16. Be Mine

Semua permasalahan soal Ayyorlik telah berakhir. Ini melegakan, kini mereka semua sudah pulang, kembali berada di depan Istana Citrus. Orang-orang berseru khawatir, mendapati Ratu yang kini digendong Marquiss Govert. Dengan tenang Javan menjelaskan apa yang terjadi, hingga mereka semua dengan geram mengutuk, Negeri Ayyorlik.

"Yang Mulia, Anda benar-benar tidak apa-apa?" Arcelio menemani gadis itu di kamarnya dengan ekspresi terluka. 

"Aku yang sakit, tapi kenapa malah kamu yang menangis?" Alleia tertawa mengusap air mata Arcelio yang bisa dikatakan sangat manis.

Harusnya para calon selir menyambutnya di depan istana saat dia kembali. Tapi, dikarenakan dia yang pulang terlalu cepat karena insiden di perjamuan Kekaisaran. Hanya Arcelio yang dapat menyambutnya, karena pria itu ketika dia pergi tidak beralih dari tempat berpisah dan setia menunggu di tempat itu. Entah karena cinta itu membuat orang bodoh. Tapi jika benar, Arcelio adalah definisi sebenarnya dari budak cinta. 

Alleia meraba pahanya yang terluka. Itu tidak terlalu dalam, tapi masih teras perih jika digerakkan. Lagi pula penyihir kerajaan saat ini segera dipanggil ke istana untuk menyembuhkan luka Ratu.

"Hey, berhentilah menangis. Aku tidak sesakit itu sampai harus kamu tangisi." Entah siapa yang terluka, tapi malah dia yang memberikan hiburan.

"Yang Mulia, selalu bersikap semua baik-baik saja. Yang Mulia orang yang sangat kuat. Saya tidak percaya sampai sekarang masih bisa berada di sisi orang sehebat dan sekuat baginda," puji Arcelio di tengah tangannya yang berusaha menghentikan air matanya yang mengalir. 

Tidak, mereka salah. Alleia tidak sekuat itu, dia hanyalah gadis yang ingin bertahan hidup di dunia yang kejam. Dan dengan ketakutannya pada dunia dia sekarang bisa berdiri di atas kekuasaan untuk meredakan rasa takutnya yang tidak pernah bisa menghilang. 

"Begitukah?" Alleia mengangkat dagu Arcelio dan mengecup air mata yang membasahi pipi pemuda tersebut. Apakah dia memang beruntung? Di kehidupan kali ini ada yang bisa mencintainya setulus ini. Padahal sudah jelas jika dia adalah penjahat yang memanfaat semua orang di sisinya dengan baik. Tapi mengapa pria ini masih mencintainya walau mengetahui dirinya dimanfaatkan dengan sempurna? 

"Tentu saja, saya berharap selalu bisa berada di sisi, Baginda." Tangan Arcelio terangkat, menggenggam jari jemari dingin milik kekasih hati. Kedua sudut bibirnya terangkat, menampilkan senyuman hangat yang hanya bisa dilihat oleh orang yang dia cintai.

Alleia ikut tersenyum tulus. Untuk pertama kalinya ada orang yang menangisi kesakitannya karena khawatir, bangga pada dirinya yang jelas bukan orang baik, bahkan menyanjungnya setinggi ini. Perasaan hangat menyelimuti hatinya yang sudah lama membeku. Wajah gadis itu mendekat, menempelkan bibirnya dengan milik penggemar tulusnya yang kini merona sembari memperdalam ciuman manis mereka.

Alleia lagi-lagi tersenyum, membawa Arcelio duduk di sampingnya. "Aku sakit, jadi bisakah kamu merawatku, Tuan." Kepala Alleia bersandar pada bahu pemuda di sampingnya yang mengangguk manis. 

"Di mana, Anda merasakan sakit?" 

Alleia terkekeh kecil. "Di sini," tangannya menunjuk dahi. "Di sini," tangannya menunjuk dua pipi. "Di sini," tangannya kini menunjuk hidung. "Dan di sini," yang terakhir, dia menunjuk bibirnya yang mungil.

Setelah mengatakan hal itu, tangannya terjulur merangkul pinggang pemuda di sampingnya. "Tapi, harus diobati dengan ciuman, Tuan Arcelio," ujarnya dengan nada imut yang membuat Arcelio bisa mimisan saking tidak kuatnya melihat keindahan langka di hadapannya. Ratunya yang kejam ternyata bisa bersikap semanis ini. Jika ada sesuatu yang bisa merekam atau memotret wajah Ratu saat ini. Dia akan melakukannya dan akan memajang gambar-gambar itu memenuhi kamarnya.

"Yang Mulia.., jangan seperti ini. Anda terlalu imut, bahkan jika mati sekarang saya tidak akan menyesal." Arcelio menutup wajahnya yang memerah. 

Ketika Arcelio mengintip dari sela jari di mana dia belum melakukan perintah Ratu. Dan kini Ratu yang menatapnya tanpa berkedip. Dia memang tidak bisa mengingkari permintaan Ratu. Dengan menarik napas panjang. Pemuda itu menarik wajah cintanya dan mengecup apa-apa yang diminta. 

Dahi, kedua pipi, hidung, dan yang terakhir bibir. 

Arcelio berharap, waktu bisa berhenti pada waktu ini untuk selamanya.

.

.

.

Keesokan harinya, Alleia mengadakan rapat untuk membahas masalah, Ayyorlik dengan tuntas. Para aparat dan bangsawan kelas atas bisa bernapas lega. Mereka bisa kembali ke kehidupan damai mereka lagi sekarang. Belum selesai bernapas lega, masalahnya kali ini Alleia membuat para bangsawan harus menghela napas berat.

"Aku sudah memutuskan. Aku akan memberikan pangkat dan gelar pada orang-orang yang kupercaya. Aku akan memberikan kursi wakil Ratu pada Javan Kaleolani. Menteri keuangan negara pada Arcelio Ingram, Penanggung jawab keamanan istana pada Michael Tendo. Aku harap kalian menuliskan surat atas jabatan ini. Kalau begitu rapat berakhir."

Setelah Alleia pergi, semua orang mengeluh sembari memasang wajah lelah. Ratu mereka memang seorang yang cerdik dan penuh pertimbangan. Tapi, dia memang seenaknya dalam mengambil keputusan. Walau keputusan itu memang baik untuk semua orang, tapi tetap saja melelahkan dalam pelaksanaannya. 

"Ya, sudah.., yang penting negara kita tetap sejahtera seperti sekarang." 

"Ya, walau kita yang harus tersiksa."

"Hus, lagi pula ini adalah harga yang kita harus bayar dari kemewahan seorang bangsawan."

"Ya, dan aku bersyukur walau aku selalu sibuk. Setidaknya, anak dan istriku bisa menikmati kemewahan juga keistimewaan bangsawan."

.

.

.

"Hah..."

Alleia kini berada di hutan. Benar, setelah rapat tadi. Dia meminta jatah libur untuk dirinya sekitar tiga hari. Masalah Ayyorlik memang menghabiskan banyak tenaga dan pikiran. Setidaknya sekarang dia bisa beristirahat dengan bebas sendirian. 

Gadis itu berjalan dengan santai menyusuri hutan. Di tengah rimbunan pohon, secara tidak sengaja dia kembali bertemu pria dengan topeng burung hantu sedang berdiri di atas pohon. "Hey! Tahanan kabur," panggil Alleia sembari melambaikan tangan, menarik perhatian pemuda misterius.

Saat pria itu berbalik, mata mereka secara tidak langsung bersinggungan. "Kamu masih mengingatku?" tanya Alleia tersenyum lebar.

"Kamu, Alleia?" 

Alleia mengangguk, membenarkan. Pria itu secara tidak langsung segera waspada, menarik jarak di antara keduanya. "Apa istana mengirimmu untuk menangkapku?" 

Alleia menggeleng. "Tentu tidak. Kita secara tidak sengaja bertemu lagi."

"Oh."

Keduanya terdiam, hening. Untuk pertama kalinya dia merasa aneh pada situasi ini. Apa hanya begini tanggapan pria tersebut. Pria ini cukup dingin dalam analisis Alleia. Ya, cocok masuk koleksi tipe selir baru di haremnya.

Baru saja hendak bertanya lagi. Alleia mendapati dirinya ditinggal pria itu sendirian tanpa pamit. "Pria sial*n."

Mengabaikan hal itu, Alleia kembali berusaha menikmati hari liburnya yang damai. Menatap rimbunnya hutan, berenang di sungai, berburu ikan, memasak dan tidur siang di bawah rimbunan pohon besar. 

Hari yang indah untuk liburan pertamanya sebagai, Ratu. 

Jleb!

Alleia terbangun, panah-panah beterbangan menargetkan dirinya. Dengan siaga penuh dia bangun dan berusaha menghindar sekuat tenaga sembari bersembunyi dari balik pepohonan. Tampaknya pembunuh bayaran dikirim untuk membunuhnya saat dia keluar istana.

Kakinya berlari menuju satu pohon ke pohon yang lain. Tidak ada senjata yang bisa dia jadikan perlawanan. Karena yang dia bawa hanyalah sebilah belati untuk berburu hewan-hewan kecil.

Lagi-lagi dia harus menghindar dengan gesit. Hujan panah dengan jumlah besar beterbangan mengarah padanya yang kini semakin terdesak menangani situasi.

Hingga di satu titik, tubuhnya limbung dan hampir terjatuh ke tanah menjadi sasaran empuk pembunuh.

Jleb!

Satu panah menancap di bahu Alleia yang bergegas berguling, kembali berlindung. Darah mulai mengalir dari bahunya, dengan kuat sembari menahan sakit dia mencabut panah itu sebelum menekan dengan kuat luka tersebut.

Di sela ketegangan dan opsi menyerahkan diri. Suara dentuman pukulan terdengar keras, satu persatu menghabisi para pembunuh bayaran yang mengincar Ratu.

Ketika langkah kaki itu mendekat, dengan sigap Alleia mengeluarkan belati miliknya. Bersiaga jika itu adalah orang yang mengincarnya.

Tepat ketika seorang pria dengan tudung berada di hadapannya. Alleia bergegas mengarahkan belati yang dengan gesit pria itu hindari.

"Hey."

Alleia yang mendengar suara itu terdiam sebelum kembali meluncurkan serangan. Dengan pelan pria itu membuka tudung kepala menghadirkan pria bertopeng burung hantu menyorot dingin.

"Ini aku."

Alleia yang mendapati pria itu berada di pihaknya langsung bernapas lega, segera menurunkan senjatanya. "Terimakasih, Tuan."

Pria itu hanya mengangguk, kemudian tanpa basa-basi menarik kembali jubahnya, hendak kembali pergi sebelum melihat kembali Alleia yang meremas lukanya dengan kuat masih mengalirkan darah.

"Kenapa? Bukannya kamu mau pergi?"

Alleia berdecak menatap pria di hadapannya yang hanya menyorot dia dari atas hingga ke bawah. "Kamu terluka," ujarnya datar.

"Aku tahu, tanpa kamu memberitahuku pun aku sudah merasakan rasa sakitnya dari tadi."

Alleia menghela napas. Pembicaraan dengan makhluk pendiam kaku ini sangat tidak menyenangkan. Ditambah bahunya terasa sangat sakit hingga terasa ingin patah. Dengan mempertimbangkan kondisi. Alleia melambaikan tangan kepada pemuda bertopeng untuk pergi lebih dulu untuk mengobati luka.

"Hey!"

Alleia berseru kencang saat tubuhnya tiba-tiba digendong secara sepihak oleh pria bertopeng tanpa permisi. "Ini bukan karena aku peduli padamu. Aku hanya tidak suka melihat darah."

Alleia mengernyit heran, sepertinya pria ini tipe tsundere yang kurang bisa mengekspresikan bentuk kepeduliannya.  Sembari pasrah dan melemaskan tubuh. Alleia menikmati rengkuhan pria yang menggendongnya.

Pemuda bertopeng ini membawanya ke dekat aliran sungai serta dengan telaten mengobati luka gadis di hadapannya.

"Apakah kamu mengikuti ku?"

Pemuda yang tadi berfokus pada lilitan perban di bahu Alleia terdiam untuk sesaat sebelum berdecak dingin. "Untuk apa aku mengikuti mu?"

Alleia menghela napas pasrah. "Baiklah, terimakasih, Tuan." Keduanya kembali saling terdiam. Sembari menunggu luka Alleia selesai dibalut dengan sempurna.

"Sial." Alleia menatap langit mendung, rintik mulai berjatuhan sedikit demi sedikit membasahi hutan yang mereka singgahi.

Tanpa persetujuan lagi-lagi Alleia kembali merasakan tubuhnya terangkat. "Hey! Bisakah kamu hentikan itu?!" serunya kesal.

"Jika kita tidak segera berteduh, lukamu akan kembali basah." Pemuda yang kini menggendong Alleia berlari mencari tempat teduh yang nyaman.

"Jadi kamu peduli padaku?" tanya Alleia sembari menaikan sebelah alis, menggoda.

Dengan acuh dia tersenyum tipis. "Aku peduli pada perban yang ku gunakan untuk mengobati mu."

"Cih."

Alleia menarik pandangannya dari pemuda yang kini tertawa kecil. "Hey! Lihat itu, itu ada gua." Alleia menunjuk ke arah samping pemuda tersebut yang langsung berbalik menuju tempat berteduh.

Belum sampai di dalam gua. Alleia dengan tergesa melompat dari gendongan pria bertopeng sembari menusukkan belatinya tepat menuju hewan buas yang meloncat dari gua.

Dalam sekali tusukan, tepat di jantung harimau. Harimau yang hampir memangsa mereka mati begitu saja dengan belati menusuk dada.

Semua begitu cepat, bahkan pria bertopeng itu tidak bisa berkata-kata setelah melihat ketangkasan wanita di hadapannya. Itu adalah refleks yang luar biasa bagi pemburu profesional sekalipun.

"Kenapa kamu diam saja. Ayo, segera masuk."

Tersadar dari rasa takjub, pria bertopeng segera menuruti perkataan Alleia dan segera memasuki gua.

Mereka terduduk bersebelahan, hujan semakin deras. Pria bertopeng tanpa sepatah kata pun bergerak dengan sangat baik. Dia menyalakan api, memotong ikan buruannya tadi dan memasaknya untuk mereka berdua.

Alleia sendiri pun tidak memulai percakapan dan tanpa sadar kembali tertidur akibat kelelahan. Di sela tidurnya, dia merasakan seseorang menyelimuti tubuhnya yang dingin hingga membuat idurnya lebih nyaman.

"Terimakasih," gumamnya sembari menarik kain yang membungkusnya lebih erat.

.

.

.

Alleia kembali terbangun, matanya melirik gua yang kosong. Dengan tubuh lunglai dia berjalan menuju mulut gua. Menemukan hujan yang masih turun deras dengan langit yang sudah menggelap.

"Sudah malam."

Alleia menghembuskan nafas kembali berjalan ke dalam mendekati api unggun yang hangat. Dengan menghangatkan beberapa ikan panggangan pemuda bertopeng, Alleia makan dengan lahap sembari menunggu pemuda itu datang.

"Rupanya kamu sudah bangun?" Alleia melirik pria yang memasuki gua dengan beberapa kayu bakar di balik jubahnya.

"Ya, seperti yang kamu lihat." Gadis itu tersenyum kembali menarik kain yang membungkus tubuhnya. Ah, benar. Ternyata kain ini milik pemuda di hadapannya. Tercium dari aroma yang mirip dengan pemilik aslinya.

Pria ini hanya mengangguk dan kembali bergerak, menambahkan kayu bakar yang telah dia kumpulkan. "Kenapa wanita sepertimu bisa sendirian di hutan?'

Alleia melirik pria yang bertanya tanpa menoleh kepadanya sedikitpun. "Aku hanya mencari suasana baru."

Pria itu tersenyum kecil. "Suasana ditargetkan para pembunuh bayaran?"

Alleia berdecak sebal. Jujur saja, pria ini super, duper menyebalkan. Bahkan Noelani yang terlihat sangat membencinya tidak semenyebalkan pria ini. "Aku tidak menyangka akan mendapatkan serangan seperti itu," jawabnya sebal.

Hening. Alleia tidak tahu, apakah pria ini memang tidak bisa mencari topik atau bagaimana. Bahkan pria ini tidak suka basa-basi sama sekali. "Ngomong-ngomong siapa namamu? Aku sudah memberitahukan namaku. Sekarang giliran mu."

Pria bertopeng terdiam lama sebelum menjawab. "Zaniel. Kamu bisa memanggilku, Zen."

"Ah, begitukah."

Zaniel mengangguk. "Sudah malam. Aku akan tidur lebih dulu." Zaniel merebahkan diri di tanah dengan jubah sebagai alas.

Alleia mengangguk. Dan ikut berbaring dengan tangan yang masih bergesekan di depan api unggun. Entah kenapa ini semua membuatnya nostalgia.

"Apa kamu sudah tertidur?"

"Hm."

Alleia berdecak, mendengar respons dingin Zaniel. "Kamu tahu, aku sebenarnya bukan orang baik."

Alleia terdiam setelah mengatakan itu. Entah kenapa, suasana melankolis dengan rintik hujan membuat dia mengenang masa lalu. Merasa diabaikan Alleia tidak kembali berbicara sebelum Zaniel kembali angkat suara.

"Apakah itu sebab kenapa kamu berada di penjara istana waktu itu?" tanya Zaniel.

"Ya, bisa jadi begitu." Alleia terkekeh kecil. Lagipula kenapa dia ke sana karena dia pemilik penjara itu sendiri. Dan dia bisa menjadi pemilik istana pun karena dia membunuh kakak dan Ayah dari tubuh ini. Jadi jawaban yang dia berikan tidak sepenuhnya berisi kebohongan.

Zaniel terdiam, tidak bersuara. Mungkin dia sungkan untuk bertanya lebih lanjut. Walau begitu, Alleia yang masih dalam mode mellow kembali berbicara melantur.

"Aku seorang pembunuh. Aku membunuh banyak orang. Entah kenapa aku melakukan itu, tapi, itu selalu membuatku merasa lebih baik."

Zaniel tidak menjawab, namun, pikirannya mulai mengerti. Bagaimana gadis itu memiliki kemampuan dalam membunuh semengagumkan itu.

"Aku selalu merasa kesepian, kosong, hampa. Aku tidak tahu apa yang kuinginkan. Tapi, aku selalu merasakan rasa takut tanpa alasan. Padahal sudah jelas aku selalu menyingkirkan orang-orang yang tidak kusuka."

"Aku selalu merasa takut pada banyak hal. Aku berusaha menguasai segalanya, aku berusaha menekan rasa takut yang tidak pernah bisa lenyap. Aku mengabaikan orang-orang yang benar-benar peduli padaku karena rasanya aku mau gila karena jika aku sudah menganggap mereka berharga. Aku takut mereka akan meninggalkan ku sendirian."

Zaniel tidak menjawab, dia hanya bisa mendengarkan penuturan penuh emosi dari setiap kata yang Alleia lontarkan. Setidaknya dia adalah pendengar yang baik walaupun dia adalah pembicara yang cukup buruk.

"Aku berusaha untuk menjadi baik. Tapi, itu sangat sulit. Aku merasa akan kehilangan kendali kita melepaskan apa-apa yang aku genggam saat ini. Aku tidak ingin merasakan lagi penderitaan, aku tidak ingin diabaikan atau diremehkan. Aku ingin menjadi yang terkuat dan bisa menggenggam segalanya di tangan ku."

Alleia terdiam untuk waktu yang lama, sebelum kembali bersuara. "Aku hanya ingin bahagia. Apa sesulit itu?"

Untuk terakhir kalinya, Zaniel tidak menjawab. Hingga matanya dengan berat tertutup setelah mendengarkan nyanyian lembut milik Alleia yang sendu.

.

.

.

"Akh!"

Alleia dengan belati berlumuran darah berdiri dengan napas tersengal. Sepuluh orang telah dia habisi, mereka adalah pembunuh bayaran lain yang mengincarnya.

"Semuanya berjumlah dua puluh."

Zaniel ikut membersihkan pedangnya yang berlumuran darah. Bahkan sampai sekarang dia masih takjub dengan kemampuan Alleia. Dengan hanya menggunakan belati dia telah menghabisi sepuluh orang dalam waktu singkat. Benar-benar kemampuan pembunuh yang sempurna.

"Ayo, kita kembali berjalan. Kota sudah dekat."

Alleia berjalan mendahului Zaniel yang ikut berjalan di belakang. Sekarang mereka tengah berjalan menuju ibu kota. Karena Zaniel yang bilang ingin membeli beberapa barang di sana. Karena Alleia merasa dirinya tidak punya rencana apapun. Dia lebih memilih ikut dengan Zaniel sekalian berjalan-jalan.

"Kenapa di samping wanita sepertimu banyak sekali bahaya?"

Alleia melirik Zaniel yang bertanya. "Kenapa? Kamu takut?" sinis Alleia sembari terkekeh kecil.

"Tidak, hanya saja aku pikir itu sangat merepotkan," jawabnya santai.

Alleia tidak membalas sebelum mereka kali ini sudah melihat kota. "Kamu tahu, itu memang merepotkan. Tapi, jika kamu memang benar-benar peduli. Kenapa kamu tidak menjadi kesatria pelindungku sekalian?"

Zaniel terdiam. Menatap gadis yang tersenyum dingin padanya. Rambut hitam terurai panjang yang indah, iris ungu yang bersinar dengan pesona, serta aura menawan. Alleia sangat cantik.

Dan bibir merah mudanya yang manis. Zaniel buru-buru menutup wajahnya. Apa yang sebenarnya dia pikirkan. Entah kenapa ciuman yang Alleia berikan di penjara kembali terlintas tanpa peringatan.

Wajahnya entah kenapa memerah. Sepertinya dia kembali sakit karena kecapaian bertarung dengan banyak pembunuh akhir-akhir ini.

.

.

.

Mereka telah sampai di ibukota. Dengan beriringan mereka berjalan berkeliling. Membeli banyak barang dan makan di kedai sederhana. Setelahnya mereka mencari penginapan untuk tidur malam ini.

Tidak cukup mengejutkan, karena hari ini adalah hari libur nasional. Penginapan cukup penuh hingga bisa menyisakan satu kamar saja yang langsung diambil keduanya.

Untungnya kamar ini dibuat untuk para pendatang. Jadi, kasur yang tersedia ada dua dalam satu kamar.

Mereka tidak banyak bicara di sana. Hanya mandi bergiliran, tiduran dan membaca buku-buku yang tersedia di kamar. Di sela kesibukan masing-masing Zaniel yang sedari tadi bungkam kini bertanya.

"Kenapa kamu mencium ku saat di penjara."

Alleia yang tengah meminum secangkir teh tersedak mendengar pertanyaan random dari Zaniel secara mendadak. Dengan jawaban klise andalannya dia menjawab. "Karena kami tampan. Apalagi?"

"Kalau aku tidak tampan apa kamu akan tetap mencium ku?" tanyanya lagi.

Alleia tertawa sebelum menjawab serius. "Tentu saja tidak. Karena ketampanan adalah nomor satu."

Zaniel terdiam cukup lama memikirkan perkataan Alleia. Entah kenapa rasa syukur menjadi pria tampan muncul di pikirannya yang buru-buru ditepis.

Kenapa dia harus lega dengan fakta tersebut?

Sebenarnya dia kenapa?

.

.

.

Keesokannya mereka kembali berjalan di ibukota. Kali ini mereka bertujuan untuk bersenang-senang. Sebelum merasakan kesenangan normal. Mereka tidak sengaja berpapasan dengan Gabriel yang langsung memberikan salam.

"Salam kepada, Yang Mulia Ratu. Kehormatan bagi Citrus."

Alleia berdecak kesal. Dengan ragu-ragu melirik Zaniel yang terlihat terkejut bukan main. "Bukan maksudku menipumu. Aku hanya tidak merasa nyaman jika memberitahu identitas asliku." Alleia memberi penjelasan yang disambut tatapan dingin dari Zaniel.

"Yang Mulia. Kenapa, Anda ada di sini?"  Gabriel yang tidak peka malah berbicara, membuat suasana kembali terasa tidak nyaman.

Alleia menghela napas, mengabaikan Gabriel si pengganggu dan. Mengambil gulungan kertas dari saku jubahnya dan memberikannya pada Zaniel yang terlihat tidak suka.

"Aku tahu kamu marah, aku minta maaf atas hal itu," ujar Alleia sungguh-sungguh. Untuk sesaat itu membuat Zaniel luluh, walau wajahnya masih menunjukkan ekspresi kaku yang dingin.

"Jika kamu mau, kamu bisa terus menjagaku."

Alleia tersenyum tipis, dengan tangan yang ditarik Gabriel dia melambaikan tangan pada Zaniel yang masih berdiri kaku di sana untuk waktu yang lama.

Setelah memantapkan hati untuk melihat gulungan kertas tersebut, dia terkejut untuk kedua kalinya.

Formulir kandidat selir, Ratu Citrus.

.

.

.

Sudah sebulan semenjak kejadian tersebut. Alleia terkadang masih merasakan tatapan milik Zaniel walau dari jauh. Ya, sebenarnya dia merasa itu hanya perasaannya saja, walau terkadang itu terasa begitu nyata.

Dan itu semua terbukti, ketika malam hari saat di tengah tertidur. Tiba-tiba jendela kamarnya terbuka dengan lebar. Aroma khas milik pemuda bertopeng itu tercium amat khas. Hingga secarik gulungan kertas yang tidak asing di matanya.

Dengan hati-hati gadis itu membukanya dan tertawa kecil.

Formulir kandidat selir, Ratu Citrus.

Dengan ini, saya Zaniel Malachi memutuskan untuk menerima titah, Yang Mulia menjadi kandidat selir.

Tertanda, Zaniel.

Bersambung...

11/01/2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top