19. You?
Terkadang, Taehyung tidak mengerti bagaimana waktu dan hati berusaha bekerja untuk sinkron dengan gerakannya. Sebab, ia masih tahan-tahan saja atas rindu yang belum tuntas walau memiliki cukup banyak sempat untuk sudahi gelisah yang lahir tiap detiknya. Ya, tentu saja Taehyung tidak tahu, sebab dirinya memiliki sibuk lain selama sepekan terakhir. Rindu yang tak tuntas, dan waktu yang tak mau beri roman lebih hidup pada paras. Taehyung separuh mati, disiksa kepalanya sendiri serta hati yang tak mau sudahi tuntutan temu dengan gadis angkuh yang keras kepala sekali.
Sungguh, Taehyung tumpahkan segala rindunya pada gadis penuh angkara itu, lantas dirinya cabiki otak sendiri yang mau-mau saja disetir presensi lain hingga telan alasan untuk pijaki rumah sendiri. Taehyung tidak jadi pulang ke rumah, yang bahkan ini telah lebih dari sepekan dan ia mendapat cambukkan baru di hari senin lalu. Ia tidak dijebak, atau terjebak di apartemen Jukyung untuk kurun waktu yang lama, melainkan menjebakkan diri di sana dengan alasan tak mau hidupi kulit Kara dengan ruam cantik pemberiannya. Separuh lengkap, jika saja Taehyung mau akui alasan lain bahwa argumennya untuk menetap dalam apartemen tersebut adalah karena Jukyung sedang sakit.
Sungguh, Taehyung bukannya menjadi tidak waras hanya karena ia telah lebih sekarat dibanding Kara sendiri. Lihat luka di tubuhnya, serta bagaimana kisah senin lalu yang buatnya nyaris tewas. Memang bukan hal yang masuk akal, tetapi Taehyung berani akui lecet pada epidermisnya mulai membiakkan diri ke mana-mana. Sekarang tubuhnya bahkan memarnya lebih cantik dari apa yang ia beri pada Kara sebelumnya. Bukankah Karma memang selalu lincah seperti itu?
"Kau yakin akan pulang malam ini?" Jukyung yang memainkan ponsel miliknya tak tolehkan kepala. Selimut menjadi lebih hangat daripada pelukan Taehyung yang beberapa saat lalu dilepas dari tubuh gadis tersebut. Ya, biar embus pendingin menjadi saksi rekam kejadian panas yang beberapa menit lalu diusaikan dengan puncak yang meledak dahsyat sekali.
"Kau tahu kita telah hidup bersama agak lebih lama dari biasanya." Taehyung sahuti dengan lirih. "Jangan minta aku untuk menambah tanggal, Kara sendirian di rumah."
Jukyung mau mengerti seandainya dalam satu minggu ini perasaannya tak bertambah lebih banyak dalam tiap detiknya, lantas mau bagaimana lagi? Taehyung secara perspektif bukanlah miliknya. Namun bukannya Kara seharusnya juga tidak termasuk untuk itu? Taehyung hanyalah milik Kim Taehyung sendiri, lelaki itu tidak dimiliki oleh siapa pun. Kalau mau tahu faktanya, tolong percayai itu.
"Kau harusnya mulai kurangi kecemasanmu pada gadis itu." Jukyung letakkan ponsel Taehyung yang ia rinci isinya beberapa menit terakhir.
"Jangan mengaturku, tolong."
"Aku tidak," sanggah Jukyung lekas-lekas, ini memang tidak seharusnya dibahas, tetapi melihat seperti apa bentuk hatinya tercabik, Jukyung tak mau diam saja tatapi retakan itu sendiri. Taehyung tidak boleh lalai dengan hatinya, bukan? "Aku hanya mau ingatkan, bahwa kau telah berjanji untuk mencintaiku dan terus denganku."
"Dan kau harusnya lebih tahu bahwa aku masih memiliki janji lain yang lebih serius pada gadis lain. Harus kubilang padamu sesakral apa hubunganku dengan orang itu?"
Taehyung perhatikan Jukyung mengangkat ujung bibirnya singkat, menangkap ada ledekan telanjang di sana yang sesungguhnya berhasil buat ia ingin benamkam diri saja pada lubang bentala. Sayang, sekalipun apa yang Jukyung pikirkan sekarang adalah benar, nyatanya Taehyung tetap tak mau akui hal itu dengan terus sahkan argumennya sendirian. Ini bukan tentang tanggung jawab, Taehyung sedang berjuang melawan hatinya tanpa diketahui orang.
"Kelihatannya kau masih tak kurangi cintamu pada Kara. Tolong sangkal aku."
Taehyung lantas mendesah tatkala rupanya pita suaranya tak mau beri klarifikasi apa pun tentang itu. Tentu saja, ia bukan tak mau beri sangkal, tetapi sebab suara persetujuan nyatanya lebih mendesak untuk dikeluarkan secara nyata lewat mulut. Bagaimana, ya? Ia telah berusaha sekuat tenaga untuk lepaskan afeksi sial itu, tetapi seolah Kara punya pikat yang telah menyihir seluruh saraf, Taehyung malah justru menjadi kehilangan otak dan benar biarkan afeksi itu berekspansi ke seluruh domisili tubuh.
"Kalau begitu beri aku alasan untuk tidak mencintainya."
"Apa itu dibutuhkan?"
"Ya, kupikir."
"Kalau begitu kutanya apa alasanmu mencintainya?"
"Apa?"
"Ingat kembali alasan mengapa kau memilih untuk jatuh cinta pada Kara. Jika kau temukan itu, berikutnya kau hanya perlu membuangnya dan kau tak akan memiliki alasan untuk mencintainya lagi. Bukankah begitu?"
Itu bukan solusi yang baik, Taehyung tahu bahwa segalanya tak akan pernah temukan akar jika ia masih saja tak ingin mau menggali lebih dalam. Untuk siapa hatinya? Bahkan meski jika benar yang tertera di dalam sana adalah Kara, lantas apa maksud dari eksistensi Jukyung yang kerap ganggu fokusnya selama beberapa bulan terakhir? Maukah semesta menjelaskan pada Kim Taehyung bagaimana caranya makamkan afeksi yang busuknya kalahi bangkai anjing?
Hidupnya telah lebih sulit sejak ia memutuskan untuk terjun dalam jurang tak tak punya dasar. Kini, bagaimana caranya ia lepas dari rengkuh awang-awang yang barangkali pengaruhnya lebih luas dari keyakinan Taehyung sendiri untuk lepas?
Sembari merapikan plester di bahunya yang lusa kemarin terluka, Taehyung keraskan rahang dan pakai mantelnya untuk segera undurkan dirinya dari apartemen yang kini baunya tak jauh dari aroma tubuhnya sendiri. Ia biarkan gerakannya dikoreksi Jukyung di ranjang sana, mendekat dengan gerak santai sebelum daratkan telapak tangannya pada belah pipi gadis yang hanya gunakan selimut sebagai serat penutup telanjang. Tak ada rambat keeksesifan hangat seperti kemarin, memuji dalam hati bahwa setidaknya ia berhasil menjadi perawat andal selama sepekan. Bukankah kesembuhan Jukyung adalah hadiah besar bagi Taehyung?
"Suhu tubuhmu sudah baik. Hubungi aku jika butuh sesuatu, ya?" Sebuah pesan yang hangat, dan Jukyung rupanya tak bisa beri argumen hebat untuk kembali tahan presensi Kim Taehyung sebab dirinya telah benar-benar sehat.
"Aku membutuhkanmu setiap waktu, Saem."
Taehyung tersenyum, lembut sekali sebelum tekuk tubuh dan condong pada seraut yang kini menatapnya penuh mohon di bawahnya, ia beri kecupan pada dahinya yang hangat dan berkeringat, menjilat bibirnya sendiri yang basah dan rasai asin nikmat di sana.
"Tagih itu padaku lain waktu, Sayang. Untuk saat ini, aku butuh rumah."
"Rumah itu terdengar seperti Kara."
Gelak tawa itu menggema selama beberapa saat, Taehyung mengusak rambut Jukyung sebelum meraih ponselnya di atas ranjang dan mengantongi benda pipih tersebut pada saku mantel. Tangannya tak mau lepas dari puncak kepala gadis manis di depannya.
"Aku butuh rumah, dan kebetulan Kara ada di sana. Aku tak punya alasan untuk merasa butuh pada gadis itu."
Yeah, gadis itu terdengar asing sekali.
Jukyung menarik Taehyung untuk kembali duduk di depannya, membiarkan selimutnya merosot dan kini ekspos apa yang seharusnya tidak Taehyung lihat jika ingin segera lepas dari jerat apartemen ini. Nyatanya, mata itu masih suka sekali melirik dan senang kepalkan tangan untuk tahan berontakan ingin tuntas di dalam tenggorokannya yang kemarau mendadak.
"Ingat janjimu lagi, Saem. Janjimu untuk mencintaiku."
Taehyung tarik sudut bibirnya, lengkungan kurva itu miring sekali, dan rupanya apa yang Taehyung katakan setelahnya benar-benar lahirkan senang tak bertakar pada kalbu Jukyung yang tak mau hentikan senyum meski presensi lelaki tua itu telah lenyap dari sana. Tidak apa-apa, bagi Jukyung janji Taehyung tak akan pernah menjadi pribadi yang ingkar.
"Aku sedang memupuknya, Sayang. Semoga tumbuh tak lama lagi."
*****
Taehyung bawa seluruh ganjalannya ketika pulang, ia menikmati rintik gelisah selama perjalanan. Hingga pada detik yang mana penampungnya meledak begitu hebat ketika tak lakukan pergerakan di rambu merah jalan, ia pekikan klakson mobil dan undang seluruh atensi di sekitaran sana untuk pelototi eksistensi mobilnya yang hitam. Menerima dengan baik gedoran tangan pada kaca jendela sebab ia tak lepaskan tangannya dari tombol yang muntahkan lengking jerit; oleh pejalan kaki yang muak telinganya dijejali paksa oleh isak mobil yang nyaring sekali.
Bahkan walau menit menjadi begitu basi sebab tak ada cokolan krusial dalam kepala lelaki tua itu, rupanya bangkai yang membusuk sepekan terakhir dalam kepalanya mulai lelehkan presensi untuk tempati lebih banyak domisili dengan coba aliri ikut penyebaran darah. Luka di atas kulitnya jelas bukan hal yang bagus untuk diwisatai, tetapi rupanya lecet itulah yang kadang sadarkan pikirnya agar mau tahan sisi subal yang kerap paksa untuk sumbangkan beberapa memar pada kulit presensi lainnya.
Seluruh daksanya gatal, bukan diakibatkan oleh bakteri yang bahkan enggan tinggal. Taehyung tahu bahwa tubuhnya sedang disetir angkara yang arahnya lurus pada dirinya sendiri. Ya, ia membenci Kim Taehyung, lantas bagaimana caranya ia habisi keparat itu jika dia adalah dirinya sendiri? Ketidakmudahan jalan terkadang membuat ia muak, ia tak suka dengan keadaan, tetapi justru konteks itulah yang paling banyak membantunya atasi kerinduan. Kini harus bagaimana? Harusnya Taehyung menyesal lebih banyak lagi padahal tahu bahwa itu tak guna?
Ah, sudahlah. Mari tenangkan pikiran dulu, sebab Taehyung perlu tuntasi apa yang kini membalon lagi dalam kalbunya. Mengabaikan luka, menyisihkan senin, dan sekarang Taehyung benar pasrahkan diri untuk dikuasai bayang Kara lagi. Lihat? Ia bahkan terus menjadi budak atas dirinya sediri tanpa disadari.
Tiga puluh menitnya mengantarkan Taehyung pada emper rumah yang sepi, mencabuli aspal dengan roda empatnya yang mahal, dan kini biarkan pantofelnya saling kecup dengan lantai-lantai yang kelihatan dingin seolah nihil kehidupan. Oh, ayolah, Taehyung tahu Kara sedang berada di rumah. Jungkook memberitahunya lusa kemarin, dan seharusnya rumah perlu kelihatan lebih kotor agar dirinya percaya bahwa ada nyawa dalam ruang lain di sepetak lahan luas yang tumbuh bangunan ini. Namun, di mana gadis gagal itu? Bukankah ini adalah momen yang perlu sambutan mengingat mereka telah tak jumpa selama sepekan?
Ah, sial. Aku tidak perlu menjadi satu-satunya karakter yang merindukan gadis angkara itu.
"Selamat datang kembali di makam kita berdua, Kim. Mencariku?"
Ya, ini dia. Satu fakta bahwa hati terkadang terlalu membodohi, sebab Taehyung tak mampu kontrol langkahnya untuk tak berkeliaran mengecek satu persatu ruang yang dikandung rumah. Padahal, jika ia mau menjadi lebih pintar satu menit saja, maka dirinya akan temukan Kara yang kini di balkon atas menontoni ketotolannya sembari pegang cangkir menguap. Pasti kelihatannya penuh komedi sekali.
"Lihat siapa yang bahagia di atas sana. Kau menyambut kepulangan malaikat mautmu dengan sesi yang aneh." Sapaan itu lantas segera menyusul setelah dua tungkai kembar Taehyung benar-benar pijak ketinggian lantai yang sama.
Kara bersandar pada pagar balkon lambung rumah, menyesap tehnya dengan wajah angkuh luar biasa. Taehyung ... tak bisa hentikan afeksinya yang menggila.
"Bagaimana kencanmu? Sudah kelihatan buahnya untuk kau panen?" Dan sayangnya hanya Kara yang dapat katakan sindiran itu pada Taehyung tanpa takut apa pun.
"Aku akan segera memiliki hasil yang besar," sahut Taehyung menyeringai.
Lihatlah bagaimana Kara meletakkan cangkirnya dengan begitu anggun dan menyebalkan. "Kau baru saja menikmati lahan rumput hijau yang segar, lalu kau pulang dan kelihatan sedang kehilangan separuh pikiran secara tak sadar. Jika aku mengatakan bahwa kini kau sedang merindukanku dengan cara tak wajar, aku yakin kau tak akan menemukan kalimat bagus untuk menyangkal."
"Dan kau seharusnya tidak percaya diri seperti ini, Gadis Nakal."
"Aku bahkan mungkin akan memberimu kesempatan untuk memeluk selama setengah detik. Kasihan sekali wajah tua itu kini sedang gelisah bukan main."
Dan Taehyung sumbang kekeh mendengarnya. "Sebutkan saja siapa tuanmu selama waktu menyiksamu ketika merindukanku." Sebuah serangan balasan yang Taehyung lantingkan ternyata bahkan tak beri reaksi apa pun pada gadis di depannya selain kekeh merendahkan.
"Tentu saja Jimin."
Dan, ayo, lihat. Seperti apa rahang Taehyung kini mengeras dan tonjolkan seluruh urat yang tidur lama di balik epidermis lehernya yang tan. Ini terlihat seperti jebakan yang coba habisi perakitnya, sebab kini Taehyung begitu menyesal telah muntahkan kalimat yang justru pancing merahnya naik pada tempurung semua.
"Jala—"
"Oh, ya, tentu saja kau pasti sudah menebaknya, bukan? Kuburan kita ini tidak akan sebersih sekarang jika bukan karena Jimin menunjukkan bakat istimewanya dalam membersihkan dan ... memuaskan." Baik, Kara. Kau hanya perlu terus menyerang emosi lelaki tua sialan ini.
Kara pikir ini akan menjadi pertemuan hebat yang lahirkan pertengkaran paling dahsyat. Rupanya dari arah sana, Taehyung hanya hela napas dan kepalkan ke sepuluh jemari dengan berusaha tetap pasif di tempat. Ini sulit, padahal rindunya adalah alasan besar mengapa dirinya begitu ingin tinggalkan apartemen Jukyung beberapa puluh menit lalu. Bukan segmen seperti ini yang ingin dirinya jalani.
"Kau tidak bisa mengisi rahimmu dengan sembarang berudu, Sayang." Taehyung katakan itu sembari angkat alis, balas meremehkan di antara kalap yang coba kikis habis warasnya. "Kau tidak tahu mana yang akan membunuhmu satu dari jutaan berudu itu nantinya."
"Yeah," Kara menyahut kalem."Kalau kau ingin membahas kualitas, milik Jimin sudah aku juarai sebagai benih terbaik tepat ketika kental itu meliuk masuk lewat mulutku."
"Kau tahu pilihan detensinya ketika kau bicara sembarangan. Rupanya kau memberiku alasan untuk lukai tubuhmu, ya?"
"Yang benar saja, Kim? Kau biasanya tak butuh alasan untuk warnai kulitku."
Kara tak akan pernah tahu apa yang ada dalam kepala lelaki tua itu jika dirinya tak coba untuk menyelam lebih dalam. Kara juga tak akan pernah tahu paradigma Taehyung jika tak mencoba untuk menjadi lelaki tersebut. Ia tidak tahu, tetapi Taehyung paling tahu cara mengatasi dirinya. Lihatlah lelaki itu, dia yang kini coba beri aniaya lain setelah sepekan tak lunasi janji tanpa kata untuk temu.
Tangan yang dilipat antara perpotongan perut dan dada itu Kara kepal diam-diam, tepat ketika Taehyung mulai gerakkan tungkai untuk makan habis disparitas mereka berdua. Ya, bagaimana caranya menjelaskan pada dunia tentang rasa yang detik itu mulai berceceran habisi domisili tubuh. Tidak, Kara tidak punya definisi tentang Kim Taehyung yang kini benturkan pucuk hidung lelaki tua tersebut pada hidungnya. Aroma napas yang bercampur, remang yang bangkit, dan pinggang kecil yang kini dikuasai dua belah tangan yang lebar. Ini adalah pelunasan yang akan hamil penyiksaan.
Kara tahu dari embusannya yang berantakan, ia paham dari remas kuat dipinggangnya, ini bukan sesi romantis yang ia harapkan selama sepekan. Sebab, setelah ini akan ada geram lirih tepat setelah Kim Taehyung kecup singkat material kenyalnya, lantas kecup-kecup lain yang menyusul terburu-buru, seperti kelaparan, dan lelaki tua itu menemukan santapan di atas bibirnya.
"Kau cantik, bersih, dan sehat," bisik Taehyung tepat di telinga gadis tersebut. "Dan aku tidak suka itu."
Kara tidak mengerti, sebab ia hanya diam saja ketika Taehyung beri kecup pada bibirnya yang kering. Seolah itu adalah hipnotis, lantaran begitu Kara menyadari di mana ia berdiri, dua tangannya telah diikat sempurna menggunakan ikat pinggang Taehyung yang dilepas tak tahu waktu. Seolah itu ditunjukkan sebagai permulaan, Kara bahkan tak jelas mengartikan senyum miring Taehyung sebelum dua lengan tersebut rengkuh dan angkat tubuhnya yang kecil. Barangkali bebannya tak jauh berat dari karung, Kara merasakan perutnya menekan bahu lelaki di bawahnya dengan tenakan kuat.
"Kau tahu ini tak akan berhasil, bukan?" Kara katakan itu dengan susah payah, selepasnya merasakan tubuhnya telah direngkuh presensi lain yang melengkung dingin; bathup.
"Aku lebih tertarik pada proses dibanding hasil, Baby. Apalagi jika ini menyangkut kesadaranmu," Taehyung buka kausnya lantas berjongkok dan ikatkan serat itu pada kaki gadis yang tak berikan penolakan apa pun di sana. "Kau punya suami, dan tidak ada ampun atas pengkhinatan seorang istri."
Kara terkekeh dan miringkan kepala dengan raut kalem luar biasa, "Lalu bagaimana denganmu?" tanyanya penuh aksen. "Apa detensi bagi suami yang khianati istri?"
Lihatlah bagaimana Tuhan tak takar tuangan egois saat ciptakan Kim Taehyung, sebab barangkali bahannya tidak hanya gunakan sendok, Taehyung adalah presensi yang paling tumpah akan egoistis. Dia tak dengarkan Kara, dan sebagai tanggapan tanya gadis itu, ada bunyi keran air yang dinyalakan serta air bersuhu beku bentur punggung Kara yang dilapisi serat.
"Kau tidak mengerti posisiku." Taehyung katakan itu setelah beberapa saat. Menatapi genang air yang kini mulai cumbui inci kulit gadis yang diam saja di dalam bak mandi.
Demi Tuhan, Taehyung tidak perlu tambahkan balok-balok es ke dalam bak mandi, sebab suhunya sedang saingi kebekuan air itu sendiri. Coba lihat bagaimana rahang Kara mulai mengeras ketika rasakan tubuhnya separuh mati rasa kedinginan.
"Menyiksaku juga bukan solusi bagus untuk mengerti kesubalan otakmu," desis Kara angkuh.
Taehyung menyeringai, merasakan embus dingin belai kulit perut dan dadanya yang telanjang, menatapi Kara yang masih begitu jemawa untuk terus diam seolah menikmati air keparat yang mulai kubangi bak. Tentu saja Taehyung tidak tahan pada pembangkang, sebabnya ia tak beri toleransi untuk presensi yang tak punyai tunduk untuk patuh. Kepalkan tangan sebab lihat Kara masih begitu penuh seringai di balik bibirnya, Taehyung lantas berbisik rendah sekali sebelum keluar dan kunci pintu kamar mandi. "Begitu cara berproses, Kara. Detensi adalah satu-satunya cara untuk mengubah pola pikirmu, menyadarkan dirimu akan regulasi yang harusnya dituruti oleh posisimu. Kau berkhianat selama tidak dalam pengawasanku, jadi, pertama-tama, mari bersihkan bekas si brengsek Jimin itu dari tubuhmu."
Bukan begini cara lunasi rindu, Kim Taehyung.[]
Selamat tanggal 4 Januari. Apakah ini masih tahun baru?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top