0. Ad Astra Per Aspera

Terbangun aku dari alunan lirih gamelan, bersuara dari ponsel di sampingku. Perlahan kesadaranku kembali pada jasadnya, pada setiap bisikan lirih gending jawa yang mengalun. Namun, realita pecah menghantam kepalaku, kala sekeping ingatanku seketika muncul dari balik amigdala.

Aku tidak pernah menjadikan gending Jawa sebagai nada alarm ponselku.

Kuraih ponsel di sampingku, tercengang diriku kala kutahu itu bukan alarm yang berbunyi. Kurasakan alunan gending itu membuat tenang sejenak diriku, sebelum aku mematikan aplikasi pemutar lagu di ponselku.

Tiba-tiba saja, laptopku menyala tanpa komando dari sang pengempu laptop. Berdiri bulu romaku di tengah hari bolong, di mana matahari menasbihkan kerajaan siangnya.

Kalau seseorang mencoba melakukan kejahilan di siang bolong, ini tidak lucu.

Aku mungkin lupa mematikan laptopku, mengingat diriku sempat duduk tertidur di mejaku. Aku menyaksikan laptopku tiba-tiba menjadi 'bernyawa', dengan sendirinya memutar lagu yang sama dengan yang kudengar di ponsel. Bulu romaku semakin menegang, seiring dengan kesadaranku yang sempat terayun oleh orkestrasi halus kenongan terputar di laptopku.

Cepat-cepat diriku mematikan lagu itu, terputar dalam bentuk laman audio di peramban web. Bertanya-tanya diriku mengenai kejadian aneh pembangun tidur-siangku hari ini.

Aku membuang segala asumsi mengenai mistisisme terlintas dari dalam benakku. Mengabaikan segala kontempelasi buruk mengenai intervensi gaib pada perangkat elektronik milikku. Kucoba untuk menjumput kembali cercahan kesadaranku yang masih mengambang, di antara ketakutan yang muncul dari benakku. Namun, dalam keheningan, tembang itu kiranya masih terputar dalam pikiranku. Entah mengapa, kekuatan mistis dari tembang jawa itu seolah menjadikan motor penggerak tubuh untuk bekerja kembali.

Gending jawa kembali bermain dalam kesunyian yang samar. Memastikan pikiranku masih bekerja dalam standar koridor kewarasan manusia, aku pun keluar dari kamar kosku. Gending jawa mengalur lirih dari radio yang ada di meja tamu depan. Tidak lama berselang, televisi yang berada di ruang kumpul menyala dengan sendirinya. Dalam kondisi statis tanpa ada saluran televisi terhubung, televisi tabung itu mengalunkan gending jawa yang sama dengan gending yang membangunkan tidurku. Cepat-cepat aku mematikan radio dan televisi, hanya untuk semua penghuni rumah kos tiba-tiba keluar dari kamar mereka masing-masing.

Saling bertanyalah para penghuni rumah kos, mengenai fenomena misterius yang menghebohkan seisi rumah. Bahkan Bu Jah-induk semang pemilik kos tempat aku tinggal-juga menanyakan hal serupa. Mereka mengadu bahwa ponsel mereka tiba-tiba memutar lagu jawa dengan sendirinya. Sebagian besar mengira ini kejahilan gaib di siang hari, tetapi aku menyimpulkan hal lain.

"Kalau semua gawai kita memutar lagu yang sama, kemungkinan besar peretas yang melakukannya," ujarku.

"Yah ... kaubenar. Akhir-akhir ini banyak berita peretasan situs-situs web milik pemerintah," ujar salah satu penghuni kamar kos di pojok belakang yang mukanya jarang pernah bertemu denganku.

"Lalu, radio dan televisi itu juga kerjaan hacker?" sahut Bu Jah, memasang raut ketakutan di mukanya.

Aku terdiam. Penghuni kos lain pun juga tiada berniat melontarkan jawaban. Kepastian kami terbatas pada asumsi paling logis, bahwa ini adalah pekerjaan peretas. Belum sempat kami memberikan penjelasan masing-masing, samar-samar kudengar ribut-ribut di sebelah. Aku pun keluar menuju halaman depan kos, hanya untuk mendapati semua tetangga sudah keluar rumah. Lamat-lamat kudengar gending jawa mengalun tenang dari dalam rumah-rumah tetangga, di antara nada panik dan takut para manusia di dalamnya.

****

Kepanikan di tengah hari itu, membuat semua orang saling bertanya apakah ponsel mereka memutar gending jawa. Tetangga saling menanyakan apakah ponsel, laptop, komputer, radio, atau televisi mereka menyala sendiri, untuk kemudian bernyanyi gending jawa.

Salah satunya adalah Pak Yur, bapak-bapak yang setiap hari membuka kios sayur tepat di depan rumahnya. Segera setelah radio, ponsel, dan televisinya menyala sendiri, Pak Yur segera bergegas keluar untuk memastikan kalau itu bukan fenomena supranatural. Tiada lama, beliau bersaksi, bahwa ia melihat orang-orang berhamburan keluar dari rumah mereka dengan panik.

"Sepertinya satu kompleks kena fenomena aneh ini, Pak Yur," ujarku.

Pak Yur mengangguk mengiyakan, seraya berkata, "Semua tetangga keluar dari rumah mereka masing-masing, seperti habis melihat hantu di siang bolong."

Sebuah katastrofi absurd dalam tenangnya sebuah siang.

Tiada lama setelah diriku keluar, semua orang di kompleks perumahan keluar dari rumah mereka. Di antara tetangga, mereka saling berbagi cerita aneh mengenai perangkat elektronik mereka yang tiba-tiba 'bernyawa'. Kejadian itu terjadi secara simultan- seperti ada yang mengorkestrasi-dari blok A hingga blok E yang paling terakhir.

Sepekan terakhir telah kutemui berita-berita serangan siber menghiasi linimasa sosial media, membuatku curiga. Mulai dari data diri nasabah bank, hingga data personal masyarakat yang ada di Biro Penjaminan Biaya Kesehatan Masyarakat.

Apakah ini perbuatan peretas?

Aku menilik kembali, bagaimana situasi siang itu menggemparkan seluruh warga perumahan. Warga saling berdebat, mencari pelaku keusilan massal kala itu. Spekulasi mistisisme yang bermunculan menganggap bahwa ini ulah hantu di siang bolong. Beberapa orang juga mengeluarkan spekulasi mereka, mengenai kriminal siber yang kian hari ulahnya hanya dibiarkan saja oleh penegak hukum. Sebelum aku mengetahui hari itu juga, ternyata seluruh orang yang ada di negara ini mengalami hal yang sama. Pikiranku menjerit kalau ini ulah peretas, tetapi aku meragukan hal itu.

****

Hari ini, sebuah gending jawa secara misterius terputar menghantui seluruh warga negeri ini. Kejadian yang kualami siang ini, ternyata juga terjadi dalam skala nasional.

Hampir tiada manusia yang luput untuk tidak mendengarnya. Dari tua hingga muda, kaya maupun miskin, dalam sepi atau dalam gerombolan, anak kecil hingga orang tua, presiden hingga hamba sahaya, telinga mereka menangkap alunan kenongan bernada rendah siang itu. Seolah kejadian itu adalah pertanda, seolah kejadian itu adalah peringatan.

Dalam gelombang kepanikan masing-masing insan, manusia mulai merangkai teori dengan instan. Dari arwah penasaran hingga jaringan kriminal dengan spesialisasi peretasan.

Tidak dapat aku menyangka, satu gending jawa membuat panik satu negara.

"Saat ini, tim gabungan yang terdiri dari Badan Penanggulangan Tindak Kriminal Siber Polda Metro Jaya dan Badan Intelejen Negara, dikerahkan untuk menyelidiki kekacauan ini. Berdasarkan data Tim Gabungan, fenomena yang terjadi pada kisaran pukul 12 hingga 2 siang ini, telah dilaporkan oleh banyak masyarakat di hampir seluruh Provinsi. Spekulasi mulai bermunculan, bahwa ini adalah serangan siber skala nasional termasif yang pernah terjadi di sepanjang sejarah ...."

Mataku tidak melepaskan pandangannya dari monitor laptop. Sembari kudengarkan berita dari siaran langsung berita nasional, aku pun mencari informasi tambahan di beberapa situs berita.

Sebuah artikel di situs berita menarik perhatianku.

Ketawang Puspawarna. Lagu yang melukiskan rupa-rupa bunga, diceritakan dalam bentuk simfoni gamelan jawa. Itulah judul dari gending yang terputar di setiap alat elektronik warga siang ini. Lagu yang mengundang rasa penasaran, memberikan rasa kecemasan, dan melepaskan ketakutan pada masyarakat. Kita semua telah mengalami fenomena misterius, di mana lagu Ketawang Puspawarna terputar di radio yang bahkan kabel dayanya saja tidak terpasang di saluran listrik. Namun, tahukah kamu bahwa lagu ini adalah salah satu dari berkas suara yang ada di Piringan Emas Modul Voyager-1?

****

"Lintang, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Alexandr, bersuara di seberang panggilan telepon dengan nada sedikit meragukanku. Pimpinan redaksi buletin lokal Kali Amba itu langsung meneleponku, setelah dirinya menerima draf submisi artikel yang kukirimkan padanya.

"Aku tidak apa-apa," jawabku.

"Kepalamu tidak ikut kena retas gara-gara dengar lagu itu siang ini, kan?" lanjutnya bertanya dengan candaan jelek yang tidak dapat direm. Sudah biasa diriku menerima omelan dirinya tiap kali aku mengirimkan submisi artikel, tetapi baru kali ini aku merasa omelannya sedikit menyebalkan.

"Apa? Nggak, lah!? Ngaco kamu!?" timpalku.

"Kau serius mengirimkanku artikel ini sebagai submisimu untuk buletin besok?"

"Serius," jawabku cepat.

Kudengar Alexandr menghela napas panjang, sebelum bersungut, "Entahlah, artikelmu terlihat seperti penuh dengan teori konspirasi dari gerombolan pemburu alien."

"Whoa- Alex, terima kasih atas input dan komentar pedasnya."

"Lintang, kita tidak menerbitkan artikel bombastis dan sarat akan klikbait."

Aku bisa mendengar helaan napas panjang Alex dari seberang telepon.

Kulirik kembali judul artikelku, sembari sesekali menelaah apabila ada redaksi yang kurang enak untuk dibaca.

"Keriuhan Puspawarna : Paradigma Baru Transmisi Massal Misterius"

Dari balik telepon, kembali Alex lanjut mengeluh. "Bisa-bisanya kau berpikiran, bahwa yang terjadi siang ini adalah ulah alien iseng yang menerima pesan kita dari rongsokan ruang angkasa yang sudah terbang sejak 1977?"

"Siapa sangka, kalau yang terputar di setiap ponsel warga siang ini adalah Ketawang Puspawarna? Lagu yang dikirim umat manusia lewat Piringan Emas Voyager-1 sebagai missed call bagi alien di luar sana? Orang pasti akan kepikiran kalau ini ulah teroris siber, tetapi tiada banyak yang berpikir kemungkinan alien yang mengontak kita dari langit jauh sana?" balasku.

Kembali teringat pada sebuah postingan di forum diskusi internet. Orang-orang yang tergelitik rasa penasarannya, sekejap berlomba mencari asal-usul dan identitas dari lagu itu. Menemukan muara identitas simfoni gamelan itu sebagai Ketawang Puspawarna, salah satu lagu yang 'menumpang' Piringan Emas Voyager-1.

"Ini sebuah kebetulan yang benar-benar di luar dugaan, Lintang. Aku khawatir kita bakal digerebek aparat karena menerbitkan artikel yang tidak-tidak."

"Persetan dengan kelakuan aparat kurang kerjaan, seenak jidatnya menggerebek orang-orang yang mengutarakan kontempelasinya tentang alien mengontak bumi pakai gending jawa!"

Aku paham, akhir-akhir pemerintah dan aparat sedang hobi melakukan 'penyesuaian' konten di internet. Hanya saja, penggerebekan reaktif untuk sebuah artikel spekulasi mengenai kejadian luar biasa berskala nasional, adalah reaksi yang terlalu hiperbolik. Maka, untuk membuktikan reaksi hiperbolik itu, kuputuskan untuk melempar bola panas dalam skala lokal.

"Alex, bagaimana jika fenomena ini benar ulah alien, alih-alih gerombolan hacker yang iseng? Bagaimana jika memang benar ada peradaban di langit jauh yang menerima pesan transmisi Voyager-1?" tanyaku.

Alex tidak segera menyahut, seiring dengan hening mengiringi pembicaraan kami. Setelah menghela napas panjang-untuk sekian kalinya-Alex pun menimpali, "Spekulasimu terlalu hiperbolik, Lintang. Teorimu itu terlalu berbanding terbalik dengan kemungkinan yang terjadi di Negara ini. Ingat, bulan lalu sindikat peretas internasional menelanjangi negara kita habis-habisan? Sebagian besar berpikir bahwa ini adalah serangan siber yang didalangi oleh sindikat peretas itu!"

Semua orang terpaku pada klaim Kepolisian, mengumumkan bahwa gerombolan peretas-lah yang bertanggungjawab atas kepanikan skala nasional siang tadi. Namun, teoriku bukan tanpa prosentase kemungkinan sama sekali.

"Kemungkinan kecil bukan berarti nol kemungkinan, Alexandr."

"Kemungkinannya hanya nol koma nol nol nol sepersekian, Lintang. Bahkan polisi telah melakukan press release kalau ini adalah serangan siber skala besar."

Mendengar pertimbangan Alex, aku menemukan jalan untuk menyusun spekulasi lain.

"Alexandr, bisa jadi aku akan pergi ke kontrakanmu sambil memohon-mohon sekarang. Namun, cobalah kita untuk menerbitkan artikel ini," ujarku dengan nada memohon, sedikit.

"Apa yang sedang kau coba spekulasikan, Lintang?"

"Alex, serangan siber yang diumumkan kepolisian ini ... terlalu cepat untuk diputuskan. Aku memantau dari akun-akun pengamat kasus kebocoran data, bahwa belum ada satu pun kelompok peretas yang membuat pernyataan mereka."

"Hmm ... M-mungkin, mereka belum mengonfirmasinya demi mengejar konferensi pers," sangsi Alex.

"Tidakkah pemerintah terlalu terburu-buru demi sebuah press release, Alex?"

Satu negara panik karena perangkat elektronik mereka menyala sendiri untuk memutar Ketawang Puspawarna. Ketika spekulasi liar bertebaran di media, pemerintah dengan sepihak mengumumkan bahwa kepanikan itu karena ulah gerombolan peretas. Hingga kini, belum ada kelompok peretas yang mengaku. Maka ada dua spekulasi kemungkinan. Antara pengacau daring yang tidak mau mengaku atau memang pemerintah menyembunyikan sesuatu atas nama 'serangan siber.

"Lintang, ada konsekuensi yang harus kautanggung untuk artikel ini besok," peringat Alex.

"Semuanya sudah kurencanakan demi mencari kemungkinan lain, Alex."

"Lintang, kau sinting," timpal Alex.

****

Dua hari yang lalu, Ketawang Puspawarna mengudara di tiap-tiap gawai milik warga negara Indonesia. Tiada yang dapat menyangka, tiada yang dapat menyela, gending teralun di setiap telinga warga. Seolah negara kita sedang diturunkan pertanda berskala raksasa. Sebuah gending jawa yang mendobrak segala logika ilmiah umat manusia. Dari mulut ke mulut, dari layar ke layar, spekulasi demi spekulasi tercipta. Namun, dari sekian banyak praduga, saya sebagai penulis mengutarakan kontempelasinya kepada para pembaca.

Bagaimana jika Ketawang Puspawarna adalah jawaban atas usaha kita puluhan tahun silam, dalam mengontak peradaban nun jauh di luar angkasa?

Ketawang Puspawarna dikirim ke angkasa jauh, bersama dengan berbagai macam suara lainnya dalam satu gawai arkais yang bernama Piringan Emas. Piringan Emas itu menumpang sebuah wahana antariksa bernama Voyager-1, meluncur ke langit jauh pada musim gugur 1977. Mengharapkan ada makhluk di angkasa beku nan jauh sana yang menerima 'salam' kita.

Kini, pesan itu telah berbalas pada kita yang mengirim. Siapkah kita sebagai umat manusia, menjadi tuan rumah dari peradaban ringkih di semesta yang kolosal ini?

Kita berlomba-lomba untuk menjadi penguasa di muka bumi, tetapi sanggupkah kita untuk menerima fakta terburuk apabila 'makhluk langit jauh' mendarat di tanah ini? Manusia dengan lantangnya mendeklarasikan sebagai makhluk terbaik di jagat semesta yang insignifikan, tetapi siapkah kita menghadapi kemungkinan yang dimiliki semesta nirbatas ini? Tiap hari kita berbangga dengan teknologi yang kita nikmati, tetapi panik ketika tahu radio dan ponsel kita diambil alih oleh entitas misterius yang memutar lagu yang dicipta oleh manusia sendiri. Masihkah kita membanggakan peradaban 'purba' kita, di antara kolosalnya peradaban yang mungkin berada nun jauh di titik luar angkasa yang nirbatas ini? Voyager-1 telah membuktikan insignifikansi manusia di jagat semesta, ketika ia mengirimkan sebuah foto titik biru pucat di antara jutaan bintang dan galaksi. Namun, sepertinya manusia masih tidak mau mengangkat keangkuhannya atas pemilik jagat semesta.

Fakta telah tersingkap, bagaimana negara kita belum siap. Berbagai spekulasi ngawur beruntaian menjadi sebuah klaim, bahwa fenomena 'riuh kolosal' Puspawarna adalah ulah jahil para peretas yang berlindung di balik bayang-bayang teknologi. Mungkin tulisan saya terlalu tendensius, tetapi kita tidak dapat menyembunyikan fenomena kolosal beberapa hari silam.

Segala perangkat audio dan audiovisual-radio, televisi, komputer, laptop, ponsel segala tipe, telepon kabel, bahkan handy talky-membunyikan lagu Ketawang Puspawarna secara bersamaan. Setiap orang yang punya ponsel-bahkan yang paling bobrok pun-hanya bisa bertanya-tanya mengapa gawai mereka memainkan sebuah lagu random, yang mungkin sebagian besar dari kalian pun tidak ada yang tahu.

Apakah kalian sudah tahu atau sudah tidak mau tahu?

Mungkin ini adalah spekulasi paling di luar nalar. Mungkin saja, ini adalah artikel tendensius yang mengudara di media internet sebagai ajang pencarian sensasi. Mungkin saja, kolumnis yang mengirim artikel ini sudah kena pola pikirnya.

Namun, spekulasi ini berada di ambang logika dan asumsi, kala gelombang spekulasi terus mengudara di dalam pikiran publik. Interferensi siaran audiovisual, bahkan dari radio yang tidak tersambung arus listrik sekalipun, adalah fenomena yang sudah diluar nalar manusia. Ada kemungkinan orang yang melaporkannya mengada-ngada, tetapi laporan yang diterima secara masif dan rata dari Barat hingga Timur Indonesia. Bahkan, seluruh penerbangan yang mengudara di langit Indonesia, mendapatkan siaran lagu Puspawarna yang sama. Sejauh pemahaman saya, belum ada yang mampu membuat superkomputer canggih, di mana sebuah lagu bisa dinyanyikan dari perangkat tanpa daya listrik. Asumsi bahwa ini adalah ulah dari entitas ekstraterestrial makin banyak bermunculan di media sosial.

Kemungkinan kecil bukanlah berarti kemustahilan mutlak. Probabilitas di antara nol dan satu masih dapat mungkin terjadi. Cerita mengada-ada dapat menjadi fakta nyata.

Kita masih ada waktu, sebelum fenomena aneh berikutnya terjadi. Negara-bahkan mungkin dunia-sudah harus bersiap dengan segala proababilitas yang akan menjadi nyata.

Hendaknya kita memaknai fenomena yang saya namakan sebagai 'Keriuhan Puspawarna' ini, sebagai refleksi atas insignifikansi kita sebagai umat manusia di alam semesta. Kita bukanlah makhluk setengah dewa, ketika ada kemungkinan 'makhluk angkasa jauh' yang mengontak kita ... mungkin saja lebih 'dewa' dari kita. Keangkuhan hanya akan melahirkan malapetaka.

Kita harus bersiap.

Kita berharap apabila 'mereka' datang sebagai emisaris dari peradaban jauh mereka untuk membuat 'kontak' dengan manusia. Namun, kita juga harus bersiap, apabila mereka adalah 'imperialis' yang ingin menjajah tanah peradaban kita.

Sebagai pamungkas atas kontempelasi saya dalam artikel ini, izinkan saya mengutip pertanyaan dari Enrico Fermi. Bilamana ada jutaan kehidupan dan peradaban di alam semesta, mengapa kita tidak bertemu dengan mereka?

Ada kemungkinan mereka mengamati kita sebagai manusia, layaknya kita mengamati koloni semut. Ada kemungkinan manusia adalah peradaban pertama di alam semesta, sehingga kita akan 'melahirkan' entitas lain yang kita sedang cari-cari di alam semesta ini. Namun, mungkin saja kita memang benar-benar 'sendiri', insignifikan di antara nirbatasnya semesta yang dingin nan beku.

--"Keriuhan Puspawarna : Paradigma Baru Transmisi Massal Misterius"

--Lintang Pangestu

****

Farskytravel_0: "Artikel yang cukup menarik. Sayang sekali, demi keamananmu, aku harap kau mempertimbangkan untuk menarik kembali artikel yang tendensius ini."

Lintang_Pa: "Terima kasih. Namun, pada titik ini, seluruh asumsi dan spekulasi akan berlomba mengejar aspek tendensius demi memenangkan persepsi publik. Aku hanya membuka paradigma baru."

Farskytravel_0: "Pemerintah tidak akan senang ketika statement mereka salah. Mereka sudah gencar-gencarnya membuat publik menilai, bahwa ini adalah serangan siber."

Lintang_Pa: "Justru itulah, diperlukan paradigma baru untuk merombak dogma yang telah diturunkan oleh penguasa."

Lintang_Pa: "Siapa engkau, yang meragukan spekulasiku? Siapa engkau, membawa pertanda bagiku? Siapa engkau, sepertinya mengetahui bayang-bayang kejahatan yang mengintai di balik tragedi sebuah simfoni?"

Farskytravel_0: "Karena sepertinya kita sefrekuensi. Aku hanya ingin membantumu, agar kau tidak jadi korban salah tangkap aparat, sekaligus menanyai beberapa hal padamu."

Lintang_Pa: "Berarti memang terjadi sesuatu di balik transmisi massal misterius dua hari kemarin."

Farskytravel_0: "Lebih tepatnya, pemerintah kita sadar dan tidak sadar secara bersamaan."

Lintang_Pa: "Maksudmu?"

Farskytravel_0: "Di balik layar, penguasa diam-diam telah sadar. Peretasan massal pada perangkat elektronik yang tidak tersambung listrik, terlalu absurd untuk sekadar disebut ulah peretas."

Lintang_Pa: "Jadi, apa yang ingin kautanyakan?"

Farskytravel_0: "Apa kau adalah Pimpinan Kultus Kosmos Langit Jauh, Tuan Lintang?"

****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top