20. Sicken

Melepas rajut tali pada tangan serta kakinya bukan hal sulit, sebab Kara paham dengan benar bahwa Taehyung tidak benar-benar mengikatnya dengan alas benci. Barangkali lelaki tua tersebut hanya ditelan emosi sebab ia lecuti perasa lelaki itu dengan silat akalnya yang tentu saja hanya bohong; Jimin tidak benar-benar datang ke rumahnya, setidaknya secara telanjang. Sepekan Taehyung pergi, ia hanya menemui Jimin dua kali, mengobrol di emper rumah serta satu kali menemaninya berbelanja bahan makanan. Selebihnya, Kara menutup pintu rumah rapat-rapat dari kunjungan siapa pun, bahkan Jungkook sekalipun.

Dirinya tidak ingin mengotori rumah tangga yang substansinya memanglah telah kotor ini. Setidaknya tidak untuk berkhianat, Kara tahu bahwa ia hanya akan mengabdi pada Kim Taehyung yang brengsek sekalipun itu artinya adalah jadikan hatinya camilan setiap hari. Baginya itu tidak apa-apa, sebab ini bukan perkara rasa yang dangkal, gadis tersebut telah ikhlas tenggelamkan hatinya pada dasar dada Taehyung, dan itu berlaku untuk selama mungkin.

Usai lepas temali yang diikat secara longgar oleh Taehyung, sembari membiarkan giginya saling beradu, Kara melangkah keluar dari bak mandi yang penuh dengan gemigil eksesif. Demi Tuhan seluruh tubuhnya mati rasa, dan ia nyaris tak dapat rasai korelasi tubuhnya sendiri. Selepas membuka seluruh serat yang tutupi tubuh, Kara lantas ambil handuk lipat yang digantung pada sisi belakang daun pintu, kenakan serat tebal berbulu lembut itu kemudian duduk di atas kloset sembari tatapi daun pintu yang hening dan tenang. Pikirannya kembali kacau, carut marut dalam konotasi yang tak pernah masuk dalam kiraan.

Taehyung, aku benci mengakui bahwa caramu menyimpan rasa sama seperti Ibu.

Kara usap wajahnya, memejam lantas kalah pada fragmen-fragmen yang ia lenyapkan secara sia-sia. Ibu adalah pemilik tempat di seluruh lokasi otaknya, Kara tidak paham, mengapa ia harus dikacaukan oleh satu presensi yang telah nyaris pudar dari ingatan. Kim Taehyung mengembalikan ibu padanya, tetapi ia bahkan tak diizinkan dunia untuk memberi sapaan yang layak, sesosok yang balas menatapnya dengan sorot asing kala itu benar retakkan seluruh pikirnya.

Kara ingat dengan jelas bagaimana wajah ibunya, kini jauh lebih bersih dan sehat daripada sewaktu bersama dirinya dan ayah. Rambut yang ia warnai cokelat sepuluh tahun lalu masih sama, dan saat itu digelung tinggi sekali. Ia hanya berdiri di ambang pintu, saling tatap dengan ibunya tanpa katakan apa pun. Kemudian pada hitungan detik yang nyaris berganti menit, ibunya menangis, diam di atas ranjangnya dan tak beri gerakan apa pun. Sedang ia hanya kepalkan tangan sebelum berbalik dan terburu-buru menuju toilet, membasuh wajah di sana dan mengatur napas. Ia tak beri kesempatan bagi air matanya untuk gugur, tidak, ini bukan waktunya, Kara bahkan tak boleh menangis meski itu untuk silihan bahagia.

Ibu ... apa yang disembunyikanmu selama ini?

Ia tidak ingat berapa lama mencari jawabannya, sebab begitu ia tersentak dan buka mata keesokan harinya, dirinya telah berganti pakaian dan tengah meringkuk kedinginan di atas ranjang. Matanya terasa hantarkan panas begitu adu kedipan, hidungnya malafungsi, dan ia tahu Taehyung telah membawanya kemari untuk dibaringkan ketika—mungkin—ia ketiduran. Ada selimut tebal yang bungkus tubuhnya, serta penghangat ruangan yang dinyalakan. Kara tak sempat untuk ucapkan syukur atas kemurahan hati lelaki tua yang kini hilang presensinya, karena ketika ia menoleh ke segala arah bersama pandang tak sehat, yang ia pikirkan pertama kali adalah letak ponselnya yang tak mau berhenti berdering sejak tadi.

Bergerak serampang, ia meraih benda pipih pintar yang rupanya tenggelam di balik bantal, tak ada argumen khusus ketika tiba-tiba ia merasakan hatinya menghangat begitu temukan satu nama kini mengambil alih layar dan seluruh pikirannya yang berantakan; Park Jimin.

"Hal—" Bagus, ia bahkan tak diberi kesempatan untuk lengkapkan sapaannya.

"Mau keluar sebentar denganku?"

Kara menggigit bibir dalamnya kecil-kecil, mengerjap guna usir genang asin di pelupuknya yang panas. Menjadi demam bukan pilihan bagus, tetapi ia juga enggan terus diamkan diri di atas ranjang bersama pening. Terlebih, ketika seluruh akalnya tengah carut marut seperti ini, terdengar bagus sekali ketika Jimin memberinya tawaran yang barangkali lumayan menggiurkan daripada kembali merenung di rumah setelah lagi-lagi Taehyung tinggalkan.

Namun, apakah ini pilihan yang benar? Ia terlalu memanfaatkan Jimin sebagai pengisi kelompang, dan bagaimana jika sesungguhnya ini adalah jebakan lain dari semesta untuk lebih menghancurkan dirinya? Jimin pernah mengaku menyukainya, apakah dengan begini akan menjadi lebih baik? Bukankah akan egois jika ia memanfaatkan eksistensi Jimin sedang lelaki itu berharap lebih terhadapnya? Lantas harus bagaimana?

"Hei, tinggal katakan saja kalau tidak mau. Jangan berlagak sok memikirkan alasan begitu, otakmu, kan mati."

Kara tidak sunggingkan senyum atau berekspresi lain, hanya datar seperti biasa, meski kini tanpa sorot angkara. Jimin ... haruskah ia meminta maaf pada lelaki itu karena telah memanfaatkannya?

"Beri aku alasan mengapa harus ikut denganmu." Kara suguhkan itu sebagai jawaban. Nyatanya dari seberang sana tak segera mendapat tanggapan selain gemerusuk sambungan telepon.

Awalnya, ya, tetapi setelah habisi waktu lama untuk dengarkan sambungan telepon yang berisi gemerusuk tak jelas, Kara kesal juga. Belum lagi pening dalam kepalanya meronta tak mau istirahat untuk raih atensinya, padahal jika mau tahu seharusnya ia turun saja dari ranjang kemudian rajut langkah menuju dapur untuk mengambil kotak obat dan telan pil sakit kepalanya.

"Hei, Park Jimin, kalau kau mengajakku keluar hanya karena menganggap aku membutuhkanmu, tolong jangan salah paham, ya. Aku tidak—"

"Aku membutuhkanmu." Suara Jimin muncul lagi sambil terburu-buru. Sialnya, Kara tidak seharusnya kaget mendengar penuturan itu.

Wah, Jimin ini benar-benar gila, ya?

"Maaf, tadi ponselku jatuh. Aku sedang pakai sepatuku dan akan segera ke sana. Jadi persiapkan dirimu, aku akan tiba dalam lima belas menit. Jangan cantik-cantik." Demi Tuhan, Kara bahkan tak dapat pilih kalimat bagus untuk dimuntahkan. Giginya beradu kuat sekali hingga membentuk kekerasan rahang dengan sangat baik. Ini bukan kekeliruan, kan? Ikut dengan Jimin itu adalah wajar, kan?

"Omong-omong kau tadi bicara apa? Aku tidak mendengar jelas."

Baiklah, Kara. Kau tidak perlu menyalahkan diri, Taehyung berselingkuh tanpa memikirkan dirimu. Jadi bagaimana kau bisa memikirkan Taehyung hanya karena kau akan pergi bersama Jimin?

"Tidak ada," jawab Kara cepat.

"Kalau kau punya tempat untuk dituju, katakan padaku. Biar kita ke sana saja. Ada?"

Suhu dingin yang sebelumnya belai kulit Kara mendadak lenyap. Dadanya menjadi ribut bukan main, tujuan, ya? Kara tidak yakin apa ini benar, tetapi sepertinya ia perlu memastikan bahwa yang ditemuinya kapan hari tanpa sebuah kata itu memang benar ibunya. Haruskah ia mengeraskan hati untuk datang kembali dan menyapa pertemuan dengan lebih layak?

Bahkan meski itu tanpa pertimbangan yang matang, Kara tetap saja menjawab, "Ya, ada."

Suara denting muncul dari seberang telepon, Kara tahu bahwa kini Jimin telah berada di lift apartemennya, barangkali sebentar lagi akan tiba di tempat parkir sementara dirinya belum persiapkan diri dengan baik.

"Katakan padaku, kau ingin pergi ke mana, Nona Kesepian?"

Kara tarik satu sudut bibirnya, bukan senyum, hanya sebuah seringai pahit yang simpan luka dan banyak tanya. Menemui ibuku, Jim. "Klinik Kejiwaan TJ." Dan yang Kara dengar dari seberang telepon hanya suara Jimin yang keluar spontan; ya, Jimin tentu saja harus kaget, bukan?

*****

Taehyung mencicipi lagi olahannya, meringis panas selama beberapa saat lantas telan bubur setengah matang tersebut dengan terburu-buru. Ia tak pakai celemek, tetapi pun tak ada bekas percikan masakan di sana. Dalam waktu sepagi ini, biasanya ia memang lebih suka menunjukkan kebolehannya dalam memasak pada Jukyung, tetapi pagi ini ada presensi yang sama krusialnya dan ingin ia pameri hasil lihai jemarinya.

Barangkali Taehyung telah melupakan cemas yang menghantam ulunya beberapa waktu lalu, tepat ketika ia membuka pintu kamar mandi yang ia kunci dan temukan Kara tertidur—atau pingsan—di atas kloset sembari bersandar pada dinding. Handuk yang peluk tubuh kurus itu utuh, tampaknya direkatkan dengan baik oleh si pemilik tubuh. Baiklah, Taehyung ingat lambungnya menjadi penuh sebab barangkali jantungnya telah bertamu pada lilitan usus-usus di sana. Ia ingat Kara sempat membuka mata lantas mengaitkan lengan di lehernya sambil menyebut namanya dengan penuh lelah. Untuk beberapa detik setelahnya, ia sadar bahwa itu hanya igauan semata yang meliputi alam bawah sadarnya sebab demam. Jika mau tahu, Taehyung sempat kecup sejenak kening basah yang panas itu, mengulang maaf ribuan kali dan meski itu hanya aksi sia-sia.

Pada pukul tiga dini hari tadi, Kara kembali meracau tak jelas, dan ia menemukan bahwa demamnya melonjak dalam takar yang tak wajar. Maka begitu ia rasai kisi-kisi mulai dijilati rona mentari, Taehyung beranjak dan bergelung selama satu jam lebih untuk setidaknya berpura-pura menjadi baik dengan sajikan makanan yang baik. Baiklah, ini mulai sederhana saja, dan Taehyung tak suka jika dirinya harus berlembut-lembut dengan hatinya sendiri.

Niat baik yang diaplikasikan dalam waktu salah. Itu adalah kegeraman terbesar Taehyung tepat kita segala usahanya harus hangus dalam beberapa menit setelah bubur yang ia buat matang sempurna. Udara membawa Kara pada sebelah kulkas, keduanya lantas mematung sesaat, barangkali sama-sama tak punyai sangka akan saling tatap dalam waktu yang tak punya siap. Taehyung memang panas pada bagian lengannya sebab tak sengaja cumbui badan panci yang masih ia biarkan di atas kompor berisi bubur buatannya, tetapi selain itu kini kepalanya punyai didihan paling eksesif tepat setelah perhatikan Kara telah berganti pakaian dengan sangat baik. Dia pakai kaus kebesaran lagi dan celana yang nyaris tenggelam dimakan serat putih itu, ada jaket besar yang menjuntai jatuh hingga capai sepatu Kara. Dan inilah alasannya mengapa Taehyung yang putih kini berubah merah, sebab ponsel yang melekat di telinga serta tas jinjing yang diapit di ketiak menjadi indikasi bahwa gadis angkara itu akan segera injaki bentala luas di luar sana.

“Oh, kau di rumah?” Kara tanyai itu seolah heran melihat manusia berjakun tersebut hinggap di rumahnya sendiri.

Dan Taehyung sudah terlanjur naik darah untuk menjawab dengan desibel santai, “Jaket itu milikku.” Ia bilang, dan dari sana ia lihat Kara menunduk untuk perhatikan penampilannya yang acak sekali.

“Aku pikir kau tidak di rumah.”

“Lantas kau bisa kenakan semua pakaianku jika aku keluar?”

Dari arah sana, Kara terkekeh samar kemudian menyilangkan tangan usai raih pil dari kotak obat dan telannya. “Kau menghukum dan membuatku sakit. Aku meminta jaket ini sebagai ganti rugi. Kupikir kau merasa bersalah padaku, membawaku ke kamar, dan apa itu? Membuatkan aku makanan?”

Taehyung seolah tuli. “Mau ke mana?”

“Siapa? Aku?”

“Kutanya kau mau ke mana?” Taehyung sungguh ledakkan suaranya, melengking berat dan tabrak seluruh isi telinga.

Pada detik ini Kara sesungguhnya telah dihantam perasaan bersalah, ia akan pergi dengan Jimin sebab ia pikir di rumah tak ada presensi lain selain dirinya. Dengan sorot yang sama merahnya, Kara hanya tatapi leher Taehyung yang kini tak lagi sepi, sebab seluruh urat kini hadirkan presensi di sana. Dia tahu Taehyung marah, tetapi kini dirinya pun tak miliki solusi yang bagus untuk atasi ini.

“Kau tidak harus berteriak sepagi ini, Kim.”

Manakala Taehyung merasa hilang kesabaran, ditatapnya Kara yang masih berdiri di sisi kulkas dengan jaketnya yang kebesaran, ia asumsikan siapa rekan yang kini akan temani gadis kurus itu, sebab sepertinya Jimin mulai makin lekat dengan Kara dalam waktu belakangan ini.

“Lepaskan jaketku.” Taehyung gertakkan itu bersama giginya yang didekatkan secara paksa. Ia menggeram, barangkali kini memang nyaris serupa ekspresi itu.

Lantas apa yang Kara lakukan justru tambah kemarahan Taehyung, tepat ketika gadis sialan itu sungguhlah lepas serat panjang yang jilati mata kakinya. Tak cukup sampai di sana, Kara segera kumpulkan serat tersebut dalam genggaman, ekspos tubuhnya yang kurus dan hanya dicabuli serat lain yang tipis dan besar. Setelahnya, barulah gadis tersebut lempar jaket Taehyung hingga terantuk lantai dan memohon rengkuh dari ujung kakinya yang telanjang.

“Oh, maaf. Aku lupa bilang kalau kau harus menangkapnya.” Kara bilang.

“Aku bosan membentakmu, perlukah kubunuh saja sekalian agar kau paham aku ini suamimu, dan kau dipantang untuk bersikap demikian?” Taehyung kepalkan tangan, meski tak berniat untuk hampiri Kara dan beri detensi seperti biasa.

Namun rupanya bersikap lunak pun tak baik, sebab Kara hanya akan semakin melangkah terlalu entak, dan injaki dirinya yang sedang coba tidurkan sisi iblis.

“Jika begitu, kau seharusnya gunakan pisau di depanmu untuk memutilasi tubuhku, dan bukannya memotong sayuran untuk membuatku sepanci bubur. Itu tidak terdengar seperti rencana pembunuhan, kecuali kau tambahkan sebotol bisa ular di dalamnya, sih.”

Lihat bagaimana jantung jam ikut suarakan kekesalannya atas bangkang yang baru saja Kara lakukan atas izin semesta, dan Taehyung tak punya niat yang lebih kapital daripada benar-benar coba hunjamkan pisau pada perut rata gadis yang terdisparitas beberapa meter di depannya itu. Nyatanya, ia hanya kalah pada resan begitu melihat Kara berpakaian siap bepergian, serta bunyi klakson di luar sana mengundang asumsi subal dalam kepala Taehyung. Siapa pun yang kini berdiam di balik kemudi sialan itu, Taehyung bersumpah akan mengiringi tiap detiknya menggunakan mantra kutukan terberatnya.

“Kau pikir ini untukmu?” Taehyung angkat gagang panci, menyeringai miring sebelum akhirnya tuangkan seluruh isinya pada tempat cuci piring lantas agaknya melempar juga wadah tersebut hingga timbulkan pekik nyaring dan bubur yang tercecer dramatis.

“Aku membuatnya untuk cacing-cacing malang yang melekat di antara pipa pembuangan. Jangan berkhayal diri, Nona,” ucap Taehyung. Mengabaikan nyeri-nyeri yang mulai gelanyuti kalbunya sendiri serta telan cemas yang beberapa saat lalu tempeli tubuhnya. Seharusnya ia tak cemaskan Kara berlebihan seperti itu, bukan?

“Ya sudah,” sahut Kara angkat sedikit bahunya, seolah tak acuh meski sedang coba denyut tak nyaman di balik rusuk serta tempurung. “Aku juga tidak punya waktu untuk merasai makananmu. Kupikir Jimin sudah menungguku di luar sana.”

Taehyung tak beri sahutan, ia hanya tatapi Kara yang mulai meninggalkan dirinya bersama kesakitan. Ini seperti sebuah karma, bukankah selama ini dirinyalah yang gemar melangkah pergi? Bukannya dirinya yang suka beri sekat antara dua presensi yang selalu diantonimkan semesta? Melihat bagaimana punggung kecil itu menjauh, Taehyung berusaha keras untuk tidak melarang meski dirinya benar ingin lakukan. Bukankah ia perlu kurangi egoisnya?

Seolah loka pun setuju atas argumennya, pada sorot matanya yang tak mau lepas dari punggung kecil milik Kara, saat itulah ponselnya bersorak bahagia, membawa satu suara yang paling Taehyung kenali, dan berita duka untuk hatinya sendiri.

Tae, orang itu menghubungiku. Kita berhasil mendapatkan tanah serta bangunannya di Amerika. Perlukah tanggal itu dipercepat? Aku bisa siapkan tiketnya juga.”

Taehyung retak seketika, pilihannya untuk tidak tahan Kara pergi adalah hal yang tepat, bukan? Ia tatapi daun pintu yang dirapatkan kembali usai muntahkan tubuh Kara pada emper rumah, dan Taehyung akan mengurung hatinya sendiri sejak sekarang. Tidak apa-apa, Kim Taehyung. Kau memang perlu berlatih untuk hal ini.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top