25. Kau dan Sekat [END]
Taehyung bahkan tidak pulang, dia telah pergi, dan benar-benar pergi.
Kara tidak tahu apa yang disimpan di balik perpisahan, sebab yang dirinya tahu adalah semalam dirinya menangis sendirian dalam sebuah rumah yang besar, tanpa Kim Taehyung. Padahal ada begitu banyak yang ingin ia katakan, ada jutaan kalimat yang ingin dirinya bagikan dalam semalam. Tentang rasanya, terima kasihnya yang tak kesampaian, tentang kebesaran tulus yang ingin dirinya tumpahkan dalam kumpulan jam.
Di antara manusia yang berlalu-lalang, suara roda koper yang lukai lantai, atau mulut-mulut yang sibuk ucapkan salam perpisahan, Kara hanya bersembunyi di balik topi serta maskernya yang membuat paru-parunya semakin sesak. Ditimangnya ponsel dalam waktu yang lama, walau tak ada niatan juga untuk mengaktifkan panggilan agar terhubung dengan Kim Taehyung; memarahi lelaki tua itu habis-habisan, dan memakinya sebab dalam kesempatan yang benar-benar tipis menuju akhir, tak ada barithone yang sapa gendang telinganya demi sampaikan satu-dua kalimat pisah yang baik. Kara mungkin ingin menangis lagi, di tengah bandara yang ramai, dan waktu yang masih tak mau berhenti cabiki kalbunya yang hancur berserakan.
Benar, barangkali Taehyung serius dengan ucapannya bahwa tak akan ada lagi Taehyung dan Kara dalam satu ruang, tetapi bukan sepahit ini juga fakta yang ingin dirinya terima. Ini adalah kesempatan terakhir yang mungkin tak akan diizinkan semesta untuk terjadi dua kali. Taehyung benar-benar membuangnya, meski dengan alasan yang jelas bahwa kini ada bayi lain yang membutuhkan tanggung jawabnya yang mulia. Untuk marah pun, Kara merasa tak punya argumen bagus, bukankah adalah keputusannya dengan tak memberitahukan kehamilannya pada Taehyung?
Kini coba lihat siapa yang lebih bodoh daripada Kara yang menyesal dalam detik yang tak berguna?
Dalam kondisi yang begitu tipis dan sesak, Kara temukan kembali suara Taehyung dalam kepalanya, vokal berat yang kerap tinggikan oktaf jika bertatap dengannya, lalu bandingkan dengan Taehyung yang lusa kemarin membuatkannya makan malam dengan begitu tulus dan raut kesakitan. Adanya hanya hati Kara yang tak mau sembuh dari tusukan, sekarang dirinya mengerti mengapa Taehyung sering kali terlihat terpaksa ketika hendak menganiaya dirinya. Walau bukan atas sebab lelaki itu yang simpan cinta, Kara tahu bahwa kebaikannya telah menangis sejak lama sebab dibiarkan begitu saja kalah pada angkara.
"Namaku Kim Taehyung. Hidup denganku sama artinya dengan hidup selamanya tanpa napas."
Namun Kara kini bertanya-tanya, hidup selamanya yang Taehyung maksud itu memiliki jangka waktu berapa lama? Selamanya yang Taehyung katakan jelas hanya memiliki jangka sekedip bagi Kara yang mendadak tak mau pergi ke Amerika bersama ibunya. Kini dia merindukan Taehyung setelah memikirkan bayi yang masih tak memiliki bentuk di dalam rahimnya. Mendadak silih berganti dengan Jimin yang tiba-tiba munculkan kenang tawa dalam pikirannya.
Dalam keremangan pikirannya yang tak mau berpusat, Kara mendadak mengedarkan pandangan, meneliti kesibukan orang-orang, menghirup udara di tanah tempatnya lahir, menyayangkan bahwa kisah hidupnya tak sama seperti banyak drama yang dulu dirinya tonton sewaktu berusia delapan tahun.
"Ayo, berhenti sama-sama. Aku sudah sangat lelah."
Bahkan meski mengingat bahwa dirinya hanyalah beban, Kara tetap tak mau miliki akhir seperti ini. Taehyung mungkin lelah, tidak apa-apa, tetapi mengapa membuangnya seperti sampah yang tak berhak dikais orang? Taehyung mungkin tidak mencintainya, tidak apa-apa, tetapi mengapa juga dirinya menjadi bodoh dengan tidak memberitahu kandungannya ini pada lelaki tersebut? Seharusnya sama seperti anak Jukyung, bukankah Taehyung masih memiliki tanggung jawab pada bayi yang kini berada dalam rahimnya?
Kini kalimat Jimin menjadi paling benar, seharusnya Kara tidak takut, seharusnya ia katakan pada Taehyung. Namun mengapa harus sadar di saat udaranya menjadi setipis ini?
Tapi aku juga benar, bayi ini hanya seorang manusia. Memangnya dia siapa sehingga harus membuat Taehyung mengubah keputusan? Lelaki itu telah memilih Jukyung dengan begitu jujur.
Kara menguatkan dirinya lagi, melepaskan haknya di bentala yang mana di sinilah ia menjadi presensi beruntung yang dinikahi Taehyung. Sekarang setelah dirinya pikir telah sangat siap dengan hidup barunya, mendadak ia membutuhkan laki-laki sebagai pegangannya untuk kembali berdiri. Bukankah akan lebih baik jika hari ini hanya bagian dari mimpi buruknya? Lalu sebentar lagi dirinya akan bangun. Ya, hanya sebentar lagi.
Boarding room menjadi lebih sesak setelah Kara mengetahui bahwa ibunya belum juga kembali dari toilet sementara waktu mereka hanya tersisa lima menit sebelum mendapat pengumuman untuk segera memasuki pesawat. Belum lagi Kim Taehyung keparat yang benar-benar tak datang demi membiarkan Kara menertawai ujung hidungnya untuk terakhir kali. Ini menjadi lebih sesak dari apa yang dirinya pikirkan beberapa hari lalu. Mungkin ia tak ingin pergi, tetapi bagaimana dengan ibu yang ingin lepas dari ayah? Atau semua usaha Kim Taehyung selama ini untuk mewujudkan harapan ibunya untuk pergi? Bagaimana caranya Kara menjadi egois di saat inilah jalan yang orang-orang ciptakan dengan susah payah untuk dirinya?
Kara memejam, ia meraba kembali perutnya yang masihlah terlalu rata untuk dikatakan hamil. Membiarkan ibu jarinya mengusap pelan, dan ia menyesal ribuan kali telah begitu jahat dengan tidak mengenalkannya pada sang ayah. Namun begitu siklus hidup, tidak ada sesal yang katakan permisi sebelum datang.
Setelah waktu merenungnya habis dimakan udara, seolah tak ada jeda untuk meratapi masalah lainnya, dalam sela waktu yang sempit, ibunya datang sambil tersenyum, sayangnya dia tidak benar-benar tersenyum sebab ada bengkak pada lemak matanya. Kara paling tahu bahwa itu adalah indikasi tangis, lantas kini ia sedang mengira-ngira apa yang sedang ditangisi oleh ibunya dalam ruang yang sesak ini?
"Mau masuk pesawat sekarang, Sayang?" Begitu tanya ibunya.
Kemudian Kara hanya ikut berdiri begitu ibu menarik tangannya. Bibirnya tersenyum sinis, jadi memang begini, ya akhirnya? Tidak ada Kim Taehyung lagi, dan ia dituntut untuk berhenti egois sebab kini suara Jimin mendadak merusak otaknya. "Ingat, jangan terlalu memikirkan apa pun, janin akan sedih dan sakit ketika ibunya stres."
Kara pikul tasnya, ia menggenggam erat temali tas yang kini bergelayut menjadi beban di pundaknya. Melihat lagi sekeliling, irisnya belum juga menemukan siapa pun, baik itu Jimin atau pun Taehyung. Pilihannya untuk mematikan ponsel memang pilihan yang tepat.
"Sayang," panggil ibunya ketika mereka mulai melangkah di pijakan kedelapan. Dia menyodorkan sebuah ponsel. "Taehyung ingin bicara denganmu."
Rahang cantik itu mengeras seiring dengan gigi-gigi yang dirapatkan sempurna, si iblis itu masih menjadi presensi yang paling tahu cara menyakiti dirinya. Hanya dengan sebuah benda pipih yang kini disodorkan ibu padanya, Kara sesak kembali. Padahal dua detik sebelum ibunya bicara, ia telah mengikhlaskan hatinya pada Taehyung. Ia tak akan mengharap apa pun lagi, lalu coba lihat bagaimana dua detik tadi terasa seperti niat kosong yang langsung lenyap begitu ia tahu bahwa Taehyung sedang berada dalam sambungan lain telepon.
Sembari bergerak di atas kaki yang mulai tak yakin, bersama tangan yang terulur skeptis, Kara menerima ponsel tersebut kemudian dengan hati yang berantakan, Taehyung menghantamkan kembali sayat baru pada hatinya tepat setelah suara beratnya masuk ke dalam telinga.
"Padahal Jimin sedang dalam perjalanan, kau sudah akan masuk ke dalam pesawat." Begitu katanya, sebelum dilanjutkan, "Kenapa kau menjadi jahat sampai akhir, Ra? Padahal Jimin kelihatan tulus dan begitu percaya padamu. Lihat bagaimana sekarang kau yang sedang mencoba pergi tanpa tinggalkan satu-dua kata untuknya ... untukku juga."
Kara menggigit bibir dalamnya, satu tangannya mencengkeram baju, seolah titip gelisahnya di sana. Mungkin Taehyung benar, ia masih menjadi peran yang jahat hingga detik ini; meninggalkan Jimin tanpa pamit, serta sembunyikan seorang anak dari ayahnya, Kim Taehyung. Mungkin benar dirinya jahat, tetapi siapa yang tahu bagaimana bagian dirinya yang paling dalam? Bukannya Kara memilih pergi dengan cara begini dengan suka rela, ia hanya tak ingin keteguhannya dirusak siapa pun. Melangkah saja telah membuatnya sakit, bagaimana bisa terus keras hati sambil melangkah sementara ada Jimin atau Taehyung yang menontoni punggungnya?
Keinginan kapital yang kuasai dirinya beberapa waktu lalu untuk bicara banyak hal dengan Taehyung menguap begitu saja, tenggorokannya kemarau dan ia mengalami gangguan pada pita suaranya. Sialnya Kara malah ingin meraung saja mendengar suara Taehyung yang dalam dan serak, dengan terus melangkah, mendekati badan pesawat yang terlihat lebih menyeramkan sekarang. Kara belum juga menemukan kalimat yang bagus untuk dikeluarkan sebagai balasan, tetapi rupanya Taehyung mengerti sekacau apa dirinya kini sehingga memilih untuk berbicara kembali dengan lebih lembut dan tenang.
"Maaf, ya. Seharusnya aku tidak menjadi pengecut, seharusnya semalam aku pulang dan menghabiskan banyak kata denganmu." Ah, si Brengsek itu memang rajanya luka, kini Kara menjadi lebih berat melanjutkan langkahnya.
"Aku pikir akan lebih baik bagiku untuk tidak bertemu denganmu sampai kau meninggalkan Korea. Kukira itu pun yang terbaik untukmu, kau perlu lebih banyak ruang untuk mempersiapkan diri. Jadi aku pergi untuk tidak mengganggumu."
"Kau memang selalu membenarkan segala hal yang berada dalam kepalamu. Aku tidak kaget, kok," sahut Kara dingin. Ia masih punya hak untuk kesal, bukan? Coba lihat bagaimana Kim Taehyung ini begitu keras dan menganggap diri paling benar dari segala hal. Bagaimana bisa lelaki itu menyimpulkan dengan mudah? Apa katanya barusan? Mengganggunya? Memang siapa yang merasa diganggu oleh orang yang disukai?
"Anggap saja aku salah. Jadi, aku pikir masih ada kesempatan jika kau benar-benar ingin melihatku untuk terakhir kalinya."
Kara tidak sedang dalam kondisi yang bagus untuk menanggapi lelucon, tetapi kakinya justru lebih jujur daripada hatinya sendiri. Tepat sebelum ia menginjak tangga pesawat, ia berhenti, berbalik sebisanya dan mengedarkan pandangan dengan serampangan. Kara terburu-buru, bahkan semua orang kini terlihat sama di segala tempat. Padahal jika mau waras dan sedikit lebih tenang, mungkin ia akan mudah menemukan Taehyung yang kini berdiri di sisi jendela bandara lantai dua. Namun mengapa Kara tak dapat menemukannya meski itu mudah?
"Hei, jangan buru-buru, Ra. Aku di terminal, di jendela ruang tunggu. Angkat dagumu, Baby."
Di situlah, ia menemukan Taehyung sedang menatapnya dari kejauhan. Bajingan itu kelihatan kecil di matanya, mendadak ia lupa bahwa ketampanan Taehyung berada di tingkat berapa, mengingat kini yang ia tangkap melalui iris hanya sebongkah tubuh yang berdiri tegak dengan tangan yang dimasukkan ke dalam kantong celana. Lelaki itu kelihatan jauh sekali, dan Kara sadar bahwa memang begitulah kini jarak mereka.
Tidak tahu apa alasannya, Kara menjadi lebih lega. "Sejak kapan kau berada di sana?"
"Mungkin sejak satu jam sebelum kau dan ibumu datang?"
"Dasar kau keterlaluan."
Tidak terlalu cepat, tidak juga terlalu lambat, keduanya melepas tawa beriringan. Taehyung melambaikan tangan dari arah sana, dan Kara yang tak kuasa untuk melakukan hal serupa. Dadanya sakit sekali sekarang, seolah memang sudah tiba waktunya bagi mereka untuk saling melepaskan. Namun mengapa ketika ibunya memanggil dari atas sana-dari pintu pesawat-ia justru malah ingin berlari ke jalan yang berseberangan? Ia ingin melangkah ke arah Kim Taehyung alih-alih pada ibunya yang menunggu senantiasa dari sana.
"Taehyung, aku akan pergi."
Untuk beberapa detik setelahnya, yang ia dengar hanya suara orang-orang yang berisik, hingga akhirnya Taehyung berdeham kecil dan memberi sahutan. "Iya, hati-hati di sana, ya."
Tidak, ini bahkan tidak buru-buru ketika Kara mendadak merasakan pipinya licin dan basah. Menangis menjadi pilihan paling dekat dengan perasaannya, coba dengarkan bagaimana suara Taehyung di telinganya saat ini. Kara ingin mengunci seluruh jalan keluarnya agar vokal Taehyung hidup hingga mati di dalam telinganya. Hati-hati di sana, ya. Kara tidak paham mengapa kalimat itu terasa seperti membunuh sebagian dari dirinya hari ini.
"Tolong sampaikan salamku untuk Jimin. Katakan padanya untuk tidak mencemaskan diriku, aku akan menjaga diri dengan sangat baik."
Memang sangat jauh, tetapi Kara menangkap gerak kepala Taehyung ketika mengangguk. "Aku meneleponnya tadi dan mungkin dia sedang dalam perjalanan menuju ke mari. Akan kusampaikan salammu tanpa kurang dan tak lebih."
Setelah menghapus air matanya yang terus terjun tanpa terasa, Kara mengerti bahwa ini adalah saatnya untuk berhenti bicara. Waktunya tak banyak lagi, dan rupanya Taehyung juga telah usai dengan urusannya. Tidak apa-apa, sekarang ia bisa tenang sebab Taehyung juga kelihatan baik-baik saja, bukan?
Kara meminta maaf pada bayinya lewat usapan lembut pada perut, sebab ia harus lahir tanpa miliki ayah. Itu juga tidak apa-apa, Kara itu perempuan kuat yang bisa menghidupi anak ini nantinya. Sendirian itu bukan akhir, bukan?
"Aku masuk, ya?" pamit Kara skeptis, ibunya telah lebih dulu masuk dan kini ia harus segera menyusul bersama beberapa sisa orang yang sedang mencoba naik.
"Aku titip dia padamu, ya." Taehyung bilang, dan Kara masih belum paham mengapa nada suara Taehyung menjadi bergetar. "Anakku. Yang sedang kau kandung. Aku titip dia padamu, ya."
Kara bahkan tak kuasa memberikan jawaban. Ia menangis sekuat-kuatnya untuk kali pertama, di depan Kim Taehyung juga orang banyak. Setelah dua menitnya habis, Kara hanya mampu berikan anggukan sebelum bergerak serampang menghapus air matanya. Beginilah akhirnya. Dan segalanya benar-benar telah usai begitu Kara terbang bersama pesawatnya sembari mengingat kalimat Taehyung sebelum sambungan telepon tadi dimatikan.
"Aku mengerti keputusanmu untuk menyembunyikan dia dariku. Aku memang bukan calon ayah yang baik, kan, Ra? Tolong jaga dia. Jadilah seorang ibu yang cantik, dan ayah yang bertanggung jawab untuknya." Taehyung menghapus air matanya. "Kau sudah mau pergi? Kalau begitu, selamat tinggal, Cantik."[]
[Dibukukan]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top