24. Little Princess
Seorang gadis dengan rambut pirang panjang dengan netra amethys-nya berkilauan di bawah sinar mentari. Bibir merahnya yang manis dengan kulit seputih porselin terlihat begitu mempesona. Aura yang begitu hangat, melambangkan mentari yang menyinari pagi. Begitulah kehadirannya yang membawa berkah bagi siapa pun yang dicintai.
Dengan mata bulat dia mengendap-endap dalam semak-semak. Sementara itu para pengawal berkeliaran dengan gelisah mencari gadis yang mulai sering kabur dalam sebulan terakhir. "Yang Mulia, Putri. Anda ada di mana?"
Sembari tertawa kecil dia menutup mulutnya dengan rapat. Setelah pengawal itu pergi, dia keluar dari persembunyiannya dan berlarian kabur dari orang-orang membosankan. Di tengah pelariannya dia bertemu Papa yang menggendongnya tersenyum tipis. Dari balik topeng burung hantunya pria itu menyipitkan mata menatap dirinya dari atas sampai bawah. "Mencoba kabur lagi?"
Gadis itu memanyunkan bibir sebal. "Papa. Bisakah, Papa pura-pura tidak tahu dan membiarkanku kabur?" Matanya mengerjab memohon. Gadis berusia lima tahun itu sudah tahu bagaimana caranya mendapatkan keinginannya dengan memanfaatkan keimuatan miliknya. Sedangkan papanya sendiri masih tersenyum sembari mencak-ngacak rambut pirangnya. "Papa! Cheonsa mohon.., sekali ini.., saja. Janji."
"Kamu berbohong. Kemarin kamu juga berkata seperti itu."
Cheonsa, Putri Mahkota Kerajaan Citrus. Ratu masa depan yang sudah dijanjikan. Sudah sepatutnya dia mengikuti berbagai kelas di usianya yang muda. Bagaimana pun kelasnya lebih ringan di banding kelas suksesi yang lain karena bundanya tidak mau dia stress karena belajar. Walau begitu dia benci hal membosankan, terlebih pelajaran sejarah, bahasa dan tata krama yang diajarkan bapak Noelani. Dipastikan dia bisa mati hanya dengan mneyentuh buku pelajaran.
"Papa~ Sayang, Papa banyak-banyak~" Papanya tidak bisa menolak godaannya. Dari dulu selalu begitu, dengan kecupan ringan di dahinya. Cheonsa digendong oleh papa dan menaiki pohon. Mereka melompat dari pohon ke pohon sampai ke tempat persembunyian rahasia mereka yaitu rumah pohon yang sangat tersembunyi hadiah ulang tahunnya yang kelima dari Papa Zaniel.
Dengan senyuman lebar dia menatap pemandangan Istana dan Ibu kota. Tempat ini benar-benar strategis dan bisa melihat pemandangan dari berbagai sisi yang begitu memukau. "Kamu suka?" Cheonsa dengan cepat mengangguk. Papanya adalah ayah keduanya yang lembut sekaligus tidak banyak bicara. Tapi dia selalu melakukan apapun yang dia inginkan jika masih termasuk kategori yang baik. Papanya adalah orang yang benar-benar baik di banding semua orang di istana.
"Cheonsa, kamu tahu kenapa , Papa bawa kamu ke sini?"
Cheonsa menggeleng. Dia tidak tahu, tapi setidaknya dia bisa menebak kalau Papanya akan menceramahinya tentang yang baik dan meninggalkan yang buruk. Menurutnya ajaran itu hal yang mudah baginya karena bundanya sendiri yang bilang kalau dia mewarisi kebaikan hati Papa Zaniel. "Jangan berbuat buruk walau itu memiliki alasan. Karena selalu ada waktu kamu akan menyesali hal itu. Setidaknya jika itu terjadi kamu harus memperbaikinya. Papa tahu kamu anak yang baik. Tapi tidak semua di dunia ini adalah hal baik."
"Aku mengerti," jawabnya dengan senyum polos. Zaniel yang melihatnya ikut tersenyum memangku tubuh mungil putrinya.
"Papa, apakah papa akan menjagaku selamanya?" Tiba-tiba Cheonsa bertanya hal lain yang membat Zaniel tersenyum pahit. "Papa tidak tahu, saat kamu dewasa nanti. Banyak hal yang berubah dan tidak selamanya Papa bisa menjagamu. Tapi Papa berusaha akan terus menjagamu selama Papa masih hidup."
Pria dengan topeng burung hantunya mendekap lebih erat tubuh kecil putrinya. Angin berhembus lembut menerpa keduanya merasakan hembusan sejuk yang membuatnya terenyuh dengan santai memandang pemandangan.
.
.
.
Cheonsa sudah menduga, ketika dia kembali. Salah satu ayahnya yang kerap dipanggil 'Bapak' itu sudah menunggunya di kamar. Kamar dengan dominasi warna ungu favoritnya terasa mencekam dengan senyuman tersembunyi dari balik buku yang tengah dibaca Noelani.
"Bapak. Ada apa, Bapak kemari?" Cheonsa tersenyum dengan memamerkan deretan gigi susunya dengan berusaha menahan degup jantung yang tidak karuan. Karena pria di hadapannya ini sangat menyeramkan.
Sembari menyuruput teh dan meletakkan buku yang tengah dia baca. Pria dengan surai pirang persis seperti gadis di hadapannya tersenyum. Lebih tepatnya senyuman yang memiliki arti lain di baliknya. "Kamu bolos kelasku lagi hari ini. Bukankah begitu?"
Susah payah gadis kecil itu meneguk salivanya sebelum menjawab jujur. "Maaf, aku bolos karena itu sangat membosankan." Dengan tatapan tajam Noelani tersenyum tipis. "Bukankah selama ini juga selalu membosankan? Bukankah aku sudah memberitahumu kenapa belajar itu penting, Putri?"
Lagi-lagi Cheonsa menahan napas berusaha mengendalikan perasaannya. Apalagi ketika Noelani memanggilnya Putri berarti kali ini dia benar-benar marah. "Maaf." Tidak ada yangbisa dikatakan gadis itu selain permintaan maaf. Itu pun cukup sulit karena rasanya air mata sudah mengenang hampir berjatuhan.
Noelani menghela napas. "Baiklah, aku akan memaafkanmu kali ini dengan ganti kelas akan ditambah satu jam." Cepat-cepat Cheonsa mengangguk, itu lebih baik dari hukuman tata krama yang harus beridiri berjam-jam dengan buku di atas kepala. "Tapi, apakah kamu berjanji untuk tidak melakukannya lagi?"
Pertanyaan ini adalah satu-satunya yang tidak bisa dia jawab karena dia tidak mau berbohong. Sebagai ganti dia tersenyum dsembari mengucapkan maaf sekali lagi yang dibalas hembusan napas berat. "Baiklah, mari kita mulai kelas hari ini. Kita akan membahas pelajaran bahasa dan struktur kepenulisan formal untuk orang-orangpenting."
Cheonsa melangkah menuju meja belajar di kamarnya dan mulai membuka buku. Walau bersikap tegas bahkan keterlaluan juga sering mendapat teguran dari bunda. Bapak adalah salah satu ayahnya yang sangat mementingkan pendidikan apa lagi untuk dirinya yang akan menjadi penerus sah kerajaan dan Ratu masa depan.
"Pendidikan itu nomor satu, karena ada masa kamu akan memakai ilmu itu ketika dalam kondisi darurat yang bisa saja menyalamatkan hidupmu."
Ya, setidaknya itu yang selalu dikatakan Bapak padanya soal pentingnya pendidkan. Mau bagaimana pun perkataanya tidak sepenuhnya salah. "Apakah kamu mendengarkan?"
Cheonsa yang tersadar dari lamunannya langsung mengangguk. "Baiklah, kamu harus lebih kesetrasi." Setelah mengatakan hal itu makanan ringan sehat datang, katanya untuk mengisi tenaganya agar terus bertenaga dan demi kesehatan. "Terima kasih, Bapak." Kali ini dia bisa melihat senyuman tulus dari wajah Noelani yang mengecup dahinya lembut. Cheonsa sadar betapa Bapak menyayanginya dengan caranya sendiri.
.
.
.
Setelah kelas selesai dia pergi makan siang bersama bunda dan kedua ayahnya yang lain. Di ruang makan istana utama sudah ada bundanya menunggu dengan didampingi dua pria di sisinya. Ayah Javan juga Daddy Arcelio. "Salam kepada, Yang Mulia Ratu. Kehormatan bagi Citrus." Cheonsa mengangkat kedua sisi gaunnya dan menunduk hormat yang langsung dabalas anggukan.
"Sepertinya kelasmu lebih lama hingga pelajaran itu terserap dengan baik. Apa ini karena kamu kabur lagi?" Alleia bertanya pada putrinya yang baru saja duduk di kursi. "Hahaha, Iya. Tapi, Chensa tidak sendiri. Kali ini papa yang menemani Cheonsa kabur."
Mendengar jawaban polos tersebut mebuat Alleia tertawa. "Bukankah bapak terlalu keras padamu? Sepertinya aku harus menceramahinya agar tidak keras pada anak kecil. Aku tidak mengerti kenapa anak kecil harus belajar padahal harusnya menghabiskan waktu dengan bermain."
Cheonsa tertawa, makanan mulai berdatangan. Javan yang berada di samping Cheonsa memotong daging di depannya kecil-kecil dan memberikannya pada Cheonsa. "Makan yang banyak. Kamu butuh asupan untuk mengisi kembali energi." Cheonsa tersenyum lebar dan mengambil piring dari ayahnya dengan senang hati. "Terima kasih, Ayah."
Alleia menatap putrinya dengan senang. "Kamu tumbuh dengan baik. Aku yakin, Kamu akan jadi Ratu yang sempurna di masa depan." Choensa hanya mengangguk dengan makanan yang memenuhi mulutnya. Dari keluarganya yang istimewa. Bundanya adalah yang paling perhatian dan selalu mementingkan kebahagiaannya. Tidak peduli jika itu adalah hal buruk yang dia inginkan. Bundanya akan mendukung dan memberikan segalanya.
"Sepertinya agar lebih semangat kamu harus mendapatkan hadiah lagi. Bagaimana?" Dengan mulut penuh Cheonsa melirk Daddy yang tersenyum nakal di seberang meja dengan kedipan jahil. "Jangan memberikan sesuatu yang terlalu besar untuk anak kecil. Hadah sebelumnya saja belum dipakai oleh, Cheonsa." Javan berkata membuat Arcelio berdecih kesal.
Tapi anak-anak selalu suka hadiah. Jadi Cheonsa dengan cepat menelan makanannya berkata dengan semangat. "Aku juga mau hadiah lagi dari, Daddy." Mendengar jawaban putrinya pria dengan manik hazelnya mengangakat sebelah alis, mengejek Javan yang dianggap oleh sangat kekanakan. "Tentu saja, sehabis ini kita ke ruang kerja, Daddy ya."
Cheonsa mengangguk. Kali ini pun dia mendapat kasih sayang lagi dari keluarganya. Dia benar-benar sungguh diberkati.
.
.
.
Cheonsa kini sudah di ruang kerja Daddynya yang khas. Dari dulu Daddynya adalah yang memiliki selera mewah di banding keluarga yang lain. Karena ruang kerjanya saja dihiasi dengan emas murni. "Daddy, mana hadiahnya?" Gadis kecil itu mengulurkan tangan di depan Arcelio yang membungkuk mengambil sesuat dari balik meja kerja.
"Tutup matamu dulu sampai Daddy bilang buka." Cheonsa menuruti intruksi Arcelio dan menutp mata dengan kedua tangan mungilnya. "Sudah belum?" tanya putri kecil dnegan ekspresi imut yang membuat Arcelio merasa akan mati dnegan keimutannya. "Daddy hitung sampai tiga, nanti buka matanya ya." Arcelio membawa kotak dnegan bungus kado dan mengendap pelan ke dekat putrinya.
"Satu, dua, tiga!"
Cheonsa membuka mata dan berseru kegirangan mengambil kotak kado di tangan Arcelio. "Cheonsa bilang apa sama, Daddy?" Dengan senyuman lebar gadis itu berjingkat dengan senyum leabr lantas mengecup pipi Arcelio. "Terima kasih, Daddy. Aku sayang, Daddy."
Arcelio tertawa mencubit gemas kedua pipi mungil putri kecilnya. "Ayo, buka sayang. Kita lihat apa yang ada di dalamnya." Cheonsa dengan cepat merobek bungkus darikotak kado itu dan melihat apa yang ada di dalamnya. "Wah! Boneka bayi! Ini lucu sekali, Daddy! Aku menyukainya!" Dengan girang Cheonsa mendekap boneka tersebut dengan erat membuat Arcelio tertawa puas.
Cheonsa menyayangi Daddynya. Jika yang pertama yang selalu memanjakannya adalah bunda. Maka Daddy mendapatkan nomor urut kedua, Karena Daddynya adalah yang paling sering memberikan hadiah baru yang sangat dia sukai. Kasih sayang Daddy adalah menghabiskan uangnya untuk diberikan pada dirinya dan bunda. Dan dia menyukai hal itu.
.
.
.
Cheonsa menggendong boneka bayinya sembari bersenandung ria berjalan menuju tempat pelatihan keamanan istana. Sepanjang siang ini dia bermain dengan Daddy Arcelio hingga beliau harus kembali bekerja dan membuat tujuannya kali ini menuju Papih Michael.
"Papih!" Di depan lapang luas dia melihat Papih dengan serius menghunuskan pedang menjatuhkan lawannya. Dengan wajah bercucuran keringat Michael yang mendapati kedatangan Chonsa tersenyum lebar. "Putri!"Dengan mengelap keringatnya dengan haduk segera dia berjalan menuju Cheonsa dan menggendongnya tinggi-tinggi mebuat gadis itu tertawa riang.
"Ada apa putri manis ini kemari?" tanya Michael dengan hangat. Sedangkan para penjaga meberi hormat pada Cheonsa. Mereka dengan takjub melihat rupaputri yang begitu menawan. Sangat pantas untuk dilkatakan sebagai putri kerajaan. "LIhat, tadi Cheonsa dapat hadia boneka bayi dari daddy. Bagus tidak, Papih?" Michael yang mendengarnya hanya mengangguk dengan senyuman.
"Siapa nama bayinya?" Cheonsa terdiam melirik Michael dengan mata bulat yang menggemaskan. "Benar, Cheonsa belum memberikannya nama. Berarti, Papih harus membantu Cheonsa untuk memberikan bayi ini nama."
"Baiklah, kalau begitu mari kita pindah dulu dan pergi ke kamar Papih."Cheonsa dengan senang mengangguk. "Papih, papih, ayo kita perginya yang seru." Dengan bingung Michael memiringkan kepal. "Cara yang seru?" Cheonsa mengagguk matap dengan mata bebinar.
"Oh, Cheonsa mau, Papih berubah jadi ular dan membawamu ke sana?" Cheonsa langsung mengangguk. Ayahnya yang lemah lembut ini adalah ayah baik yang kedua setelah Zaniel. Dia selalu terlihat lembut dan tidak berdaya di hadapannya dan akan memberikan yang Cheonsa inginkan dengan sekuat tenaga jika itu masih berada dalam radar kemampuannya. Karena Papihnya ini orang yang pesimis, dia selalu rendah diri dan terkadang posisi anak dan orang tua kadang terbalik dengan dirinya yang kadang harus lebih memahami Papihnya ini.
Dengan sekali petubahan Michael berubah jadi lar dan menundukkan kepanya pada putri. Cheonsa dengan senang hati menaiki Michael dan pergi menuju istana tempat para ayahnya tinggal. Sepanjang perjalanan dia tertawa riang dengan tangan menggenggam boneka barunya.
Setelah sampai Michael berubah kemabali menjadi manusia dan menggendong tubuh Cheonsa. Di kamarnya sudah ada bebrapa hidangan manis untuk Chepnsa yang sudah disipakan MIchael. Karena jujur saja pria ini selalu menyiapkan hal itu setiap hari karena selalu menanti agar Cheonsa bisa datang setiap hari.
"Wah, ada sorbet buah. Ada puding mangga juga." Michael dengan ekspresi teduh menatap putrinya yang memakan makanan yang dia siapkan dengan lahap. "Terima kasih, Papih." MIchael mengangguk menyodorkan lagi makanan lainnya.
"Bagaiman namanya strawberry saja. Seperti sorbet buah ini." Cheonsa yang lupa sejenak akan bonekanya langsung mendekapnya dan tertawa renyah . "Benar, sekarang namakamu, Strawberry. Halo, Strawberry!" Bagi Cheonsa, Papihnya adalah pribadi sederhana dan dapat membuatnya bahagia dengan hal-hal remeh yang terasa istimewa.
.
.
.
Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat. Cheonsa berpamitan pergi kepada Michael dan kembali ke istananya. Makan malamnya kali ini akan bersama kakaknya Celestin dan Ayah. Karena bundanya biasa mengahbiskan malam di istana tempat para ayahnya tinggal, karena itu urusan orang dewasa putri kecil ini tidak tertarik dan akan menghabiskan waktu dengan kakaknya disertai Ayahnya.
Setelah makan malam selesai. Mereka bertiga di tempat perapian berkumpul dengan membaca dongeng dan saling bercerita. Kakaknya Celestin itu sudah berusia lima belas tahun. Rupanya sangat tampan dengan surai berwarna ungu serta warna mata yang senada. "Jadi, Kakak ikut kelas berpedang tapi kemapuan kakak sangat sulit untuk berkembang. Sepertinya, Kakak tidak ditakdirkan bisa ahli dalam berpedang."
Cheonsa yang mendengarnya hanya menganguk seakan mengerti. "Ya, kemapuan orang berbeda-beda. Tapi, Ayah yakin, Kakak bisa melakukannya lebih baik lain kali." Ayah memberiakn wejangan dengan usapan lembut di kepala Celestin. "Lalu Cheonsa, apa yang terjadi padamu hari ini?"
Cheonsa dengan mulut manyun terlihat sebal. "Bapak Noelani marah-marah sama Cheonsa gara-gara Cheonsa bolos kelas dibantu papa. Tapi, Daddy nyemangatin Cheonsa dan ngasih boneka bayi ini. Terus dibantu papih buat ngasih namanya. Nama boneka bayi ini sekarang Strawberry." Selayaknya anak kecil, dia bercerita dengan sederhana dan penuh ekspresi mebuat kedua pria di depannya tersenyum gemas.
"Benar, ini boneka yang lucu bukan?" Cheonsa mengangguk mantap pada Celestin yang bertanya. Untuk kedua orang dihadapannya ini mereka terasa seperti support system untuk mengakhiri hari bagi Cheonsa. Karena mereka akan saling bercerita layaknya teman dan saling memberikan masukan.
Bagi putri kecil ini. Dia memiliki semua hal yang dibutuhkan seluruh anak kecil di dunia.
Bersambung...
23/02/2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top