuatnya bernapas lega. Namun tidak lama langkah itu kembali terdengar membuatnya kesal.
"Alvin!" Ketika wajahnya berpaling, dari seberang pagar gadis kecil berdiri di sana. "Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja tersesat ke sini. Kalau begitu saya akan segera pergi." Gabriel terdiam saat anak kecil itu menunduk dan mulai menjauh. "Tunggu!" seruan Gabriel membuat gadis kecil itu berhenti dan berbalik. "Ya?"
Gabriel tidak tahu apa yang dilhatnya nyata atau tidak. Gadis cantik dengan rupa menawan yang dia lihat di depannya saat ini. Namun, yang membuatnya lebih tertarik adalah bibir menawan cantik semerah mawar yang khas. Ya, bibir yang sangat mirip dengan dirinya serta keluarganya dulu. "Siapa kamu sebenarnya, Nak?"
Gadis kecil dengan rambut pirang terkepang dua tersenyum sopan. "Saya, Cheonsa. Apa, Tuan mengenal saya?" Gabriel terdiam, dia tidak tahu firasatnya ini benar atau tidak. Tapi semenjak dia diasingkan dia tidak pernah mendengar kabar dari luar soal keluarga kerajaan. Karena dirnya terisolasi sepenuhnya dari dunia luar. Namun jika dihitung dari masa pengasingan, bukankah seharusnya anak dari Ratu, jika itu pun lahir dengan selamat akan berusia sepuluh tahun.
"Apakah usiamu sepuluh?" Cheonsa mengangguk. Sedangkan Gabriel melirik tidak percaya. "Kamu? Kamu apakah kamu tuan putri?" Cheonsa yang mendengarnya tertawa kecil. "Saya pikir, Tuan sudah tahu. Karena orang-orang sudah mengetahui kalau Cheonsa adalah nama sang putri."
Gabriel termangu dengan wajah antusias. Setelah sepuluh tahun dalam depresi, baru sekarang kini dia kembali bersemangat. Bukankah ada kemungkinan gadis ini juga adalah putrinya? Walau dari segi fisik putri kecil terlihat memiliki ciri fisik campuran dari berbagai selir yang dia kenal. Pasti ada penjelasan dari ini semua bukan?
"Putri Cheonsa. Kalau begitu boleh saya bertanya siapa, Ayah kandungmu?" Netra amethys Cheonsa terbelalak tidak percaya. Tanpa sadar pertanyaan polos keluar dari bibirnya. "Apakah, Anda terpisah dari zaman? Hampir semua orang di benua ini tahu siapa saja, Ayah saya."
Hati Gabriel merasa tertohok mendengar pernyataan itu. Pada dasarnya dia adalah tahanan, jadi wajar dia tidak tahu apa-apa tentang dunia luar. Namun sepertinya yang lebih mengejutkan adalah gadis ini tidak tahu siapa dirinya hingga bisa mengobrol santai seperti ini. "Benar, saya memang terpisah dari zaman. Tapi saya sangat penasaran akan hal itu."
Cheonsa menghembuskan napas. "Tentu saja, Ayah saya adalah kelima selir Ratu. Arcelio Ingram, Javan Kaleolani, Michael Tendo, Zaniel Malachi dan Noelani Serafim. Kelahiran saya yang memiliki lima ayah memang cukup langka. Menurut penelitian departemen sihir penelitian makhluk-makhluk asing. Karena gen ular yang dimiliki salah satu selir membuat gen lain tercampur hingga membuat saya terlahir."
Panjang lebar gadis itu menjelaskan, jujur saja. Setelah sekian lama dia baru memulai aksi kabur dari kelas untuk menghilangkan stress. Karena cukup penasaran dengan daerah terlarang para pengkhianat tahanan menara kuno dia melewati jalan yang bercabang hingga tersesat. Untung saja dia berhasil ke sini dengan selamat. Tapi dia juga tidak tahu jalan kembali, terlebih orang aneh sakit, dengan kursi roda menanyakan pertanyaan-pertayaan ganjil.
"Lima selir?" Gabriel bergumam dengan raut wajah tidak baik. Jadi dia benar-benar dilupakan oleh ratu dan semua orang. Bahkan dirinya tidak diakui sebagi salah satu ayah biologis putri. Ini membuatnya frustasi. "Tuan.., Anda baik-baik saja?" Gabriel menatap lekat-lekat gadis di hadapannya berusaha tersenyum. "Ya, Aku baik-baik saja."
Cheonsa merasa suasana di sekeilingnya terasa buruk dan berniat untuk pergi. "Kalau begitu saya pamit pergi. Selamat tinggal, Tuan." Putri sudah berbalik sebelum namanya dipanggil membuat dia mau tidak mau kembali berbalik. "Ya, ada yang mau, Tuan tanyakan lagi?"
Gabriel menggigit bibirnya semabari memejamkan mata. Pikirannya kacau dengan perasaan campur aduk yang melelahkan. Hingga akhirnya pertanyaan kembali terlontar. "Putri. Apakah kamu tidak penasaran siapa saya?" gadis itu terdiam kaku, menggeleng. "Tidak, saya ke sini saja sudah melanggar perintah ratu. Saya tidak mau tahu lebih banyak lagi hal yang ingin ratu sembunyikan."
Gabriel tertawa dengan ekspresi lirih. Matanya berkaca-kaca bersitatap dengan gadis kecil di hadapannya yang menatap dalam. "Aku juga salah satu dari ayahmu, Nak. Aku selir keenam, Ratu yang diasingkan." Dengan senyuman lebar dia mebeberkan fakta tersebut yang telah disembunyikan ratu selama sepuluh tahun dari putrinya sendiri.
Cheonsa tidak bisa berkata-kata dengan tubuh kaku. Ekspresinya terlihat terkejut dengan wajah menggelap. "Apa alasanku harus mempecayaimu? Walau itu memang kebenarannya. Kamu hanyalah seorang pengkhianat yang diasingkan. Ternyata yang bunda katakan benar, tidak ada alasan aku harus melanggar perigatannya. Tidak ada lagi yang bisa kukatakan. Aku akan pergi." Putri kecil yang telah dilatih sebagai ratu dalam waktu yang cukup lama bukanlah gadis kecil biasa. Dia tahu, bagaimana cara mengatur ekspresi maupun apa dan tidak yang bisa dipercaya.
"TAPI ITU KEBENARANNYA! KAMU HARUS MENDENGARKAN AKU, PUTRI!" Gabriel berteriak pada Cheonsa yang mulai menjauh. Satu-satunya harapan yang bisa membawanya keluar dari kesengsaraan ini tidak mendengarkan. Dia melangkah menjauh, tanpa melirik sedikit pun ke belakang. Bahkan ketika pria itu jatuh ke tanah dengan teriakan putus asa. Harapnnya hilang, lenyap hingga tidak terlihat.
"TUAN!" Pelayan milik Gabriel datang mengangkat tubuh tuannya yang terjatuh ke tanah. Gabriel yang diangkat tertawa hambar. Bahkan darah dagingnya sendiri menelantarkannya seperti itu. "Aku pikir tidak ada cara lain lagi. Aku tidak bisa menahannya. Bawa orang-orang itu padaku untuk kesepakatan terakhir."
Pelayan Gabriel terdiam sesaat sebelum melihat kesungguhan dari mata tuannya. "Baik, saya laksanakan." Pelayan itu membawa tuannya ke dalam menara dan menggunakan jubahnya. Setelah sepuluh tahun berlalu, akhirnya tuannya mengambil keputusan terakhir.
"Ini semua akan segera selesai."
.
.
.
Cheonsa berlari dan terus berlari. Dadanya berdebar tidak karuan, jalan yang bercabang mebuatnya terus menerus berputar hingga akhirnya dia kelelahan. Bohong jika anak kecil sepertinnya tidak terpengaruh oleh ucapan orang yang mengaku sebagai ayah keenam. Dan bohong jika dia benar-benar tidak tahu kalau sebenarnya selir keenam itu memang benar-benar ada.
Suatu hari dia pernah menjalankan kelas dengan Noelani dan menemukan catatan aneh yang tersimpan di perpuskaan. Saat salah satu ayahnya itu tengah memeriksa kertas jawaban miliknya dia mengambil buku hijau seperti catatan yang terjatuh di bawah rak buku. Umurnya masih delapan tahun, dia melihat catatan daftar selir resmi yang tertulis. Dan di sana tertulis nama Gabriel dengan ciri fisik seperti pria yang dia temui tadi.
Hanya itu yang dia tahu. Dia tidak bertanya atau pun curiga. Dia tidak peduli dengan apa pun yang sudah lalu. Bundanya adalah penjahat terbesar, banyak kejahatan yang dia buat. Karena itu, dia tidak mau tahu apa pun yang berhubungan dengan masa lalu. Dia tidak mau membuat hati wanita yang dia cintai menderita.
Namun melihat pria cacat itu membuat keyakinannya goyah. Jika dia berkhianat? Kejahatan apa yang dia buat sampai dikurung dengan tubuh cacat seperti itu? Kenapa pria itu dilupakan bahkan datanya dihilangkan? Kenapa juga tidak dihukum mati untuk membuatnya hidup dengan ketidaksempurnaan fisiknya itu dalam menara tua yang kotor?
Dia tidak tahu apa yang harus dilakaukan lagi, kakinya mati rasa. Dia terjatuh di tanah dengan tubuh lemas. Dia berharap ada yang cepat-cepat menemukannya. Pikirannya sudah sangat kacau dengan perasaan tidak karuan. Air matanya sudah mengenang namu dia tahan mati-matian.
"Cheonsa." Kepalanya menengadah. Menemukan pria dengan topeng burung hantu di depannya dengan napas tersengal. "Hah, Kamu tidak tahu seberapa khawatirnya Papa mengetahui kamu menghilang." Cheonsa menunduk dengan bisu. Membuat pria di hadapannya semakin khawatir, dengan cekatan dia menggendong tubuh putrinya.
"Ayo, kita pulang. Semua orang sudah mencarimu." Zaniel berkata demikian sebelum putri menarik baju ayahnya berbicara dengan suara gemetar. "Papa.., apakah- apakah bunda sangat jahat?" Zaniel terdiam, tidak menjawab. Dia mentap wajah putrinya yang memerah menahan tangis.
"Sayang, ada apa?" tanya Zaniel dengan lembut mendekap putrinya erat. Bukan jawaban yang dia terima. Yang dia dapat adalah tangisan putrinya yang pecah dengan rengkuhan erat yang melilit lehernya. "Huwa!" Zaniel membisu, dengan erat dia mendekap putrinya mencium kening gadis itu. "Tidak apa-apa. Papa ada di sini. Jangan takut."
Dalam dekap Zaniel. Cheonsa menangis keras hingga kelelahan, dalam ingatan terakhirnya dia merasakan ayahnya melesat membawa dia segera pergi. Hingga dirinya tidak bisa menahan tubuhnya yang semakin melemah. Di hadapan bundanya yang berseru khawatir dikelilingi para ayah dia tidak sadarkan diri.
.
.
.
"Zaniel. ada apa ini?!" Alleia berseru pada pria itu kesal. "Saya tidak tahu, Yang Mulia. Saya menemukan putri menangis di jalan menuju menara pengasingan," jawab Zaniel apa adanya dengan raut wajah penuh penyesalan.
Cheonsa kini tengah dirawat dokter. Gadis itu mengalami demam tinggi yang parah. Hari sudah mulai gelap, bahkan gadis itu masih tertidur dengan demam tinggi. Beberapa kali para ayah bergantian berjaga. Melihat kondisi tubuh putri dalam waktu ke waktu. Alleia meremas tangan kecil putrinya. "Sayang, bunda mohon. Bangunlah," lirihnya membujuk putrinya bangun.
"Kenapa dia menangis? Apa ada sesuatu yang dia katakan?" Alleia bertanya pelan dengan ekspresi muram. Zaniel mengepalkan tangannya erat-erat sebelum menjawab. "Putri hanya mengatakan," suaranya tercekat sebelum melanjutkan kalimanya. "-apakah bunda sangat jaha?"
Alleia terdiam kaku dengan ekspresi yang muali menggelap. "Kenapa dia mengatakan hal itu?" Zaniel menggeleng sebagai jawaban. Pria itu benar-benar tidak tahu alasan apa yang membuat putrinya menanyakan hal tersebut. Sedangkan Alleia tenggelam dalam pikirannya, mengingat mimpi buruk beberapa waktu lalu yang dikatakan ombak gelap dengan mata merah menyala. "Kamu akan kehilangan segalanya. Bahkan putrimu tercinta. Bersiaplah, waktumu tidak lama lagi."
Keheningan tercipta, menemani kedua insan yang sama-sama membisu, tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Hingga pria dengan iris safir tersebut tersadar akan satu hal. "Yang Mulia. Jangan-jangan putri bertemu dengan pengkhianat 'itu'," ucapan Zaniel membuat Alleia menegakkan tubuhnya dengan wajah terkejut.
"Mari kita ke sana. Kita harus memastikannya." Alleia bangkit dengan anggukan Zaniel yang menyetujui. Sebelum keluar, mereka berpapasan dengan Arcelio dan Javan yang baru saja menyelesaikan pekerjaan. "Aku dan Zaniel akan pergi dulu. Tolong kalian berdua jaga Cheonsa. Demamnya masih belum turun."
Javan dan Arcelio tanpa bertanya mengannguk memasuki kamar Cheonsa untuk menjaga sang putri. Dengan lirikan pasti Alleia mengangguk pada Zaniel segera pergi menuju menara. Jarak yang cukup jauh, luar biasa Cheonsa bisa sampai ke sini. Itu pasti sangat melelahkan. Dengan cepat keduannya memasuki menara dan mengecek adakah kehidupan di dalamnya.
Di dalamnya Alleia mau pun Zaniel tidak menemukan keberadaan Gabriel. Seluruh ruangan di geledah. Tidaka ada yang ditemukan kecuali secarik kertas yang yang ada dalam laci salah satu kamar yang tersembunyi.
Untuk, Yang Mulia Ratu Citrus.
Yang Mulia, saya sudah bersabar atas penderitaan selama 10 tahun ini.
Saya sadar ini semua adalah kesalahan saya, dan saya pantas mendapatkan segala rasa sakit dan penghinaan ini.
Tapi bagaimana, Anda bisa tega tidak memberitahu saya kalau saya memiliki anak dari, Yang Mulia?
Seorang putri yang begitu manis namun juga mempesona.
Selama 10 tahun dalam keputusasan ini saya akhirnya bisa menemukan keajaiban terakhir yang bisa menjadi harapan.
Saya akan kembali, membawa cahaya harapan yang tersisa.
Tertanda, sang pengkhianat.
Alleia membacanya dengan perasaan amarah yang tidak bisa dibendung. Ekspresinya semakin menggelap hingga akhir surat dari sang pengkhianat. "Yang Mulia, kita harus kembali memberi keamanan ekstra untuk putri. Kita tidak tahu apa yang dirancanakannya." Zaniel berkata demikian untuk membuat mereka bergerak cepat. Bukan saja untuk mengalihkan perhatian Alleia. Tapi mau atau tidak diakui, Gabriel punya hubungan yang erat dengan dunia gelap. Mereka tidak tahu apa yang dirncanakan pria itu.
"Benar. Tidak ada waktu. Kita harus bersiap." Ekspresinya yang sudah lama hilang, kini penuh tekanan kejahatan terasa begitu kuat. Zaniel bisa merasakannya, sudah lama wanita itu tidak mengeluarkan aura seberat ini setelah putri lahir. Keduanya kembali dalam gelapnya malam. Di depan kamar putri Michael hadir yang menunggu.
"Yang Mulia? Apa ada yang terjadi?"
Alleia mengangguk. "Apakah semua sudah berkumpul di sini?" Michael mengiyakan, yang dimaksud Alleia dengan 'semua' pastinya adalah para selir yang lengkap, atau keluarga anggota tidak sah ini yang tengah berkumpul dengan lengkap. Wanita itu menarik napas memasuki kamar, semua sudah berkumpul di sana. Bahkan Celestin ada di sana.
"Berita buruk. Gabriel kabur, dia membuat surat peringatan akan membawa putri pergi."
Semua orang menahan napas tegang, tidak percaya. "Kita tidak tahu apa yang direncanakan pengkhianat itu. Karenannya kita harus bersiap untuk kemunginan terburuk," tambahnya dengan espresi gelap penuh kemarahan.
Javan bangkit dan berkata dengan yakin. "Yang Mulia, jika begini kita harus melakukan rapat dengan para petnggi. Kita tidak bisa diam saja. Saya akan buat kesepakatan peratahanan kode merah." Alleia mengangguk, itu sangat diperlukan. "Baiklah, segera lakukan. Noelani, bantu Javan kali ini. Kita butuh pertahanan dan bantuan dari yang lain segera."
Javan dan Noelani mengangguk, menunduk hormat. Keduanya pergi ditemani pengawal di sisinya. "Michael, kumpulkan para keamanan yang ada segera. Pusatkan keamanan pada ruang rapat dan putri. Kita harus mengamankan segalanya dengan sempurna sebelum hal buruk terjadi." Michael menunduk hormat segera pergi menuju pemanggilan darurat kesatria.
"Zaniel, kabarkan informasi ini kepada para penyihir dan suruh mereka segera datang dan bagi ketiga bagian. Untuk keamanan putri, para petinggi, dan membawa kabar untuk para petinggi terkuat di luar ibukota dan kabarkan apa yang terjadi juga bawa bala bantuan." Zaniel menunduk hormat, dari jendela dia melompat. Segera melesat ke tempat departemen sihir.
"Arcelio dan Celestin. Aku harap kalian berdua di sini mendampingi Cheonsa apa pun yang terjadi. Jangan meninggalkannya sedikit pun sampai situasi sudah kondusif."
"Baik, Yang Mulia." Keduanya mengangguk yakin, Alleia sendiri dengan langkah pelan mengecup pelan dahi sang putri. Lantas dengan langkah lebar dia pergi menjauh. Dia harus menyelesaikan semua ini secepat mungkin. Apa pun yang terjadi putrinya tidak boleh terluka.
.
.
.
"Hahaha, setelah sepuluh tahun kamu menolak. Akhirnya kamu ke sini membuka jalan bagi kami untuk menyerang ratu bangs*t itu. Apa yang membuatmu berubah pikiran, Tuan Gabriel?"
Gabriel mengangkat wajahnya menatap pria yang sudah dianggap semua orang mati. Jason Meresz, pria yang sudah dianggap mati ternyata masih hidup. Setelah masa pengasingannya, mantan calon selir ketujuh itu menawarkan kerja sama untuk menghancurkan ratu. Dalam upacara peresmian lalu, yang terbunuh adalah orang yang sangat mirip dengannya yang dijadikan umpan untuk mengelabui ratu.
"Anda adalah salah satu yang terkuat dalam dunia hitam. Di sana saya dengar banyak bangsawan yang sudah dibuang terbentuk merencanakan pemberonakan. Seperti Kerajaan Ayyorlik yang sudah bersiap sepuluh tahun terakhir untuk balas dendam. Kita bisa bersama menghancurkan ratu."
"Benar. Saya mempunyai celah yang bisa digunakan. Beberapa bangsawa kuat juga ada yang masih berkaitan dengan dunia hitam. Ada beberapa jalan tersembunyi yang sudah dibuat menuju istana utama untuk mrnghancurkan mereka semua."
Jason tersenyuam puas. "Tapi, ada yang membuatku bertanya-tanya. Apa alasanmu melakukan ini? Selama sepuluh tahun kamu selalu menolak bukan? Apa yang membuatmu berubah pikiran?" Gabriel mengangguk dengan senyuman tipis. "Ada dua hal yang aku inginkan. Pertama putri akan menjadi milikku. Jadi jangan sakiti dia sehelai rambut pun. Yang kedua, dengan kekuatan suci aku ingin mendapat pemberkatan untuk membuat tubuhku kembali sempurna."
Kedua pria itu saling pandang. Jason mengangguk. "Itu hal yang mudah. Mari kita lakukan, kerja sama ini." Jason menjentikkan jari, dari balik kegelapan seorang wanita dengan juba hputih ditarik untuk datang. "Dia adalah saintess yang akan mengobatimu dengan kekuatan suci. Aku sudah menyiapkannya karena tahu kamu akan menambahkan itu sebagai persyaratan."
Perlu diakui oleh Gabriel. Pria di hadapannya ini mantan suksesor dari Duke Meresz. Karena itu kecerdasannya melebihi rata-rata manusia biasa. Dia hanya pernah gagal sekali, itu pun karena rencana licik ratu yang menggoyahkan mereka menjadi irasional di pertemuan kekaisaran dan membuatnya menjadi sampah buangan Ayyorlik.
Saintess bernama Ashia itu mendekat, memberikan pemberkatan dengan kekuatan suci. Samar-samar cahaya putih bersinar mengelilingi Gabriel. Hingga membuatnya secara keseluruhan melingkupi tubuh pria itu, cahaya menyilaukan bersinar. Semua orang memjamkan mata menutup silau cahaya yang semakin terang. Hingga akhirnya cahaya mulai meredup memunculkan Gabrile dengan tubuh sempurna kini berdiri di hadapan semua orang.
"Kekuatan suci tidak pernah meragukan." Jason memuji dengan takjub menatap Gabriel dengan tubuh gagah sempurna berada di hadapannya. Hingga perhatiannya teralihkan pada saintess yang mulai terkulai lemas, kehabisan tenaga, hingga pingsan. Salah satu anak buah Jason membawa gadis itu pergi.
"Baiklah, satu syaratmu telah terpenuhi. Mari kita laksankan aliansi kita hingga akhir."
"Ya, aku berjanji."
Keduannya bersalaman dengan niat tersembunyi dari masing-masing pihak. Tidak ada yang pernah tahu apa yang sebenarnya tersembunyi dalam hati manusia, terutama dengan niat jahat yang jelas. "Besok, kita bisa mengumpulkan seluruh tentara dengan teleportasi di jalan rahasia. Lusa kita bisa langsung menyerang. Memang terlalu terburu-buru. Tapi percayalah, semakin kita memberi ratu itu banyak waktu untuk bersiap. Semakn kecil rencana ini berhasil."
Jason mengangguk. "Baiklah, mari kita bersiap sekarang. Kita hancurkan ratu sombong itu."
.
.
.
H-2 Penyerangan.
Alleia telah menerima persetujuan para petinggi dengan mebuat kode merah untuk pertahanan saat ini. Ribuan pasukan pun dikirim ke perbatasan untuk berjaga, barangkali akan ada serangan balik yang mereka berikan. Istana tidak kalah dengan penjagaan, banyak prajurit sudah berjaga, dan hampir keseluruhan menjaga istana putri.
Tangannya memijat kepala, pusing. Semalaman dia belum tidur untuk mengurus hal ini. Dirinya segera bangkit menuju istana putri. Dia harus menemui putrinya lebih dahulu untuk memastikan gadis itu sudah siuman atau belum. Sesampainya dia melihat Celestin dan Arcelio yang tengah sarapan di kamar. Sedang putri masih berbaring di ranjang.
"Tidak apa-apa. Lanjutkan sarapan kalian. Aku ke sini hanya sebentar untuk memastikan keadaaan putri." Alleia menepuk bahu kedua pria itu dan duduk di samping sang putri. Matanya menunjukan sorot pilu, tangannya meraih lengan kecil putri dan menciumnya dalam-dalam. "Sayang, Bunda mohon. Bangunlah."
Gadis itu tidak menyahut dia masih tertidur lelap. Untungnya demam putri sudah turun hingga kekhawatirannya bisa sedikit mereda. "Apa pun yang terjadi, bunda akan selalu berada di sisimu. Bunda akan menjamin keselamatanmu." Wajah sang wanita tenggelam di sisi putri, sedang tangannya menggenggam tangan gadis kecilnya. Hinga tubuhnya ikut terbaring dan mendekap gadis itu erat-erat.
"Yang Mulia?"
"Kalian berdua bisa pergi. Aku akan menjaga putri untuk sementara. Aku akan memanggil kalian lagi." Tanpa melirik ke belakang Alleia berbicara membuat keduanya menunduk hormat sebelum menutup pintu dan berlalu pergi.
Hening. Kini tinggal dirinya dan sang putri di kamar. Dalam kesunyian juga dekapan erat, mata Alleia memberat. Hingga dirinya terlelap, kembali tenggelam ke alam bawah sadarnya. Dari ruang gelap tidak berujung dia kembali bertemu dengan kegelapan berbentuk ombak dengan sepasang mata merah menyala.
"Halo, Nak," ujar sang mata merah dengan mata menyipit, seakan tersenyum pada penderitaannya saat ini. Alleia hendak berbicara sebelum menyadari suaranya kembali tercekat. Sekarang yang bisa dia lakukan adalah berbicara dalam hati seperti sebelumnya. 'Kenapa kamu bawa Cheonsa dalam hal ini? Dia tidak bersalah sama sekali.'
Mata merah mengangguk-angguk dengan wajah bingung. "Tentu saja ini bukan salahnya. Semua ini salah bundanya. Benar begitu penjahat?" Alleia meremas tangannya kuat-kuat. 'Jangan ganggu dia, akan kuberikan apa pun. Asal jangan gaggu dia!'
Kegelapan tidak menjawab untuk sesaat sebelum tertawa. "Bukankah kamu sudah bersedia menebus dosamu, Nak? Sudah kukatakan harganya amat mahal. Harusnya kamu tidak usah menerima penebusan dosa itu dan menjadi penjahat selamanya. Jika saja begitu, ini semua tidak akan terjadi."
'Aku menebus dosa agar bisa pantas menjadi bunda dari putriku. Jika dia mati, apa untungnya dari penebusan ini jika alasan aku berubah diambil begitu saja.' Kegelapan kembali membisu, Alleia tidak tahu harus mengatakan apa lagi sebelum mata merah itu tersenyum, entah kenapa firasatnya buruk.
"Benar juga, tapi tetap saja. Apakah tidak masalah kalau begitu nyawamu sebagai ganti? Keputusanmu untuk menebus dosa tidak bisa ditarik kembali. Jika kamu tidak mau putrimu tersakiti maka kamu harus mengorbankan hidupmu sebagai gantinya." Alleia terdiam, matanya menyorot sang kegelapan yang memandanginya datar. Itu pilihan yang lebih baik, walau mungkin dia tidak selamat. Setidaknya putrinya harus tetap hidup tanpa tersakiti.
'Baiklah, lakukan itu. Dan jaga putriku agar tidak pernah mendampatkan masalah atas penebusan dosa ini.' Kegelapan tertawa lebih keras, menggetarkan ruang hampa gelap tidak berujung. "Baiklah, penjahat. Atas nama kegelapan aku bersumpah akan selalu menjaga putrimu dan terbebas dari dosa karma yang kamu miliki. Dengan begitu jiwamu sebagai taruhannya, bahkan kematian bukan akhir karena kamu harus menebus dosamu setelah kematian. Apakah kamu bersedia?"
Dengan mantap dia mengiyakan. 'Ya, aku bersedia.' Kegelapan di hadapannya mulai memudar, mata merah itu terlihat samar tersenyum padanya. Dengan ini, dia bisa tenang karena putrinya akan baik-baik saja dan bisa terbebas dari kesalahannya di masa lalu. Bahkan ketika dia sudah benar-benar pergi. Kegelapan sudah berjanji menjaga putrinya dari masalah.
.
.
.
Gabriel dengan beberapa penyihir sudah menyiapkan kordinat di mana mereka akan muncul setelah mengumpulkan semua pasukan Ayyorlik dan menjalin kerjasama dengan para pemberontak Citrus. Tepatnya mereka akan muncul di tempat perkumpulan dunia hitam dan menawarkan kerja sama dengan menggaet para bangsawan yang membenci kehadiran ratu.
"Apakah semua sudah siap?" Jason bertanya dengan baju pertempuran yang lengkap untuk bertarung. Gabriel tersenyum tipis. "Tentu saja, kita akan berangkat sekarang." Tangan pria itu memberi isyarat pada para penyihir untuk segera membuka gerbang telepotasi. Di hadapan mereka cahaya samar mulai membentuk sebuh gerbang raksasa hingga cahaya itu semakin bersinar dengan warna kebiruan.
"Kordinat sudah siap. Gerbang sihir stabil. Semua sudah aman, gerbang siap dipakai." Salah satu penyihir berseru membuat para prajurit bersiap, satu persatu mulai memasuki gerbang hingga yang terakhir, dua pria pemimpin pasukan masuk diikuti para penyihir.
Di ujung portal, mereka telah sampai di tempat perkumpulan dunia hitam. Beberapa orang sudah menunggu, Terlebih para pengikut Gabrile yang terkagum-kagum dengan tuannya yang sudah kembali memliki bentuk tubuh fisik yang sempurna. "Selamat datang Tuan Gabriel serta para tamu sekalian. Kami sudah menyiapkan tempat musyawarah juga tempat singgah bagi para prajurit. Mari ikuti saya."
Jason dan Gabriel berjalan beriringan, rencana mereka berjalan begitu mulus. Semua sudah diatur sedemikian rupa. Kali ini mereka benar-benar harus menghancurkan ratu.
.
.
.
H-1 Penyerangan.
"Kenapa bantuan dari luar belum datang?!"
"Maaf, Yang Mulia. Mereka menolak karena mereka bilang ini bukanlah masalah yang terlalu penting. Jadi mereka hanya menyampaikan permintaan maaf dan memilih tidak membantu dalam urusan internal keluarga kerajaan."
Alleia memeijat pelipisnya, rasa nyeri menggerogoti kepalanya. "Baiklah, kini katrakan ini bukan permintaan. Ini perintah, jika besok bantuan tidak datang mereka semuanya akan dihukum mat-" Ratu terdiam untuk sesaat, jika mengikuti keinginannya dia sangat ingin membunuh mereka semua. Tapi dirinya sedang berusaha menghapus dosanya, tidak bijak jika dalam penebusan dosa menambah dosa juga. "Mereka akan diasingkan untuk kerja rodi dan seluruh aset mereka disita."
Javan mengangguk. "Baiklah, akan saya siapkan." Alleia menghela napas menatap Javan yang masih terdiam di hadapannya. "Ada apa?" Javan mendekati Alleia. "Bagaimana keadaan putri terakhir kali? Saya belum menjenguknya lagi setelah semalam mampir."
"Kondisinya sudah stabil, hanya saja dia belum sadarkan diri. Setelah kamu mengerjakan ini kamu bisa beristirahat sejenak sembari menjenguk putri." Javan mengecup tangan Alleia menunduk hormat. Itu membuat Alleia bingung untuk sesaat karena Javan jarang melakukan kontak fisik atas kemaunnya sendiri. "Saya harap, Anda juga menjaga kesehatan. Anda terlihat dalam kondisi tidak baik saat ini."
Ratu itu tersenyum mengelus rambut Javan. "Tentu saja. Terima kasih atas perhatiannya." Pria itu tersenyum hangat sebelum keluar dari pintu. Alleia menjatuhkan diri ke atas kursi menatap dirinya dari pentulan jendela. Wajahnya benar-benar buruk semenjak putri sakit. Mungkin ini akibat stress berlebihan atas segala tekanan beruntun akhir-akhir ini.
Dari arah jendela tempatnya berkaca. Zaniel tiba-tiba hadir di sana yang langsung disambut Alleia. "Bagaimana? Apakah ada informasi yang kamu dapat?" Zaniel yang baru saja datang menunduk hormat lantas menggeleng dengan wajah murung. "Tidak ada informasi apa pun yang saya temukan. Jejak Gabriel sendiri tidak bisa dilacak. Bahkan di dunia hitam tidak ada yang bisa saya dapatkan. Tidak ada kabar burung soalnya atau apa pun yang berhubungan dengannya. Seolah-olah ada semuanya sudah direncanaan dengan rapi."
Alleia menghela napas panjang. Jika begini mereka tidak bisa mendapatkan informasi apa pun soal apa yang direncanakan Gabriel. Namun firasatnya buruk, hingga si mata merah sudah memperingatinnya bahwa waktu kehancurannya akan segera tiba. Ini membuatnya benar-benar lelah secara mental dan fisik.
"Kalau begitu, beristirahatlah. Aku mohon jaga Cheonsa. Dia masih belum siuman." Zaniel mengangguk, sebelum itu dia memberikan Alleia bungkusan makanan untuk wanita itu. "Apa ini?" tanya Alleia bingung. "Anda harus makan. Anda terlihat tidak sehat sekarang." Alleia tertawa, ternyat benar dia dalam kondisi yang buruk. Bahakn dari Javan hingga Zaniel, mereka mengkhawatirkan dirinnya. "Tidak masalah. Pergilah, aku akan makan ini."
Zaniel menunduk hormat kembali melompat keluar dari jendela. Alleia dengan tubuh lelah membuka bungkusan itu dan menemukan roti lapis kesukaannya. Dengan cepat dia menghabiskan itu semua dan kembali bekerja. Dia tidak boleh berhenti, walau kali ini dia gagal. Setidaknya dia harus berusaha lebih jauh agar tidak menyesal mati dengan cepat.
.
.
.
Gabriel dan para rombongannya sudah mufakat untuk menyerang istana besok dini hari. Mereka akan masuk lewat jalan rahasia menuju penjara. Lantas dengan jalan rahasia lain pergi menuju istana utama dan keluar dari aula, menyerang pasukan istana dari dalam. "Apakah kamu tidak menyesal?"
Gabriel melirik pria dengan surai abunya yang gelap. "Tidak ada alasan aku menyesal. Jika ada yang kusesali, ialah aku yang telalu berharap bahwa ratu akan mengampuniku setelah sepuluh tahun berlalu." Jason mendengarkan penuturan dari rekannya itu. Padahal dia ingat, bagaimana dia membujuk pria ini mati-matian selama sepuluh tahun dan Gabriel selalu menolak. Yang membuatnya lebih terkejut adalah pria ini berubah hanya karena ingin membawa putri ratu yang baru dia temui beberapa hari lalu.
"Ya, Sayang sekali. Kamu seharusnya bergabung lebih awal. Tapi aku tidak menyesal karena aku memiliki waktu lebih banyak untuk mengumpulkan pengikut lebih banyak." Gabriel tidak menghiraukan ucapan pria itu. "Ya, kita hanya harus menyelesaikan ini. Mengambil bagian masing-masing dan pergi menjalani hidup yang kita inginkan."
"Ya, Kamu benar. Kita hanya harus melakukannya dan mengakhiri segalanya."
Kedua orang itu saling diam sembari melihat prajurit berlatih untuk penyerangan dini hari nanti.
.
.
.
1 jam sebelum penyerangan.
Arcelio, Zaniel, serta Celestin berada dalam kamar putri. Mereka semua diam dengan pikiran masing-masing sembari menunggu mata gadis kecil itu terbuka. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Arcelio meantap heran pada Zaniel yang melakukan percobaan sihir dengan penyihir yang berjaga. "Aku membuat kloning putri untuk pengalihan jika keadaan mendesak. Jadi jangan ganggu aku."
Arcelio berdecih melirik Zaniel dan penyihir yang sedang berfokus pada eksperimen. Matanya kini beralih pada pemuda berusia dua puluh tahun di depannya yang menyeksikan apa yang dilakukan Zaniel dengan seksama. "Kamu, Pangeran Celestin bukan?" tanya Arcelio yang langsung ditanggapi oleh Celestin. "Iya, benar. Tuan Ingram."
Arcelio mengangguk-angguk. "Ngomong-ngomong aku ingin bertanya padamu. Apakah tidak apa-apa?" Celestin tersenyum mengiyakan. "Tentu saja, tidak apa-apa, Tuan." Keduanya terdiam canggung. Walau sudah bertahun-tahun bersama, mereka hanya bisa santai ketika putri hadir yang selalu mencairkan suasana.
"Kudengar umurmu sudah dua puluh tahun. Kamu tidak berpikiran menikah?" Arcelio bertanya ragu-ragu. Sedangkan Celestin yang mendengarnya menggaruk tengkuknya canggung. "Itu, saya belum terpikirkan mempunyai pasangan. Saya lebih suka berkarir dan belajar di banding mempunyai hubungan romansa." Arcelio mengangguk pelan.
"Mungkin kamu belum bertemu jodohmu saja. Karena aku juga dulu tidak pernah berpikir menikah. Ya, seperti yang kamu tahu. Aku hanya senang menghasilkan dan menghamburkan uang." Arcelio tertawa kecil berkata demikian, kalau dipikir-pikir tingkahnya dulu sangat kekanakan, berbeda dengan sekarang yang tidak terlalu berpusat pada harta. "Suatu saat nanti kamu akan bertemu dengan seseorang yang membuatmu berpikir tidak akan bisa hidup tanpanya."
Celestin tersenyum kecil. "Ya, mungkin saja. Saya tidak terlalu berharap, saya lebih suka menghabiskan waktu bersama keluarga dan bermain dengan putri. Saya belum terpikirkan untuk menemukan yang lain." Keduanya tertawa kecil sembari berbincang. Namun tiba-tiba Zaniel keluar jendela ingin memastikan sesuatu membuat suasan menjadi tegang.
Ketika Zaniel kembali, keduanya dibuat lega dengan pria itu yang hanya mengecek situasi dari luar. "Tidak ada masalah. Kalian bisa tenang. Semnetara itu aku titip kloning putri di sini. Aku mau memastikan keadaan di luar." Kedua orang itu mengangguk ketika Zaniel kembali melesat pergi. Sementara kloning putri yang disebutkan dibiarkan berdiri di dekat ranjang.
"Celestin, aku merasa ini pertanda buruk. Karena itu, dengarkan aku." Arcelio yan beberapa menit lalu masih tertawa kecil kini memasang wajah serius. Tangannya mengambil sesuatu dalam tas miliknya dan menunjukkan isi di dalamnya. Celestin yang melihat kertas itu terkejut bukan main. "Bu- bukankah ini dokumen kepemilikan negara atau pulau?" tanyanya terbata.
Celestin tahu orang ini kaya. Tapi, dia tidak menyangka pria ini mempunyai pulau dan negara pribadi. "Dengarkan aku, aku akan jelaskan satu persatu." Arcelio tidak menghiraukan reaksi Celestin dan kembali menjelaskan. "Ketika kondisi terburuk terjadi. Aku mohon, kamu harus segera membawa kabur putri. Jujur saja, aku tidak mau putri kabur nanti jadi gelandangan karena tidak punya uang. Aku akan memercayakan ini padamu. Nama negara ini adalah negeri Seth. Kamu bisa menempati itu karena itu negeri terpencil yang tidak diketahui siapa pun selain kaisar."
"Selanjutnya pulau. Ada tiga pulau yang bisa kamu jadikan tempat singgah teraman. Semua keperluan sudah disiapkan di sana dan terjamin aman. Ada pulau Ra, Horus, dan Isis. Selanjutnya sumber harta tersembunyi untuk kebutuhan hidup sementara. Ada sembilan tambang bijih besi, lima tambang berlian, dan tiga tambang emas. Dengan ini semua sampai putri dewasa setidaknya bisa memenuhi hidupnya dengan nyaman."
Celestin berusaha mencerna penjelasan panjang dari Arcelio. Dia pikir, orang ini hanya dsebut kaya karena sering berpakaian mewah. Atau disebut miliyuner terkaya karena kemampuannya dalam berbisnis. Tapi mendengar ini semua membuat keraguan semua itu runtuh. Bukan saja memiliki tambang yang bisa menghidupi satu negara hingga tigapuluh tahun, bahkan pulau dan negara pribadi dia miliki. Sungguh luar biasa.
Arcelio memasukkan semua dokumen itu ke tas dan memberikannya pada Celestin yang tangannya gemetaran. "Apa tidak apa-apa, Anda menitipkan ini semua kepada saya?" Arcelio mengangguk. "Tentu saja, kamu satu-satunya kakak putri. Aku tidak meragukan itu." Celestin masih merasa gugup dengan hal itu dan kembali bertanya. "Apakah, Anda yakin?"
Arcelio menghela napas panjang. Memang susah berbicara dengan orang yang tidak terbiasa dengan kemewahan berlebihan. "Tentu saja, itu bahkan tidak sampai memakan seperempat harta yang kumiliki. Bisa saja aku memberikan lebih. Tapi hanya itu yang tersisa yang paling tersembunyi dan aman dari jangkauan orang lain." Mendengarnya Celestin tidak bisa berkata-kata lagi. "Baiklah, saya akan menjaganya dengan sepenuh hati saya."
Arcelio tersenyum, mengangguk. Dia memakaikan tas itu pada Celestin dan memasangkan bros pertama yang berisikan sihir tak kasat mata untuk menyembunyikan tas itu. "Jaga baik-baik. Aku percayakan itu padamu." Celestin mengagguk dengan mantap.
Namun dari sisi lain, tiba-tiba kloning putri menghilang membuat keduanya waspada. "Tuan! Anda tidak bisa masuk sembarangan! Ini adalah kamar putri!"
Suara pukulan dan adu pedang terdengar nyaring. Arcelio menggendong tubuh putri dan menjauhi pintu. Sementara Celestin mengacungkan pedang pada pintu.
Brak!
Pintu terbuka, pria bersurai emas memasuki ruangan dengan satu tangan mencekik leher penyihir hingga terjatuh ke lantai. "Halo, sudah lama tidak bejumpa, Tuan Ingram dan Pangeran. Senang bertemu dengan kalian."
Arcelio tersenyum tipis. "Si tol*l ini kembali. Kemana saja kamu pergi bangs*t? Dasar pengkhianat rendahan."
.
.
.
Alleia merasa kepalanya pusing saat dia mendengar suara-suara bising dari dalam istana. Javan, Noelani serta Michael sedang bersamanya karena membahas pertahanan. Hingga pintu terbuka, tiba-tiba pasukan berseragam merah menyerbu ruangan deng jumlah puluhan. Dengan cekatan Alleia mundur, menarik Javan dan Noelani untuk berlindung.
Michael langsung berubah menjadu ular dan menghabisi semua psukan yang menyerang ruangan hingga tersisa. Dalam pertempuran, Alleia tidak diam saja. Dia mengambil alat komunikasi sihir dan meminta bantuan pasukan menjadi dua bagian ke istana putri dan istana utama.
"Sepertinya Gabriel bekerja sama dengan orang-orang Ayyorlik. Kita harus bergegas mrncsri tempst tersmsn sebelum mereka mengepung." Alleia menggeleng cepat. "Kita harus keluar. Mereka semua masuk lewat dalam istana. Kita tidak tahu seberapa banyak dari mereka. Kita harus keluar." Alleia menarik Javan dan Noelani untuk menaiki tubuh ular Michael untuk meloncat keluar ruangan.
Mereka beruntung, kini di tempat mereka mendarat Hera sudah ada di sana. Terlihat dia juga meloncat dari kamarnya untuk keluar. Dari arah luar pasukan yang memihak mereka sudah mulai muncul. Sedangkan dari dalam istana, prajurit dengan bendera kebanggan Ayyorlik berdiri gagah keluar dari dalam istana. Berdiri di hadapan mereka.
Michael mendesis dengan wujud ularnya memberikan peringatan untuk tidak mendekat. Sedangkan dari rombongan itu, keluar pria dengan suarai abu pekat sebahu. "Senang bertemu dengan, Anda. Yang Mulia."
"Jason Meresz? Bagaimana, Anda masih hidup?!" Javan berseru tidak percaya sementara Alleia memandang tajam. Jason yang mendapatkan reaksi tersebut tertawa. "Tentu saja, yang kamu bunuh bukanlah aku melainkan orang yang mirip denganku." Suasana begitu tegang sebelum prajurit istana yang memihak ratu sudah datan membuat hati Alleia sedikit lega.
Wanita itu tersenyum lantas maju mengacungkan pendangnya ke leher Jason. "Kalau begitu, bukankah kamu bisa kubunuh dengan benar sekarang?" Pedang itu mengenai leher Jason, namun melainkan takut. Pria itu hanya tertawa. "Jika pada dasarnya penjahat. Memang akan selalu jadi penjahat, bukan begitu. Putri?"
Alleia terdiam kaku, dengan cepat dia melirik ke belakang di mana Gabriel menggendong tubuh Cheonsa yang dibalut selimut. Dengan wajah merah, serta mata bergetar gadis kecil itu berucap lirih. "Bunda..,"
Alleia terdiam, memandang tidak percaya. "Apa yang kamu lakukan bajing*n!" Alleia hendak berlari ke tempat di mana putri berada. Sebelum para prajurit pemberontak menyeret Arcelio serta Celestin di hadapannya serta pedang yang menempel di leher mereka. "Jika, Anda mendekat. Saya tidak segan akan membunuh dua orang ini."
Alleia mengepalkan tangannya. Kemarahan membucah di kepalanya serta rasa takut yang sudah menjalar ke seluruh selnya. "Lepaskan mereka. Mereka tidak bersalah. Yang kalian mau aku bukan?! Kalau begitu ambil aku! Lepaskan mereka semua!" seru Alleia frustasi.
Alih-alih memberi jawaban. Gabriel hanya menatap datar pada Ratu. "Bukankah itu tidak akan menyenangkan. Jika hanya mengambil, Anda sebagai objek balas dendam?" Alleia tidak bisa mengelak, dia hanya bisa memandangi pria itu penuh kebencian. Di sisi lain, para prajurit sudah mendekat ke arah Michael menonton pertikaian antara ratu dan orang asing tersebut. Mereka akan segera menyerang ketika perintah diluncurkan.
"Benar sekali. Hanya membawa, Anda untuk dibunuh. Pfft, iru mustahil. Bahkan kematian bukan hal yang pantas, Anda dapatkan setelah apa yang, Anda lakukan selama ini." Jason berbicara dengan ekspresi jenaka menyentuh dagu wanita itu. Lanta di amendekati Gabriel dan menyentuh putri. "Apakah sekarang penjahat ini berpura-pura jadi ibu yang baik?" Jason tertawa sembari mencubit pipi Cheonsa yang membuat para ayah dan ratu memasang tatapan tajam.
"Janga sentuh putriku. Kita sudah berjanji akan hal itu bukan?" Gabriel menarik putri dari jangkauan Jason yang hanya tersenyum mengangkat bahu. "Tentu saja. Tentu saja. Maaf, Tuan." Pria itu kembali tertawa. Dia adalah satu-satunya yang bisa tertawa lepas dalam kondisi seperti ini. Membuat suasana semakin memburuk.
"Jadi apa yang kamu mau?" Akhirnya Alleia memutuskan mengajukan pertanyaan. Setidaknya itu yang bisa dilakukan untuk membuat mereka lengah agar bisa melakukan penyerangan. Jason menggenggam pedangnya dengan senyum bengis. "Hak kenegaraan. Berikan Negeri Citrus menjadi milikku. Maka akan aku bebaskan orang-orang ini." Semua orang terkeju mendengar hal itu.
"Itu saja? Itu saja yang kamu minta?" tanya Alleia dengan seringai horor yang membuat bulu kuduk merinding. "Apa?" Jason menatap tidak percaya, 'hanya itu'? Bukankah bagi rat yang telah memunduh untuk takhta. Itu adalah hal terpenting dalam hidupnya. Lalu mengapa yang dia dapatkan eksperesi muak dengan seringai merendahkan yang ada di wajah wanita itu.
"Ya, apakah hanya itu? Ambillah, bawa dokumen dari ruang kerjaku kemari dan kita berikan negeri ini. Bukankah itu yang kamu mau?" Bahkan para prajurit yang memihak Alleia dibuat menganga. Semudah itu? Namun berbeda dengan orang-orang yang dekat dengan Alleia. Mereka tahu kalau itu hanyalah trik dalam rencana ratu.
"Hahaha, aku sudah kira ratu memang menakjubkan. Sebelum, Anda meminta saya sudah menyiapkannya." Jason lagi-lagi tertawa, dari balik jubahnya dia mengeluarkan dokumen penting penyerahan negara. Sedang Alleia mengangguk santai mendekati kelompoknya di belakang. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya curiga.
Alleia melirik dengan wajah malas. "Aku mengambil pena untuk menandatangan. Apakah kamu ingin aku menandatangan dengan darah?" Wanita itu berbail dan mengambil pena dari para selirnya, untuk sebentar dia berbisik pada para ayah dan pelayan kepercayaannya yang memandang tidak percaya.
"Hey! Apa yang kamu bisikkan?!" Jason berseru dengan marah. Terlihat sekali kalau ratu itu merencanakan sesuatu. "Aku hanya bilang, penaku ternyata tidak dititipka di mereka. Aku meninggalkannya di ruang kerja. Ya, mau bagaiman lagi. Sepertinya aku harus menandatanginya dengan darah." Alleia berjalan santai mendekati rombongan pengkhianat.
Sebelumnya dengan wajah datar dia mengiris jarinya, meletakkan pedangnya ke tanah dan mendekati Jason yang memberikan dokumen untuk dicap dan ditanda tangan. "Aku tidakn mengerti Jason. Kamu itu bodoh atau naif?" Alleia berbisik saat mengambil dokumen, dengan curiga Jason melirik wanita itu hingga dia tidak menyadari pisau makan kecil mensuk tepat di jantungnya sangat dalam hingga tidak terlihat ujungnya.
Alleia menyalakn bom asap ke seluruh tempat hingga mereka tidak bisa melihat dengan jelas. Wanita itu berbicara sebentar sebelum meloncat, menghabisi orang-orang yang menahan Arcelio dan Celestin. Tidak tinggal diam, Michael memberikan perintah untuk menyerang. Para prajurit berseru menyerbu pasukan pengkhianat yang lengah.
Hingga akhirnya, asap mulai mengehialng. Kini wanita itu dengan tangan penuh noda darah mengambil Cheonsa dalam pangkuan Gabriel yang dia tusuk tepat di mata. Alleia dengan rombingannya yang tidak ikut dalam pertempuran mundur ke tempat teraman. Di man Java, Noelani, serta Hera menunggu.
"Bunda..," Napas Alleia terengah, dengan lega dia mencium dahi putrinya yang hangat. "Tidak apa-apa. Semua baik-baik saja." Alleia menggendong tubuh itu dengan erat seakan itu adalah pelukan terkhir yang bisa dia berikan. Gadis kecil itu menangis dengan tersedu, memanggil namanya berkali-kali dengan nafas mmeberatserta suhu tubuh yang kembali naik.
Suara pedang beradu begitu nyaring, pertempuran berlanjut sengit. Pihak pengkhianat kembali memasang formasi dan menyerang penuh strategi. Bahkan dari jumlah, terlihat kondisi mereka tidak menguntungkan untuk memenangkan pertempuran. Terlebih cahaya bersinar yang lagi-lagi meyinari pasukan lawan. Kekuatan suci menyembuhkan luka para musuh hingga pasuka mereka mulai kewalahan.
Dari rimbunan pohon Zaniel muncul membuat sebagian dari mereka terkejut. Pria itu juga membawa penyihir untuk membuat teleportasi untuk pergi. "Seperti yang sudah direncakan. Saya akan membawa pangeran dan putri ke tempat yang aman dan pergi sejauh mungkin dengan kekuatan saya. Sedang, Anda sekalian akan dibawa penyihir pegi untuk berpindah ke tempat singgah sementara." Alleia mengangguk, kondisi semakin tidak kondisif. Mereka harus segera pergi.
"Bunda berjanjikan akan menemuiku lagi?" Cheonsa bertanya dengan lirih, menggenggam tangan dingin Alleia. Alleia terdiam, hatinya nyeri untuk berbohong dengan senyuman seakan semua baik-baik saja. "Tentu. Kamu tahu, bunda tidak pernah berbohong." Gadis itu mengangguk dengan lesu tersenyum.
Arcelio, Noelani, serta Javan mendekat. Mengecup pipi gadi situ yang semakin terkulai lemas. "Ingat, kamu harus selalu belajar," ujar Noelani dengan senyuman lembut. "Kamu harus selalu bahagia sayang," ucap Javan dengan kecupan dahi panjang penuh kasih sayang. "Kamu tidakharus melaukan apa pun. Hiduplah sesuai keinginanmu," kata Arcelio genag sentuhan lembut di hidung gadis itu.
"Kenap kalian mengatakan hal menyedihkan? Apa kita tidak akan bertemu lagi?" Cheonsa bergumam lirih.
Alleia tidak bisa menahan pelukan yang kembali dia lakukan. Napasnya memberat dengan mata yang mulai membasah. Sama halnya dengan para ayah yang hadir di sana. Mereka semuabenar-benar buruk dalam sandiwara. "Tentu saja, kamu harus hidup dengan baik sayang. Bunda dan semua orang akan selalu ada di sisimu." Cheonsa menatap dengan senyuman yang membuat hati mereka teriris melihat ekspresi polos dari gadis itu.
Dengan hati-hati dia memberikan tubuh Cheonsa pada Zaniel yang mendekapnya erat. "Celestin, berhati-hatilah. Selalu jaga dirimu." Javan menepuk bahu putranya yang mengangguk mantap sedang Alleia memeluk pemuda itu erat. "Jaga Cheonsa, ya." Celestin mengangguk dengan senyuman lebar dia menyampirkan tangannya di bahu Zaniel hingga pria dengan topeng burung hantu membawa kedua orang itu pergi. Yang tersisa adalah boneka kloning Cheonsa yang ditinggalkan Zaniel untuk pengalihan serta merka yang akan segera pergi dengan portal yang sekarang bari dibuka.
"Portal sudah siap, mari berangkat."
Merka mengangguk. Alleia menggendong kloning milik Cheonsa sebelum dia memasuk portal. Hatinya sudah lega, kali ini mungkin mereka akan berhasil menyelamatkan diri dan menghindari akhir yangburuk. Sebelum langkah mereka sampai memasuki portal sebuah bom diluncurkan meledakkan tempat mereka berada.
"TIDAKKKKK!"
Sedetik setelah bom menghancurkan mereka. Alleia bisa mendengar teriakan dua anak-anaknya yang mulai menghilang, matanya melirik sekeliling melihat tubuh para selirnya bahkan pelayan setianya tergeletah sekarat. Telinganya kembali berdenging hingga suar terakhir terdengar seiring kesadarnnya melemah. "BUNDAAA! AYAAHHH!"
.
.
.
"PAPA! KITA HARUS MENYELAMATKAN BUNDA!"
"PAMAN! KUMOHON KITA HARUS KEMBALI!"
Zaniel menulikan telinganya, mengeratkan kendalinya dengan menggenggam tubuh dua anak ini dengan erat. "Kita harus pergi ke tempat teraman. Kalian semua tahu, keselamatan kalianlah yang terpenting." Pria itu mrngabaikan perlawanan yang dilakukan kedua anak ini dengan tangisan yang tidak kunjung mereda. Tujuannya saat ini menuju rumah pohon, di mana tempat rahasia teraman untuk sementara.
Dalam tangisan lepas yang dikeluarkan keduanya. Dari arah belakang pria itu merasakan seseorang yang mengikuti mereka. Hingga firasatnya itu terbukti ketika senjata tajam seperti belati kecil berhamburan menerkam mereka. Dengan cekatan pria itu menghindar, dari balik topengnya matanya bersinar kebiruan membuat pertahanan di sekeliling mereka.
Hingga mendekati rumah pohon priai itu turun ke rerumputan. Mengurung kedua anak-anak dalam pelindung biru transparan dan menatap gadis berpakaian serba putih di hadapannya yang memanaiki spirit. "Untuk apa, Saintess repot-repot mengejar orang seperti saya hingga kemari?"
Ashia, Saintess dari Ayyorlik yang memiliki kekuatan suci terbaik. "Hah, bagaimana seorang ksatria suci bisa mengatakan hal seperti itu. Tuan Zaniel?" Zaniel memasang kuda-kuda, bersiap menyerang wanita di hadapannya. "Sayang sekali, tapi saya bukan lagi kesatria suci, Saintess." Pria itu menyerang dengan cepat ke arah saintess yang mulai mengeluarkan panah-panah cahaya yang mengarah pada pria itu.
Mereka berlawanan dengan sengit. Sementara Cheonsa serta Celestin hanya bisa terdiam tidak berdaya dengan kesedihan yang tidak bisa terbendungi. Hingga satu anak panah mengenai bahu Zaniel yang terlihat semakin melemah. Sekali terkena panah itu, maka kekuatan suci akan menyerap tenaga dari orang tersebut hingga habis.
"Serahkan topeng suci itu. Maka aku akan membebaskanmu kali ini." Saintess mendekati Zaniel yang terjatuh ke tanah. "Lagi pula kamubukan lagikesatria suci. Tidak pantas kamu memiliki itu ditanganmu." Zaniel tertawa kecil mendengar penuturan Ashia, dia melepas topeng tersebut dan melemparnya ke langit.
"Apa yang kamu lakukan?!"
Zaniel tertawa dengan napas memburu. "Sebagai tuanmu aku perintahkan bawa anak-anak ke tempat aman." Topeng itu bersinar kebiruan, berubah menjadi burung hantu dan melesat membawa kedua pangeran dan putri dengan teleportasi ke tempat aman. "PAPA!" Cheonsa berseru keras hingga mereka lenyap ditelan cahaya biru hingga tersisa.
"Kamu! Berani-beraninya!" Zaniel tersenyum kecil ketika cahaya membentuk pedang menusuk jantungnya habis. Pria itu kembali mengingat suara gadis kecilnya, dengan begini dia akan mati tanpa penyesalan. Sementara Ashia berseru frustasi mencari lokasi benda suci itu berada.
Cheonsa dan Celestin kini sudah sampai di rumah pohon. Burung hantu itu brkrdip dengan kaku. "Berikan kordinasi tempat yang dituju." Kedua pangeran dan putri itu saling pandang sebelum Celestin membuka bros pemberian Acerlio dan membuka tempat mereka akan singgah. "Negara Seth."
Burung hantu kembali berkedip. "Kordinasi diterima. Harap menunggu beberapa saat." Mata burung hantu bersinar terang, mengumpulkan kekuatan dan lokasi yang dirtuju. Kedua orang itu dudk dengan ekspresi lelah. "Kak," paggil Cheonsa pelan. Pemuda itu melirik dengan wajah kacau seperti adkinya. "Ya?" Tanpa aba-aba gadis itu memluk Celestin dengan tersedu, begitu pula Celestin yang menerima pelukan itu dengan erat serta netra yang kembali mengembun.
"Tidak masalah. Kita akan pergi. Kita akan aman." Pemuda itu bicara dengan suar gemetar membuat gadis itu kembali terisak. Cheonsa tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah semua kejadian yang telah merengut nyawa seluruh keluarganya selain kakaknya. Dia tidak berani merengek, karena itu hanya memperburuk suasana.
"Hahaha! Ketemu kalian!"
Celestin waspada mengacungkan pedang. Dari kaca rumah pohon terlihat wanita yang menyerang Zaniel hadir dengan senyuman lebar. "Perlindungan diaktifkan. Kita akan segera pergi dalam sepuluh, sembilan, delapan-"
"Akhhh!" Wanita itu menyerang mereka dengan cahaya kekuningan terus menerus. Berbagai bentuk senjata diluncurkan hingga membuat rumah pohon itu hancur sedikit demi sedikit. "Cepat!"
"-tujuh, enam, lima, empat-"
Rumah pohon sudah hancur total, yang tersisa hanyalah kubus kotak kebiruan yang melindungi mereka dari serangan Saintess. "CEPAT!" Retakan mulai terbentuk menghancurkan sisi kubus. "-tiga, dua, satu." Ketika pelindung sudah hancur sepenuhnya, kedua penerus Citrus menghilang, menyisakan wanita itu kembali sendiri.
"AKHHH!"
.
.
.
Alleia terbangun dengan kepala pusing. Dia merasa tubunya sangat nyeri dari ujung kepala hingga kaki. Matanya mengerjab dengan linglung melihat cahaya samar yang muncul di hadapannya. "Oh, Ratu kita sudah bangun." Jason tertawa menatap wanita dengan kepala dengan noda darah dan penampilan kacau.
"Sepertinya, Anda masih pusing. Lihatlah hadia yang telah saya siapkan!" Jason tertawa dengan gila ketika memaksa Alleia melihat ap yang ada di hadapannya. Napas wanita itu tercekat dengan netra yang bergetar. "Apa yang-"
"HAHAHAHA."
Alleia menggeleng tidak pecaya memalingkan wajah dari apa yang ada di hadapannya. Yaitu jasad kelima selirnya yang dipancang tanpa busana di depan mata. "KAMU! BERANI-BERANINYA KAMU MELAKUKAN INI!" Alleia berseru saat wajahnya kembali dipaksa menatap pemandangan mengerikan di hadapannya.
"Saya bingung harus berkata apa. Bukankah, Anda cinta kekejaman? Seharusnya, Anda baik-baik saja dengan ini, 'kan?"
"Bajing*n, brengs*k. Mati sana ke neraka!"
Jason yang mendengarnya terlihat tidak senang, dengan satu pukulan dia meninju wajah wanita di depannya yang makin menantangnya dengan remeh. Bahkan pukulan setelahnya diluncurkan hingga membuat wajah itu lebam dan berdarah. Bukan kesakitan tapi tawa yang meledak dari Alleia. Entah kenapa Jason merasa diremehkan.
"Apakah kamu tahu? Kekejamanmu ini sebagai penjahat tidak ada apa-apanya dengan apa yang kulakukan. Kamu harus belajar lebih banyak menjadi penjahat sempurna," bisik Alleia sembari terbatuk darah. Hingga gadis itu kembali tertawa lepas ketika melihat kepala terpotong yang tergeletak di tanah. "Kamu bahkan memenggal kepala Gabriel. Dasar sampah."
Jason tidak tahan lagi, dengan keras dia mematahkan tangan wanita itu dan memutarnya seratus delapan puluh derajat. Suara tulang yang patah terdengar nyaring dilihat oleh para prajuritnya yang tertawa, sembari menyoraki dan menghina wanita itu dengan berbagai cercaan. Alleia, wanita itu tidak berteriak.
Dalam penyiksaanya, mulai dari tangan dan kakinya diputar hingga patah, tubhnya yang dikuliti dnegan dirinya yang masih hidup hingga kukunya yang diprenteli satu-satu dia tidak menjerit apa lagi menangis. Tawa dan tawa yang keluar darinya meremehkan mereka semua dengan penjahat pemula. Sebagai orang paling jahat di dunia, rasa sakit ini bahkan tidak bisa menebus dosanya selama ini.
Hingga terkhir, ketika mati hari terbit. Dengan sebelah mata yang tersisa,dan jantung yang masih berdetak dia menikmati matahari terbit dengan cahaya hangat yang membasuh wujud cacat miliknya. Dalam serangan terakhir jantungnya diremukkan, dengan cara yang paling menyakitkan. Saat itu dia dinyatakan meninggal oleh tangan musuh-msuhnya dengan cara paling kejam sepanjang sejarah.
TAMAT.
27/02/2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top