22. Reason
[Warning!]
Akan ada banyak plot hole di versi wattpad. Versi lengkap akan segera diedit di tempat lain:)
Jemari lentik tersebut masih genggam erat pagar gerbang, merasai dingin besi dan bebauan yang nyaris berkarat, Kara tidak tahu apakah benar gerbang ini sudah terlalu tua, atau hanya karena penciumannya yang mendadak sensitif setelah meyakini kabar kehamilannya yang tak pernah diniati oleh dirinya sendiri.
Mobil Jimin beberapa detik lalu telah menghilang di tikungan, dan pada periode yang Kara rupanya masih betah-betah saja berdiri terembus angin di balik pelukan jaket Jimin, pintu utama rumah dibuka, lantas berikutnya Taehyung muncul di emper rumah bersama pandangan tak senang. Kara lekas melupakan tas beserta dompet dan ponselnya yang tertinggal di mobil Jimin, untuk memberi semua fokusnya pada sosok yang dari kejauhan sana sedang melipat tangan di depan perut.
Usai buang sisa-sisa karbon dioksida yang terus lahir dari paru-paru, Kara dorong pelan gerbang gunakan dua tangan yang salah satu punggungnya terdapat plester guna tutupi bekas suntikan jarum infus yang tak mau habis keluarkan rintik darah. Benar bahwa kini tubuhnya menjadi sedikit lebih baik, tetapi konteks tersebut tak dapat pungkiri cokolan cemas yang tumbuh di setiap langkahnya menuju rumah; menuju Kim Taehyung.
Ketakutannya jelas memiliki alasan, ia paham mengapa dirinya harus segera menjauhkan tangan yang tak mau usai sentuh perutnya yang masih terlalu rata untuk dikatakan sebagai ladang pertumbuhan bayi. Seolah dengan itu ia berharap Taehyung tak akan mampu baca maksudnya, Kara tak percaya Tuhan, tetapi ia masih memohon lewat pikiran agar eksistensi bayi mungil dalam perutnya tak segera diketahui Taehyung dalam waktu dekat.
Bersiap untuk menerima sambutan kasar, Kara masihlah melangkah setegak biasanya menuju pusat aniayanya yang paling fundamental. Hingga pada disparitas mereka yang hanya tersekat tiga pijak, Kara memilih berhenti, baru dapat angkat wajah untuk balik soroti tatapan Taehyung yang anehnya tak lagi seperti biasanya. Ada gelombang tenang yang ia tangkap, tetapi benarkah bahwa itu bukan kesalahan tangkap? Sebab ia nyaris seolah tak kenali Kim Taehyung yang kini berdiri di hadapannya ini.
"Sudah makan malam?"
Bukan itu asumsinya.
Jelas Kara tak deretkan tanya lembut itu sebagai sambutan yang akan dilakukan Kim Taehyung, sebab semuanya akan terasa lebih wajar jika lelaki tua itu mau berpolah selayaknya; kejam dan pemilik angkara terbesar. Seperti memang tengah dipermainkan dunia, Kara mendengus tak percaya atas apa yang telah ia dengar baru saja. Selama jalan pulang, ia telah memikirkan banyak hal, menyimpulkan dengan sembarangan, tetapi ia tak ingin mendapat klarifikasi atas pembenaran pikirannya yang berantakan. Tidak, ia belum mau mendengar seluruhnya dari Taehyung langsung. Semuanya akan terasa lebih nyaman jika mau berjalan lambat, dan fakta lain didengarnya setelah lebih siap.
Kini, tampungan kuriositasnya sedang penuh, dan ia tak mau tambahi lagi dengan kuriositas lain yang lebih berat. Bukankah Jimin telah berpesan untuk lebih rileks agar bayinya tenang?
"Aku tak makan masakanmu. Terima kasih tawarannya, Kim." Jawaban itu menjadi satu tanggapan yang tak Kara niati sebagai sebuah goresan, meski lukanya benar sampai pada lelaki tua di depannya itu.
"Bisa tidak ...." Taehyung kepalkan tangan, barangkali kecewa mendapat penolakan. Namun usai buang lewat embusan yang berat, ia tenggelamkan kembali urat lehernya dan coba untuk lebih atur desibel suaranya. "Bisa tidak jangan menolak? Aku sedang ingin berbaik hati untuk merawat orang sakit. Mungkin sampai demammu menjadi lebih baik."
Kara mengeraskan rahang tak sengaja. Padahal ini segmen yang paling ditunggunya, padagal inilah kelembutan Kim Taehyung yang ingin diterimanya, lantas mengapa bukan rasa lega yang ia dapatkan? Sikap baik Taehyung seperti sebuah hukuman yang baru, dan luka krusial yang Kara tak sanggung bungkam lebih lama. Bagaimana bisa Taehyung begitu bisa menyakitinya dengan segala cara?
"Aku sedang tidak dalam kondisi yang bagus untuk menilai seberapa buruk masakanmu."
"Kara ...." Taehyung skeptis sejenak, ia palingkan wajah selama beberapa saat sebelum mantapkan niat untuk bahas sesuatu yang meski dirinya pun tak siap. "Aku ingin bicara serius denganmu. Ayo, kita bisa pikirkan ini setelah kau makan."
Dari sini ketidaknyamanannya muncul, Kara tak suka menjadi serius dengan Taehyung, ia pun tak mau mendapat hal manis lain saat ini mengingat bagaimana ketakutannya semakin membola setiap detiknya. Bukannya ia ingin mengingkari bahwa tawaran ibunya adalah hal yang bagus, tetapi bagaimana dengan Taehyung? Perasaannya? Serta keinginannya untuk merebut haknya dari Jukyung?
Kini, diingatkan kembali pada napas yang sedang berusaha membentuk tubuh dalam rahimnya, Kara menjadi seribu kali lebih sensitif untuk menghadapi Taehyung bersama kepala yang dingin. Seluruh tubuhnya menolak, meski pikirannya ingin sekali katakan bahwa ada Taehyung kecil yang sedang belajar untuk menjadi sesosok manusia. Namun, ketakutan itu datang lagi. Taehyung tidak akan menerima kehadirannya.
"Taehyung—"
"Aku tahu kau telah dengar begitu banyak dari ibumu. Bukankah kau pun perlu penjelasanku untuk memperkuat spekulasimu?"
Kara terkekeh, kepalkan tangan tak sengaja di sisi tubuh. "Aku tidak sedang berspekulasi omong-omong. Taehyung, kau terlalu berasumsi tinggi, kau pikir perkataan ibuku akan bawa pengaruh untukku?"
"Kau sedang menipu dirimu sendiri. Aku tahu itu."
Decak keras yang Kara komidikan sukses belah udara di sekitar mereka. "Aku muak atas pikiran sok tahumu itu, Kim. Dengar, mau sevalid apa pun fakta yang ibu katakan, bagiku tak akan ada sisi yang berubah. Hidupku masih sebatas menjadi cacing piaraanmu saja."
"Kau menghindari topik, bukan?"
"Aku tidak," sangkal Kara cepat. "Bagiku serius yang ingin kau bahas tidak punya porsi serata dalam pikiranku. Itu barangkali hanya serius bagimu, tapi bagiku tidak. Lalu, apa alasannya aku lakukan obrolan tak penting itu denganmu?"
Taehyung menelengkan kepala, berniat curi seluruh senyum miring di wajahnya, sebab kini ia akan lebih baik setanpa ekspresi wajah Kara. "Kau bahkan tahu apa yang akan kukatakan malam ini. Itu sebabnya kau tak mau mendengar detailnya, bukan?"
"Sudah kuka—"
"Kau mencintaiku, Kara. Kau bersyukur memilikiku malam ini. Kau ingin berterima kasih berulang kali. Bukankah aku benar? Sebab aku melihatnya di matamu."
Kara tidak mengerti mengapa kini kalbunya menjadi sekenyal ini. Bukankah sudah cukup kejadian hari ini menusuk pikirannya? Jangan dulu, jangan Taehyung. Bagaimanapun, dirinya juga hanya manusia yang butuh waktu untuk cerna tiap kalimat yang dijejalkan ke dalam telinganya. Sekarang harapannya hanya ranjang, ia ingin merenungi banyak, memikirkan semuanya dengan lebih tenang. Menjadi semakin kacau jelas bukan satu pilihan yang bagus.
"Kau percayai saja konklusi sialanmu itu, Kim. Sekarang, biarkan aku masuk dan berdiskusi dengan kepalaku sendiri. Menyingkir dari jalanku, atau kau ingin lihat seperti apa tangisan Jukyung ketika ia bahkan tak bisa lagi menyaksikan binar matamu."
*****
Bukan seperti asanya, sebab Taehyung tetap bertekad untuk beri ruang kesempatan bagi keduanya untuk bicara. Kara takut ini adalah akhir dari kecemasannya, tepat ketika dirinya usai bergelung di dalam kamar mandi demi bersihkan kembali tubuh dari serdak, Taehyung telah duduk di sofa kamar sembari mendongak dan memejam. Dalam langkahnya yang gamang, ia masih tak mau lepasi tatapannya dari sosok Taehyung yang malam ini hanyalah pakai satu kemeja yang barangkali dua kancing teratasnya sengaja dibuka entah dengan alasan apa.
Pikir Kara lelaki tua itu akan segera komidikan maksudnya, mengajaknya bicara serius lantas mengakhiri apa yang menjadi kecemasan paling kapital yang ia rasakan. Sayangnya, bahkan di menit yang nyaris saja telah berganti sebut menjadi jam, Taehyung belum juga buka mata guna diarahkan padanya. Sampai ia pikir Taehyung benar-benar telah tidur dan menghormati inginnya untuk tidak lakukan percakapan apa pun malam ini. Namun, pada kesempatan yang mana Kara memutuskan untuk hanyutkan gelisahnya dalam mimpi, Taehyung bergerak selama beberapa saat dari atas sofa sebelum akhirnya vokal berat andalannya mulai mencuri seluruh domisili dalam telinga.
"Aku masih menunggumu menyutujui niatku."
Dan itu jelas tak akan pernah terjadi. Ya, seandainya Kara pun tak memilih untuk kalah pada kuriositasnya sendiri alih-alih menjaga rahimnya tetap menjadi dunia yang sehat.
"Kau biasanya tak butuh persetujuanku, Kim."
"Ya, memang seharusnya begitu. Tetapi aku tahu bahwa ibumu telah jelaskan banyak hal mengapa aku menjadi lebih jahat daripada ayahmu sendiri. Aku tidak meminta pengertianmu, tapi aku yakin kau sendiri pun paham bahwa memang hanya itulah pilihanku."
Taehyung membuka mata, menabrak langit-langit kamar yang ditimpa nyala redup lampu tidur. Ia tak lirik presensi Kara yang masih duduk bersandar pada kepala ranjang, pun Kara tak mau memandang diam-diam. Ketika Taehyung memilih untuk menjaga pandangan darinya, maka Kara justru sebaliknya, ia relakan semua tatapnya untuk Taehyung, tak bagi fokusnya pada hal lain selain bagaimana pahatan rahang itu begitu tampak tegas dan keras sekali.
Ia tatap habis seluruh inci wajah Taehyung, meski tak dapat balas serupa atas komidinya tersebut. Sebab kini lebih banyak suara ibu yang dominasi isi kepalanya alih-alih bicara seperti ini bersama Taehyung.
"Kau sebenarnya ingin bilang apa? Berhenti menjadi lelaki bodoh yang suka sekali ulur waktu seperti ini." Kara katakan itu pada menit ke empat yang masih didampingi sepi. Taehyung kelihatan lagi-lagi hela napas berat, meski belum mau alihkan atensi pada Kara yang belum jua tuntasi pandangnya.
"Aku ingin katakan semua kelelahanku. Dan mari tentukan kapan kita perlu mengakhiri semua ini."
Kara menyunggingkan senyum miringnya, ia jauhkan punggung dari kepala ranjang untuk berganti posisi menjadi rebah di ranjang. Tangannya diam rapi di atas perut, ibu jarinya mengelus perlahan, seolah ingin sampaikan resahnya pada janin yang belum utuh bentuk di dalam sana. Tentang bagaimana kini ia merasa begitu putus asa atas semua fakta yang dikuak dalam waktu yang simultan; beruntun dan bahkan ia tak punyai sempat untuk berpikir lebih tenang. Gemar sekali waktu memusuhinya.
"Kau tahu, Kim?" Kara menyahut pelan, meremas tangannya sendiri guna balurkan kekuatan. "Aku juga hanya manusia yang bisa saja lelah. Hanya karena aku terlihat selalu menyimpan angkara, bukan berarti aku siap menantang semua kalimat yang simpan pisau dan siap iris bagian tubuhku lebih halus."
"Yang kulakukan setiap hari hanya perlu mengerutkan kening, menyatukan alis, mengepalkan tangan, dan mengaksen suaraku agar terlihat lebih kuat daripada senyatanya. Aku perlu makan habis kalimat keluhanku sendiri, menggigit lidah agar tak sampai keluar demi terus tenggelamkan sisiku yang pengecut. Aku hanya ingin kau tahu bahwa semua orang punya sisi lelahnya sendiri-sendiri. Dan itu adalah tugas pribadi untuk tangani masalah tersebut, memilih istirahat yang artinya kau harus kehilangan kesempatan satu langkah untuk menjadi lebih kuat, atau menerobos segalanya dan tahan keluh demi temukan hasil yang lebih baik."
Kara ikut menatap langit-langit kamar, mencoba untuk mencari apa yang sedari tadi menjadi pusat pandang Kim Taehyung. Ternyata tetap ia tak temukan apa pun selain cat putih yang merajai pandangannya. Barangkali Taehyung hanya merawang, dan penglihatannya tak benar-benar dalam satu ruang.
Menghabiskan waktu untuk saling berpikir, mencerna dengan baik kalimat yang baru saja Kara lantingkan dengan gema rendah. Taehyung mulai tegakkan duduknya, berikut mencari sosok Kara yang mulai berbaring telentang di atas ranjang, dalam satu detik setelahnya menjadi berganti posisi menjadi miring. Ia pun ingin bicara.
"Kara—"
"Kau benar." Kara menginterupsi kalimat Taehyung sebelum dirinya berakhir menjadi pendengar yang isi kalimatnya menyedihkan. "Hari ini aku bertemu ibu lagi. Dan pada waktu yang diisi penuh oleh kekosongan dan tangis yang teredam egois, aku mulai ditampar pada fakta-fakta yang tak ingin aku dengar dari ibu. Maksudku, ya, mungkin? Tetapi bukan hari ini. Aku tak tahu bagaimana semesta mengizinkan denting jam terus berjalan, atau bagaimana ibu yang tak mau berhenti bicara di antara kehancuran yang remukkan seluruh pertahananku. Yang kuingat adalah tentang seorang iblis yang kebetulan sekali telah bantu selamatkan ibu dari pusat neraka dalam rumahnya sendiri."
Taehyung menggigit bibir dalamnya, mendadak ada hantaman berbeda pada ulu hatinya. Apakah ini tidak hanya menyakiti Kara saja? Sebab dirinya pun merasa terluka di sisi yang berbeda.
"Bisa tolong beri—"
"Terima kasih," lanjut Kara. Ia tentu saja masih enggan untuk mendengar kisah lain dari mulut berbeda. Bisakah hari ini cukup ibunya serta janin dalam rahim ini yang membuatnya kacau tanpa sisa?
"Kau berterima kasih untuk apa?"
"Karena telah menjaga ibuku."Kara terkekeh selama beberapa saat. "Siapa yang sangka kalau iblis sepertimu ternyata punyai sebentuk simpati untuk tolong ibuku? Selama ini kupikir ibu membenciku dengan memilih untuk melarikan diri. Ternyata aku bahkan hanya pintar berasumsi. Nyaris saja membencinya jika saja aku tidak ingat bahwa aku tak punya siapa pun lagi di sisiku. Jadi kupikir, 'Ra, tidak-apa-apa, cobalah dengarkan alasan ibu terlebih dahulu sebelum benci dan berakhir kau yang tak punyai tubuh serta akal lagi untuk berharap.' Kalau aku saja bisa bertahan, mencoba terus berjalan meski lelah. Kenapa kau tidak?"
Taehyung mengedip, bungkam lebih lama lagi. Padahal jika ingat bagaimana obrolan ini dimulai, seharusnya dialah yang menjadi dominasi dari dialog ini. Namun, memang pun tak ada salahnya memberi Kara sedikit ruang untuk bercerita, sebab ini juga dapat menjadi kesempatan paling bagus untuknya dalam belajar memahami. Dia tak pernah dengarkan sisi Kara, kini barangkali memang saat yang pas untuk selesaikan apa yang telah dimulainya dari lama. Sembari dengarkan kisah Kara yang dirinya kerap tanyai dalam hati. Sekarang, asumsinya sungguh tak berarti lagi, sebab kesakitan yang Kara alami justru tak sebanding dengan apa yang dipikirkannya selama nyaris sembilan tahun ini.
"Kalau begitu, mungkin kita bisa tunda topik yang ingin kuangkat dalam dialog ini. Kurasa kau lebih lelah dariku, jadi aku memberimu kesempatan untuk tumpahkan segala bebanmu malam ini; padaku, tanpa sangkalan, dan kau bebas katakan apa pun. Ra .... " Taehyung beri jeda sejenak dalam kalimatnya. Ia niatkan hatinya sendiri sebelum biarkan mulutnya yang merealisasikan niat tersebut. "Mau saling jujur malam ini?"[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top