18. Harem Life (1)

Gadis dengan gaun putih disertai percikan darah tersenyum, menggenggam kepala terputus pria yang telah berani menghancurkan pestanya.

Prajurit yang ada mendekat, melihat isyarat tangan yang diberikan Alleia. Kepala tersebut digenggamnya dengan tangan gemetar serta wajah menunduk dalam.

"Gantung itu di pagar istana. Ini adalah peringatan terbuka."

Hawa yang begitu menyesakkan membuat seseorang tidak berani mengeluarkan suara, bahkan suara napas terdengar samar-samar. Mengkhawatirkan nyawa masing-masing yang bisa melayang kapan saja di tangan Ratu.

Para selir yang hadir pun tidak banyak bereaksi selain menunjukkan ekspresi tenang yang sudah mereka miliki. Setidaknya mereka memang memiliki kelebihan dalam mengatur ekspresi untuk waktu darurat seperti ini. Termasuk Michael sekalipun.

"Maafkan saya atas ketidaknyamanannya. Saya izin untuk mengganti pakaian. Jangan sungkan, silahkan nikmati pestanya."

Ekspresi penuh tekanan sudah hilang dari gadis tersebut yang diganti senyuman ramah yang membuat orang-orang mau tidak mau pura-pura menikmati kembali pesta.

Pelayan berdatangan ke atas altar saat sang Ratu memberikan anggukan singkat pada para selirnya memberikan isyarat menunggu. Sembari pelayan membersihkan dengan cepat, semua noda segera bersih dalam pengawasan mereka.

"Hah, semua sudah tenang bukan?"

Para selir melirik tempat pria dengan surai emas mengangkat bahu, mengangkat alis bertanya ringan untuk mencairkan suasana.

"Setidaknya begitu, permisi tuan-tuan. Saya izin pergi untuk menyapa para tamu."

Javan yang berada di tengah himpitan baris pria itu ijin mengundurkan diri. Dengan tenang dia pergi, menemui beberapa tamu dan membuat semua orang lebih santai untuk menghadapi pesta.

"Saya juga, permisi."

Zaniel dengan topeng burung hantunya menunduk sedikit sebelum pergi menuju tempat sepi untuk mencari udara segar.

Tersisa empat pria yang berdiri di sana. "Saya juga sepertinya harus menyambut para cendikiawan. Saya ijin pergi." Tanpa membuang waktu, Noelani yang melihat beberapa tamu yang baru saja hadir dengan pakaian para sarjana buru-buru turun, menyambut mereka dengan ramah.

Ketiganya diam, sebelum Gabriel kembali mengajukan pertanyaan. "Apa, Anda benar-benar, Arcelio Ingram?"

Arcelio dengan malas melirik pria tersebut seakan tatapan matanya mengatakan. "Apa kamu tidak bisa melihatnya sendiri?" Walau begitu, itu ada benarnya. Hanya dengan melihat dari pakaian yang terlebih mewah, serta aksesoris dengan permata langka sudah menunjukkan siapa dia.

"Ah, begitukah? Anda cukup percaya diri rupanya." Gabriel yang mendapat respons seperti itu kesal sendiri dengan kesombongan pemuda milyuner di sampingnya.

"Kalau begitu. Apakah, Anda, Michael Tendo? Siluman ular terakhir dari Xantus?"

Michael melirik, mengangguk dengan ekspresi melankolis. Melihat sikapnya itu, Gabriel bisa langsung membaca situasi kalau pria itu adalah makhluk perasa yang sensitif. Salah sedikit saja, mungkin dia bisa hancur. Berlainan sekali dengan tubuh kekarnya yang kokoh.

Mendapatkan suasana buruk di antara mereka, pemuda dengan senyuman menggoda tersebut izin untuk berbaur dengan para tamu dan memakan beberapa camilan untuk mencari suasana nyaman.

Kini di atas altar, tersisa dua pemuda yang masih setia menunggu Ratu. "Senang bertemu dengan, Anda, Tuan Arcelio," sapa Michael tersenyum manis, lagi pula pria ini akan menjadi tetangganya dalam istana selir. Jadi tidak salah untuk membuat hubungan baik. Sekiranya itu yang dipikirkan Michael sembari menyapa pria kesayangan Ratu.

"Aku tidak suka berbicara denganmu." Penolakan jelas dituturkan pria angkuh dengan ekspresi datar.

"Ah, maafkan saya." Michael berkata dengan ekspresi sedih, seperti anak kecil yang hendak menangis. Membuat pria di sampingnya merasa tidak nyaman, merasa dirinya seperti orang jahat yang membully siluman cengeng.

"Ck, tidak senang bertemu kamu juga. Jangan berbicara denganku lagi."

Michael yang mendengar ucapan Arcelio buru-buru mengangguk dan membungkam mulutnya tidak lagi bertanya.

"Makhluk bodoh, aku benar-benar merindukan, Ratu sekarang." Arcelio mengeluh dalam hati, melirik kecil pintu di mana Ratu akan muncul.

"Astaga..,"

"Tidak mungkin.., Yang Mulia?"

.

.

.

Alleia mendesah menjatuhkan diri ke atas ranjang. Hera sudah berada di sana. Menemani gadis tersebut yang mendecih dengan tampang kesal bukan main. Bahkan dengan malas-malasan dia berjalan menuju bak mandi untuk membersihkan dirinya dari noda darah.

"Ck, si*lan. Mereka benar-benar bajing*n. Mati saja cecu*guk rendahan."

Hera sepertinya harus berusaha menulikan telinganya dari kata-kata mutiara Ratunya. "Ya, saya akui mereka memang bajing*n." Walau begitu dia ikut menghujat orang yang membuat pekerjaannya bertambah, padahal gajinya akan tetap sama. Membuat orang susah saja!

"Hah..,"

Alleia menghembuskan napas panjang sebelum merendam tubuhnya ke air lebih dalam. Air yang bening menunjukkan perubahan warna kemerahan pudar dari kotoran darah yang menodai tubuhnya.

Setelah tubuhnya bersih dia berdiri, mengeringkan rambutnya menuju meja rias. Dan sekarang dia harus memulai dandanannya semua dari awal. Ini akan sangat panjang.

"Si*lnya aku tidak menyediakan gaun cadangan."

Hera ikut kesal mendengarnya. Itu akan sulit, padahal gaun adalah hal terpenting dalam berpesta. "Ah, kalau tidak salah saya menemukan gaun milik mendiang ratu pendahulu."

Benar, seingat Hera itu adalah gaun pusaka milik Ratu generasi kedua kerajaan Citrus. Itu adalah hadiah pusaka yang diberikan oleh sahabat penyihir Ratu. Dan hanya bisa digunakan turun temurun oleh keluarga kerajaan.

"Warnanya putih?"

Hera mengangguk, itu berwarna putih. Karena diberikan sebagai hari peringatan pernikahan Ratu dan Raja generasi kedua.

"Kalau begitu, cepatlah ambil. Aku akan mengeringkan rambutku dan menyisirnya sendiri." Dengan hal tersebut, Hera buru-buru mengambil gaun tersebut sembari Alleia yang menyiapkan diri dengan seadanya.

Ketika Hera kembali, buru-buru gaun tersebut dikenakan Alleia. Rambutnya kembali ditata dengan disanggul ke atas dihiasi tiara putih. Hiasan tipis dengan perona wajah serta pewarna bibir merah muda alami membuat kecantikan murni terpancar dari wajah Ratu.

Gaun panjang yang digunakan melekuk, membentuk tubuh Ratu. Permata kecil bertaburan menjadikan gaunnya menjadi lebih bersinar. Hingga kain panjang lembut seputih salju bertengger di lehernya, menjalar, dipengangi tangan kanannya sebagai penyangga.

"Indah sekali." Bahkan Hera yang jarang memberikan pujian kini berkomentar kagum tersenyum kagum.

"Baiklah, mari kita kejutkan orang-orang."

Alleia tertawa mendengar penuturan pelayannya yang menuntun dia untuk berjalan pergi menuju pesta dansa.

.

.

.

Semua orang terpukau, mendapatkan gadis yang bersinar. Dengan Tiara yang bertengger indah di kepalanya seakan membuat semua orang terpukau dengan keindahan ciptaan Tuhan.

"Tidak mungkin.., Yang Mulia?"

Alleia tersenyum tipis, mendekati Arcelio yang tidak bisa mengontrol ekspresi kagum yang langsung lebur, diganti senyuman hangat. "Anda cantik sekali."

Keduanya terdiam, saling bertatapan dalam diam. Michael yang tahu, apa yang akan terjadi memilih mundur dari sana. Menuju keramaian. Sudah jelas, untuk tarian pertama kali ini. Ratu memilih Arcelio sebagai pasangannya.

Arcelio mengulurkan tangan sembari menunduk sedikit serta tatapan hangat yang membuat nyaman. "Apakah, Anda bersedia berdansa dengan saya, Yang Mulia?"

Alleia mengulurkan tangannya menggenggamnya dengan erat. "Ya, Tuan. Saya bersedia." Dengan manik amesthy yang berkilau redup menunjukkan tatapan bahagia samar yang tulus.

Keduanya bergandengan menuju hall pesta. Musik dimulai dengan lembut. Keduanya menunduk saling hormat sebelum memulai dansa indah. "Jujur saja, aku baru belajar berdansa tiga hari yang lalu."

Arcelio tertawa kecil. Genggamannya pada pinggang sang Ratu mengerat seiring dansa yang berlangsung. "Saya tidak keberatan untuk diinjak wanita secantik, Yang Mulia."

"Bagaimana jika aku terjatuh." Alleia kini berputar sebelum kembali menari lembut dalam dekapan pria manisnya.

"Kalau begitu saya akan terjatuh lebih dahulu agar kita melakukan kesalahan bersama."

Alleia menarik jarak di antara mereka, tangannya terulur menyentuh pundak pemuda tersebut dengan lembut. "Kenapa kamu tidak menangkap ku saja?"

Arcelio tersenyum lagi, matanya menyorot lembut. "Karena saya lebih suka mengikuti, Yang Mulia. Dibandingkan menjadi pahlawan yang membuat, Anda malu."

Semua hadirin menonton dari jauh. Menyaksikan dansa pertama Ratu yang begitu hangat dan lembut, bertentangan dengan kepribadian sang Ratu. Bahkan ekspresi lembut Ratu tidak akan pernah bisa dilihat dalam kesempatan lain.

Seakan-akan keduanya dalam dunia mereka sendiri. Di mana jalan berbunga membentang dengan cinta penuh kehangatan yang begitu lembut di musim semi. Akankah ada pemandangan seindah ini?

Para selir lain menonton dengan berbagai reaksi. Javan, Gabriel, serta Noelani adalah selir yang paling tidak peduli dengan ketulusan atau omong kosong cinta. Karena mereka menginjak posisi ini hanya karena ingin mendapatkan keuntungan walau dengan cara terpaksa.

Sedangkan Michael serta Zaniel merasa iri atas hal itu. Karena setidaknya mereka telah sedikit menaruh hati dengan Ratu Citrus penuh pesona tersebut.

Tarian dansa berakhir dengan ciuman yang membuat seseorang yang melihatnya tersenyum tanpa sadar ikut berbahagia. Ya, kecuali Michael dan Zaniel. Walau sejujurnya, Noelani malah merasa jijik setengah mati.

Dansa kedua, ketiga, keempat hingga keenam mereka bergantian berdansa dengan Ratu. Serta tentunya dengan aura serta suasana berdansa yang berbeda dari masing-masing selir.

Para tamu ikut berdansa, menikmati musik lembut yang mengalun. Pesta berjalan dengan meriah hingga krisis para selir terjadi setelah pesta berakhir.

.

.

.

"Kamu bisa kembali sekarang menuju Akademi, Celestin. Pastikan untuk beristirahat sepanjang perjalanan dengan, Dame Olive."

Pesta berakhir pada sore hari. Karena Ratu sendiri tidak terlalu suka dengan keramaian, membuat pesta berakhir dengan cepat. Para selir pun segera mengisi kamar-kamar kosong di istana khusus selir.

Begitu pula dengan Javan serta putranya yang beristirahat di kamar Istana yang akan menjadi rumahnya mulai hari ini.

"Siap, Ayah. Aku akan mengirimkan surat saat sampai di akademi."

Javan menghela napas lega, tangannya dengan gemas mengacak-acak rambut basah putranya.

Walau para pelayan bilang akan menyediakan kamar lain untuk Celestin di istana pangeran. Javan menolaknya untuk saat ini karena putranya pun perlu beradaptasi. Terlebih belum jelas kapan gelar pangeran akan diberikan Ratu pada Celestin.

"Apa, Ayah mencintai Ratu?"

Javan melirik Celestin yang berkedip polos. Tanpa sadar dia tersenyum sendu kembali mengusap rambut putranya. "Tidak. Tapi, Ayah yang membutuhkan cinta, Yang Mulia."

Celestin mengangguk gugup. Perasaannya terasa tidak tenang melihat raut wajah sendu yang ditunjukkan Ayahnya. "Tapi, bukankah, Ayah mencintai Ibu?"

Javan tersenyum lebar memeluk Celestin. "Tentu saja, Ayah sangat mencintai, Ibumu. Begitu juga kamu, Nak."

Keduanya tertawa, sembari berpakaian rapi. Setelah ini, Javan akan mengantar putranya menuju kereta untuk pergi ke akademi.

Tok, tok, tok.

Pintu diketuk, membuat keduanya melirik pintu dan mendapatkan pelayan kepercayaan Ratu berdiri di sana. "Salam kepada, Tuan Kaleolani."

Javan mengangguk, ada apa gerangan pelayan Ratu kemari?

"Ada apa, Nona Tianzhi?"

"Saya diperintahkan, Yang Mulia untuk membawa calon pangeran untuk datang menemui Ratu di kamarnya."

"Kamar?"

Javan menegak ludah, bahkan mereka belum sedekat itu untuk menjadi keluarga. Apalagi meminta anaknya memasuki kamar Ratu. Jelas saja dia khawatir.

"Yang Mulia, sangat lelah. Karena beliau mendengar kabar jika calon pangeran akan segera pergi ke akademi. Beliau terburu-buru meminta ingin bertemu dengan putra, Anda."

"Aku mengerti."

Javan melirik Celestin sembari tersenyum. "Pergilah, Ayah akan menunggumu di depan gerbang."

Celestin melirik Ayahnya ragu sebelum mengikuti langkah Hera yang menuntun jalannya menuju kamar Ratu.

Javan sendiri segera keluar kamarnya untuk berjalan-jalan sebentar menenangkan kepalanya hingga dia tanpa sengaja berpapasan dengan selir lain.

"Ah, Tuan Malachi." Javan menyapa pria dengan topeng burung hantu yang menyorotnya agak lama tanpa menjawab.

"Ya? Apa ada yang ingin, Anda katakan?"

Zaniel mengangguk. "Ini tentang malam pertama. Tuan Ingram bersikeras untuk mengocok urutan lewat undian."

Javan menghembuskan napas tanpa sengaja. Dasar orang kaya menyebalkan. Si Masokis kaya raya itu belum apa-apa sudah membuatnya pusing.

"Apa kita harus ke tempatnya sekarang?"

Zaniel mengangguk singkat, berjalan menuju kamar Arcelio diikuti dengan pasrah oleh Javan. Hingga mereka sudah menemukan hampir semuanya sudah berkumpul di sana.

"Kebetulan sekali semua sudah berkumpul, nama-namanya baru saja selesai digulung. Kita hanya tinggal menunggu nama yang keluar."

Arcelio berkata ceria meminta ajudannya mengocok nama-nama itu dalam kocokan dadu. Arcelio adalah yang paling antusias dibandingkan yang lain berharap namanya diurutan pertama.

Sementara yang lain tidak terlalu berminat, walau Michael dan Zaniel agak berharap mendapatkan nomor awal. Sedangkan yang paling tidak berminat di antara yang lain adalah Noelani yang benar-benar jijik untuk tidur bersama Ratu. Walau dia menutupinya dengan sangat baik.

"Saya yakin, saya tidak nomor satu."

Semuanya menatap pria dengan surai emas yang berkata santai sembari memakan apel. "Biasanya orang yang paling tidak berminat biasanya diurutan pertama."

"Apa maksudmu?" tanya Arcelio kesal.

"Ya, saya hanya mengatakan. Biasanya orang yang paling tidak berminat akan mendapatkan hal tersebut. Itu sering terjadi." Gabriel menjawab dengan bahu terangkat sembari melirik pria paling munafik yang pernah dia temui.

"Benar bukan begitu? Tuan Noelani."

Tuk!

Semua mata kembali fokus pada wadah dadu yang mengeluarkan satu kertas. Arcelio sudah berkomat-kamit berdoa untuk keberuntungannya. Sedangkan yang lain merasa penasaran dengan nama yang terdapat di dalam lembaran kertas tersebut.

Srek.

Kertas dibuka, membuat semua orang menatap tertarik. "Siapa?"

Tatapan ajudan Arcelio terlihat agak takut menatap tuannya sebelum memandang ke arah Noelani. "Yang akan menghabiskan malam pertama dengan Ratu, adalah Tuan Noelani."

Gabriel tidak bisa menahan tawanya, sedangkan Arcelio berwajah muram ditemani Michael dan Zaniel. Sedangkan Javan hanya menghela napas lega.

Ekspresi Noelani sendiri terlihat shock, walau bisa dia tutupi segera dengan senyuman polos yang munafiknya bisa dilihat jelas oleh Gabriel.

"Cepat kocok lagi!" seru Arcelio.

Semua mulai dikocok lagi dan mendapatkan hasil seperti ini.

1. Noelani
2. Zaniel
3. Javan
4. Gabriel
5. Arcelio
6. Michael

.

.

.

"Mulai saat ini. Kamu adalah, Celestin Custadio. Pangeran negeri Citrus."

Celestin berlutut hormat dengan pedang di pundaknya yang dilampirkan Ratu.

"Mulai sekarang panggil aku, Bunda. Kamu sekarang adalah putraku."

Alleia memeluk bocah tersebut yang memeluknya kembali dengan canggung.

Kehidupan Harem, segera dimulai.

Bersambung..

28/01/2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top