21. Loka Mini
Telah terhitung dua jam sejak Taehyung sapa kembali bokongnya pada kursi putarnya di dalam kamar pribadi. Ia meletakkan tangan tepat di depan perutnya yang agaknya mulai membuncit belakangan ini, pandangannya terus gelap sebab ia pilih untuk rekatkan kelopaknya agar menutup sempurna. Barangkali ia sengaja peluk gelap agar kenang yang ia simpan di antara tumpuk paling dasar dalam kembali ia temukan, untuk setelahnya ia rangkai fragmen tersebut agar menjadi bayang utuh; ketika untuk pertama kalinya ia memegang potret tersenyum sebuah keluarga.
Ada sosok ayah yang kelihatan begitu kuat merengkuh sang istri di sisinya, serta seorang putri yang tertawa lebar sekali, buat mata bulat itu berubah menjadi segaris yang ceria; sebuah potret keluarga Kara. Dari situlah kesalahan ini dimulai, permainan yang penuh angkara serta aniaya, sebuah laku penuh topeng yang diperankan oleh sekumpulan orang pemilik hati yang saling hancur. Mengingatnya kembali hanya membuat Taehyung menjadi semakin abai pada kendali, ia usir air matanya yang mendadak jatuh dari sudut yang padahal telah ia tutup jalannya serapat mungkin. Lantas, seolah memang sudah waktunya Taehyung rabai hatinya yang lebih dari sekadar retak, ia menangis lagi dalam waktu yang lama. Memutar senyum Kara yang ia bunuh bersama ayah kandung gadis tersebut, menangisi segala konteks yang apa pun itu adalah kenang manis yang begitu pahit.
Taehyung yang salah, ialah yang paling mengerti sejauh apa dirinya perlu dicuci dalam neraka untuk lunturkan dosa. Namun memangnya ia punya pilihan apa dulu? Ia adalah presensi yang ingin melindungi tetapi tak punya kuasa, ia ingin melindungi tetapi dirinya kalah pada ketakutan yang ia buat sendiri dalam kepalanya, ia ingin terus bersama tetapi bahkan ia tak berani tentang dunia. Lalu ia ditampar kembali oleh intuisinya yang kerap berbisik ke dalam telinga, beginikah sebenar-benarnya cinta bagimu, Taehyung?
Meski seluruh udara tak setuju akan definisinya, Taehyung tetap berwatak keras yang tak mau diombang-ambing oleh tentangan yang diembuskan semesta pada sekitarnya. Taehyung adalah toleransi kejahatan yang tetap tercatat dosa, loka membiarkannya menjadi biadab untuk jalani seluruh rencananya yang tak matang. Namun bukankah sekarang telah lebih jelas apa yang menjadi tujunya? Lalu mengapa ia tetap memeluk skeptis yang telah jelas akan patahkan lagi keyakinannya sendiri?
Sudah delapan tahun Taehyung, sudah seharusnya kau bergerak lebih jauh lagi. Ayolah, Bung. Jangan menjadi setengah-setengah begini, lagi pula kau harus berhenti memikirkan hatimu sendiri, sebab ada hati yang perlu kau beri jalan sendiri.
Namun Taehyung tetap tak setuju dengan itu, mau bagaimana pun ia hanya menginginkan keutuhan bagi hatinya sendiri. Cintanya perlu balas, yang meski itu pun tetap bukan dalam arti bersatu.
Kara, aku mungkin akan menyesali keputusanku ini.
Dan, ya, Taehyung memang akan menyesali segalanya, kekejamannya, pilihannya yang tak pernah tepat, serta deret dosa yang telah ia perbuat. Akan tetapi meski begitu, ia tetap tak akan pernah meminta maaf dalam bentuk apa pun pada Kara. Ini adalah putus yang berat, dan ia tak mampu takar akan sesakit apa gadis itu nantinya. Dan Taehyung tetap tak akan meminta maaf, tidak akan.
Karena tidak akan adil bagimu jika aku harus hidup dengan nyaman setelah pengampunan. Kau tersiksa olehku, jadi biarkan aku dihabisi karma dan damai dalam kesakitan.
Namun, benarkah ini yang paling tepat?
Bagaimana jika semesta meminta pertanggungjawaban yang lain?
Dalam beberapa detik setelahnya, Taehyung membiarkan kelopaknya terbuka serta retinanya mengais-ngais warna dan cahaya. Ia memandangi kisi-kisi yang dijilat-jilat kirana, serta tumpukan buku paket yang ia jadikan alas pigura. Di sanalah bayangnya berbentuk nyata, sebuah potret keluarga yang baru saja tandangi pikirannya; Kara tersenyum lebar sekali, seolah dunia masih kandung doa atas hidupnya. Pipi gadis tersebut lebih gendut meski tidak terlalu penuh, ada lipatan-lipatan di ujung matanya akibat kurva yang terlalu lebar. Sungguh, mengapa tiba-tiba semesta rentetkan kutuk pada hidup gadis yang cantik itu?
Tangan Taehyung terulur, mengusap kacanya yang bening, seolah ingin sekali tembusi itu untuk belai sebenar-benarnya belai pipi seorang gadis yang kelihatan tak bertanggung dosa. Taehyung sunggingkan senyum tipisnya, mengerjap banyak kali agar menjejal masuk paksa air matanya kembali.
“Aku tidak ingin berjanji, Ra. Tetapi akan kupastikan kau temukan kembali tawamu, aku sedang memperjuangkanmu, jadi tolong percaya padaku, dan aku akan menyodorkan kebebasan padamu setelah ini.”
Ponsel yang sejak beberapa jam lalu tampak pingsan dari bunyi, kini mendadak ribut kembali dan ia berharap bahwa bukan lagi Jukyung yang perlu ia dengar kali ini. Memilih untuk berlama-lama meraih ponselnya, Taehyung pada akhirnya mendengar lagi sapaan yang sama seperti biasanya. Ya, benar. Seharusnya ia bahagia bahwa ini bukanlah suara Jukyung, tetapi rupanya ada hal tak bagus yang kini butuhkan perhatian lebih dari dirinya.
“Halo, Tuan Kim?”
Bukan Taehyung, ini bukan Kara tentu saja.
“Hm, ini aku. Ada masalah?”
“Maaf saya sedikit terlambat mengatakan ini, tetapi Nyonya Ji telah kedatangan tamu. Sejak satu jam yang lalu.”
Tidak butuh alasan mengapa Taehyung harus setegak ini sekarang, informasi yang tak akan ia sangka kini penuhi seluruh domisili telinganya. Astaga, memangnya siapa yang mengunjungi ibu mertuanya yang sengaja ia sembunyikan selama nyaris sembilan tahun terakhir?
“Dia adalah gadis yang sepekan lalu datang kemari bersama Tuan Jungkook.” Ah, tentu saja, itu pasti Kara. “Dia membawa satu teman lelakinya, maaf, tetapi saya tidak tahu identitas lelaki tersebut selain namanya; Park Jimin.”
Ini bukan tentang hati yang cemburu, tetapi tentang bagaimana bisa ia tak memikirkan Jimin sama sekali di waktunya yang tak sempit ini. Seharusnya ia perlu memikirkan lebih jauh, ada satu eksistensi lagi yang perlu dirinya pertimbangkan selain Kara. Jimin, lelaki itu perlu ia selidiki lebih jauh alih-alih hanya tentang fakta bahwa dia adalah calon suami kakak sepupunya.
“Ya,” sahut Taehyung tanpa semangat. “Tidak apa-apa. Biarkan anak itu bertemu ibunya.”
“Baik, Tuan. Apakah ada yang perlu saya lakukan lagi?”
Taehyung jelas memikirkannya, sebab dirinya tentu tidak harus diam saja seperti ini, bukan?
“Ada,” Namun Taehyung skeptis untuk katakan ini. “Bisakah kau pergi ke kamar ibu dan sampaikan salamku lewat bisikan?”
“Ya, Tuan. Apa yang harus saya sampaikan?”
Bibir dalam itu digigit dengan gelisah, Taehyung bahkan tak dapat tarik sudut bibirnya untuk timbulkan kurva. Memang sewajarnya seperti itu, sebab tak akan pernah ada senyum ketika dirinya dihantam fakta subal. Diliriknya berkas yang beberapa saat lalu ia jemput ke rumah Jukyung, meraihnya, lantas teliti kembali isinya yang berisi kesakitan.
“Tolong katakan pada ibu,” Taehyung meremas berkasnya sebagai ganti kecewanya ia terhadap diri sendiri. “Sudah saatnya memeluk Kara.”
Taehyung, terima kasih. Ini adalah hadiah paling indah yang kau berikan pada gadis tersebut.
*****
Sekali lagi Jimin menatap Kara dan sosok wanita tua yang tak ia kenali di depannya secara bergantian. Jika mau dihitung, ini telah lebih dari satu jam, dan dua presensi yang sedari awal hanya saling tatap tersebut masih setia pada bungkam. Nuansanya benar tak stabil, ada banyak jerit yang ia dengar dari halaman depan, dan tangis dari kamar sebelah menusuk telinga lirih-lirih. Merasa perlu undur diri, Jimin bangkit dari duduknya serta lekas-lekas keluar dan tutup pintu. Menghargai privasi Kara dengan duduk di kursi kayu panjang di dekat pot-pot bunga yang mekar.
Kara masih dibekuk hatinya sendiri, ia hanya menatapi bagaimana roman ibunya yang kian menua tanpa saksi darinya. Padahal ia ingin menjadi salah satu presensi yang temani sang ibu ketika menerima keriput-keriput tipis di wajahnya, Kara ingin tahu seperti apa hidup ibunya selama dirinya menjadi budak aniaya iblis selama sekian tahun. Apakah ibunya cukup banyak tertawa? Atau apakah ibu makan dengan baik gunakan makanan sehat? Mungkinkah ibu sempatkan waktu untuk pikirkan dirinya juga? Untuk merindukannya? Atau berharap bahwa mereka akan bertemu secara tak sengaja di alam mimpi? Sebab Kara ingin tahu, apakah eksistensinya sebagai manusia masihlah punyai arti bagi sang ibu? Seperti ia yang tak ingin lepas dari rindu meski tahu bahwa dirinya dibuang oleh ibunya sendiri; ia ditinggalkan tanpa sebuah pesan, dan terpontang-panting sendirian tanpa alasan.
Kini, ketika ia memiliki lebih banyak waktu untuk tumpahkan segala rindu pada presensi yang tak lagi ia temui dalam takar waktu yang lama sekali, rasanya kalimat-kalimatnya hilang; hilang dan tercecer bersama muntah-muntah yang ia buang di beberapa selokan. Kara tidak tahu dari mana ia harus mulai sapanya, atau berpikir perlukan itu saat ini ketika kondisi ibunya tak lagi sama? Kara menjadi lebih sakit, ia tak yakin apakah perempuan tua di depannya masih kenali dirinya sebagai manusia yang adalah anaknya? Mungkinkah itu jika ibu bahkan tak ingat siapa dirinya sendiri?
Mereka hanya saling bertatapan seolah dengan itu seluruh rindunya lunas tanpa bantahan, seolah Kara memang tak perlukan apa pun selain atensi yang tak mau pindah dari binar mata sang ibu sendiri. Sumpah, Karalah yang paling merindukan ibu, dan meski itu tak akan punyai balas yang serupa, ia tak apa, cukup ibu mau kembali berikan pandang padanya, Kara merasa terlalu kenyang untuk menerima afeksi lain yang barangkali tak akan mungkin ia temukan di mana pun lagi setelah ini.
Pada detik yang Kara lupa barangkali ini telah berganti menjadi hitungan jam, serta pada saat tangan kurus sang ibu mulai bergerak untuk rangkum telapaknya sendiri yang kesepian, seolah hatinya ikut meledak saat itu, ia ingin menangis sebab ibu kembali beri sentuh setelah sekian lama. Sekarang, aku tidak akan sendirian lagi, kan?
“Iya, Bu.” Suaranya serak tanpa dicegah, Kara berdeham untuk hilangkan rengek sakit dalam tenggorokannya, dan sesak yang tiba-tiba penuh di balik rusuknya. Oh, Sialan! Kau tidak boleh menangis, Sayang. “Ini aku, Kara, putrimu.”
Demi semesta yang rasanya kini tertawa atas dirinya yang mendadak lemah, Kara balas genggam tangan ringkih sang ibu. Ia berikan segala rindunya pada telapak, izinkan udara untuk bantu sampaikan rindunya pada telinga ibu, tetapi ia bahkan tak bisa rasakan afeksi lain dari ibu selain tatap sendu yang tak lagi sama. Atau ia hanya terlalu buta bahwa sorot itu simpan sesuatu yang tak dapat ia cari-cari letak dan artinya.?
“Aku datang lagi untuk menebus penyambutanku yang kacau pekan lalu.” Ia teruskan, dan ini akan menjadi sesi monolognya yang panjang. “Dan bahkan kali ini pun, aku tetap tak tahu bagaimana caranya menyambut kembalinya Ibu dalam pandanganku. Maaf, ya, Bu. Aku tak sempat untuk menyusun kalimat bagus untuk memulai sapaan ini.”
“Bu,” Suara Kara tercekat. “Apa yang Ibu pikirkan sekarang? Ketika melihatku yang tumbuh besar tanpa penyaksian, mungkinkah Ibu menyesal sepertiku? Sebab seharusnya Ibu percaya padaku, bahwa aku bisa merawat Ibu dengan baik, aku yang akan tertawai Ibu keras-keras ketika keriput pertama Ibu muncul, dan Ibu yang akan mengejekku karena belum bisa bedakan mana gula dan mana garam.”
Kara tarik sudut bibirnya, tersenyum sesal sendirian, sementara ibunya masih tak beri imbal apa pun selain terus menatap dirinya dan eratkan rengkuhan.
“Ibu bahkan tidak cerita apa pun padaku, sebenarnya apakah aku ini masih putri Ibu, sedang aku tak paham bagaimana bisa Ibu berakhir di ranjang sialan ini?” Kara tahan napasnya, mengimpit sesak-sesak yang meronta untuk tampilan embun-embun pada pelupuknya. Sayangnya tidak, Kara membunuh sesak itu. Bagaimana bisa dirinya menangis semudah itu jika kini kakinya tak lagi injaki sisinya yang dulu? Kara telah berubah, menangis di depan ibu juga bukanlah sesuatu yang ingin ia lakukan.
“Bu, aku menyesal sebab tidak bisa menjadi presensi yang mendapat kepercayaan Ibu. Ibu memilih untuk melarikan diri sendirian tanpaku, dan aku yang harus terus bungkam di antara kasih sayang Ayah yang mendadak berubah menjadi kekejian. Ibu, aku tak tahu bagaimana cara mengatakannya, aku percaya Ayah masihlah mencintaiku, dan aku yang akan terus baik-baik saja meski warna kulitku pelan-pelan berubah biru. Ibu ... a-aku ....”
Kara berhenti bukan karena pintu yang mendadak dibuka, atau sosok perawat yang melangkah pelan-pelan dekati mereka. Ia berhenti sebab dihantam oleh satu genang yang lolos begitu saja, kotori belah pipinya, dan ia tak mau lanjutkan itu. Satu solusinya adalah ia perlu berhenti bicara agar segalanya tak makin pecah. Gadis tersebut menoleh, pada saat pintu dikunci dan Jimin kelihatan bingung dari luar sana sembari gedor pintu pelan. Ini bukan sesuatu yang dapat ia mengerti dengan cepat, sebab yang ada dalam kepalanya adalah tentang; mengapa ibu mengangkat kepala ke arah perawat seolah pikirannya aktif?
Kara masih perhatikan Jimin yang memberi kode padanya agar membuka pintu, tetapi setelahnya lekas diam dan gerakkan mulut sembari coba membuatnya paham akan tanya yang lahir di sana; Apa semuanya baik-baik saja? Yang bahkan tak bisa Kara jawab sebab jujur saja ia masih tak paham dengan ini semua.
“Hei, kau.” Kara panggil perawat itu, “Temanku ada di luar, kau tidak harus mengunci daun pintunya.”
“Nona Kara?”
Apa? Mengapa perawat itu tersenyum padanya?
“Ada yang ingin Nyonya Ji sampaikan pada Anda.” Perawat tersebut melanjutkan. Tak lama usai ujungkan kalimatnya, dia menoleh pada ibu Kara. “Bu, tidak apa-apa. Tuan Taehyung bilang, ini sudah saatnya memeluk Kara.”
Kara tidak setuju atas gerak semesta yang berikan fragmen ini padanya, ia tidak mau dikendalikan hingga menjadi tak paham atas apa yang kini terjadi di depannya, atau apa yang kini coba ingin disampaikan perawat pada ibunya. Namun, seolah memang hanya Kara yang tak paham di sini, genggaman sang ibu mendadak mengerat, dan dalam detik yang ia tak mau ia cari tahu bentuk angkanya seperti apa, tubuh yang sedari awal hanya diam tenang, berbaring serta menatapnya seperti halnya orang hilang akal pada umumnya, mendadak bangun dan mempersembahkan air mata pada Kara.
Berikut apa yang didengarnya kemudian hanya membuatnya pasif dan tak berani bergerak, seolah kakinya telah dipasung, dan telinganya disediakan memang untuk dengarkan pengakuan sang ibu yang mendadak menjadi senormal presensi lainnya.
Sebuah pengakuan yang panjang, dan fakta-fakta yang tak pernah ia ketahui akhirnya dibongkar oleh seseorang yang kini duduk sehat di atas ranjang. Mengatakan banyak konteks lewat kalimat-kalimatnya yang mudah sekali ia cerna. Kara masih belum setuju pada semesta, bahwa ia hanya diharuskan untuk statis saja sementara ibunya menjadi berbalik secepat kilat dalam definisinya. Ibu memberitahu segalanya, alasan-alasan yang tak pernah Kara pikirkan, dan deret kalimat yang tak mau ia dengar. Konsesi yang penuh hujan kristal mata, Kara tidak, dan semua bening basah itu adalah milik ibunya. Ada banyak sesal yang disampaikan dalam waktu dua jam lebih, ada banyak tepukan dan pelukan, ciuman yang basah penuhi pipi hingga keningnya, dan Kara hanya diam saja. Ia beraksi seperti patung dan mendadak berharap untuk mati rasa juga, legalisasi yang ibunya katakan adalah penuh kutukan, tawaran yang tak wajar, dan kepala yang rasanya memilih untuk mengangkut kembali pening.
Pada penghujung tangis ibunya, dan ia masih tak mau keluarkan tanggapan atas tawar-tawar yang ibunya berikan, atau pikirkan dengan jernih fakta-fakta yang baru saja ia dengar. Kara hanya pilih untuk tegakkan tubuh, pelan-pelan menyingkir dari ruangan tetap tanpa kalimat, ia abaikan Jimin yang memeluknya sejenak sembari tanyakan sesuatu yang tak ditangkap telinga Kara. Gadis itu ingin menjadi manusia yang mendadak tak tahu apa pun saja, atau setidaknya mendadak tertimpa malang kemudian ia benar-benar akan terlahir kembali di sebuah bangsal rumah sakit dengan kenang dan hidup yang baru. Seperti halnya pening yang kini mulai menjilat-jilat tempurungnya, panas seperti api, dan melepuh timbulkan nyeri eksesif.
Jimin mencoba untuk paham, lagi. Dan dia tak katakan apa pun hingga keduanya tiba di lokasi parkir, dan Kara tiba-tiba limbung padanya sembari cengkeram kuat kemeja depannya. Gadis itu memejam, dan Jimin mencoba lebih responsif ketika tubuh gadis tersebut mendadak gemetar hebat.
“Jim, semestaku ....” Begitulah, Jimin hanya perlu tergopoh membawa tubuh yang kini sepenuhnya lunglai dalam dekapannya. Kara mungkin diizinkan semesta untuk pingsan, serta meninggalkan fakta yang baru saja ia dengar di bangsal gedung tersebut, tetapi semesta tak akan pernah membiarkan ia menolak tiga fakta lagi setelah ini; dirinya, Kim Taehyung dan Amerika.[]
Wah, makin rajin nulis. Kalian juga rajin nabung, ya :) Biar kita jadi rakyat +62 yang kaya raya🌚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top