6. Your Highness
Ruangan sederhana namun terkesan elegan dengan berbagai lukisan terlihat apik. Sinar mentari yang menerobos membasahi ruangan dengan remang hangat.
Namun, di atas kasur lebar. Pria berkulit pucat dengan rambut putih membuka kelopak mata. Menghadirkan iris emas yang bersinar terpapar cahaya.
Matanya mengerjap beberapa kali. Hingga akhirnya ia lebih memilih terbangun. Baru saja ia menggerakkan tubuhnya. Hampir seluruh tulangnya terasa remuk redam serasa habis diremukkan.
Ia meringis sebelum akhirnya tersadar. Mendapati wanita dengan surai hijau serta iris biru laut meliriknya datar, lantas menghampirinya.
"Apa yang- ah,"
Michael, pria itu memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Seakan ingatan semalam langsung menerobos masuk memasuki kepalanya tanpa ampun.
"Sepertinya anda sudah mengingatnya."
Michael melirik gadis dengan pakaian pelayan. Pelayan ratu yang pernah ia lihat sebelumnya. Hera Tianzhi.
"Apa Master terluka?"
Hera yang tadi sedang membantu Michael kembali terbaring langsung terdiam. "Apa anda benar-benar ingin tahu?"
Michael mengangguk pelan, meringis. Rasanya ia memang pantas mati setelah tanpa kendali mengamuk dan mengacaukan Istana semalam.
"Tentu saja beliau terluka."
"Apa beliau sudah diobati?"
Hera menghela nafas, menarik kursi di samping ranjang. Lantas serta merta ia terduduk menghadap siluman ular tersebut.
"Tentu saja belum. Beliau tidak mempercayai siapapun di istana ini selain saya. Karena itu, tolong jaga diri anda dan jangan buat kekacauan lagi."
Michael menggigit bibir, menyesal. Lantas ia kembali melirik Hera yang kini menyiapkan makanan serta suntikan obat untuk mengobatinya.
"Kenapa anda bisa ada di sini?"
Hera mengetuk botol suntikan dan mengeluarkan beberapa cairan dari jarum. Dengan telaten ia menusukkan jarum suntik membuat Michael memejamkan mata sebentar.
"Yang Mulia Ratu, yang meminta saya menemani anda di sini hingga anda pulih."
Michael lagi-lagi ingin bertanya sebelum mendapatkan ekspresi super datar dari Hera.
"Jika anda ingin menanyakan mengapa? Saya rasa saya tidak bisa menjawabnya dengan benar. Namun, sepertinya anda sudah mendapatkan sedikit perhatian, Yang Mulia."
Michael tertunduk, suapan demi suapan sup ia telan dari Hera yang kini tengah merawatnya.
"Kenapa Yang Mulia harus peduli dengan makhluk hina sepertiku?" gumam Michael lirih.
Hera tidak menjawab, namun ia mengerjakan semua perawatan Michael dengan seksama. Sampai terasa semua selesai dan Michael tampak terkantuk-kantuk hendak tertidur, Hera bersuara.
"Saya tidak tahu ini bisa menjawab pertanyaan anda atau tidak. Tapi, Yang Mulia lemah dengan orang menderita. Matanya sangat tajam dan mengetahuinya."
Michael menatap manik samudera Hera yang mulai melembut sesaat. "Namun, walau begitu jadilah berguna. Jangan menjadi orang tidak tahu balas budi setelah mendapatkan kasih sayang, Yang Mulia."
Hera menarik rambutnya ke belakang telinga, berjalan pergi. Lantas ia menutup pintu ruangan membiarkan Michael sendiri. Termenung dengan berbagai pertanyaan memenuhi kepala.
.
.
.
"Tuan, lebih baik hari ini anda harus kembali."
Arcelio yang tengah berada di dalam kamar tertawa remeh. Benar sekali. Setelah kejadian semalam. Ia masih berada di istana hingga siang hari.
Namun, ia tidak bisa mengatakan apapun untuk memberikan jawaban pada ajudannya yang memberikan pernyataan tersebut.
"Aku tidak bisa pergi dengan tenang sebelum bisa melihat wajah Ratu."
Ajudan Arcelio menggaruk kepalanya. "Tapi, Yang Mulia sudah beraktivitas seperti biasa menurut informasi penjaga. Beliau juga sudah memerintah dan berkumpul bersama petinggi kerajaan di ruang takhta. Sedangkan untuk tempat kerja, beliau kini melakukannya di ruangan lain di istana."
Arcelio memijat pelipis dan mengusap wajah. Bahkan semalaman ia tidak bisa tidur karena gelisah dan cemas dengan keadaan Ratu. Ia sudah hampir memanggil seluruh Dokter terbaik di kerajaan sebelum akhirnya dihentikan oleh ajudannya untuk tidak bertindak gegabah.
Padahal ia adalah orang yang sangat pelit. Bahkan gaji pelayan pun ia perhatikan dengan teliti agar tidak sedikit dari mereka mengambil lebih. Namun, tidak peduli apapun itu, ia merasa harus menjaga Sang Ratu bahkan jika itu harus menghabiskan seluruh hartanya.
"Tuan, saya mohon. Kita harus kembali. Pekerjaan anda sudah menumpuk dari kemarin."
Arcelio berdecak, ia benar-benar mengutuk makhluk sialan yang telah mengusik Ratu-nya. Bahkan Ratu-nya yang sadis itu sama sekali tidak menghukum makhluk jadi-jadian tersebut, bahkan merawatnya.
"Aku akan tetap di istana sebelum melihat wajah Ratu."
"Tuan..,"
Tok, tok, tok.
Suara pintu diketuk, mengalihkan pandangan dua pria dari dalam kamar. Ajudan Arcelio mengintip siapa yang datang lantas membuka pintu lebar-lebar.
"Selamat siang, Tuan Ingram."
"Selamat siang."
Arcelio terdiam menatap pelayan Ratu yang kini sedang menyapanya.
"Ada apa?"
"Pulanglah."
Arcelio mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Pulanglah. Ini perintah Ratu."
"Apa maksudmu?"
Hera menatap datar mata Arcelio yang terlihat sangat tidak terima. "Kondisi saat ini sedang tidak baik. Ratu kini dalam perasaan yang sangat buruk dan sibuk fokus dalam urusan negara. Karena itu, Ratu memerintahkan. Pulanglah."
Arcelio meremas tangan kuat. Padahal sudah jelas tadi malam Ratu dalam perasaan yang tidak terlalu buruk. Apakah setelah kejadian sialan itu dan apa yang terjadi kemarin, dia akan dibuang begitu saja?
"Jika itu masalah kesehatan Ratu saya siap membayar dokter terbaik di seluruh negeri." Arcelio kukuh. Ia tetap mencari alasan untuk tinggal.
"Pulanglah. Selagi ini perintah baik-baik. Jangan sampai Ratu yang menindak anda secara langsung."
Arcelio bergumam kesal. Ingin sekali menghajar gadis di hadapannya. "Aku akan tetap tinggal. Aku adalah calon selir Ratu."
Ruangan menjadi hening. Hera tetap bersikap datar hingga akhirnya ia berbicara seraya tersenyum tipis.
"Anda sangat keras kepala. Namun, melihat dari sifat anda sepertinya anda pantang menyerah."
Arcelio menatap tidak suka Hera yang kembali melanjutkan ucapannya.
"Saya sudah menyampaikan pesan Yang Mulia. Kalau begitu selamat menerima konsekuensi keputusan anda Tuan Ingram."
Hera membungkuk hormat lantas pergi meninggalkan pria itu dengan ajudannya.
"Tuan!"
Ajudan Arcelio berseru panik menyangka Tuannya sudah gila atau kehilangan akal. "Bagaimana mungkin anda melakukan hal ini?!"
Arcelio menutup wajah terduduk di sofa. Ia kemudian meminum seteguk air sebelum akhirnya bicara. "Diamlah Urian. Lagipula aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Walau itu termasuk mendapatkan Sang Ratu."
Ajudan bernama Urian memijat kepalanya yang langsung berdenyut. "Tuan, bagaimana dengan konsekuensi dari keputusan anda. Bagaimana jika Ratu akan membunuh Anda?"
Arcelio tertawa sembari berdiri menepuk bahu Urian. "Karena itu adalah pesonanya. Dia mematikan dengan pesona memabukkan. Bahkan jika matipun aku tidak akan menyesal."
Urian ingin menangis darah mendengar pernyataan tuannya yang sudah dibutakan cinta.
"Bahkan jika Ratu menyiksa anda hingga anda lebih memilih mati dibanding hidup?"
Arcelio tersenyum tulus mengangguk. Seraya diiringi bulu kuduk Urian yang seketika berdiri. Ternyata rahasia tuannya tidak pernah menyukai wanita selama ini karena ia mengidap kelainan masokis.
Ini semua terasa menakutkan bagi Urian. Sebelum dia tahu akan banyak hal mengejutkan lain yang membuatnya bisa membuat merinding untuk seumur hidup.
.
.
.
Brak!
"Sudah ku katakan selesaikan masalah pengambilan sumberdaya bangsawan yang lebih dari standar! Apa kalian tidak bisa melaksanakan perintah sederhana dengan benar!"
Suara Alleia menggelegar memenuhi ruangan. Suasana menjadi begitu mencekam dan sesak. Aura membunuh terpancar kuat dari pemimpin kerajaan. Sedang petinggi kerajaan memasang wajah ketakutan.
"Yang Mulia, kami sudah melaksanakan perintah. Hanya saja, hampir dari setengah bangsawan menolak-"
Brak!
Alleia kembali menggebrak kursi takhta dengan ekspresi murka. "Bawa semua yang menentang! Kumpulkan hari ini juga! Di tempat ini! Ku beri waktu dua jam. Tidak peduli dengan apa mereka datang. Jika ada satu saja yang tersisa aku akan membunuh kalian semua!"
Para petinggi hendak protes sebelum akhirnya Alleia membalik jam pasir yang ada dalam ruangan. "Waktu dimulai dari sekarang!"
Semua petinggi yang hendak protes langsung ketar-ketir dan berusaha menggunakan kekuasaan mereka dengan sebaik mungkin menjalankan perintah Ratu dengan waktu singkat.
Beberapa dari mereka memerintahkan prajurit untuk memberikan surat perintah pengumpulan bangsawan yang tinggal lebih dekat dengan istana. Ada juga yang bekerja sama dengan penyihir kerajaan untuk membuka portal untuk bangsawan yang tinggal di wilayah cukup jauh dari istana.
"Satu jam empat puluh lima menit lagi!"
Mereka menegak ludah. Beberapa sudah lemas dan bergetar ketakutan. Nyawa mereka sudah di ujung tombak.
Di sela kepanikan dan kericuhan para petinggi yang berusaha mengumpulkan bangsawan untuk hadir. Hera datang menghampiri Alleia untuk memberikan laporan.
Alleia memasang tampang sangar dan emosi dari setiap laporan yang Hera ajukan membuat ruangan yang sudah dipenuhi lebih dari tiga bangsawan yang dipanggil menunduk ketakutan.
"Apa dia bilang? Tidak mau pulang? Apa aku harus menyiksanya hingga menjadi potongan daging cincang?"
Hera terdiam menunggu perintah. Sedang Alleia malah memijat kepalanya yang makin pusing. "Masalah orang-orang pintar tidak berguna ini saja sudah kacau. Apa aku harus mengurus sendiri masalah bocah tampan caper seperti itu?"
Alleia bangkit dari singgasana membuat beberapa orang menahan nafas ketakutan. "Aku akan pergi untuk setengah jam. Lakukanlah pekerjaan kalian dengan baik. Setidaknya lebih dari seperempat bangsawan telah hadir saat aku kembali."
"Siap, Yang Mulia." Petinggi yang hadir langsung menjawab dengan patuh dan kembali berusaha menambahkan jumlah bangsawan yang hadir.
Alleia keluar dari ruang takhta ditemani Hera yang berada di sampingnya. "Bagaimana dengan Michael?"
"Dia sudah membaik dan tengah tertidur."
"Baguslah."
Keduanya sama-sama terdiam hingga akhirnya sampai menuju kamar yang Arcelio tempati. Tanpa basa-basi Alleia langsung menendang pintu dan menatap penghuni kamar dengan dinding.
"Salam kepada, Yang Mulia Ratu. Kehormatan bagi Citrus."
Buk!
Baru saja salam disampaikan kedua orang dalam kamar. Kini Alleia sudah memukuli wajah pria, yang tepatnya calon selirnya.
"Ya- Yang Mulia?"
Buk!
Buk!
Buk!
Tinju terus dilayangkan Alleia. Tidak jelas apa yang diinginkan Ratu Citrus itu dan mengapa ia begitu marah. Alleia yang menyadari wajah tampan milik Arcelio terluka agak parah dengan lebam dan hidung patah. Dia segera menghentikan tinju dan terduduk di atas sofa sembari menenangkan diri.
"Duduk!"
Dengan tertatih Arcelio duduk di hadapan Alleia yang langsung menatapnya begitu tajam.
Namun, berbeda dengan Alleia yang tampak begitu marah dan emosi. Arcelio malah tersenyum bodoh dan berkata. "Syukurlah jika, Yang Mulia sudah baik-baik saja."
Oh, Tuhan!
Alleia menatap tidak percaya anak anjing di hadapannya ini yang ternyata benar-benar bodoh. Atau dia memang gila karena bukannya kesakitan dan merintih kesakitan. Arcelio malah menatap Alleia dengan penuh cinta dan aura merah muda.
Urian saja yang bahkan sudah lama menjadi ajudan Arcelio merasa Tuannya seperti orang aneh yang tidak waras saat ini.
Bak!
Bak!
Tidak bisa menahan emosi Alleia kini menendang tubuh Arcelio yang masih menatapnya sembari tersenyum dan mengatakan perkataan omong kosong.
"Sa-saya sangat menyu-kai."
Bak!
"Saya say- yang, Yang Mu- lia."
Bak!
Duk!
"Apakah bisa kamu menuruti perintahku hah?!"
Alleia dengan nafas tersengal menatap Arcelio yang tersenyum sembari terbatuk darah. "Ma-maaf."
Alleia meremas kepalanya frustasi. "Karena inilah aku menyuruh mu pulang agar aku tidak lepas kendali! Karena sekarang aku benar-benar muak dengan semua ini!"
Benar. Setelah kejadian semalam ia malah bermimpi buruk hingga mengganggu aktivitasnya hari ini. Ditambah para petinggi juga yang membuat masalah. Karena tidak ingin menyakiti orang-orang yang ia anggap bukan musuh agar tidak tersakiti karena sifat monster yang ia miliki. Ia menyuruh Hera untuk membuat Arcelio kembali.
Tapi dia malah membangkang dengan alasan bodoh. Padahal ia tidak mau menyakiti Arcelio, yang ia anggap seperti anak anjing hiburannya tersebut.
"Maaf," ucap Arcelio lirih berusaha kembali terduduk di atas kursi. Dengan wajah menyedihkan ia tersenyum lebar.
"Aku muak denganmu." Alleia membuang pandangan dari Arcelio.
Arcelio yang mendengarnya mematung, segera langsung bersujud menyentuh kaki Alleia. "Siksa saya sepuas yang anda inginkan. Jatuhkan saya dan buat saya berada dalam neraka. Tapi, tolong biarkan saya selalu ada di sisi anda."
"Kamu bisa lebih menderita, hancur lebih dari ini Arcelio."
Arcelio menggeleng. Sembari meletakkan wajahnya di kaki Alleia dengan lembut. "Saya akan selalu di sisi anda."
Duk!
Alleia menendang wajah Arcelio hingga terjungkal dan jatuh di lantai. Gadis itu merangkak, kemudian merayap ke atas tubuh Arcelio yang terbaring di lantai.
Rambut hitam gadis itu menjuntai jatuh mengenai pipi Arcelio yang lebam. Aroma lavender menyeruak masuk dalam Indra penciuman Arcelio. Dengan tangan lemah ia meraih helaian rambut tersebut lantas menciumnya.
"Apa yang kamu inginkan dariku anak anjing?"
Arcelio tidak marah dipanggil seperti itu. Malahan ia tersenyum sembari menatap penuh kasih sayang pada gadis yang kini berada di atas tubuhnya.
"Buat saya semakin jatuh dengan pesona anda. Buat saya semakin kesakitan, menjerit dan tubuh saya dipenuhi luka yang anda torehkan."
Alleia tersenyum lebar mengelus lembut wajah lebam Arcelio. Mulutnya kemudian mendekat menuju arah telinga Arcelio kemudian berbisik.
"Apa kamu ingin aku siksa hingga rasanya lebih baik mati dibanding hidup?"
"Iya."
"Apa kamu ingin aku lebih dalam dan lebih banyak menggoreskan luka di tubuh indah mu?"
"Iya."
"Bahkan jika aku mengambil semua yang kamu miliki hingga tidak tersisa satupun darinya?"
"Iya."
Alleia kembali menatap wajah itu dan kini ialah yang mulai tenggelam dalam tatapan bersungguh-sungguh milik Arcelio.
Wajah Alleia mendekat. Mengikis jarak diantara mereka. Deru nafas keduanya terasa satu sama lain. Hingga akhirnya kedua bibir manusia itu bersatu.
Setelah beberapa menit berlalu mereka berdua berhenti dan saling memandang dengan tatapan penuh arti. "Kalau begitu, lakukanlah apa yang kamu mau. Aku akan pergi."
Alleia hendak bangkit sebelum Arcelio menahan lengannya. "Terimakasih, Yang Mulia."
Alleia yang mendengar pernyataan itu tertawa kemudian berjongkok mengusap wajah malang yang baru saja ia rusak. "Aku akan kembali. Tolong jaga wajahmu. Karena itu yang paling berharga."
Arcelio memejamkan mata. Merasakan usapan lembut yang diberikan Alleia dengan khidmat. "Tentu saja, Yang Mulia."
"Kalau begitu aku pergi. Sampai jumpa lagi." Setelah mengucapkan perpisahan Alleia mengecup dahi Arcelio lantas meninggalkan ruangan diikuti Hera.
"Tuan!"
Setelah Alleia pergi dengan panik Urian mendekati Arcelio yang menutupi wajahnya yang memerah.
"Saya akan segera panggilkan dokter."
Sebelum benar-benar pergi Arcelio menarik tangan pemuda itu yang membuat Urian kembali terheran-heran.
"Urian, Yang Mulia baru saja mencuri ciuman pertamaku!" Arcelio berseru dengan senyuman cerah yang membuat Urian mengakui ketidak warasan Arcelio.
"Tubuh anda dipenuhi luka, Tuan."
"Ah, aku tidak ingin menghilangkan bekasnya, karena Yang Mulia sendirilah yang langsung melakukannya."
Urian mundur perlahan-lahan terduduk di pojok ruangan. "Tuan, tahukah anda itu tidak waras?"
Arcelio tertawa kemudian menari-nari senang. "Aku tahu, tapi ini semua terasa menyenangkan."
"Hahaha,"
Urian tertawa, sepertinya mentalnya sudah rusak dengan sikap gila tuannya tersebut.
"Ya, walaupun begitu aku tetap harus menemui dokter untuk segera menyembuhkan luka di wajahku. Karena Yang Mulia mencintai pria tampan."
Dengan lemas Urian berdiri sembari mengacungkan jempol lantas keluar kamar.
Sepanjang perjalanan ia masih tertawa. Karena melihat mental Tuannya yang rusak sepertinya ia ikut kena getahnya.
Bersambung...
17/09/2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top