20. Harem Life (3)

Aku tidak sering menulis surat. Tapi, kuharap kamu membacanya.

Bagaimana kabarmu?

Apa kamu baik-baik saja?

Aku harap kamu akan selalu sehat dan bahagia. Jangan tertekan dengan pelajaran. Jika kamu lelah, kamu bisa kabur dan segera kembali kemari.

Aku pikir ada banyak guru baik yang bisa mengajarmu di sini dengan suasana yang lebih nyaman.

Dan aku sudah mengirimkan beberapa mantel dan jaket untuk musim dingin. Kuharap kamu mengenakannya.

Dan terakhir, aku merindukanmu.

Tertanda, Bunda.

*

Saya sudah membaca semua surat dari, Anda.

Saya di sini baik-baik saja dan selalu menjaga kesehatan. Karena itu, Anda tidak perlu khawatir.

Saya begitu terhormat dengan tawaran yang, Anda berikan. Untuk sekarang saya masih ingin meneruskan pelajaran di akademi.

Dan untuk mantel baru yang, Anda berikan. Saya amat berterimakasih atas hal itu. Terimakasih hadiahnya.

Saya juga mengirim hadiah kecil untuk, Anda. Saya harap, Anda menyukainya.

Tertanda, Celestin.

*

Alleia tersenyum membaca surat balasan dari putranya tersebut. Untuk sebuah keluarga mereka masih terlihat sangat kaku. Terbukti dengan panggilan formal yang digunakan Celestin terhadap dirinya.

Sekiranya dia sudah menyelesaikan tugasnya sebagai ibu dengan baik. Pandangannya menatap langit, di luar sana sudah mulai gelap. Dengan merenggangkan tubuhnya dia keluar dari ruangan.

Javan sendiri sudah mengerjakan tugasnya sendiri dengan cepat, karena itu dia sudah kembali lebih dulu. Sedangkan Arcelio tampaknya masih sibuk berkutat di ruang kerjanya dengan urusan bisnis. Belakangan ini pria itu memang cukup sibuk.

Alleia menuju kamar untuk istirahat sebentar. Setelah membersihkan diri, Hera yang baru saja datang merawat tubuh Nonanya dengan seksama. Mulai dari pijatan tubuh, masker wajah hingga lulur.

Sedang Alleia sendiri terlelap hingga pukul tujuh malam dalam perawatan tersebut. Hingga setelahnya dia segera berpakaian dan pergi menuju Istana Selir. Tepatnya, menuju kamar Zaniel. Karena dikatakan dia yang mendapatkan nomor urut dua untuk menghabiskan malam bersama.

Lagi pula, karena dia belum makan malam. Mereka berdua akan sebelum bermain di atas ranjang. "Salam kepada, Yang Mulia Ratu. Kehormatan bagi Citrus."

Alleia tersenyum, kali ini dia mengenakan gaun biru muda panjang yang indah. Di ruang makan Istana. Mereka berdua makan berdua bersama, menanyakan kabar satu sama lain dan hal-hal sederhana lain.

"Apakah ada yang salah dengan makanannya?"

Zaniel dengan topeng burung hantu yang masih melekat di wajahnya menggeleng. "Tidak, saya hanya sedikit gugup."

Alleia tertawa, meminum air putih di depannya. "Jangan terlalu gugup, lagi pula aku tidak akan menyiksamu demi kepuasanku."

Zaniel mengalihkan pandangan dengan wajah bersemu merah. Alleia sudah menduga, pria misterius ini sebenarnya pemalu dan sulit menunjukkan perasaannya. Karena itu, dia terlihat sangat kalut dalam hal ini.

Alleia dengan senyum nakal merangkul pundak pemuda itu dari belakang dan membuatnya terhenyak untuk beberapa saat. "Apa kamu tidak pernah berkencan sebelumnya?"

Zaniel buru-buru menggeleng berusaha menjauh. Walau begitu, kecupan kecil bertubi-tubi dia rasakan begitu lembut di bagian wajahnya yang membuat dia merasa ingin meleleh di tempat saking malu sekalian senang.

Kecupan yang mendarat di telinganya, pipi, leher, hingga hidung. Semuanya begitu lembut, membuatnya memberanikan diri menggenggam tangan Ratu. Lantas mencium bibir wanita cantik tersebut.

"Hah,"

Alleia tertawa kecil, menarik diri dari Zaniel yang menatapnya dengan tatapan yang sudah dimabuk oleh perasaan campur aduk antara malu juga senang serta kebingungan yang polos. Wajah dingin itu ternyata bisa berubah seperti ini.

Alleia mendudukkan dirinya di atas pangkuan Zaniel. Matanya lekat-lekat menatap rupa prianya yang tidak tersentuh tersebut. Surai abu muda yang mempesona dengan topeng yang masih setia dia kenakan menampilkan manik safir yang begitu indah.

Dengan merengkuh leher pemuda tersebut, mereka kembali saling berpandangan dengan intens hingga keduanya kembali mendekat dan berciuman.

Alleia bisa merasakan tangan kokoh menggenggam pinggangnya mendekatkan diri mereka lebih dalam. Alleia melepaskan ciuman tersebut dengan wajah memerah karena kekurangan oksigen.

"Bukankah lebih baik kita melakukannya di kamar?"

Zaniel diam untuk sesaat lantas menggendong Alleia di depan dengan tatapan yang masih kokoh menyalak dirinya untuk menyatukan diri lebih dalam.

Ketika kamar baru saja ditutup keduanya terjatuh di atas ranjang yang sama. Alleia tidak bisa mengingat dengan jelas, bahkan jika Zaniel belum berpengalaman. Dia cepat tanggap dan peka. Hingga mereka mengakhirinya tepat dini hari dengan terbangun dan memandangi langit-langit kamar bersama.

Alleia membalikkan badan, menghadap wajah pria yang sedang menatap langit-langit kamar dalam diam. "Apa kamu tidak akan tidur?"

Zaniel melirik dan tersenyum. Alleia bahkan sampai menahan napas. Saat mereka melakukan itu di tengah-tengah, Alleia dengan agresif melepaskan topeng itu dan mencium pria itu dalam. Dan demi apapun, dia sangat tampan tanpa topeng itu.

"Sepertinya, Anda harus yang tertidur."

Alleia menghela napas panjang. Ya, benar sekali. Dia adalah Ratu yang super sibuk. "Tapi, Aku tidak bisa tertidur."

Zaniel membalikkan badannya menghadap Alleia dan menutup mata gadis itu dengan tangannya. Dengan lembut tubuh gadis itu jugalah ditarik dalam pelukannya. "Saya akan membatu, Anda untuk tidur."

Alleia tertawa kecil mendengarnya. Dengan pelan dia menurunkan tangan prianya dan memeluk balik pria tersebut.

"Aku ingin bercerita."

"Saya tidak tuli."

Alleia melirik kesal pemuda itu. Pria itu tersenyum tipis, sepertinya tingkah tsundere-nya mulai kembali bangkit dan itu sangat menyebalkan.

Walau begitu Alleia memejamkan mata, dengan mata setengah tertutup. Entah kenapa dia bercerita panjang sekali. Tentang kehidupan masa lalunya sebagai pembunuh berantai yang bahkan mungkin tidak masuk akal untuk putri yang hidup dengan berkecukupan.

Tapi pria itu tidak menyelanya sama sekali. Dia terdiam mendengarkan dengan seksama. Entah kenapa, setiap berada dalam keadaan bersama pria ini, Alleia merasa begitu aman. Dia tidak tahu kepercayaan itu berasal dari mana. Hanya saja dia merasa dia bisa tenang untuk berperilaku seadanya dan bercerita segalanya. Mungkinkah itu yang yang disebut dengan nyaman oleh orang normal?

Bahkan tanpa sadar dia sudah tertidur dalam dekapan pria itu yang mengerat. Samar-samar dia merasakan kecupan lembut serta kehangatan lain yang membuatnya merasakan kenyamanan tidak terbatas.

.

.

.

Gabriel menatap potret dirinya saat masih kecil. Gambar itu diambil oleh seorang madam yang menolongnya dari tempat kumuh di mana sebelumnya dia tinggal.

Lebih tepatnya wilayah protitusi, di mana ibunya yang seorang wanita malam membesarkannya tanpa Ayah. Hingga kematian ibunya, ada seorang wanita paruh baya yang terpesona dengan ketampanan anak kecil itu.

Dengan tawaran tempat tinggal dan kehidupan berkecukupan. Gabriel yang masih muda menerimanya dengan cepat hingga dia tahu bahwa wanita itu punya maksud lain.

Madam. Begitu dia menyebutnya, Gabriel yang memiliki paras begitu menawan selalu memikat siapa saja mendapatkan banyak pujian dengan kehidupan senang. Hingga kejadian itu berlangsung, tepatnya ketika dia berusia dua belas tahun wanita itu mengajarkannya untuk menjadi pria penghibur pribadinya saat malam hari.

Walau tahu itu adalah hal yang salah. Dia tidak punya pilihan lain, dia tidak mau dibuang dan hidup di tempat kumuh itu lagi. Karena itu, dia tumbuh dengan menjadi pria kecil simpanan madam.

Hingga kematian Madam di usianya yang lima belas. Dia mendapatkan seluruh aset wanita itu karena dialah satu-satunya yang dimiliki wanita janda tersebut. Juga terungkapnya pekerjaan gelap mengumpulkan informasi ilegal yang dipegang Madam.

Atas dasar hal itu dia memiliki pengaruh di dalam dunia hitam dalam informasi. Walau dia menjadi pria penggoda yang candu bermain dengan para wanita. Bahkan tidak segan jika itu wanita tua seperti Madam.

Walau sebenarnya dia sudah memiliki penghasilan pasti dari dunia hitam lewat orang yang membeli informasi. Tapi, tidak selamanya dia ingin tinggal di dunia kotor itu selamanya.

Karena itu, setelah mendapat kesempatan menjadi selir Ratu dia memilih hal itu. Setidaknya itu lebih terhormat di banding menjadi jajanan para Madam.

Setelah resmi menjadi selir. Dia sudah keluar menjadi pimpinan anggota informasi dan menjadi pensiunan yang berhak mendapatkan informasi gratis dari ketua yang baru.

Begitulah, kenapa dia menjadi begitu brengsek. Gabriel tertawa kecil, setelah ini dia hanya akan hidup tenang menikmati kemewahan istana ini.

Tentu saja dengan melayani Ratu dengan sepenuh hati.

.

.

.

Malam ketiga adalah giliran Javan untuk mendapatkan 'jatah' dari Ratu. Jujur saja dia engan melakukannya, walau berpengalaman. Dia sudah tidak pernah melakukannya lagi ketika istrinya meninggal.

Menenangkan pikirannya dia mulai duduk di kursi sembari menyantap beberapa dessert yang disediakan sembari melamun.

"Apa kamu menungguku?"

Javan tersentak ketika mendapatkan Ratu sudah ada di belakangnya menepuk pundaknya lembut. "Hahaha, padahal aku sudah memanggilmu dari tadi. Sepertinya kamu selalu sibuk berpikir."

Javan hanya menggeleng sembari tersenyum kecil. Tangannya memijat pelipisnya pelan. "Maafkan, Saya. Saya sedikit tidak fokus akhir-akhir ini."

Javan melirik gadis itu yang hanya tersenyum. Dia lalu duduk di samping Javan sembari meminta pelayan membawakan secangkir teh.

Javan masih saja gugup sebelum Alleia merebahkan tubuhnya dengan lemas di atas sofa. "Bukankah pekerjaan hari ini cukup melelahkan?"

Javan mengangguk, membenarkan. Tanpa sadar mereka malah mengobrol panjang soal pekerjaan hingga waktu tanpa sadar menunjukkan pukul sebelas malam.

Walau begitu Alleia terlihat mengantuk hingga Javan meminta izin untuk memindahkan tubuh gadis itu ke atas ranjang. Javan yang hendak bangkit ditarik Alleia ke atas kasur. "Apakah kamu tidak mau tidur bersama?"

Javan berdecak lirih. Padahal dia sudah mengalihkan pelayanan malam dengan mengobrol soal urusan negara untuk menghindari hal ini. Kalau begini dia sudah tidak punya pilihan.

Javan segera duduk di samping ranjang dan mulai merebahkan diri di atas kasur. Alleia dengan lemas membalikkan badannya menatap wajah Javan dari dekat membuat pria itu mundur.

"Tidurlah. Sepertinya, Anda sangat kelelahan."

"Baiklah."

Alleia menghembuskan nafas dan mulai memejamkan mata. Javan agak merasa bersalah, tapi dia belum bisa melakukannya.

Hingga saat kesadarannya mulai hilang. Alleia megecup bibirnya dan berbisik lembut. "Selamat malam."

Untuk malam itu, adalah malam pertama yang tenang setelah Ratu mempunyai Harem.

.

.

.

Untuk malam keempat, Gabriel sudah menyiapkan malam sempurna dalam keromantisan. Mulai dari hiasan, wangi-wangian, hingga bunga mawar yang berartikan cinta.

"Aku memang romantis."

Gabriel membanggakan dirinya sendiri. Dia juga sudah memilih pakaian pria yang seksi yang sepasang dengan pakaian wanitanya.

Saat Alleia sudah datang. Gabriel mendorong wanita itu untuk berganti pakaian untuk memakai pakaian yang mirip satu sama lain.

Seperti api bertemu api. Alleia sama seperti Gabriel yang membara soal masalah ranjang. Alleia bahkan harus mengacungkan jempol atas kemampuan Gabriel. Bahkan mereka melakukannya hingga langit mulai cerah.

Untuk pertama kalinya selain membunuh dia merasa tenaganya dikuras sebanyak itu oleh pria brengsek yang langsung tidur ketika Ratu berkata ingin bersiap bekerja.

"Ini gila, aku benar-benar kehabisan tenaga."

Padahal rasanya dia sudah mengimbangi kekuatan pria itu. Tapi tetap saja. Seorang ahli lebih berpengalaman. Antara senang dan puas. Tapi juga dia merasa setengah jiwanya akan keluar begitu saja.

"Gabriel si*lan." Bahkan ketika dia mandi. Kali ini Hera harus membantunya karena dia kehabisan banyak tenaga.

Ingatkan untuk ini. Dia harus menambah suplemen sebelum bertemu kembali pria brengsek tersebut.

.

.

.

"Menyingkir!"

Noelani mendorong Gabriel yang kembali menggodanya. Entah apa yang merasuki pria tersebut dengan mengacaukan kedamaian pria munafik ini.

Setelah mendapat peringatan tersebut, Gabriel menghela napas. Ikut bersantai di perpustakaan dengan merebahkan diri di atas sofa.

Tanpa sengaja tanda yang Ratu berikan terlihat oleh Noelani. Begitu banyak tanda yang begitu buas dan liar. Sebenarnya apa yang dilakukan pria ini sampai sebegitunya?

Namun, ada perasaan yang mengusiknya. Bukankah jika begini, dia bukan orang spesial? Ratu yang psikopat itu juga menandainya begitu banyak. Tapi dia juga memberikan itu pada yang lain?

Jadi bukankah berarti dia tidak spesial?

Bahkan setelah menghancurkan hidupnya dia diperlakukan layaknya barang ganti? Entah kenapa dia sangat kesal akan hal itu.

"Kenapa munafik? Kamu cemburu melihat tanda ini?" Gabriel terkekeh mendapati respon seperti itu dari pria ini. Bukankah itu berartikan Noelani mulai menimbulkan benih-benih benci yang berujung cinta seperti kisah klise romansa?

"Tentu saja tidak brengs*k." Noelani menyalak kasar. Entah kenapa, dia benar-benar merasa benar-benar kesal. Tapi bukan ke arah benci mendalam seperti sebelumnya. Apakah yang dikatakan Gabriel benar kalau dia cemburu?

"Itu mustahil!"

Dengan wajah merah padam Noelani buru-buru pergi diiringi tatapan jenaka dari Gabriel. "Orang pintar pendidikan itu memang banyak yang idiot dalam masalah cinta."

.

.

.

Malam kelima.

Kali ini adalah giliran Arcelio. Dia yang notabenenya bucin habis. Sehari sebelum malam pertamanya dengan Ratu dia kerja lembur untuk bisa menyiapkan banyak hal.

Malam itu sayangnya cuaca begitu mendung. Tapi menurut buku yang dia baca soal malam pertama. Dia sudah menyiapkan semuanya dengan sempurna. Apakah seharusnya dia berkonsultasi dengan Gabriel si ahli cinta?

"Kamu menungguku ternyata."

Arcelio membalikkan tubuh lantas tersenyum lebar menghadapi wanita cantik dengan gaun coklat yang dikenakan. Dengan kekanakan dia berlari memeluk Ratunya yang dibalas pelukan yang lebih hangat.

"Apakah akan kita mulai?"

Alleia tertawa dengan pertanyaan frontal yang dikarunia dengan ragu-ragu oleh Arcelio. "Jika kamu tidak mau tidak usah juga tidak apa-apa."

Pria kaya raya itu menggeleng. "Tentu saja saya mau. Saya sudah menantikannya selama ini."

Alleia tertawa, malam itu berawal dengan pembukaan yang begitu manis. Candaan ringan satu sama lain juga kecupan kasih sayang yang hangat.

Hingga malam semakin larut suasana begitu memanas ditambah tiba-tiba masokis Arcelio kambuh. Dengan jiwa psikopatnya yang dipaksa bangkit oleh wajah memelas Arcelio. Alleia tidak tahu apakah pria itu bisa bertahan malam ini.

Katanya benda itu warisan turun-temurun keluarga Arcelio. Alleia yang bahkan terbiasa menegak ludah, apakah penyakit masokis itu menurun? Satu kotak penuh berisikan dengan alat penyiksaan ringan yang membuat para masokis senang. Dan itu terjadi hingga dini hari dengan Arcelio yang menangis antara sakit dan puas.

"Maaf." Alleia hanya bisa mengatakan hal itu atas perbuatannya semalam. Bahkan dia mengobati luka-luka Arcelio yang dia torehkan sendirian.

"Tidak apa-apa. Lagipula saya yang memintanya."

Alleia entah kenapa merasa miris dengan itu, tapi dia berusaha berpikiran biasa saja dan mentoleransi apa yang diidap selir masokisnya.

"Beristirahatlah hingga tiga hari ke depan. Aku harap kamu cepat sembuh." Dengan lembut dia mengecup dahi pria itu yang dibalas senyuman lebar.

Ah, dia benar-benar jahat.

.

.

.

Malam keenam.

Sekarang giliran Michael. Pria itu tidak tahu harus bersiap bagaimana. Jadi dia hanya meminta Hera untuk membantunya untuk menyiapkan dirinya untuk malam ini.

Walau begitu, sejujurnya Alleia tidak berniat untuk menghabiskan malam dengan Michael. Karena sejujurnya dia pesimis apakah pria itu bisa melakukannya.

"Saya bisa!"

Alleia tertawa sembari mengusap lembut kepala Michael. Wajahnya yang begitu sendu membuat dia tidak bisa menolak hal itu.

Akan tetapi, dia juga tidak mau Michael terbebani. Karenanya, dia sebelumnya berniat mengobrol dalam soal untuk menyembuhkan mental depresi anak ini.

Michael bercerita panjang lebar dengan Alleia yang memberikan beberapa nasehat. Alleia sebenarnya selalu merasa, hubungan bersama Michael terasa lebih seperti anak dan ibunya yang mengasuh.

Tapi dia tidak menyesal menyelamatkan pria ini. Lagi pula dia akan berguna.

Tidak seperti perkiraan, mereka akhirnya menghabiskan malam bersama. Walau Alleia yang memimpin dan memainkannya dengan begitu lembut. Seakan-akan pemuda itu bisa hancur kapan saja.

Enam malam pertama bersama para selir, sudah berakhir.

Bersambung...

01/02/2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top