Chapter I: Memento
"Lo kenapa deh banyak diemnya? Kan udah gua umpan lambung berkali-kali tadi." Gerutu Dimas memukul tangan Sammy pelan.
"Gak kenapa-kenapa gua bingung pada ngomong bahasa kedokteran. 10 menit lebih lama disana gua bisa berbusa," sangkal Sammy. Kenyataannya ia bergeming, terpaku menangkap sosok indah yang menarik kesadarannya.
"Jadi gimana, lo mau nongkrong lagi di kantin? Atau kita main-main ke fakultas lain nih?"
Sammy berfikir sejenak, "Enggak deh Dim, gua balik aja. Lo masih mau di kampus? Apa mau ikut gua? Gua mau nengokin pacar pertama gua di bengkel."
"Belom selesai emang? Mas Mirza udah gak sanggup ngurus nenek-nenek penyakitan ya? Hahaha.." Dimas hanya menggoda Sammy yang selalu mengibaratkan koleksi motornya sebagai pacar-pacarnya.
"Ini gua mau sms Mas Mirza nanyain. Ikut gak lo? Gua bawa si stormtrooper jadi bisa boncengan kita." Sammy menjuluki Vespa Primavera miliknya dengan sebutan pasukan galactic empire pada film Star Wars dikarenakan kombinasi warna putih beraksen hitam dan gantungan kunci dari Vespa-nya.
"Tumben lo gak bawa motor Triumph lo? Gua mau cod (baca: cash on delivery) kamera sama angkatan 2010 kemarin chat whatsapp gua ngajak transaksi."
"Tadi dia curhat sama gua pagi-pagi masih ngantuk, yaudah gua bawa stormtrooper deh. Eh jangan lupa foto-foto sama anak-anak pas Distinguished Gentleman Ride kemaren lo kirim via e-mail ke Jape biar bisa dia edit," sahut Sammy.
Keduanya bersalaman lalu seperti sedang duel pedang yang menjadi gaya khas mereka saat bertemu atau berpamitan dan berjalan ke dua arah yang berbeda.
***
Text Message
Mon, 2 Nov, 15:13
Ke bengkel sini mas bro, darurat.
Membaca sms berbunyi darurat dari mekanik kesayangannya, Sammy bergegas ke parkiran fakultasnya untuk mengambil skuter miliknya dan segera menuju ke bengkel langganannya.
Di jalan sesekali ia tersenyum-senyum sendiri membayangkan kejadian tadi. Entah mengapa, Sammy tak pernah punya keberanian untuk menanyakan nomor ponsel perempuan yang ia suka. Dalam hati ia menantang takdirnya, kalau memang konsep jodoh itu benar adanya ia pasti akan bertemu lagi dengan Nadhira.
Berhati-hatilah dengan apa yang kamu minta..
*Bruak*
Ban depan skuter Sammy mencium trotoar, tubuhnya pun terangkat ke udara. Sebelum aspal menyambutnya, ia masih semoat menggunakan kakinya untuk menopang skuternya agar tak ikut tersungkur. Ia melihat ke sekeliling berharap tak ada yang wajah familiar yang melihatnya jatuh dengan muka paniknya. Terlebih karena alasannya termenung memikirkan wanita. Ia bergegas memeriksa skuternya, tak memikirkan celananya yang terkoyak karena terseret aspal.
Cinta Sammy pada motor-motornya memang terkadang berlebihan. Pernah di satu pagi Dimas menangkap basah Sammy sedang mengajak motor-motornya bicara sambil menawarkan kopi dan rokok bak sesajen. "Hai sayangnya akuuu.. Udah pada ngopi sama ngerokok belooom? Siapa yang mau ikut jalan-jalan hari ini?"
'Sinting nih sohib gua kelamaan jomblo. Kebanyakan diajak halusinasi sama Andhika sih,' batin Dimas.
Sammy duduk di trotoar berusaha mengatur nafasnya. Setelah merasa lebih baik, ia membakar sebatang rokok, naik ke atas skuternya, dan melanjutkan perjalanan ke bengkelnya pelan-pelan.
***
"Mas! Mas Mirza! Mas! Kenapa? Kenapa? Gimana? Gimana? Jadi? Jadi? Mas, air mas, haus." Sammy gelagapan masuk ke service area bengkel langganannya. Kalau sudah masalah motor, sifat dingin Sammy langsung luntur. Pasti adik tingkat fans-fans Sammy mendadak ilfeel melihat kelakuannya kalau sudah menyangkut motornya.
"Tuh dispenser di sebelah kasir mas bro. Tenang-tenang, kita obrolin pelan-pelan aja sambil ngopi."
Sosok pria berumur 30-an dengan brewok lebat dan rambut gondrong dengan jumpsuit jeans Dickies merangkul Sammy yang seperti cacing kepanasan. Keduanya berjalan ke ruang bersantai yang biasanya diisi oleh anak-anak motor sekedar menumpang membaca majalah motor import yang disediakan disana.
"Jadi cylinder head skutermy akhirnya nyerah juga setelah 50 tahun bertugas. Terus pas aku liat piston skutermu uga udah gosong gitu. Udah mukjizat tuh motor masih mau diajak jalan kemarin. Mungkin dia lelah Sam. Udah waktunya menikmati hari tua jadi pajangan di ruang tamu," Mas Mirza coba menjelaskan.
"Beneran udah gak bisa dibetulin? Kalau ada yang perlu diganti, ganti aja mas. Gak masalah berapa juga inshaallah ada duitnya."
"Nah, disitu masalahnya mas bro. Motor kamu ini umurnya sama umurku tuaan dia. Udah gitu yang punya kamu tipenya juga langka banget. Paling yang punya disini bisa diitung jari. Jadi onderdilnya ampun-ampunan aku nyarinya."
Keduanya pun terdiam sejenak sambil menyeruput kopi yang dihidangkan di bengkelnya.
"Jadi gimana mas? Bisa diakalin?" Sammy mulai resah. Ia mengingat-ingat kejadian-kejadian yang telah ia lewati bersama motornya. Hanya ia yang tahu betapa berartinya seonggok mesin itu.
'The connection to place, to the land, the wind, the sun, stars, the moon... it sounds romantic, but it's true - the visceral experience of motion, of moving through time on some amazing machine - a few cars touch on it, but not too many compared to motorcycles. I always felt that any motorcycle journey was special.'
Mungkin hanya kutipan dari Antoine Predock tadi yang bisa menggambarkan mengapa Sammy masih tidak rela menerima kenyataan bahwa motor kesayangannya mungkin hanya bisa menjadi pajangan di rumahnya. Entah berapa perjalanan indah dalam hidupnya yang ia lewati bersama motornya.
"Bisa sih kalo ketemu parts-nya, tapi sementara mending kamu bawa pulang aja dulu sembari kita hunting sana-sini. Besok kusuruh anak buahku tow ke kontrakan dirimu. Dia lagi nganter Ducati-nya Pak Hendra hari ini"
Sammy hanya mengangguk lemas. Saat ini ia hanya ingin pulang, memasang headphone, dan hilang sejenak. Ia tahu soundtrack yang tepat untuk sore hari ini. Ia menyalakan mesin motornya, dan berlalu seiring sinar mentari. Langit mulai mendung.
***
Sammy melangkah gontai membuka pintu rumahnya, dia lihat hanya ada Raga yang sedang bermain FIFA di ruang tamu. Ia langsung duduk di sebelah Raga sambil membakar rokoknya.
"Kenapa lo Sam? Kusut amat? Mau main sama gua gak? Inget, MU lo belom bisa ngalahin Juve gua."
"Not today brother. Pemain-pemain gua masih pada cedera abis turnamen barbar kemarin. Liat tuh joystick sampe jadi tumbal satu," Sammy mencoba menolak halus.
Kemarin memang geng 'Kotak Amal' (baca: kontrakan Sammy) habis mengadakan turnamen FIFA sambil menikmati sayap Richeese dan beer yang menjadi tradisi awal bulan mereka.
Setelah menghabiskan sebatang rokoknya, Sammy beranjak dari sofa. Ia mampir ke kulkas untuk mengambil sebotol beer dan langsung masuk ke kamar.
Ia mengambil gitar Gibson di kasurnya, menengguk beer di tangannya, mengelus Chewie kucing scottish fold kesayangannya yang sedang berbaring manja, lalu mulai memetik gitarnya.
See the stone set in your eyes
See the thorn twist in your side
I'll wait for you
Sleight of hand and twist of fate
On a bed of nails she makes me wait
And I wait without you
With or without you
With or without you
Through the storm, we reach the shore
You gave it all but I want more
And I'm waiting for you
With or without you
With or without you
I can't live with or without you
Langit pun seakan memahami kekalutan Sammy, rintik hujan mulai turun seiring dengan lagu With or Without You dari U2 yang dinyanyikan Sammy.
Yang ia sedihkan sebenarnya bukan skuternya yang mungkin tidak lagi bisa menemaninya menyusuri dinginnya Kota Malang. Ia tak masalah karena meskipun saat mesinnya masih bisa menyala pun Sammy hanya sesekali membawanya berjalan.
Sammy menyimpan perasaan yang ingin ia rasakan lagi, dan hanya motornya yang menjadi souvenir dari potongan memorinya. Hanya skuter itu yang bisa membawanya kembali. Ke hari ia bertemu dengannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top