18. Will gets Lost
Keluhkan apa saja padaku, atau tentangku:)
Konteks yang paling Taehyung sesali dengan takar paling kapital adalah apa yang mulutnya beberapa jam lalu keluarkan. Ia ingin pergi ke toko sihir untuk meminta perputaran waktu agar dirinya dapat telan kembali lengkingan pita suaranya, ia kecewa pada apa yang telah dirinya sumbangkan pada telinga serta indra perasa Kara. Seharusnya ia tidak mentololkan diri hanya karena kobaran resan itu bakar seluruh warasnya hingga pada bagian dasar dan terkecil. Lelaki itu bahkan tak sangka bahwa Kara rupanya sehebat itu untuk membuat seluruh piagam kecerdasannya melebur menjadi serdak yang serpihannya begitu subtil dan sulit di pilih menggunakan jemari apabila berserakan.
Juga Taehyung tak begitu penuh perhitungan waktu oleh sifatnya yang cenderung tak pernah sabaran. Ia akan marah jika sesuatu usik tenangnya, ia akan cekik semua hal yang pikirnya merasa tak diuntungkan atas eksistensinya tersebut. Taehyung memang seperti itu, ialah lelaki tua yang membenci aniaya, tetapi maha gemar lakukannya. Dan Karalah yang paling menjadi landasan favoritnya, sebongkah tubuh yang putih dan dan cantik terkena memar, epidermis pucat yang akan terlihat lebih hidup ketika kelupas tilas cambuk serupa dengan proses pergantian kulit ular.
Pada detik, yang mana Taehyung menjambak otak sebab tak mau hentikan pikir sesal, tempurung kokoh tersebut nyaris retak akibat terlalu giat produksi pikir yang tak berubah. Baiklah, lagi pula memang mengapa Taehyung menyesal telah berikan seorang Ibu pada seorang putri yang kelaparan kasih? Bukankah ini bagian dari tujuannya? Ah, tidak, ini bukan. Rencana Taehyung adalah yang paling gelap dan suram, segalanya tervandalisme begitu hebat usai hatinya resan tak karuan. Rasio tak stabil makin kehilangan kendali ketika hati memilih untuk lebih menonjolkan diri, Taehyung buta sesaat, lalu lihat apa akibatnya sekarang?
Ketidaksiapan menjadi alasan terlebar mengapa kini pikirannya menjadi tak imbang dengan porsi paling timpang, Taehyung tak pernah inginkan kalah atau cacat dalam apa yang telah menjadi tuju paling matangnya.
Bukan sekarang, tanggalnya bukan 24, tetapi bahkan aku juga tak siapkan tanggal untuk ini.
Taehyung saling jengkang lagi dengan otaknya, bagaimana, ya? Ia sudah terlanjur berikan hal besarnya pada Kara sekarang, padahal siapnya tak sedang penuh atau sekedar berisi separuh. Galaunya mencapai ubun, tetapi tangan lelaki itu tetap tak saling remas satu sama lain, mereka tenang dalam konotasi yang tak wajar. Padahal, jika mau tahu, otak Taehyung sedang saling mencekik hingga berikan lorong sempit untuk menerima pikir-pikir lainnya.
Namun setidaknya, Kara mungkin sudah senang bertemu ibunya.
Hei, siapa yang menjamin itu? Jika ia mau mengingat seperti apa raut Kara ketika Jungkook tiba dan membawa gadis itu dengan sopan, yang terpancar hanya kosongnya mata. Memang, bahkan ini juga telah masuk dalam prediksinya dari lama, akan ada kejutan yang akan kosongkan diri Kara, dan bentangkan altar yang lebih pantang lagi bagi mereka berdua. Bukankah ini jelas? Taehyung telah menemukan sudut buntunya, ia tak akan bisa pergi ke mana-mana lagi, setidaknya, tanpa Kara–yang bahkan itu saja telah keliatan lebih muhal sekarang.
Ruangan yang sepi, udara yang apek, dan nyanyian jantung jam membuat Taehyung semakin tersadar bahwa setanpa hidup inilah hari-hari selanjutnya tanpa gadis pembangkang itu. Yang walau bagaimanapun, memang seharusnya Taehyung telah seharusnya berhenti memblokade jalanan takdir. Ya, memang, Kara bukan sebenar-benarnya miliknya. Lantas apa yang buatnya demikian tak mau ditinggalkan hanya karena tangannya tak dapat lagi suguhi ruam cantik pada tubuh telanjang gadis tersebut?
Terkadang bahkan Taehyung terlalu tolol dan lalai dengan biarkan egois menempati seluruh domisili tubuhnya. Lihat, bagaimana kini ia ingin cabik mulutnya sendiri karena telah kehilangan konsistensi. Dan telinganya yang menjadi panas setelah Jungkook bersuara dari seberang sana, menjalin hubung lewat sambungan seluler.
"Dia bahkan tidak menangis. Yang dilakukan Kara begitu tiba dan melihat ibunya hanya diam tak bergerak, mungkinkah dia terlalu bahagia hingga tidak dapat bicara?" Suara Jungkook serius sekali beraksen ketika mendobrak masuk ke dalam telinga Taehyung.
Pada perpotongan antara menit pertama dan kedua, Taehyung hanya keraskan rahang tanpa bicara, menggigit tipi bibir dalamnya sambil kepalkan tangan. Ini bukan hal yang wajar, ketika ia memutuskan untuk melawan dirinya sendiri hanya agar Kara merasa lebih butuh padanya. Sekarang, masihkah Kara mempercayainya setelah tahu bahwa kegilaannya telah banyak sekali timbulkan luka pada hidup gadis tersebut baik luar maupun dalam?
"Sekarang bagaimana?" Begitulah akhirnya ia loloskan vokal, menunggu dengan seksama suara napas Jungkook yang dilepas berat. Sepertinya bukan hal baik.
"Dia di toilet. Belum keluar lagi, mungkin sedang menangis?"
"Gadisku tidak cengeng. Pastikan saja dia tak melakukan hal aneh."
"Ya, baiklah."
"Apakah ... dia menyapa ibunya?"
Lagi, hela napas yang Jungkook beri adalah jawaban isyarat sebelum realisasikan lewat mulutnya, "Biar kukatakan sesuatu padamu, baru saja dia keluar dari toilet dan mengajakku untuk pulang. Menurutmu, ini wajar? Dia bahkan tak katakan apa pun pada ibunya."
Taehyung menerawang langit-langit, menggambar jelas sekali wajah Kara di sana lewat pikirannya, tetapi mengapa kali ini bayangan itu tampak kabur? "Begitulah dia, kau hanya akan menjadi setidakwaras dia jika mau mengertinya dengan lebih baik."
Ada suara gemerusuk di seberang, dan Taehyung ternyata enggan jauhkan ponsel dari telinganya, menikmati suara sambungan yang tak jernih, sebab ia tak ingin ketinggalan apa pun yang akan Jungkook katakan padanya.
"Aku akan membawanya pulang padamu."
Sebaiknya segera, aku sudah nyaris gila.
"Bisakah kau memperlambat perjananmu?"
"Apa?"
Taehyung memejam, hilangkan warna cat langit-langit ruangan dengan gantikan gelap di balik kelopak. Dia menggeram selama beberapa saat, mengingat kembali deret daftar kegiatannya hari ini. Bagaimana bisa ia lupa bahwa hidupnya tidak hanya tentang Kara?
"Temani dia dulu," jawab Taehyung gamang.
"Kau ... astaga, aku benci kau akan mengatakan sesuatu yang ada dalam pikiranku."
Taehyung lantas terkekeh sejenak, menyesali pikirannya yang ternyata benar terkorelasi dengan baik pada apa yang kini berlabuh dalam kepala Jungkook. Maka, setelah beberapa kali menyisihkan kekehan kering. Taehyung membenarkan lewat suaranya, "Ya, aku harus temui Jukyung dulu. Ada yang harus kupastikan dengannya."
Jungkook sumbangi berisik lewat ponsel pada telinga Taehyung sebelum susulkan suaranya, "Oh, ayolah paman tua, kau tidak menghamilinya, kan, Man?"
Dan bahkan Jungkook tak beri jeda bagi kalimatnya, Taehyung tidak menjawab, tetapi dia bahkan tak berikan sangkalan. Bagaimana cara Jungkook tahan emosinya sekarang?
"Kalau itu benar. Kau tahu, kan kalau aku tidak akan diam lagi? Dengan cara bersih atau kotor sekalipun, Kara akan beralih pijak ke bawah kendaliku."
Ya, tentu saja. Namun semoga saja tidak.
*****
Jungkook lirik sekali lagi presensi Kara yang belum juga mau keluarkan suara. Padahal wajar yang seharusnya adalah perjalanan pulang mereka tidak akan sesunyi ini walau dipikir berulang kali. Ia jelas tahu apa yang jadi gundah gadis tersebut, barangkali seberat itu juga untuk diucapkan ketika pikir tak mampu lagi untuk menjadi cerdas. Kara sedang patah hati, jelas bukan dalam konotasi patah yang sakit seperti pemberian Taehyung. Dia barangkali terlalu bahagia hingga tidak bisa mengekspresikan dengan baik dan berujung lebih sesak daripada patah.
Tidak, spekulasi Jungkook jelasnya hanya apa yang ada dalam kepalanya, sebab yang sebenar-benarnya terjadi adalah hanya Kara yang paham ketika biarkan Tuhan untuk ikut baca seluruh rasa dalam nadinya. Lantas tatkala ia mempanjang perjalanan seperti saran Taehyung dengan memutar arah jalan agar terasa lebih jauh, tepat pada lampu merah ke sebelas, gadis yang sedang kelimpungan tahan sabar itu akhirnya mendengus juga. Dia menoleh ke arahnya, berikutnya maki dengan suara tidak biasa, "Kau membakar pantatku, Bodoh. Kenapa ambil rute memutar?"
Untungnya Jungkook memang sudah siapkan argumen untuk itu, "Kau kelihatan kacau. Jadi, kupikir kau perlu tenang sambil menikmati perjalanan."
Tentu saja Kara tidak setuju dengan itu. "Aku lapar, ingin pulang. Dan berhenti sok tahu terhadapku, kau tidak bakat untuk itu."
"Ya, maaf." Jungkook sahuti dengan kalem. "Kau hanya cemberut sejak tadi, kupikir kau tidak senang bertemu dengan ibumu."
"Memang tidak," sahut Kara ketus. Dan sejujurnya, Jungkook takut bahwa kejujuran yang dikandung kalimat gadis tersebut adalah benar. Jadi, Kara tidak suka, ya?
Merasa ini tidak seharusnya diteruskan sebab wajah Kara memang kelihatan tidak bersahabat untuk membahas sekacau apa kalbu gadis tersebut, Jungkook akhirnya berdeham kecil lalu kembali luruskan pandang pada aspal yang panas. Memperhatikan dengan sekilas mobil-mobil yang melaju dengan terburu-buru, ia pun berniat untuk sapa kembali Kara yang walaupun tetap kelihatan tak begitu ramah; yang bahkan memang tak pernah ramah.
"Jadi, kita akan makan di mana?"
"Kenapa kita harus makan?"
"Kau bilang sedang lapar."
"Kau pikir aku mau makan denganmu?"
Jungkook mendengus terang-terangan, ia melirik pada Kara sekilas sebelum kembali lontarkan suara dengan nada sebal. "Apa yang salah dengan makan bersama siapa padahal kau sedang lapar?"
Kara melipat tangannya lantas berpaling menatap jalanan, "Aku tidak makan dengan orang asing."
"Kara, astaga ...." Jungkook sungguh kehilangan kalimatnya.
Berikutnya, hening mulai kembali kuasai dua pasang gendang telinga milik sepasang gender berlawanan tersebut. Jungkook tak mau lagi keluarkan suara, bahkan Kara juga enggan gerakkan mulutnya yang rekatnya sudah begitu lengket. Tak ada yang tahu apa yang kini bercokol dalam tempurung gadis tersebut, bahkan Jungkook yang curi lirik banyak kali juga tak dapat tafsir bagaimana hati dari wajah yang kosong ekspresi tersebut.
Barangkali memikirkan ibunya? Atau justru hal lain yang tak akan mungkin Jungkook tahu seperti apa konteknya. Pendingin mobil yang bekerja cepat, serta polusi di jalanan yang terus menempelkan serdak pada kaca-kaca yang tertutup, tak akan pernah bisa tandingi seminat apa Jungkook kini pada makhluk kurus di sisinya. Tentu saja, ini bukan tentang hati, Jungkook tahu bahwa Kara tidak akan menyukainya, dan ia pun tak suka gadis problematis seperti Kara. Lalu, apa boleh buat? Simpati dan balas budi terlalu berat membebani Jungkook untuk bersikap abai terhadap gadis luar biasa ini.
"Aku memberikanmu waktu lima menit untuk bertanya, atau kau akan kehilangan kesempatan untuk menuntaskan kuriositasmu yang meledak itu. Aku tahu kau menahannya sedari tadi."
Jungkook bukannya mau sok tahu lagi, tetapi ia memang sedang ingin katakan itu saja, bermaksud untuk beri kesempatan sekaligus ingin isi kembali mobil dengan diskusi ringan. Namun, memangnya apa yang Jungkook harapkan? Kara tidak pernah dapat ditaklukan hanya dengan sekali perkataan serupa ancaman. Merasa tidak mau kalah, Jungkook raih ponsel lantas nyalakan stopwatch, menyetel hidung mundur dari menit ke lima, berikut memperlihatkannya pada Kara yang masih enggan tolehkan kepala padanya.
"Lihat, aku sudah nyalakan alarm waktu. Jika ini habis, kau benar-benar tidak akan bisa mendapat jawaban apa pun dariku tentang ini," ancamnya serius.
Namun, meski begitu, yang ada justru Jungkook yang gelisah sendiri. Ia yang sibuk sendiri menunggu Kara buka mulut, melihat ponsel berulang kali dengan memastikan bahwa waktunya tak akan habis sebelum Kara buka mulut untuknya. Ini lebih terlihat seperti Jungkook yang sedang ingin tuntasi cokolan kepalanya sendiri ketimbang bantu Kara angkat kuriositas itu. Menunggu dengan gelisah, Jungkook masih tak berhenti untuk liriki nyala ponselnya yang hitung waktunya setia berjalan mundur.
Jadi, apakah cara seperti ini pun tak dapat sentuh Kara yang keras kepala? Sungguh, Jungkook nyaris benarkan perlakuan Taehyung jika melihat semenyebalkan apa Kara untuk dihadapi seorang diri. Ah, tidak. Ini salah Jungkook, sih. Ialah yang memaksa dirinya sendiri untuk penasaran dan menunggu pertanyaan Kara. Jika begini, siapa yang pantas disalahkan?
Oh, shit! Kara bahkan tak takut pada satu menit yang tersisa. Pikir Jungkook.
Namun, siapa yang sangka bahwa ini adalah manjur? Sebab, Kara benar-benar buka mulutnya pada sisa waktu yang benar-benar menyebalkan ini.
"Apakah kau benar adalah sepupu Taehyung?"
Nyaris saja Jungkook tak percaya pada telinganya sendiri, tetapi memang itulah yang Kara keluarkan dari mulutnya. Ini bukan tentang apa yang menjadi asumsi Jungkook selama beberapa waktu, gadis itu sama sekali tidak ingin membahas tentang ibunya, padahal menurut prediksi Jungkook sendiri, Taehyung jelas bukan orang yang pantas untuk menjadi topik tanya-jawabnya hanya hanya tersisa tak lebih dari satu menit.
Menghabiskan waktu untuk berpikir tak guna, pada detik yang terburu-buru dimakan waktu, ia menjawab tegas, "Menjelaskan silsilah keluarga tentu akan memakan banyak waktu." Ia spasi sejenak jawabannya, alih-alih dengan pernyataan, Jungkook justru lanjutkan suara dengan pertanyaan pula, "Jika aku mengatakan padamu kalau Taehyung adalah orang baik, apa kau akan percaya?"
"Tidak."
Tentu saja, memangnya jawaban seperti apa yang akan Jungkook dapatkan? Lalu, untuk apa juga gadis itu bertanya jika jawabannya harus serupa dengan apa yang ada dalam pikirannya?
"Kara," panggilnya pelan, coba berbicara dengan nada penuh aksen dan serius. "Taehyung punya definisi sendiri dalam kepalamu, kau dengannya sudah sangat lama, bukan? Tentu saja kau kenal dia lebih baik selama hampir delapan tahun ini. Tetapi jika kau mau dengar seperti apa dia sebelum delapan tahun, atau bagaimana yang terjadi padanya di balik matamu, kuharap kau mempercayai apa yang kukatakan ini. Dia ... lelaki yang sangat baik. Kau harus percaya padaku."
Tak ada tanggapan, atau pun hela napas berat yang Jungkook dengar. Kara tidak menunjukkan gerik apa pun untuk jawabi apa yang baru saja ia katakan. Apakah dirinya terdengar bercanda? Atau ini kurang serius? Ketika ia berasumsi lelap telah sapa gadis tersebut, rupanya Kara mengusap kaca dari embun yang dilahirkan uap mulutnya sendiri. Tidak bisakah gadis itu menanggapinya saja alih-alih bercanda dengan benda mati itu?
"Kara,"
"Hm,"
"Kau tidak ingin bertanya apakah aku jujur atau tidak? Atau menanggapiku dengan hal wajar lainnya? Kau kelihatan aneh diam begini."
Dan Jungkook mendapat jawabannya tepat ketika Kara menunjuk ponsel miliknya yang berkelip merah di depan sana, menunjukkan angka kosong pada alat penghitung waktu yang ia pasang, lantas berujar, "Lima menitnya habis. Lain kali tolong pegang ucapanmu sendiri."
Sial, Jungkook tidak seharusnya kalah pada perempuan.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top