23. Dua dari akhir
Ada yang ingin dikeluhkan?
"Jadi, kau belum memberitahu Taehyung tentang kehamilanmu?"
Kara memutar bola matanya lelah, ini telah puluhan kali Jimin coba pastikan bahwa apa yang menjadi jawabannya bukanlah kesalahan vokal, atau kerusakan pendengaran lelaki itu. Sebab itu Kara menjadi lebih galau lagi ketika mengingat kebodohannya tentang merahasiakan seorang putra dari ayah kandungnya sendiri. Maka, ketika menjawab dengan kalimat sama rasanya akan tetap terdengar muhal dalam telinga Jimin, akhirnya Kara membentak dengan rentet kalimat berbeda.
"Kau ini cerewet sekali, sih, Jim. Aku jadi jengkel padamu."
Walau begitu, Kara masih temukan ketidakpuasan dalam pandangan Jimin. Seolah lelaki tersebut benar-benar tak setuju akan keputusannya yang sepihak ini, tetapi memangnya mengapa? Taehyung pun menyembunyikan ibunya selama ini, akan jadi argumen yang bagus jika dirinya ikut merahasiakan saja kabar ini dari Taehyung alih-alih membuat lelaki tua itu blingsatan sendiri mencari cara untuk lenyapkan sang bayi.
Ya, memang. Taehyung tak pernah katakan bahwa dia akan menolak adanya keturunan di antara mereka. Namun jika mengingat bagaimana polah Taehyung selama ini, bukan hal yang mustahil kalau dia tidak setuju untuk membesarkan bayi ini meski untuk Kara sendiri. Tidak ada yang tahu, bukan? Bahkan jika ia katakan kabar ini, potensi besarnya adalah Taehyung akan tetap abai dan kembali pada Jukyung yang telah ditetapkan menjadi pemenang.
Kini Kara tidak lagi peduli tentang siapa yang akan memiliki Taehyung, hidupnya, dan seluruh tubuhnya lagi. Karena selama sisa waktu terakhir, yang paling menggangu isi kepalanya adalah ibunya sendiri, serta cara bagi mereka agar terlepas dari jerat ayah. Barangkali begitu, sebab Kara sendiri pun telah lebih lelah dari Taehyung sendiri sepertinya. Lagi pula dirinya cukup mengerti untuk segera berhenti membebani lelaki yang telah lebih dari cukup menderita olehnya. Taehyung tidak pernah kelihatan bahagia bersamanya, ya, meski dia bilang bahwa dia pernah mencintai dirinya.
Namun, jika mengingat seperti apa Taehyung bicara, mengindikasikan kelelahannya, serta sepatah apa asanya demi menjaga Kara serta ibu, bukankah ini telah begitu cukup untuk dijadikan akhir dari segala usaha semua orang? Taehyung telah usai dengan janjinya untuk menyatukan dirinya dengan ibu, tetapi mengapa Kara masih tak ingin sebuah kisah tak wajar ini berakhir? Mengapa ada di bagian hatinya yang teriakkan penolakan? Seolah masihlah ada yang tertinggal, dan ini bukan waktu yang tepat untuk usai. Namun apa? Memangnya apa yang belum usai sementara ia dan Taehyung tidak pernah membangun permulaan?
Mereka menjalani kehidupan begitu saja, hanya bersama, memiliki dalam ikatan pernikahan, dan terdisparitas oleh bentang panjang dan tebal jika mau melihat porsi rasa keduanya. Padahal Taehyung pernah katakan bahwa dia mencintainya, tetapi seolah waktu tak menampik fakta bahwa hanya dirinyalah yang paling mendamba dari ikatan ini sendiri. Kara hanya ingin yang instan, yang bahkan terlalu gengsi untuk usahakan kemauannya menggunakan tindakan. Mungkin sebab itu semesta tak mengizinkan keduanya dalam satu ruang, karena pihak-pihak yang bersangkutan juga enggan perjuangkan percik rasa yang dilemparkan pada kalbu masing-masing. Ya, itu alasannya, tetapi mengapa juga Kara belum dapat menerima?
Kara tidak tahu juga apa yang membawa tangan Jimin untuk menyentuh perutnya yang rata. Lelaki itu mengerutkan kening sejenak, dan sialnya Kara tak ada niatan bagus untuk menjauhkan telapak lelaki brengsek yang mulai gemar menyentuhnya sana-sini tanpa aturan. Seolah ia sedang membutuhkan orang lain untuk memastikan bahwa memang ada bagian dari Taehyung yang lain dalam rahimnya. Namun lagi-lagi memgapa harus Jimin? Bahkan setelah dipikir lagi, ia tak punyai siapa pun selain Jimin dan ibunya yang kini sedang merencakan hidup baru mereka. Mungkin?
"Wah, Ra. Kau jahat sekali, sih. Kau sedang sungguhan hamil, dan tidak memberikan kesempatan pada ayah kandungnya untuk mengetahui eksistensinya." Jimin bilang. Kening lelaki itu mengerut tak senang, dan Kara tak peduli tentang itu.
Kara berdecak. "Seolah bayi ini ajaib saja," katanya tak acuh. "Taehyung sudah membuat keputusan, Jim. Dia akan pulang pada Jukyung dan meninggalkanku setelah ibu punyai rencana yang matang untuk hidup denganku. Jangan memberiku alasan lagi untuk memberitahunya kabar tak penting."
"Tapi dia ayahnya, Ra. Ayah kandungnya. Kau pikir membesarkan bayi itu gampang?"
Kara tak lagi mau diam, ia ingin sangkal semua ucapan Jimin yang seolah menganggapnya hanya seorang gadis biasa. Kalau-kalau Jimin lupa, ia adalah Kim Kara; gadis nomor satu yang gemar menantang dunia, paling akrab dengan luka, dan yang paling paham bagaimana caranya melangkah dalam bekukan sakit. Hanya karena beberapa waktu terakhir dirinya sedang diburu haru sebab telah kembali pada ibu, bukan berarti ia kehilangan Kara yang sembilan tahun ini menjadi pemilik angkara paling hebat. Jika Jimin berani berpikir seperti itu, Kara akan menghancurkan sendiri tempurungnya.
"Terus kau pikir aku akan tumbang hanya karena masalah bayi? Kalau-kalau kau lupa, aku nyaris dikeluarkan dari universitas karena telah mematahkan kaki mahasiswa," belanya penuh percaya diri.
Ya, Jimin justru kelihatan semakin tak setuju dengan dirinya. "Kalau-kalau kau lupa, seorang ibu dipantang untuk mengasari anaknya sendiri." Jimin ingatkan dengan itu. "Kau pikir menghadapi bayi itu sama seperti kau sedang mendiskriminasi mahasiswa yang pikiran serta tulang-tulangnya telah sangat kuat?"
Kara benci sekali harus mendiskusikan masalah ini dengan Jimin sesore ini. Seharusnya ia menolak saja ketika Jimin mengajaknya pulang bersama usai kelas terakhir. Lihat bagaimana keduanya kini terlihat seperti segandeng suami-istri yang sedang meributkan anak pertama mereka harus menjadi apa, atau lahir dengan posisi bagaimana; keduanya mulai mencuri atensi banyak orang dengan cara ilegal.
"Ya ampun, Jim. Kau tidak ingat, ya, aku masih punya ibu?"
"Dia anakmu, kau tidak boleh membebankan tanggung jawabmu pada orang lain. Sekalipun itu adalah ibumu sendiri."
"Aku hanya akan belajar darinya, kok. Memang aku pernah bilang akan memberikan anak ini pada ibu?" Urat-urat di leher Kara menonjol, demi Tuhan, ia jengkel sekali sekarang. Ada apa, sih, dengan Jimin ini?
"Kau tidak paham, ya, kalau aku sedang mencemaskanmu?"
"Kenapa juga kau harus cemaskan aku? Begini, ya, Park Jimin yang terhormat. Di sini aku yang mengandung, aku yang akan melahirkan, aku yang akan menjadi seorang ibu. Kau kira aku sebodoh apa sampai-sampai akan membiarkan bayiku menjadi manusia kecil yang malang?"
Jimin kemudian hanya lepaskan satu desah berat, ia merasa kalah kalimat pada Kara yang egonya telah lebih tinggi daripada antariksa. Padahal dia ingin sampaikan rasanya, sampaikan kecemasannya pada dua manusia yang kini duduk di depannya; Kara dan bayinya.
Mungkin Kara pikir dirinya hebat, menjadi seorang ibu dan ayah dalam waktu yang simultan. Padahal jika saja gadis itu mau memikirkan dari posisi sang anak, akan jadi pertanyaan paling menyakitkan ketika orang-orang mempertanyakan, "Di mana ayahmu?" atau "Siapa ayahmu?" Kara tidak akan tahu seberat apa bebannya, mungkin dalam kondisi yang diliputi ego, ini bisa diatasi hanya lewat pikiran. Lalu bagaimana jika benar-benar dijalankan? Siapa yang akan prediksi presensi yang paling kapital akan sesal? Presensi paling meradang oleh sakit? Kim Taehyung, Kara, atau justru anak mereka?
"Aku harap aku di sana, bersamamu, dan menjadi indikator bodoh yang setiap waktu memperingatimu untuk melakukan hal-hal dengan benar." Jimin katakan itu dengan rahang yang mengeras.
Kara tahu maksudnya, Jimin pasti mengkhawatirkannya, bukan? Namun Kara tak ingin dianggap remeh bahkan oleh Jimin sekalipun, baginya ia telah cukup mendapat bekal untuk mengerti tentang hidup. Ia tahu bahwa masa depannya akan berat, sebab ketika Taehyung benar-benar akan memutuskan untuk bercerai. Maka Kara adalah satu-satunya pondasi yang siap siaga membangun hidupnya sendiri, serta kehidupan bayinya kelak.
"Kau akan ikut denganku?" Bodohnya Kara masih mau-mau saja memastikan.
Padahal ia tahu apa jawabannya, begitu Jimin memilih untuk diam, statiskan gerak bibir, dan hanya memberi tanggapan seram lewat tatapannya yang tajam. Kara tahu pertanyaannya barusan hanya sekalimat bodoh yang tak semestinya ia muntahkan.
"Jim-"
"Aku harap bisa." Jimin akhirnya menjawab itu dengan berat. "Tetapi aku sedang tidak dalam posisi dapat menentukan harus ke mana aku nantinya. Sebab dalam hitungan bulan lagi, ketika kau melahirkan, mungkin aku sudah selesai dengan resepsi pernikahanku. Kara, seandainya kau tahu betapa aku benar-benar ingin kabur denganmu. Tetapi hidupku bukan lagi milikku, aku dijual dan telah dibeli. Dalam posisi yang mana aku tak ingin membawa dua orang tuaku dalam konteks yang rumit, serta Sohyun yang kelihatannya berusaha keras sembuh demi aku, aku dipaksa lagi mengesampingkan harapan dan keinginanku sendiri. Bukankah hidup terlalu lelucon, Kara?"
Kara mematung di kursinya, tak paham juga mengapa hatinya menjadi seperti ditusuk sesuatu yang kecil. Ada nyeri yang mampir, dan ia tak mengerti mengapa dirinya tiba-tiba ingin memeluk Jimin dalam waktu yang sangat lama. Dalam hidup, ia tak pernah diperhatikan, pun ia yang meninggalkan hal itu lebih dulu. Ia barangkali telah menganggap Jimin lebih dari sekadar sosok teman, dan bukankah seharusnya ia sudah agaknya sedikit tahu tentang hidup sosok yang telah dianggapnya teman tersebut? Mengapa Jimin terasa jauh, dan ia yang tak mengenal bagian-bagian dari luka dan hidup Jimin? Memangnya ia dan Jimin itu terikat dalam hubungan apa?
"Kalau begitu kenapa kau pengecut begini, sih, Cengeng?" Kara katakan itu dengan sebal. "Aku berjanji akan mengurus anakku dengan baik. Demi kau. Jadi bisakah kau berhenti bertingkah menjijikkan begini? Kita tidak akan berpisah hari ini, Jim." -akan tetapi besok.
Lihat bagaimana Kara yang masih tak mengerti mengapa Jimin sesabar itu untuk kembangkan senyum padahal hidupnya tak lebih sakit dari dirinya sendiri?
"Tolong jaga dirimu dengan benar, Ra. Setelah tinggal dengan ibumu, berjanjilah untuk menjalani hidup yang lebih baik. Kabari aku kapan kau akan pergi, ya?"
"Memangnya kau siapa sampai aku harus menuruti kemauanmu?"
"Kakakmu."
Kara menghentikan niatnya untuk bersuara, padahal ia telah menyiapkan sangkalan yang bagus jika saja Jimin katakan hubungan mereka yang diikat pertemanan. Namun apa katanya?
"Aku ingin kau anggap sebagai seorang kakak. Bukankah ini permintaan yang tak akan membuatmu rugi?"
Rasanya ini seperti sebuah kesalahan; Jimin menganggapnya seorang adik dan Kara tak pernah mendengar ketulusan yang seperti ini sebelumnya. Dari obsidian Jimin, ia temukan binar yang samar, dan itu adalah tentang seberapa besar dia letakkan kejujuran pada dua penggal kalimat barusan. Tiba-tiba ia panik, ia tidak mau pergi, akan baik-baik saja jika Taehyung benar-benar telah tak inginkan dirinya, sebab ia mendadak butuh sosok seperti Jimin sebagai sumber semangatnya. Ya, mungkin?
"Dasar kau keterlaluan." Kara memukul tempurung Jimin dengan kepalan ringan. Kemudian tawa Jimin rekah begitu saja, mengisi kembali telinga Kara yang kesepian.
Hati Kara menghangat, ia mencebikkan bibir alih-alih melukis senyum manis sebagai indikasi bahwa ia barangkali telah mendapat kenyamanan dalam satu hari ini. Ditatapnya Jimin yang masih terkekeh hingga jadikan matanya menjadi segaris lemak yang lucu, bukankah Jimin hari ini kelihatan lebih bahagia? Lalu bagaimana caranya menyampaikan niat yang ingin disampaikan dengan kalimat perpisahan yang bagus?
Nanti kalau aku rindu tawa brengsekmu ini, di mana aku harus membeli duplikatnya, Jim?
"Jadi, adikku yang manis. Boleh aku memelukmu sampai puas sebagai hadiah pertama?"
Kara tidak menyahut, juga tak melakukan penolakan apa pun saat Jimin meraih dan memeluknya dengan akrab. Hangat sekali, dan Kara mulai lepaskan sungkan untuk balasi pelukan Jimin. Mereka tidak peduli pada lokasi yang ramai, konter kafe yang padat akan pemesan, apalagi pada meja-meja yang ditemani kursi berpenghuni. Sedari awal merekalah pencuri atensi paling ilegal, mereka meminta semua mata untuk memandang, dan kini benar-benar menjadi pemenang di tengah kafe yang sederhana.
Meja-meja kayu yang cokelat, atau kursi logam yang dingin, menjadi teman dinding dan seluruh ornamennya yang sunyi, menjadi saksi bagaimana Kara mencoba menikmati sentuhan hangat yang kini selimuti dirinya hingga pada bagian terdalam. Namun, mengapa jadi Kim Taehyung yang ia rindukan?[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top