25. Happy Family

Alleia menatap jendela dari kamar dengan dominasi warna ungu dan dipenuhi barang-barang empuk menggemaskan. Dia menatap pemandangan kota yang diterangi cahaya lampu malam. Suara samar-samar terdengar dari luar kamar menandakan beberapa orang lewat hilir mudik. Desau angin teras menyejukkan, menerbangkan helaian surainya yang mengombak diterpa angin.

"Bunda? Kenapa, Bunda ada di sini?" Dari arah kamar mandi keluar gadis kecil dengan surai pirang dengan wajah bingung. Alleia menanggapi putrinya tersebut dengan membuka kedua tangannya lebar-lebar meminta pelukan yang langsung dimengerti oleh sang empu dengan senyuman manis.

"Kamu keramas malam-malam? Kamu akan sakit nanti. Jangan dibiasakan." Alleia mengomel sembari mengeringkan rambut putrinya yang terkikik pelan. "Bunda tumben ke sini. Aku kira, Bunda akan menghabiskan malam di istana para ayah." Mendengar penuturan polos tersebut Alleia tertawa geli. Bagaimana mungkin putrinya ini bisa begitu polos berkata demikian?

"Entahlah. Hanya saja, Bunda merasaingin bersamamu sekarang. Sudah lama kita tidak menghabiskan waktu berdua bukan?" gadis dengan bibir merah menwan tertawa geli. "Baiklah. Terserah, Bunda. Tapi, Bunda, jujur saja sekarang aku sudah cukup besar untuk tidur sendiri." Alleia mengangkat sebelah alisnya tidak percaya. "Kamu masih tujuh tahun putri."

Cheonsa berdecak kesal sembari merenggut membuat Alleia kembali tertawa. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Cheonsa kini sudah genap berusia tujuh tahun. Bayi dengan kulit kemerahan yang kemarin masih tertatih-tatih berjalan sudah bisa tidur sendiri dan bicara dengan baik. Kenapa anak-anak begitu cepat dewasa?

Alleia mengikuti putrinya yang membaringkan diri di atas ranjang. Dengan inisiatif Alleia mematikan lampu dan tidur di samping sang putri yang terlihat kelelahan berusaha tertidur lelap. "Cheonsa," panggil Alleia lembut. Gadis itu melirik bundanya tersenyum. "Ya, Bunda?"

"Karena kamu sudah dewasa. Mau, Bunda beritahu rahasia, Bunda?" Pertanyaan itu mendapat respon cepat dari gadis tujuh tahun itu yang langsung mengagguk cepat. Dengan hati berat Alleia tersenyum. Benar, ini sudah keputusannya. Dia benar-benar harus melepas masa lalunya dan menikmati hidupnya kini dengan benar. "Bunda bukan berasal dari dunia ini."

Cheonsa mengerjab bingung. "Bunda bukan, Alleia yang asli. Bunda bukan putri kerajaan atau pun berasal dari dunia fantasi seperti ini. Bunda dari dunia yang berbeda." Alleia menghembuskan nafas berat, melirik Cheonsa yang menatapnya berusaha mencerna ucapan tidak masuk akal tersebut. Dengan ekspresi gugup Alleia tersenyum kecut menggaruk rambutnya. "Bunda tahu ini tidak masuk akal. Tapi, ini adalah kenyataanya. Bunda.., hanya ingin jujur sepenuhnya padamu."

Cheonsa yang melihat ekspresi asing itu segera menggeleng cepat. Benar, itu bukanlah hal yang masuk akal. Tapi, bundanya tidak pernah berbohong padanya selama ini. Wanita di hadapanny ini selalu menyayanginya dengan tulus. Krena itu, tidak ada alasan untuknya tidak mnerima pengakuan bundanya. "Tidak, Bunda. Aku hanya sedikit bingung. Tapi, aku putrimu. Aku akan selalu mempercayaimu."

Alleia terenyuh, dia mendekap putrinya hangat dengan napas memberat serta netra yang bergetar. "Tidak peduli. Pada kenyataannya. Kamu adalah satu-satunya putriku yang berharga." suaranya bergetar, setelah sembilan tahun tinggal di dunia ini. Setelah perjalanan panjang melepaskan masa lalunya yang buruk dengan segala pertimbangan. Akhirnya dia benar-bennar seutuhnya bisa menerima dirinya dan kehidupannya saat ini.

Kelegaan luar biasa menyeruak. Memenuhi dadanya, kehangatan, kedamaian, cinta, semuanya berkumpul mengisi hatinya yang sudah lama kosong. Warna pekat kegelapan yang menodai jiwanya perlahan-lahan memudar seakan disucikan kembali untuk memulai hidupnya yang baru. "Aku sangat mencintaimu, Sayangku."

Gadis dengan hati batu, penuh kegelapan, kejahatan, dendam juga darah. Melepaskan segalanya, berusaha menerima atas segala hal, hingga telah mendapatkan kedamaian yang akhirnya membuat dadanya tentram. " Lalu, siapa nama, Bunda yang asli? Bagaiman dunia yang bunda tinggali? Aku ingin tahu semuanya!"

Alleia dengan suasana hati penuh keharuan kembali tersenyum. "Bunda akan ceritakan segalanya. Perkenalkan, nama pertamaku Angela. Awalnya aku bermimpi sebagai penyanyi, hingga semuanya hancur berantakan membuatku beralih haluan menjadi pembunuh karena satu insiden. Aku dikenal dengan inisial princess sang pembunuh berantai."

Sekarang. Dia benar-benar sudah berdamai atas masa lalunya.

.

.

.

"Piknik bersama?"

Kini mereka semua tengah sarapan bersama dengan semua anggota keluarga. Tentu saja dengan para ayah, Celestin, Alleia serta Cheonsa. "Kenap tiba-tiba?" tanya Alleia dengan bingung.

Setelah semalam bercerita segala hal dengan Cheonsa. Gadis kecil itu nampaknya ingin menyenangkan hati bundanya itu. "Ingin saja, Bunda memangnya tidak ingin?" Alleia menggeleng. "Tentu saja, Bunda ingin. Tapi, seperti yang kamu ketahui. Kita tidak bisa mendadak karena semua orang sibuk dan harus menyeleraskan agenda jika ingin pergi istirahat bersama."

Cheonsa mengehela napas kecewa. Ya, mau bagaimana lagi. Dia tidak bisa egois karena dia sendiri tahu apa kewajibannya sebagai anggota keluarga kerajaan. Tidak kehabisan ide, dia kembali berbicara. "Bagaimana kalau membuat potret satu keluarga lengkap bersama. Aku hanya pernah membuat potret dengan, Bunda dan Kak Celestin sebagai anggota keluarga resmi. Dan juga hanya pernah membuat potret sendiri-sendiri dengan para ayah. Bukankah ide bagus?"

Javan yang duduk di samping Cheonsa mengambil serbet dan membersihkan mulut gadis itu yang terdapat noda makanan. "Itu ide yang bagus sayang. Nanti kita akan cari waktu yang sesuai." Cheonsa berterima kasih pada Ayah yang dibalas usapan lembut di kepala.

"Dalam pengamatanku, waktu yang pas dari semua jadwal yang ada adalah hari libur nasional dua minggu ke depan. Tepatnya tanggal 28 hari senin pukul tiga sore. Semua orang dalam jadwal kosong pada waktu itu." Papa Zaniel berkata dengan cermat, mengingat jadwal yang pernah diberitahukan oleh semua orang di sini untuknya saat bisa mengambil waktu bermain dengan Cheonsa.

"Ingatanmu sangat bagus, Zaniel. Sepertinya di sini tidak ada yang keberatan dengan itu," ujar Alleia mengangguk semangat. "Bagaimana dengan pesta teh kecil sebagai gantinya. Potret bersama tidak akan lebih dari sepuluh menit. Waktu yang tersisa bisa digunakan untuk pesta teh kecil di rumah kaca." Daddy Arcelio ikut berpendapat, yang langsung mendapat respon baik dari anggota yang ada. Benar, rumah kaca itu adalah hadiahnya untuk Cheonsa di ulang tahunnya yang keenam. Tepat di samping istana putri.

"Aku setuju, dan hal itu. Kita bisa bermain beberapa permainan dan alat musik untuk menghabiskan waktu." Noelani juga berpendapat karena di dalam pikirannya itu juga bisa menjadi sarana kemampuan musik putri bisa diasah dalam keadaan bersenang-senang sekali pun.

"Untuk penjagaan aku akan mengumpulkan paa kesatria terbaik untuk berjaga." Kali ini Michael yang bersuara yang langsung diiyakan oleh Alleia. "Ini ide yang bagus. Celestin kamu mau memberikan pendapat?" Pemuda berusia tujuh belas tahun itu mengangguk. "Bagaimana jika kita sekalian membuat tantangan untuk putri agar mengadakan pertunjukkan. Karena Cheonsa sudah lama tidak melakukan pertunjukkan lagi. Itu pasti akan menyenagkan."

Cheonsa yang mendengarnya merenggut. "Aku sudah besar, Kak. Aku tidak mau mengadakan pertunjukkan seperti anak kecil." Semua orang yang mendengar keluhan gadis kecil itu tertawa. "Sepertunya, Kakakmu benar. Kamu yang megusulkan ini lho. Jadi kamu harus membuat acaranya meriah." Alleia tersenyum lebar menahan tawa melihat ekspresi gadis kecilnya.

"Baiklah, tapi aku tidak berjanji akan bagus." Dengan pipi bersemu merah Cheonsa memmalingkan wajah yang membuatnya tambah menggemaskan.

.

.

.

Dua minggu kembali berlalu, sekarang semuanya tengah berkumpul dengan pakaian putih senada menghadap alat potrt sihir yang baru saja dkembangka departemen sihir. Cukup lama mereka diam dengan posisi yang tetap sebelum mereka berganti pose yang awalnya formal menjadi bebas berdasarkan ide ratu. "Potretnya sudah selesai. Kami akan mengirimkan hasilnya paling lama seminggu dari sekarang."

"Apa bisa kamu menyalin gambar itu lebih banyak untuk bisa kami miliki sendiri?" Pertanyaan terlontar dari mulut Zaniel. Sedang penyihir yang diutus tersebut menggaruk tengkuknya pelan. "Itu cukup sulit, Tuan. Jika untuk masing-masing orang bisa menghabiskan waktu tiga bulan agar bisa mendapatkan hasil sempurna."

Alleia yang setuju dengan ide Zaniel ikut berbicara. "Itu tidak masalah. Karena sulit mendaptkan potret dalam waktu cepat. Aku pikir kamu bisa mengirim itu setelah tiga bulan berlalu. Penyihir itu mengangguk mantap dengan semangat. "Saya akan pastikan hasilnya sempurna. Kalau begitu saya pamit lebih dulu."

Cheonsa menatap sekelilingnya. "Bunda, ayo kita pesta teh. Aku sudah menyiapkan pertunjukkan dari lagu yang, Bunda ajarkan." Alleia tertawa mengusap rambut gadis surai pirang tersebut dan menggandengnya menuju rumah kaca diikuti oleh yang lain.

Di rumah kaca tersebut meja bundar besar sudah terdapat dengan kursi yang mengelilinginya. Dekorasi elegan dengan dominasi warna ungu menghiasi sepanjang penjuru rumah kaca, sudah jelas yang menyiapkannya adalah Cheonsa. Sementara di depna meja dengan jarak agak jauh, sudah ada panggung kecil tempat gadis kecil itu akan menapilkan pertunjukkan.

"Selamat datang pada hadiein sekalian." Cheonsa menunduk hormat dengan mengangkan kedua sisi gaunnya dengan elegan, penonton tersenyum hangat melihatnya. "Saya Cheonsa Custadio akan memberikan pertunjukkan istimewa bagi para hadirin sekalian." Dari belakang panggungg orang dengan kostum ungu menyiapkan piano serta kursi di belakang Cheonsa.

"Kali ini saya menyiapkan lagu berjudul 'Harta Berharga'." Semua orang menatap gadis itu yang menunduk hormat lalu mulai duduk di depan piano dan mulai memainkan nada-nada lembut yang membuat sebagian penonton mulai berfokus menikamati alunan senandung lembut yang dikeluarkan dari bibir gadis itu.

"Harta yang paling berharga adalah keluarga.

Istana yang paling indah adalah keluarga~"

Alleia tersenyum lembut, lagu ini adalah lagu yang dia benci saat di kehidupannya dulu yang seperti sampah. Tapi, melihat putrinya yang menyanyikan itu, bukankah dia berhasil mengubah hidup putrinya agar tidak memiliki kehidupan buruk yang dia miliki? Memberikan segala cinta juga kasih sayang. Juga keluarga bahagia.

"Puisi yang paling bermakna adalah keluarga.

Mutiara tiada tara adalah keluarga~"

Arcelio tersenyum hangat, dia tidak pernah menyangka gadis kecil itu sekarang sudah bertumbuh dengan baik. Menjadi begitu anggun dan bertelenta, padahal dulu gadis itu masih merengek di kakinya meminta unicorn dalam semalam. Sekarang gadis itu bersinar di bawah cahaya mentari sore yang membawa desau angin pergi.

"Selamat pagi emak.

Selamat pagi abah.

Mentari hari ini.

Berseri indah~"

Noelani tersenyum bangga, tidakkah usahanya tidak sia-sia. Kemampuan putri kecilnya setara dengan para genius dengan didikannya selama ini. Dengarlah, suara piano yangmengalun sempurna dalam setiap notnya. Juga bagaimana nyanyiannya yang begitu merdu, menghanyutkan para pendengar dengan baik.

"Terima kasih emak.

Terima kasih abah.

Untuk tampil perkasa.

Bagi kami putra putri yang siap berbakti~"

Javan menatap teduh putrinya. Sekarang dia memiliki dua malaikat kecil yang harus dia lindungi. Gadis kecil yang kemarin masih terbata memanggilnya kini mengalunkan lagu dengan mempesona. Benar, malaikat yang kini memenuhi hatinya dengan kedamaian yang indah.

"Puisi yang paling bermakna adalah keluarga.

Mutiara tiada tara adalah keluarga~"

Zaniel menatap dalam satu-satunya cahaya yang dia miliki. Satu-satunya yang akan dia kasihi hingga akhir. Satu-satunya putri yang dicintai. Gadis kecil yang sudah merubah hidupnya sepenuhnya dengan menjadikan dia sebagai alasan utama untuk bisa bahagia menjalani hari demi hari. Putri kecilnya yang berharga.

"Selamat pagi emak (sayang)

Selamat pagi abah (abah sayang)

Mentari hari ini.

Berseri indah~"

Michael tidak tahu berapa kali lagi harus terpesona dengan gadis mungil yang selalu berada dalam dekapannya. Semua hal yang dia lakukan sangatlah luar biasa. Tidak pernah membuatnya berhenti takjub, bahkan dia tidak tahu akan se-sempurna apa gadis itu akan tumbuh ke depannya.

"Terima kasih emak.

Terima kasih abah.

Untuk tampil perkasa.

Bagi kami putra putri yang siap berbakti~"

Celestin bisa merasakan hatinya yang menghangat, campur aduk dengan berbagai rasa indah yang tidak bisa dideskripsikan. Lagu yang dibawakan benar-benar tepat untuknya saat ini. Setelah selama ini sengsara, wanita denga julukan iblis menyelamatkannya dan membawakan malaikat kecil yang membuat hidupnya sempurna. Membuat keluar bahagia baginya.

"Selamat pagi emak.

Selamat pagi abah.

Mentari hari ini.

Berseri indah~"

Di ujung rumah kaca, gadis dengan surai hijau mengamati semuanya. Keluarga yang dia layani berkumpul dengan hangat. Sebuah kebahagian juga kepuasan pribadi baginnya sebagai pengamat kisah ini dari awal. Semuanya berubah, lebih cerah, lebih hangat juga bahagia. Dia berharap ini tidak akan pernah berakhir.

"Terima kasih emak.

Terima kasih abah.

Untuk tampil perkasa.

Bagi kami putra putri yang siap berbakti.

Di hari berseri indah~"

Lagu selesai dibawakan, tepukan diberikan dengan meriah dibalas salam hormat gadis yang tertawa cerah dari atas panggung kecil miliknya. "Terima kasih semuanya. Semoga kalian menikamati pertunjukkan ini."

.

.

.

Di istana utama, Cheonsa menatap potret besar yang berisikan keluarga besarnya. Dia berharap ini akan abadi, selama-lamanya. Keluarga yang sempurna penuh dengan kehangatan. Dengan kepuasan yang luar biasa dia berjalan pergi. Kali ini tujuannya adalah istana pangeran. Tempat kakaknya tinggal. Tadi saat bertemu bunda dia dikabari kalau Celestin tengah sakit dengan demam tinggi.

Tok, tok, tok.

"Kakak. Ini, Cheonsa. Boleh aku masuk?"

"Masuklah."

Dengan hati-hati gadis itu membuka pintu dan mendapatkan tubuh lemah kakaknya terbaring lemah dengan wajah memerah. "Kakak. Apakah rasanya sakit sekali?" Celestin tertawa kecil mendengar pertanyaan polos adiknya. " Tentu saja. Ini sakit tapi tidak sakit sekali." Cheonsa mengangguk mengerti.

Dari arah pintu pelayan membawakan semangkuk bubur hangat untuk Celestin. "Tolong berikan padaku. Aku akan menyuapi, Kakak." Cheonsa mengambil bubur dari pelayan yang berada di atas nampan dan menyuapi kakaknya yang terbatuk dengan tawa kecil.

"Kamu tida perlu menyuapiku. Aku bisa makan sendiri." Cheonsa menggeleng keras. "Aku akan menyuapi, Kakak. Seperti, Kakak yang selalu menyuapiku saat aku sakit. Jadi jangan larang aku melakukan hal yang sama." Celestin kembali terbatuk dengan wajah memerah, kepalanya pusing dan adiknya keras kepala. Jadi mau tidak mau dia mengikuti kemauan Cheonsa.

"Hehehe, Kakak baik." Cheonsa menyuapi kakaknya yang menelan makanan yang dia berikan. "Cepat, sembuh. Kak."

Celestin tersenyum teduh mengangguk. Dia berharap kehangatan ini akan abadi, bukan hanya mimpi utopis belaka.

Song: Harta Berharga - Bunga Citra Lestari

Bersambung...

23/02/2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top