11. You will be prince, son

Diruang pengobatan kini terbaring bocah kecil dengan surai ungu terbaring lemah di atas ranjang. Di sampingnya terdapat dua orang dewasa pria dan wanita.

Beberapa kali mengerjabkan mata, Celestin menatap langit-langit ruangan dengan sayu. Kepalanya menengok ke arah depan. Tepat, di mana kini penanggung jawab akademi dan seorang wanita berbicara serius.

"Apa-apaan keamanan akademi ini?! Bahkan beberapa saat lalu aku masih terpesona dengan kualitas terbaik akademi. Namun, sekarang apa? Bahkan ketika putraku hampir sekarat kalian tidak membantunya sama sekali!"

"Maafkan kami, Yang Mulia. Kami telah lalai dan akan sepenuhnya bertanggung jawab dengan kejadian ini."

"Bukan itu saja masalahnya?! Mengapa kalian tidak menghentikan perundungan yang terjadi? Apalagi sopan santun anak-anak bangsawan yang nampaknya tidak pernah belajar sama sekali!"

Celestin meringis berusaha bangun dari tidur. Suara rintihannya yang terdengar jelas membuat wanita tadi yang sedang marah-marah buru-buru mendekatinya dengan raut wajah khawatir. "Apa kamu tidak apa-apa, Nak?"

Siapa? Siapa wanita ini? Itulah yang Celestin pikirkan sebelum matanya tidak sengaja bersinggungan dengan pria yang sedari tadi berada di sisi wanita. "Siapa?"

"Aku calon ibumu, Nak."

Celestin hampir tersedak air liurnya sendiri sebelum akhirnya ia ternganga menatap penampilan wanita di hadapannya yang berarti dia adalah Ratu.

"Salam kepada, Yang Mulia Ratu. Kehormatan bagi Citrus. Maaf saya telat menyampaikan salam pada anda, Yang Mulia."

Alleia buru-buru melambaikan tangan. Lantas berjalan mendekati Celestin. "Tidak perlu seperti itu. Kamu sedang sakit. Apa sekarang sudah agak baikan?"

Celestin terdiam kaku menatap dengan takut-takut wanita di hadapannya. Menurut surat terakhir yang ayahnya sampaikan. Ratu adalah orang yang mudah marah dan kejam. Bukankah setidaknya ia harus berhati-hati?

"Hey, Kau! Kenapa putraku masih kesakitan? Dimana penyihir medis dan dokter? Cepat bawa sekarang!"

Alleia yang merasa bersalah melihat ekspresi takut-takut dari Celestin merasa marah pada dirinya sendiri. Dengan itu tanpa ia sadari melampiaskannya pada seorang penanggung jawab akademi di hadapannya yang buru-buru mengangguk dan melengos pergi.

"Yang Mulia, maafkan saya. Ini sepenuhnya kesalahan saya." Celestin yang merasa tidak enak hati pada penanggung jawab akademi berbicara.

"Tapi, bukankah ini semua bukan kesalahanmu? Ini semua kesalahan pihak akademi dan anak-anak tidak beretika itu."

Celestin kembali terdiam. Mulutnya bungkam. Benar, ia tidak salah sama sekali. Tapi, tetap saja ia merasa tidak enak hati. Walau sejujurnya keadaan ini disebabkan oleh kelalaian akademi dan anak-anak angkuh bangsawan yang memiliki otak kosong.

Tangannya mengepal dan kening bocah itu mengerut tampak berpikir keras. Sedang Alleia yang melihatnya langsung mendekati Celestin dan memegangi dahinya tanpa permisi.

Celestin yang mendapat perhatian mendadak tersebut sedikit terlonjak sebelum akhirnya tatapan mereka tidak sengaja bersinggungan. Berbeda dengan sorot dingin dan kebencian yang terdapat dari Ratu sebelumnya pada penanggung jawab akademi.

Sekarang yang ia dapatkan malah sorot hangat seorang ibu. Dan itu adalah perasaan yang sudah lama sekali tidak dirasakan Celestin.

"Sa-saya tidak apa-apa." Celestin menunduk dengan semburat tipis di pipi.

"Demammu belum juga turun. Berbaringlah, bukankah kepalamu sakit? Sebentar lagi dokter akan datang."

Celestin mengangguk lebih memilih menurut. Kepalanya dibaringkan di atas bantal dengan selimut yang ditarik hingga dada. Di sampingnya, gadis dengan pakaian anggun tersenyum lembut mengelus kepalanya dengan hangat.

Entah kenapa perasaan asing kembali merasuki dada Celestin yang mendapatkan perhatian hangat tersebut. Aneh. Menggelitik. Tapi, sangat nyaman.

Matanya entah sudah berapa kali kembali bersinggungan dengan Alleia yang kembali mengembangkan senyuman manis.

Interaksi itu tidak bisa lepas dari perhatian Arcelio yang seakan hanya nyamuk di ruang kesehatan akademi. Tentu saja, Arcelio sepertinya mulai iri dengan perhatian yang ratu berikan. Terlebih, yang diberikan perhatian adalah anak dari salah satu calon selir Ratu yang lain.

"Yang Mulia, saya telah mendatangkan dokter dan penyihir akademi. Saya harap ini bisa membantu anda."

"Salam kepada Yang Mulia Ratu. Kehormatan bagi Citrus."

Beberapa orang mulai berdatangan memberi salam. Penyihir dan beberapa dokter kini sudah sampai di hadapan Alleia yang langsung memasang ekspresi datar.

"Periksalah putraku dengan benar. Jika saja satu dari kalian tidak benar, maka aku harus memberikan peringatan terbuka pada akademi."

Mereka mengangguk dengan kaku serta dengan tubuh gemetar. Segera setelah dipersilahkan merawat pasien. Mereka memeriksa Celestin dengan teliti, juga melontarkan beberapa pertanyaan. Tentu saja itu semua di bawah pengawasan ketat Alleia agar kejadian tidak diinginkan tidak terjadi saat pemeriksaan.

Setelah memeriksa tubuh Celestin dengan teliti. Beberapa dokter mulai memberikan diagnosis. Bahwa yang dirasakan Celestin adalah sebab kelelahan dan stress berat. Mereka menganjurkan untuk memberikan waktu istirahat yang banyak serta makan dan minum obat teratur.

Terakhir, penyihir yang hadir segera memberikan pengobatan untuk mempercepat stabilitas kondisi tubuh dan memperkuat metabolisme.

"Apa ini cukup?"

Paramedis yang hadir mengangguk sebelum akhirnya diberikan persetujuan untuk pergi. Namun, berbeda dengan penanggung jawab akademi yang masih berada di sana mendapatkan tatapan super tajam Alleia yang seakan masih memiliki dendam kesumat padanya.

"Yang Mulia?"

"Aku meminta kompensasi atas kejadian hari ini."

Penanggung jawab akademi dengan wajah tampan imut dan rambut pirangnya terlihat sangat polos menatap bingung. Tubuh rampingnya serta iris biru bundar seakan tidak mengetahui apapun tentang dunia.

"Aku minta kompensasi atas apa yang terjadi pada putraku. Terlebih kita tidak tahu kejadian ini bisa saja berdampak besar pada mentalnya. Apa kalian akan bertanggung jawab jika terjadi sejauh itu?"

Pemuda dengan pakaian putih seragam pengajar menggeleng. Dengan tatapan serius ia menatap Ratu mulai membuka suara.

"Yang Mulia, saya tahu. Ini semua sebab kelalaian akademi. Saya akan membahas soal kompensasi ini lebih dalam dengan kepala sekolah. Saya harap anda tidak akan melakukan tindakan apapun terlebih dahulu untuk peringatan atau apapun yang bisa merusak reputasi akademi. Karena itu, saya permisi dahulu."

Alleia yang melihat kepergian pemuda itu tertawa sinis kembali duduk di samping Celestin. Sedangkan Arcelio yang sedari tadi diam mulai mendekati Alleia dengan wajah merajuk.

"Yang Mulia, apa anda masih marah?"

Ratu menggeleng, mengusap kepala Arcelio yang menelusup masuk di lehernya dengan manja. "Sekarang sudah tidak. Lagipula aku marah pada mereka. Bukan padamu atau Celestin."

Lagi-lagi Arcelio memasang wajah iri dengan perhatian Ratunya yang kembali terbagi dengan orang lain.

"Saya bisa membantu anda dengan memprovokasi beberapa investor akademi untuk berhenti memberikan donasi. Saya pikir itu bisa memberi mereka sedikit pelajaran."

Alleia tertawa melihat Arcelio yang dengan bibir maju berkata demikian. Karena tingkahnya yang kekanakan, Alleia kadang lupa kalau pemuda ini adalah milyuner yang memiliki pengaruh besar di antara orang-orang kaya.

"Lakukanlah. Jika itu benar terjadi aku akan memberikanmu hadiah."

Arcelio langsung mengangguk serius dan memeluk ratu dengan penuh cinta. Sementara gadis itu hanya bisa tertawa memeluk balik anak anjingnya tersebut.

Namun, Alleia berhenti memerhatikan Arcelio dengan serius sebelum lagi-lagi pandangannya bersinggungan dengan Celestin.

"Ada apa?"

Celestin menggeleng keras, hanya saja ia merasa aneh melihat calon ibunya bermesraan dengan orang lain. Walau ia tahu, ayahnya juga hanyalah seorang calon selir seperti orang itu.

Alleia yang mengerti akan keresahan Celestin melepaskan pelukan Arcelio dan mendekati bocah tersebut. "Apa kamu merasa aku aneh?"

"Te-tentu saja tidak, Yang Mulia."

"Lantas?"

Celestin menyembunyikan mukanya yang memerah di balik selimut dan berbalik membelakangi tubuh Alleia. Bocah itu merasa dirinya saat ini kekanakan. Tapi, dia tidak bisa menahan sikapnya itu.

"Baiklah, jangan beri tahu aku kalau begitu kenapa kamu bertingkah kekanakan. Lagipula kamu sangat manis sekarang." Dengan gemas, gadis itu terkekeh sembari mengusap tubuh Celestin dari luar selimut.

"Sekarang kamu kelas berapa?"

"Kelas 6."

"Begitukah? Kamu sangat cerdas."

Keduanya mengobrol dengan harmonis sembari sesekali tertawa juga bocah yang masih menyembunyikan diri di dalam selimut, merasa dunia yang telah ia lupakan selama ini telah kembali.

.

.

.

"Kepala Sekolah."

Pria dengan rambut yang sudah memutih berbalik menatap pemuda kikuk yang kini memanggilnya. Tangannya memijat pelipis mengetahui apa yang terjadi, terlebih dilihat oleh Ratu tiran sendiri yang notabenenya calon ibu siswa.

"Aku tidak tahu harus mengatakan apa atas kejadian ini, Noel."

Pemuda yang mempunyai tanggung jawab atas akademi tersebut bernama lengkap Noelani Serafim. Seorang pemuda jenius yang telah dibesarkan akademi sedari kecil.

"Maaf, Pak Kepala. Ini sepenuhnya kesalahan saya."

Kepala sekolah hanya bisa kembali menghela nafas dan mulai terduduk di kursi kebesarannya. Tangannya dengan terampil mengukir catatan di beberapa dokumen.

"Beasiswa, jaminan kelulusan, berbagai bidang akademi khusus, sertifikat, serta surat rekomendasi untuk jaminan pekerjaan di masa depan. Aku pikir ini lebih dari cukup untuk kompensasi siswa."

Noelani yang mendengarnya menegak ludah. Sudah dipastikan kompensasi ini tidak bisa ditolak dengan mudah. Terlebih berbagai peluang emas yang bertebaran untuk masa depan. Kompensasi yang mencukupi bahkan lebih seperti yang dikatakan Kepala Sekolah.

Dengan tangan bergetar ia mengambil surat kompensasi yang sudah ditulis kepala sekolah sendiri. Gulungan kertas dengan pita biru serta cap dokumen akademi sendiri. Ini adalah hal yang sangat berharga.

Menegak ludah, pemuda itu dengan mantap mengangguk. Apapun yang terjadi, ia harus menyelamatkan akademi yang sudah seperti hidupnya ini. Jika tidak, ia akan merasa bersalah seumur hidup atas segalanya.

.

.

.

"Aku menolak."

Noelani tidak bisa berpikir jernih ketika mendapatkan penolakan tegas dari wanita di hadapannya. Bahkan tidak segan pemuda itu berlutut memohon Ratu untuk menerima kompensasi tersebut.

Jika saja Ratu membuat suatu deklarasi atau sesuatu yang buruk untuk merusak reputasi akademi. Maka tidak ada bedanya akademi akan menuju kehancuran.

"Aku tidak peduli."

Bahkan ketika harga diri yang sudah ia lupakan hingga bersujud pada Ratu yang masih saja menatapnya dingin. Ditambah tidak ada tanda-tanda siapapun yang bisa mengubah pikiran sang ratu. Juga termasuk calon selirnya yang berbeda di sisi Ratu tidak jauh berbeda menatapnya penuh penghinaan.

"Bahkan kerajaan sendiri di bawah otoritasku bisa memberikan yang lebih atas kompensasi yang kalian berikan untuk Celestin. Apakah tidak ada kompensasi yang lebih layak?"

Noelani menegak ludah, dengan kepala yang masih tertunduk dalam sujudnya. Ia menggigit bibir hingga berdarah karena frustasi. "Yang Mulia, saya pikir kompensasi ini cukup sebanding dengan apa yang telah dialami siswa Celestin."

"Beraninya kamu menentang ucapan Ratu!" Arcelio berseru tidak terima mendengar kata-kata yang menentang Ratunya.

"Tenanglah, Arcelio."

Noelani masih saja bersikukuh pada tindakannya. Dengan lancang mulutnya kembali terbuka mengeluarkan beberapa kata yang membuat Ratu mengeluarkan aura pembunuhnya.

"Saya bisa berikan apapun! Asalkan anda tidak mengusik akademi. Ini semua adalah kompensasi yang cukup besar untuk siswa dengan masa depan cerah. Tidak ada yang lebih baik dari ini!"

Arcelio tertawa lantas tanpa bisa menahan kesabaran ia menendang tubuh pemuda yang bersujud tersebut. "BERANINYA KAMU KEMBALI MENENTANG UCAPAN RATU!"

Dengan mengatur nafas Arcelio menarik rambut pemuda tersebut lantas memasang wajah angkuh yang termasuk sifat aslinya.

"Bukankah sudah Ratu katakan. Apa yang di bawah kaki Ratu lebih besar dari apapun yang kamu tawarkan. Bahkan, jika kamu memberikan hak milik akademi ini atas nama anak itu tidak lebih dari cukup."

Noelani dengan wajah lebam masih bersikeras dengan tidak menyerah sama sekali. Sekali lagi ia mendekati Ratu dan bersujud untuk meminta wanita itu menerima apa yang ada ditangannya. Tidak peduli jika nyawa menjadi taruhan.

"Kenapa kamu masih bersikeras? Bukankah kamu sudah mendengar apa yang dikatakan priaku. Berani sekali kamu menentang ucapanku. Setelah ini bahkan tidak ada alasan lagi kenapa aku harus menerima kompensasi tersebut dan alasan sampah yang kamu keluarkan."

Alleia masih mati-matian menahan hasrat ingin membunuhnya. Bahkan ia sudah berbaik hati dengan tidak mengancamnya untuk dibunuh hanya karena di sini ada Celestin.

Sedangkan Celestin yang tadi sempat ketiduran segera terkejut mendapati penanggung jawab akademi yang bersujud dengan wajah lebam berdarah serta ekspresi pasrah.

"Yang Mulia?"

Alleia menghela nafas, menatap putranya yang kebingungan dengan sorot takut. Terlebih aura ruangan kini terasa dingin dengan cuaca mendung yang mendukung suasana mencekam.

"Mereka memberikan kompensasi ini. Aku pikir itu tidak sebanding dengan apa yang kamu alami. Bahkan Istana bisa memberikan yang lebih baik. Terlebih, tidak lama lagi kamu akan jadi pangeran kerajaan Citrus."

Alleia mengambil gulungan surat yang dipegang Noel sedari tadi lantas memberikannya pada Celestin.

Celestin yang melihat isi dokumen itu tidak bisa berkata-kata. Ini lebih dari cukup! Bahkan sebelumnya masuk ke akademi adalah hal yang sulit sampai ayahnya harus banting tulang mati-matian. Tapi, Ratu mengatakan bahwa ini tidak lebih dari cukup karena Celestin sebentar lagi akan menjadi pangeran kerajaan Citrus yang berarti kehidupannya bisa lebih terjamin berkali-kali lipat dibanding kompensasi akademi.

"Yang Mulia, ini cukup."

Alleia menggeleng kasar mendengar ucapan Celestin. "Minimal akademi harus menyerahkan hak milik akademi ini padamu. Aku pikir itu baru cukup. Kamu akan jadi pangeran Citrus dimasa depan Celestin."

Celestin menatap penanggung jawab akademi. Pria itu tidak membantunya sama sekali saat ia dibully habis-habisan. Bahkan ketika orang-orang menyebar rumor buruk tentangnya tidak ada pembelaan dari akademi dan membiarkan ia sendiri dalam keputusasaan.

"Yang Mulia, ini benar-benar sudah cukup. Saya mohon."

Tapi ini bukan sesuatu yang ia harus pendam dalam kebencian. Pria itu juga sudah habis-habisan berjuang untuk akademi yang ia tinggali saat ini. Setidaknya inilah yang bisa Celestin lakukan sebagai bentuk hormat untuk pengorbanannya.

"Baiklah."

Satu kata singkat dilontarkan Ratu dan langsung memeluk putranya tersebut. "Anak baik."

"Tapi dia sudah menentang ucapan anda, Yang Mulia! Bukankah, setidaknya ia harus masuk penjara sebagai pengingat bagi orang-orang yang berani menentang Ratu?"

Alleia yang mendengar penuturan kesal Arcelio terdiam, lantas tersenyum tipis melihat balik pemuda tersebut. "Masukan dia ke penjara. Aku pikir itu cukup."

Arcelio yang mendengarnya mengangguk puas. Namun, ada yang ganjil dengan senyuman Ratunya yang terlihat sama dengan beberapa waktu lalu saat dirinya mengamuk.

Matanya lebih memperhatikan pemuda tersebut yang memiliki sikap dan wajah tampan polos. Dan itu mulai mengganggu pemikiran Arcelio.

Apakah pria ini termasuk tipe selir yang diinginkan Ratu?

Bersambung...

09/11/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top